xlviii
sosiolinguistik  mempelajari  dan  membahas  aspek-aspek  kemasyarakatan bahasa, khususnya perbedaan-perbedaan variasi yang terdapat dalam bahasa
yang  berkaitan  dengan  faktor-faktor  kemasyarakatan  sosial    Nababan P.W.J.,1984:2.
Setiap bidang ilmu tentu mempunyai kegunaan dalam kehidupan praktis. Begitu
juga  dengan  sosiolinguistik.  Kegunaan  sosiolinguistik  bagi  kehidupan  praktis sangat  banyak.  Pertama,  sosiolinguistik  dapat  dimanfaatkan  dalam
berkomunikasi  atau  berinteraksi.  Sosiolinguistik  akan  memberikan  pedoman kepada  pemakai  bahasa  dalam  berkomunikasi  dengan  menunjukkan  bahasa,
ragam  bahasa  atau  gaya  bahasa  apa  yang  harus  digunakan  jika  berbicara dengan  orang  tertentu.  Kedua,  sosiolinguistik  bermanfaat  dalam  pengajaran
bahasa di sekolah.
2. Variasi Bahasa Berkenaan  dengan  variasi  bahasa,  Soepomo  Poedjasoedarma  1975:31-41
mengutarakan  bahwa  bahasa  memiliki  beberapa  kelas  varian  yang  satu berbeda dengan kelas varian yang lain karena perbedaan penerapannya. Secara
garis  besar  diutarakan  adanya  tiga  buah  kelas varian,  yaitu  kelas  varian  dialek dialect,  undha-usuk  speech  levels,  dan  ragam  styles.    Sementara  itu,
menurut  Abdul  Chaer  dan  Leoinie  Agustina  2004:62-68    ”variasi  bahasa  dari segi  penutur  dapat  dibedakan  menjadi  empat  macam,  yaitu  idiolek,  dialek,
kronolek  atau  dialek  temporal,  sosiolek  atau  dialek  sosial.”  ”Variasi  bahasa berkenaan  dengan  penggunaannya,  pemakaiannya,  atau  fungsinya  disebut
fungsiolek,  ragam  bahasa”      Nababan  P.W.J.,  1984:5.  Variasi  ini    biasanya
xlix
dibicarakan  berdasarkan  bidang  penggunaan,  gaya,  atau  tingkat  keformalan, dan  sarana  penggunaan.  Variasi  bahasa  berdasarkan  bidang  pemakaian  dapat
dibedakan  menjadi  bidang  sastra,  jurnalistik,  militer,  pertanian,  pelayaran, perekonomian,  perdagangan,  pendidikan,  dan  kegiatan  keilmuan.  Selanjutnya
berdasarkan tingkat keformalannya, Martin Jos 1967 dalam Abdul Chaer dan Leonie  Agustina,  2004:70  membagi  variasi  bahasa  menjadi  lima  macam  gaya
Style,  yaitu  gaya  atau  ragam  beku  frozen,  gaya  atau  ragam  resmi  formal, gaya atau ragam usaha konsultatif, gaya atau ragam santai causal, dan gaya
atau ragam akrab intimate. Dalam pembicaraan selanjutnya kelima istilah itu disebut ragam oleh Abdul Chaer dan Leonie Agustina 2004:70. .
Beragam  variasi  bahasa  baik  yang  dikemukakan  oleh  Soepomo  maupun  oleh Abdul  Chaer  dan  Leonie  Agustina,  penulis  hanya  akan  membicarakan  lebih
lanjut mengenai undha-usuk dan ragam.
3. Ragam Bahasa Ragam  bahasa  adalah  suatu  istilah  yang  dipergunakan  untuk  menunjuk  salah
satu  dari  sekian  variasi  yang  terdapat  dalam  pemakaian  bahasa  Suwito, 1982:104. Sementara itu, Soepomo Poedjasoedarma 1979:8 mengemukakan
ragam ialah varian bahasa yang perbedaan-perbedaannya ditentukan oleh nada
situasi  bahasa  yang  mewadahinya.  Ragam  yang  satu  berbeda  dengan  ragam
yang lain karena situasi tuturnya berlainan. Jadi, jika situasi tuturnya tidak resmi informal,  maka  bentuk  tutur  yang  dipakai  mencerminkan  adanya  kesantaian
suasana  itu.  Bentuk  tuturnya  tidak  perlu  seratus  persen  memenuhi  kaidah- kaidah  pemakaian  bahasa  baku.  Selanjutnya,  apabila  suasana  tuturnya  resmi,
maka  bentuk  tuturnya  mencerminkan  keformalan  suasana  itu.  Jika  nada
l
suasana  tutur  itu  dinas  oficial,  maka  bentuk  tuturannya  pun  mencerminkan suasana kedinasan itu. Tetapi, jika nada suasana tutur itu indah, maka bentuk
tuturnya pun mencerminkan suasana tuturnya indah, estetis. Soepomo  Poedjasoedarma  1979:56-69  menggolong-golongkan  ragam  bahasa
masyarakat  Jawa  ada  empat  macam,  yaitu  1  ragam  informal,  2  ragam formal,  3  ragam  dinas,  dan  4  ragam  sastra  indah.  Selanjutnya  Suwito
1982:104-105  mengemukakan  berdasarkan  fungsi  dan  situasinya  ragam pemakaian bahasa dapat dibedakan menjadi ragam baku dan ragam tidak baku.
Berikut ini akan dijelaskan ragam formal dan ragam informal, serta ragam baku dan ragam tidak baku. Sesuai dengan  topik  penelitian ini.
a.   Bentuk Ragam Informal dan Ragam Formal
Soepomo  Poedjasoedarma  1979:56  mengutarakan  bahwa  bentuk  dan arti  tutur  ringkas  yang  ada  di  dalam  bahasa  Indonesia  sama  dengan  bentuk
tutur  yang  digunakan  di  dalam  ragam  informal.  Dengan  demikian  ciri-ciri bentuk ragam informal sama dengan ciri-ciri tutur ringkas. Sementara itu, ciri-
ciri ragam bahasa formal sama dengan ciri-ciri tutur lengkap. Dalam hal ini baik bahasa  Idonesia  maupun  bahasa  Jawa  memiliki  gejala  bentuk  yang  sama.  Jadi
baik ragam informal BI maupun ragam informal BJ memiliki ciri-ciri yang sama dengan apa yang ada pada tutur ringkas BI, sedangkan ragam formal BI dan BJ
memiliki ciri-ciri yang sama dengan ciri tutur lengkap. Adapun  ciri-ciri  ragam  bahasa  informal  BI  dan  BJ,  sesuai  dengan  apa  yang
digambarkan pada tutur ringkas ialah sebagai berikut: 1  banyak mengalami pemenggalan-pemenggalan deletions,
2  banyak memperoleh manfaat penggunaan,
li
4
banyak menunjuk hal-hal yang sifatnya ekstralinguistik,
5
sering mengandung alih kode, baik ke bahasa lain, variasi bahasa,
6 sering  mengandung  inversi  kalimat,  dengan  menyalahi  susunan  kata  yang
biasanya terjadi pada kalimat normal,
7 banyak  mengandung  bentuk-bentuk  dialek  sebagai  akibat  pengaruh  bahasa
daerah, baik pada unsur fonologinya, morfosintaktiknya, maupun leksikonnya.
8 tipe-tipe  kalimat  yang  terpakai  biasanya  tipe  kalimat  tunggal  dan  majemuk
setara yang berfrekuensi tinggi,
9 kata-kata  yang  terpakai  biasanya  kata-kata  yang    tergolong  sangat  umum  dan
berfrekuensi  tinggi,  dan  bukannya  istilah  teknik  dan  idiom  yang  rumit  yang
eksplisit. Berbeda  dengan  tutur ringkas,  atau  ragam  informal,  tutur  lengkap  atau  ragam
formal  tidak  banyak  .mengalami  pemenggalan-pemenggalan.  Semua  kalimat dalam  wacana  diujarkan  dengan  lengkap  dan  runtut.  Demikian  pula  semua
frasa dalam kalimat, semua kata dalam frasa, dan semua suku kata dalam kata. Penggunaan  intonasi  kalimat,  kata  seru,  partikel  sebagai  penanda  kehendak
dibatasi  sampai  seminim  mungkin,  dan  sebagai  gantinya  dipakai  kata-kata leksikal  yang  bermakna  content  words.  Di  dalam  tutur  lengkap  atau    ragam
formal jarang terdapat alih kode dan pemakaian bentuk dialek, kecuali adanya sitir  langsung  yang  mau  tak  mau  harus  dibuat.    Ragam  bahasa  formal  selalu
mengikuti kaidah-kaidah bahasa yang dianggap standar baku.
b. Ragam Baku dan Ragam Tidak Baku
lii
Ragam  baku  adalah  ragam  yang  dipakai  dalam  situasi-situasi  formal,  seperti
dalam  surat-menyurat  resmi,  administrasi  pemerintahan,  dan  karya-karya ilmiah,  sedangkan  ragam  tidak  baku  ragam  yang  dipakai  dalam  situasi  tidak
resmi  informal,  seperti  situasi  di  dalam  rumah  tangga,  di  pinggir  jalan,  dan sebagainya.
4. Tingkat Tutur  Bahasa Jawa
Bahasa  Jawa  memiliki  tingkat  tutur  yang  disebut  pula  dengan  istilah  undha- usuk,  unggah-ungguhing  basa.  Menurut  Soepomo  dalam  Soepomo
Poedjasoedarma,  dkk.  1979:3  tingkat  tutur  ialah  ”variasi-variasi  bahasa  yang perbedaan antara satu dan lainnya ditentukan oleh perbedan sikap santun yang
ada  pada  diri  pembicara  O1  terhadap  lawan  bicara  O2.”  Di  dalam  bahasa jawa,  perbedaan-perbedaan  yang  dimaksud  antara  lain  tampak  pada  leksikon
pembentuknya.  Oleh  karena  itu,  perbedaan  bentuk  leksikon  dapat  dipandang sebagai perbedaan tingkat tutur.
Di dalam penelitian ini akan dibicarakan mengenai bentuk tingkat tutur, rincian tingkat tutur, makna tingkat tutur, dan penentuan pilihan tingkat tutur.
a. Bentuk Tingkat Tutur Di  atas  telah  dijelaskan  bahwa  tingkat  tutur  merupakan  variasi  bahasa  yang
perbedaan-perbedaannya  ditentukan  oleh  anggapan    pembicara  O1  atau penutur terhadap lawan bicara O2 atau mitra tutur. Pernyataan tersebut telah
mengisyaratkan  dua  faktor,  yaitu  faktor  lingual  berupa  variasi  bahasa  dan faktor  nonlingual  berupa  anggapan  penutur  terhadap  mitra  tuturnya.  Adanya
pernyataan  anggapan  penutur  tersebut  melibatkan  faktor  sosial  dalam
liii
peristiwa  tutur;  yang  dapat  berupa  status  sosial  penutur,  tujuan  tutur, perbedaan  usia,  jenis  kelamin,  keakraban  hubungan  penutur  dengan  mitra
tutur  dan  sebagainya.  Faktor  sosial  tersebut  dapat  mempengaruhi  wujud tuturan dalam peristiwa tutur.
Di  dalam  bahasa  Jawa  variasi  bahasa  yang  dimaksud  dapat  ditemukan  karena adanya  perbedaan  bentuk  leksikon  atau  kosakata.  Artinya  dilihat  dari  bentuk
leksikonnya  sudah  mencerminkan  adanya  perbedaan  tingkat  tuturnya.  Hal  itu ditegaskan  oleh  Sry  Satriya  Tjatur  Wisnu  Sasangka    dalam  Sry  Satriya  Tjatur
Wisnu  Sasangka,  2004:86  bahwa  ”unggah-ungguh  bahasa  Jawa  yang berbentuk  ngoko  dan  yang  berbentuk  krama  dapat  dibedakan  secara  tegas
karena  leksikon  kosakata  yang  dirangkaikan  menjadi  sebuah  untaian  kalimat dalam  kedua  unggah-ungguh  itu  dapat  dikontraskan  satu  sama  lain.”  Lebih
lanjut  Sasangka  2004:24 mengatakan  bahwa   ”suatu  untaian  kalimat  disebut ngoko  atau  krama  sebenarnya  bergantung  pemakaian  dan  pemilihan  leksikon
atau kata kosakata di dalam kalimat itu secara tepat.” Adanya perbedaan bentuk leksikon tersebut harus ditaati  dalam pembentukan
tataran  ketatabahasaan.  Misalnya  dalam  pembentukan  frasa,  klausa,  kalimat, atau wacana tidak boleh terjadi campur aduk. Apabila terjadi percampuradukan
antara bentuk leksikon ngoko dan leksikon krama maka bentuk kebahasaannya dirasa kurang tepat yang mengisyaratkan penuturnya kurang menguasai tingkat
tutur bahasa Jawa
b. Jenis Tingkat Tutur
Sehubungan  dengan  adanya  bentuk  tingkat  tutur  dalam  bahasa  Jawa  telah banyak  para  ahli  bahasa  yang  membuat  penjenisan  atau  pembagian  tingkat
liv
tutur.  Soepomo  Poedjasoedarma  1979:13  membagi  tingkat  tutur  dalam bahasa Jawa menjadi tiga jenis, dengan perincian tiap jenisnya sebagai berikut.
1   Krama a mudha krama
b kramantara  jarang terdengar c wredha krama jarang terdengar
2 Madya a madya krama
b madyantara c madya ngoko
3 Ngoko a basa antya
b antya basa c ngoko lugu
Tingkat tutur krama mengandung kata-kata tugas dari leksikon krama. Apabila kata-kata tugas dalam kalimat sudah krama, maka ini berarti bahwa kata-kata
lainnya paling sedikit juga krama. Akan tetapi kalau kata-kata itu tidak memiliki bentuk krama, maka bentuk ngokolah yang dipakai. Tingkat tutur mudha krama
mengandung leksikon dan imbuhan krama, mengandung pula kosakata krama inggil dan krama andhap. Tingkat tutur kramantara tidak mengandung bentuk-
bentuk  lain,  keculi  bentuk  krama.  Tingkat  tutur  wredha  krama  tidak mengandung bentuk-bentuk krama inggil atau krama andhap.
Tingkat  tutur  madya    mengandung  kosakata  madya  pada  kalimat-kalimatnya, terutama leksikon madya pada kata tugas dan pronomina. Tingkat tutur krama
ditandai dengan terdapatnya leksikon krama dan krama inggil krama andhap
dan  kata  tugas  madya  serta  afiksasi  ngoko.  Tingkat  tutur  madyantara
lv
mengandung  kata  tugas  madya,  afiksasi  ngoko,  leksikon  lain  dari  krama. Tingkat tutur madya, ngoko mengandung kata tugas madya, afiksasi ngoko, dan
kosakata lain ngoko. Tingkat  tutur  ngoko  memakai  leksikon  ngoko.    Tingkat  tutur  ngoko  lugu  di
dalamnya  tidak  terdapat  kata-kata  serta  imbuhan  lain,  kecuali  kata-kata  dan imbuhan  ngoko.  Tingkat  tutur  antyabasa    mengandung  leksikon  krama  inggil
atau  krama  andhap,  di  samping  leksikon  dan  imbuhan  ngoko.  Tingkat  tutur basaantya  mengandung  leksikon  krama  inggil  atau  krama  andhap,  beberapa
leksikon krama, dan kosakata serta imbuhan ngoko. Pembagian  yang  dilakukan  Soepomo  Poedjasoedarma,  dkk.  tidak  terdapat
adanya krama inggil yang tentunya termasuk ke dalam jenis krama. Menurut  Karti  Basa  dalam  Sry  Satriya  Tjatur  Wisnu  Sasangka  ,  2004:11-13
tingkat tutur dalam bahasa Jawa dibagi menjadi tujuh jenis, dengan rincian tiap jenisnya sebagai berikut.
1  Ngoko a ngoko lugu
b ngoko andhap terdiri atas: 1 ngoko antyabasa 2 basaantya
2  Madya a madya ngoko
b madyntara c madya krama
3 Krama a mudha krama
b kramanatara c wredhakrama
lvi
4  Krama inggil 5  Basa kedhaton
6  Krama desa 7 Basa kasar
Ngoko  merupakan  bahasa  yang  lugu  yang  belum  mengalami  perubahan  apa pun.  Leksikon  yang  terdapat  di  dalamnya  seluruhnya  berupa  ngoko.  Ngoko
antyabasa  leksikon  yang    terdapat  di  dalamnya  berupa  ngoko  dan  terdapat leksikon  krama  inggil.  Basaantya  leksikon  yang  terdapat  di  dalamnya  berupa
ngoko,  krama,  dan  krama  inggil.  Sementara  itu,  basa  madya  merupakan bahasa  yang    berada  di  tengah-tengah  antara  basa  ngoko  dan  basa  krama.
Leksikon yang terdapat di dalamnya berupa kata madya  dan ngoko. Jika dalam kalimat  hanya  terdapat  kata  madya  dan  ngoko  disebut  madya  ngoko  atau
madyantara. Jika dalam kalimat terdapat kata madya, krama, dan krama inggil disebut madya krama.
Berbeda  dengan  basa  krama,  basa  krama  merupakan  bahasa  yang  hormat. Leksikon  yang  terdapat  di  dalamnya  semua  berupa  krama.  Mudha  krama
leksikon  yang  terdapat  di  dalamnya  berupa  kata  krama  dan  krama  inggil. Namun,  jika  dalam  kalimat  hanya  berupa  leksikon  krama  saja  disebut
kramantara  dan  wredhakrama.  Perbedaannya  terletak  pada  penggunaannya. Jika yang menggunakan orang muda disebut mudha krama, sedangkan disebut
wredha krama jika digunakan orang tua. Lebih lanjut dalam buku itu dijelaskan bahwa mudha krama digunakan oleh anak muda kepada orang tua, kramantara
digunakan  oleh  orang  yang  sejajar    status  sosialnya,  dan  wredha  krama digunakan oleh orang tua kepada orang yang lebih muda.
lvii
Basa  krama  inggil  adalah  bahasa  yang  sangat  santun  yang  bentuknya  mirip dengan mudha krama. Basa kedhaton merupakan bahasa yang digunakan oleh
keluarga  raja  danatau  digunakan  oleh  para  karyawan  yang  bekerja  di  dalam istana.  Krama  desa  sebagai  bahasa  halus  orang  desa  yang  kurang  memahami
ragam halus orang kota. Pembagian  tersebut  di  atas  secara  teoretis  kurang  menguntungkan    sebab
terlalu banyak jenis tingkat tutur yang dikemukakan. Sementara itu, Purwadi 2005:13-39 membagi tingkat tutur bahasa Jawa
menjadi tiga seperti terlihat pada bagan berikut.
ngoko lugu BJ Ngoko                         ngoko andhap
antya basa basa antya
Bahasa Jawa
madya ngoko Krama Madya                            madya krama
madyantara
mudha krama Krama Iinggil                     kramantara
wredha krama krama inggil
krama desa
Klasifikasi Tingkat Tutur  Bahasa Jawa
lviii
Selanjutnya  ditampilkan  pembagian  tingkat  tutur  bahasa  Jawa  yang diusulkan oleh Sudaryanto dalam Maryono Dwiraharjo, 1991:357. Pembagian
yang diusulkan hanya ada empat jenis tingkat tutur sebagai berikut. 1   Ngoko
2  Ngoko alus 3  Krama
4  Krama alus. Pembagian  yang  diusulkan  oleh  Sudaryanto  tersebut  secara  dikotomis
menunjukkan adanya dua jenis tingkat tutur dalam bahasa Jawa, yaitu tingkat tutur  ngoko  dan  tingkat  tutur  krama.    Pembagian  tersebut  ternyata  lebih
sederhana  dan  lebih  praktis.  Hal  itu  menggambarkan    bahwa  tingkat  tutur dalam bahasa Jawa tidak rumit dan tidak menyulitkan.
Dalam  kaitannya  dengan    penelitian  ini,  peneliti  cenderung  mengikuti pembagian  Sudaryanto,  yaitu  bahwa  tingkat  tutur  dalam  bahasa  Jawa  dibagi
menjadi dua, yaitu ngoko dan krama.
c. Makna Tingkat Tutur
Mengenai  makna  tingkat  tutur  akan  dijelaskan  tiga  jenis  tingkat  tutur  yang pokok, yaitu tingkat tutur ngoko, krama, dan krama madya.
Tingkat  tutur  ngoko  menurut  Soepomo  Poedjasoedarma  dkk.  1979:14 mencerminkan rasa tak berjarak antara O1 terhadap O2. Artinya, pembicara O1
tidak  memiliki  rasa  segan  terhadap  O2  atau  mitra  tutur,  sekaligus  juga mengisyaratkan  adanya  tingkat  keakraban  hubungan.  Misalnya  terhadap
sesama teman yang sudah akrab dapat memakai ngoko. Guru berhak memakai
lix
ngoko  terhadap  muridnya.  Ayah  dan  Ibu  dapat  memakai  ngoko  terhadap anaknya, menantunya, dan kemenakannya, dan sebagainya.
Tingkat  tutur  krama  adalah  tingkat  tutur  yang  memancarkan  arti  penuh sopan  santun  Soepomo  Poedjasoedarma  dkk.,  1979:14.  Tingkat  tutur  ini
menandakan  adanya  perasaan  segan,  hormat  atau  berjarak  antara  penutur dengan mitra tutur. Tingkat tutur ini biasa dipakai oleh orang yang belum saling
mengenal.  Pegawai  menggunakan  krama  terhadap  kepalanyaatasannya,  dan sebagainya.
Tingkat  tutur  madya  adalah  tingkat  tutur  menengah  antara  krama  dan ngoko Soepomo Poedjasoedarma dkk. 1979:15. Tingkat tutur ini biasa dipakai
antara teman-teman sekolah yang masih saling berbasa. Penutur menggunakan madya terhadap orang desa yang dianggap perlu disopani, dan sebagainya.
d. Pemilihan Tingkat Tutur Menurut  Soepomo  Poedjasoedarma  dkk.  1979:16  ada  dua  hal  yang  harus
diperhatikan  pada  waktu  akan  menentukan  tingkat  tutur  yang  akan  dipakai, yaitu  ”pertama tingkat formalitas hubungan perseorangan antara penutur dan
mitra tutur; kedua, status sosial yang dimiliki O2”. Tingkat keresmian hubungan individual  ini  menentukan  pilihan  tingkat  ngoko,  madya,  atau  krama;
sedangkan  tinggi  rendah  status  sosial  penutur  menentukan  pemakaian  kata- kata  krama  inggil.  Faktor  penentu  tingkat  formalitas  itu:  1  tingkat  keakraban
hubungan dengan O2; 2 tingkat keangkeran O2; dan 3 umur O2. Tingkat hubungan keakraban ini penting sekali. Terhadap mitra tutur yang baru
saja  dikenal  biasanya  tidak  disapa  dengan  ngoko,  melainkan  dengan  krama.
lx
Tingkat keangkeran dan usia ditentukan oleh latar belakang status sosial mitra tutur yang ada.
Selanjutnya  menurut  Soeroso  dalam  Maryono  Dwiraharjo,  1991:370 sehubungan  dengan  pemilihan  suatu  tingkat  tutur  menyatakan  bahwa  ada
empat  langkah  yang  harus  diingat  dan  dilakukan  bagi  seorang  penutur  yang akan berbahasa Jawa. Keempat langkah tersebut adalah sebagai berikut.
1 Langkah pertama: Mawas diri
Penutur menempatkan dirinya terhadap lawan tuturnya, dan ada tiga kemungkinan: a penutur lebih rendah daripada lawan tutur,
b penutur sederajat dengan lawan tutur, c penutur lebih tinggi kedudukannya daripada lawan tutur.
2 Langkah kedua: Memilih bahasa
a apabila  penutur  lebih  rendah  daripada  lawan  tutur,  penutur
menggunakan bahasa krama; b
Apabila  penutur  sederajat  dengan  lawan  tutur,  penutur  menggunakan bahasa madya, ngoko;
c Apabila penutur lebih tinggi daripada lawan tutur, penutur menggunakan
bahasa ngoko. 3
Langkah ketiga: Memilih kata Dalam menggunakan bahasa seperti tersebut pada langkah yang kedua perlu dipilih
kata yang tepat. 4
Langkah keempat: Menetapkan sikap Sikap  berbicara  disesuaikan  dengan  sikap  diri  misalnya  sikap  hormat,  sikap  santai,
dan sebagainya.
5. Leksikon Bahasa Jawa dari Segi Bentuk
Suatu  kalimat  disebut  ngoko  atau  krama  bergantung  pada  penggunaan pemilihan leksikon atau kata kosakata di dalam kalimat itu secara tepat. Istilah
ngoko, madya, dan krama digunakan untuk merujuk pada pengertian leksikon dan pengertian konstruksi kalimat dan struktur kalimat. Istilah madya, krama
lxi
inggil, krama andhap, digunakan untuk merujuk ke pengertian leksikon, bukan untuk  merujuk  ke  pengertian  konstruksi.  Untuk  merujuk  ke  pengertian
konstruksi digunakan istilah ngoko lugu, ngoko alus, krama lugu, krama alus. Menurut  Harimurti  Kridalaksana  1982:98  ”leksikon  merupakan  komponen
bahasa  yang  memuat  semua  informasi  tentang  makna  dan  pemakaian  kata dalam  suatu  bahasa.  Selain  itu,  leksikon  juga  merupakan  kekayaan  kata  yang
dimiliki suatu bahasa”. Menurut Sry Sariya Tjatur Wisnu Sasangka 2004:25-49 berdasarkan  bentuknya,  leksikon  bahasa  Jawa  dapat  dibedakan      menjadi
enam, yaitu leksikon ngoko,  madya,  krama, krama inggil, krama andhap, dan netral.
a.  Leksikon Ngoko
Leksikon  ngoko  merupakan  ”dasar  dari  semua  leksikon”  Soepomo Poedjasoedarma  dkk.,  1979:24.  Hal  itu  berarti  bahwa  leksikon  ngoko  ini
merupakan  dasar  pembentukan  leksikon  madya,  krama,  krama  inggil,  dan krama andhap. Jika dilihat dari pemakaiannya, leksikon ngoko dapat digunakan
oleh  orang  pertama  O1,  orang  kedua  O2,  dan  orang  ketiga  O3  seperti  contoh berikut.
26  Aku arep tuku jambu. ‘Saya akan membeli jambu.’
27  Kowe arep tuku jambu. ‘Kamu akan membel jambu.’
28 Dheweke arep tuku jambu. ‘Dia akan membel jambu.’
lxii
Kata arep ‘akan’ dan tuku ‘membeli’ pada contoh 26--28 merupakan leksikon ngoko  yang  dapat  digunakan  oleh orang  pertama  aku  ‘saya’  contoh  26, oleh
orang  kedua  kowe  ‘kamu’  seperti  pada  contoh  27,  dan  oleh  orang  ketiga dheweke  ‘dia’  contoh  28.  Kata  aku,  kowe,  dan  dheweke  termasuk  leksikon
ngoko. Setiap  leksikon  ngoko  selalu  mempunyai  padanan  leksikon  krama,  madya,
krama inggil, danatau krama andhap. Jika terdapat suatu leksikon yang diduga ngoko,  tetapi  ternyata  tidak  mempunyai  padanan  leksikon  krama,  madya,
krama  inggil,  atau  krama  andhap,  maka  leksikon  tersebut  dikelompokkan  ke dalam  leksikon  netral.  Misalnya  leksikon  cedhela  ‘Jendela’  tidak  mempunyai
padanan  leksikon  madya,  krama,  krama  inggil,  dan  krama  andhap.  Hal  itu berarti  bahwa  cendhela  tidak  termasuk  leksikon  ngoko,  tetapi  termasuk
leksikon netral. Berbeda halnya dengan leksikon ijo ‘hijau’  hanya  mempunyai padanan  leksikon  krama,  yaitu  ijem  ‘hijau’,    meskipun  tidak  mempunyai
padanan  leksikon  madya,  krama  inggil,  dan  krama  andhap  tetap  termasuk leksikon ngoko.
b. Leksikon Madya ”Leksikon madya merupakan leksikon krama yang kadar kehalusannya rendah.
meskipun begitu, apabila dibandingkan dengan leksikon ngoko, leksikon madya tetap  menunjukkan  kadar  kehalusan”  Sry  Satriya  Tjatur  Wisnu  Sasangka,
2004:27. Pemakaian leksikon madya sama dengan pemakaian leksikon ngoko, yaitu dapat dipakai oleh O1, O2, dan O3 seperti contoh berikut.
29 Kula ajeng teng Surabaya.
lxiii
‘Saya akan ke Surabaya.’ 30 Ndika ajeng teng  Surabaya  napa teng  Malang?
‘Kamu akan ke Surabaya atau ke Malang.’ 31 Kiyambake ajeng teng Surabaya napa teng malang?
‘Dia akan ke Surabaya atau ke malang?’ Unsur  ajeng  ‘akan’  dan  teng  ‘ke’  contoh  29--31  merupakan  leksikon madya
yang digunakan oleh O1 kula ‘saya’, O2 ndika ‘kamu’, dan oleh O3 kiyambake ‘dia’.  Kata    ndika,  kiyambake,  dan  napa  termasuk  leksikon  madya,  sedangkan
kata kula dan sampeyan termasuk leksikon krama. Leksikon madya selalu mempunyai bentuk leksikon ngoko dan krama. Menurut
Sry  Satriya  Tjatur  Wisnu  Sasangka  2004:29  ”leksikon  madya  dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu jenis leksikon madya yang merupakan
pemendekan leksikon krama dan yang bukan merupakan pemendekan leksikon krama.”
Yang  termasuk  leksikon  madya  golongan  pertama,  yaitu  ampun,  onten,  dugi, king,  nika,  teng,    riyin,  dan  sebagainya.  Leksikon  tersebut  sebenarnya  berasal
dari leksikon krama yang dipendekkan, yaitu seperti berikut.
Krama                              Madya
sampun →           ampun ‘jangan’
wonten →          onten ‘ada’
dumugi →           dugi ‘sampai’
saking →          king ‘dari’
punika →          nika ‘ini’
dhateng →          teng ‘ke’
rumiyin →          riyin ‘dulu’
Yang  termasuk  leksikon  madya  golongan  kedua  yang  bukan  berasal  dari pemendekan  leksikon  krama  adalah  tumut  ‘ikut’,  ajeng  ‘akan’,  kajenge  ‘biar’,
lxiv
kriyin  ‘dahulu’,  caket  ‘dekat’,  kiyambak  ‘sendiri’,  kiyambake  ‘dia’,  dan sebagainya.
c. Leksikon Krama
”Leksikon krama sebenarnya merupakan bentuk halus dari leksikon ngoko” Sry Satriya  Tjatur  Wisnu  Sasangka,  2004:31.  Pemakaian  leksikon  krama  ini  sama
dengan pemakaian leksikon ngoko dan madya, yaitu dapat dipakai oleh O1, O2, dan O3 seperti contoh di bawah ini.
32 Kula badhe dhateng Madiun. ‘Saya akan ke madiun’.
33 Panjenengan badhe dhateng Madiun?
‘Kamu akan ke Madiun?’ 34 Piyambakipun badhe dhateng madiun?
‘Dia akan ke madiun?’ Kata  badhe  ‘akan’  dan  dhateng  ‘ke’  pada  kalimat  32--34  tergolong  leksikon
krama yang dapat digunakan oleh orang pertama kula ‘saya’ pada kalimat 32, oleh  orang  kedua  panjenengan  ‘kamu’  seperti  pada  kalimat  33,  dan  oleh
orang  ketiga  piyambakipun  ‘dia’  seperti  pada  kalimat  34.  Kata  kula, panjenengan,  dan  piyambakipun    dalam  contoh  di  atas  tergolong  leksikon
krama. Leksikon  krama  merupakan  bentuk  halus  dari  leksikon  ngoko.  Semua  leksikon
krama pasti mempunyai leksikon ngoko. Misalnya
Krama                          Ngoko                             Makna
jene                             kuning                             ‘kuning’ inggil                            dhuwur                            ‘tinggi’
nembe                          mentas                              ‘baru’ pajeng                         payu                                 ‘laku’
lxv
Menurut Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka  2004:32 ”bentuk leksikon krama dibedakan menjadi dua macam, yaitu 1 leksikon krama yang bentuknya sama
sekali  berbeda  dengan  bentuk  ngoko  dan  2  leksikon  krama  yang  bentuknya merupakan perubahan leksikon ngoko.”
Leksikon  krama  yang  bentuknya  sama  sekali  berbeda  dengan  bentuk  ngoko tampak seperti contoh di bawah ini.
Krama                        Ngoko                                Makna
ageng                          gedhe                                  ‘besar’ selo                             watu                                    ‘batu’
ajrih                            wedi                                   ‘ takut’ lingsem                       isin                                      ‘malu’
Leksikon krama yang bentuknya merupakan perubahan leksikon ngoko tampak seperti contoh berikut ini.
Krama                       Ngoko                                     Makna
bibar                         bubar                                       ‘selesai’ bingkar                     bungkar                                    ‘bongkar’
nyobi                        nyoba                                        ‘mencoba’ dereng                      durung                                       ‘belum’
kilak                         kulak                                          ‘beli untuk dijual’
d. Leksikon Krama Inggil
Di dalam tingkat tutur bahasa Jawa terdapat leksikon krama inggil. leksikon ini dapat  digunakan  untuk  menghormat  mitra  tutur  dengan  jalan  meninggikan
mitra tutur. Leksikon krama inggil hanya dapat digunakan untuk orang lain atau
lxvi
mitra tutur atau O2, maupun orang yang dibicarakan O3, sedangkan untuk diri sendiri O1 tidak digunakan  leksikon ini. Misalnya:
35 Panjenengan   punapa   badhe  tindak  dhateng  Surabaya? ‘Apakah
Anda akan pergi ke Surabaya.’
36 Piyambakipun punapa badhe tindak dhateng Surabaya?
‘Apakah dia akan pergi ke Surabaya?’
37 Ibu badhe tindak dhateng surabaya? ‘Ibu akan pergi ke Surabaya?’ 38 Mbak Lintang arep tindak menyang Surabaya?
‘Mbak Lintang akan pergi ke Surabaya?’
Kata  tindak  pada  kalimat  35--38  merupakan  leksikon  krama  inggil  yang
hanya  dapat  dipakai    oleh  orang  kedua,  yaitu  oleh  panjenengan  ‘Andakamu’ seperti  pada  kalimat  35,  oleh  ibu  ‘ibu’  seperti  pada  kalimat  37,  oleh  mbak
Lintang  seperti  pada  contoh  38,  dan  dapat  pula  dipakai  oleh  orang  ketiga, yaitu  piyambakipun  ‘dia’  seperti  pada  contoh  36.  Kata  tindak  tidak  dapat
digunakan untuk diri sendiri seperti tampak pada contoh 39 dan 40 berikut ini.
39 Aku arep tindak menyang Surabaya. ‘Saya akan pergi ke Surabaya.’
40 Kula badhe tindak dhateng Surabaya. ‘Saya akan pergi ke Surabaya.’
Secara  sintaksis  kalimat  39  dan  40  termasuk  kalimat  yang  gramatikal  sebab dalam kedua konstruksi itu, unsur-unsur kalimat terpenuhi, yaitu aku dan kula
‘saya’  berfungsi  sebagai  subjek,  arep  tindak  dan  badhe  tindak  ‘akan  pergi’ berfungsi  predikat,  serta  menyang  surabaya  dan  dhateng  Surabaya  ‘ke
Surabaya’  berfungsi  sebagai  keterangan.  Namun,  secara  pragmatis  danatau sosiolinguistis kalimat 39 dan 40 keberterimaan maknanya diragukan. Hal itu
dikarenakan  di  dalam  masyarakat  Jawa  ada  semacam  kesepakatan  bahwa
lxvii
untuk  memberi  penghormatan  kepada  mitra  tutur,  selalu  akan  digunakan prinsip merendahkan diri sendiri dan meninggikan orang lain.
Cara pelaksanaan prinsip itu adalah penutur menggunakan krama andhap untuk diri  sendiri  dan  menggunakan  krama  inggil  untuk  orang  lain.  Akan  tetapi,  jika
leksikon krama inggil tidak memiliki padanan leksikon krama andhap, penutur dapat  menggunakan  leksikon  krama.  Demikian  pula  jika  leksikon  krama  inggil
tidak  memiliki  padanan  leksikon  krama  andhap  atau  leksikon  krama,  penutur dapat  menggunakan  ngoko  untuk  merendahkan  diri  sendiri.  Kalimat  39  dan
40  di  atas  akan  menjadi  berterima  apabila  leksikon  tindak  krama  inggil diganti dengan lunga ngoko atau kesah krama seperti pada contoh 39a dan
40a berikut ini.
39a Aku arep lunga menyang Surabaya.  ‘Saya akan pergi ke Surabaya.’ 40a Kula badhe kesah dhateng Surabaya. ‘Saya akan pergi ke surabaya.’
Leksikon  krama  inggil  ada  yang  mempunyai  padanan  leksikon  krama  dan ngoko,  serta  ada  pula  yang  hanya  mempunyai  padanan  leksikon  ngoko  dan
tidak  mempunyai  padanan  leksikon  lain  Sry  Satriya  Tjatur  Wisnu  Sasangka, 2004:40. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut.
Krama Inggil          Krama             Ngoko                Makna
dalem                     griya                omah                   ‘rumah’ dhahar                   nedha               mangan               ‘makan’
rawuh                   dumugidugi     teka                      ‘datang’
Krama Inggil       Krama                Ngoko                  Makna
asta                           -                     tangan                  ‘tangan’ babaran                    -                     bayen                    ‘bersalin’
grana                        -                     irung                     ‘hidung’
lxviii
rikma                        -                     rambut                  ‘rambut’ jangga                      -                     gulu                       ‘leher’
e. Leksikon Krama Andhap Leksikon  krama  andhap  adalah  leksikon  yang  digunakan  untuk  menghormati
mitra  tutur  dengan  cara  merendahkan  diri  sendiri.  Leksikon  krama  andhap hanya  dapat  digunakan    untuk  diri  sendiri  dan  tidak  dapat  digunakan  untuk
orang lain, baik untuk 02 maupun O3 seperti contoh berikut ini.
41 Mangke kula kemawon ingkang sowan Pak Agus.
‘Nanti saya saja yang menghadap Pak Agus.’
42 Mengko aku wae sing sowan Pak Agus.
‘Nanti saya saja yang menghadap Pak Agus.’ 43
Mangke panjenengan kemawon ingkang sowan dhateng griya kula.
44 Mengko kowe wae sing sowan menyang omahku.
‘Nanti Anda saja yang datang ke rumah saya.’’ 45
Mangke piyambakipun kemawon ingkang sowan dhateng griya kula.
46 Mengko dheweke wae sing sowan menyang omahku,
‘Nanti dia saja yang datang ke rumah saya.’ Kata  sowan  pada  contoh  41--46  merupakan  leksikon  krama  andhap  yang
hanya  dapat  digunakan  oleh  penutur,  yaitu  kula  atau  aku  ‘saya’  seperti  pada kalimat  41  dan  42,  tetapi  kata  panjenengan  atau  kowe  ‘Andakamu’  pada
kalimat 43 dan 44 dan untuk piyambakipun dan dheweke ‘dia’ seperti pada contoh 45 dan 46 dan kata sowan tidak dapat digunakan untuk O2 dan O3.
Hal  itu  dikarenakan  kata  sowan  merupakan  krama  andhap  yang  hanya  dapat digunakan untuk diri sendiri bukan untuk orang lain.   Oleh karena itu, kalimat
43--46 tidak berterima karena menyalahi aturan tersebut.
lxix
Secara  sintaksis  kalimat  41--46  termasuk  kalimat  yang  gramatikal  sebab unsur-unsur  pengisi  fungsi  kalimat    itu  telah  terpenuhi.  Kalimat  43--46
menjadi  berterima  jika  kata  sowan  yang  merupakan  leksikon  krama  andhap diganti  dengan  leksikon krama  inggil,  yaitu  diganti  dengan  kata rawuh seperti
contoh  43a--46a berikut ini.
43a Mangke panjenengan kemawon ingkang rawuh dhateng griya kula.
‘Nanti Anda saja yang datang ke rumah saya.’
44a Mengko kowe wae sing rawuh menyang omahku.
‘Nanti Anda saja yang datang ke rumah saya.’
45a Mangke piyambakipun kemawon ingkang rawuh dhateng griya kula.
‘Nanti Anda saja yang datang ke rumah saya.’
46a Mengko dheweke wae sing rawuh menyang omahku.
‘Nanti dia saja yang datang ke rumah saya.’ Menurut  Sry  Satriya  Tjatur  Wisnu  Sasangka  2004:45  jumlah  leksikon  krama
andhap hanya ada enam, yaitu paring ‘beri’, matur ‘melapor’ atau ‘berbicara’, ndherek  ‘ikut’,  sowan  atau  marak  ‘menghadapdatangberkunjung’,  suwun
‘minta’ atau ‘mohon’.  Leksikon krama andhap ada yang mempunyai padanan bentuk krama inggil dan ada pula yang tidak. Sebaliknya, leksikon krama inggil
tidak selalu mempunyai padanan leksikon krama andhap.
f. Leksikon Netral
”Leksikon  netral  merupakan  lesikon  yang  tidak  mempunyai  padanan  leksikon lain, baik leksikon madya, krama, krama inggil, krama andhap maupun leksikon
ngoko”  Sry  Satriya  Tjatur  Wisnu  Sasangka,  2004:49.  Leksikon  netral  dapat digunakan untuk diri sendiri dan untuk orang lain, baik O2 maupun O3 seperti
contoh berikut ini.
lxx
47 Wulan ngajeng aku arep tuku komputer.
‘Bulan depan saya akan membeli komputer.’
48 Wulan ngajeng kula badhe tumbas komputer.
‘Bulan depan saya akan membeli komputer.’
49 Wulan ngarep kowe arep tuku komputer?
‘Bulan depan kamu akan membeli komputer?’
50 Wulan ngajeng panjenengan badhe mundhut komputer?
‘Bulan depan kamu akan membeli komputer?’
51  Wulan ngarep dheweke arep tuku komputer?
‘Bulan depan dia akan membeli komputer?’
52 Wulan ngajeng piyambakipun badhe mundhut komputer?
‘Bulan depan dia akan membeli komputer?’ Leksikon  komputer  dapat  digunakan  untuk  diri  sendiri  seperti  contoh  47  dan
48 dan untuk orang lain, baik untuk O2 seperti contoh 49 dan 50 maupun untuk  O3    seperti  pada  contoh  51  dan  52.  Hal  itu  dikarenakan  leksikon
komputer  termasuk  leksikon  netral.  Leksikon  netral  ini  jika  dikaitkan  dengan tingkat tutur dalam bahasa Jawa dapat muncul dalam semua tingkatan.
6. Basa Ngoko
Istilah  lengkapnya  basa  ngoko  adalah  basa  ngoko  lugu.  Menurut  Haryana Harjawiyana  dan  Supriyana  2001:33  basa  ngoko  adalah  basa  yang  asli.
Sementara  itu,  menurut  Suwaji  1994:10  basa  ngoko  adalah  basa  yang menggunakan leksikonkata-kata ngoko, awalan dan akhiran juga ngoko, yaitu
di-, -ne, dan –kake. Purwadi 2005:2 menyatakan bahwa basa ngoko lugu disusun  dari  kata-kata  ngoko  semua,  adapun  kata  aku,  kowe,  dan  ater-ater
prefiks:  dak-,  ko-,  di-,  juga  panambang  sufiks  –ku,  -mu,  -e,  -ake,  tidak berubah.
lxxi
Basa  ngoko  biasa  digunakan  untuk  berbicara  antara  orang  tua  kepada  anak, cucu,  atau  anak  muda;  guru  kepada  murid;  orang  yang  status  sosialnya  sama
dan  sudah  akrab.  Juga  digunakan  untuk  berbicara  kepada  orang  yang  status sosialnya lebih rendah.
a.  Ciri-ciri Basa Ngoko
Menurut  Haryana  Harjawiyana  dan  Th.  Supriya  2001:35  basa  ngoko  lugu mempunyai  beberapa  ciri  seperti  1  leksikon  yang  digunakan  adalah  leksikon
yang  baik,  yaitu  leksikon  yang  sopan,  tidak  kasar;  leksikon  yang  umum  bukan dialek;  leksikon  jawa  asli,  kecuali  tidak  ada  leksikon  jawa  dapat  digunakan
leksikon  bahasa  Indonesia;  semua  menggunakan  leksikon  ngoko,  tidak  boleh ada  leksikon  krama  dan  leksikon  krama  inggil;  2  Ukara  atau  kalimat  terdiri
atas subjek, predikat, objek atau pelengkap; 3 Susunan kalimat sesuai dengan logika.
b.   Basa Ngoko Baku dan Tidak Baku
Basa ngoko baku adalah basa ngoko yang memenuhi ciri-ciri basa ngoko seperti yang  disebutkan  pada  6.a  di  atas;  sedangkan  yang  tidak  memenuhi  ciri-ciri
tersebut  disebut  basa  ngoko  tidak  baku  Haryana  Harjawiyana,  2001:36. Berikut ini contoh penggunaan basa ngoko tidak baku dan basa ngoko baku.
53    Iki foto salah sijine warga koprasi karo ternak wedhuse. Bs Ng TB
‘Ini foto salah satu warga koperasi dengan kambingnya.’
53a   Iki potret warga koprasi karo ingon-ingone wedhus. Bs Ng B
54
Wah, mobil mung cilik kok dimuati nganti sangang wong.  Bs Ng
TB ‘Wah, mobil kecil dimuati sampai sembilan orang.’
lxxii
54a  Wah, mobil mung cilik kok diiseni nganti wong sanga. Bs Ng B 55   Prastawa iku ndhorong kita kudu tansah waspada. Bs Ng TB
‘Peristiwa itu mendorong kita harus tetap waspada.’
55a  Kadadean iku nggugah aku kowe kudu tansah waspada. Bs Ng B 56    E, sedhane kae disetop, kon ahtret dhisik Bs Ng TB
‘E, sedan itu diberhentikan, diminta mundur dulu
56a  E, sedhane iku diendheg, kon mundur dhisik Bs Ng B Leksikon  foto,  ternak  53,  dimuati  54,  ndhorong, kita  55, disetop, ahtret  56
bukan leksikon bahasa Jawa asli, melainkan leksikon bahasa Indonesia. Leksikon itu  mempunyai  bentuk  leksikon    ngoko,  karena  itu  harus  digunakan  leksikon
ngoko  potret  53a  untuk  foto,  ingon-ingon  53a  untuk  ternak,  diiseni  54a untuk  dimuati,  nggugah  55a  untuk  ndhorong,  aku  kowe  55a  untuk  kita,
diendheg  56a  untuk  disetop,  mundur  56a  untuk  ahtret    agar  basa  ngoko
tidak  baku  contoh  53—56  tersebut  menjadi  basa  ngoko  yang  baku  seperti
contoh 53a—56a. Selanjutnya struktur sangang wong  54 tidak baku, yang baku adalah wong sanga 54a
7. Basa Ngoko Alus dan Ciri-cirinya
“Basa Ngoko alus adalah basa yang menggunakan leksikon ngoko, apabila akan menghormati orang yang diajak berbicara menggunakan leksikon krama inggil”
Haryana  Harjawiyana  dan  Th.  Supriya,  2001:43.  Suwaji  1994:10-11  ”basa ngoko  alus  adalah  basa  yang  menggunakan  leksikon  ngoko,  tetapi  terdapat
bercampur  leksikon  krama  inggil;  ater-ater  prefiks  dan  panambang  sufiks tetap ngoko.”
Basa  ngoko  alus  biasa  digunakan  1  untuk  berbicara  dengan  orang  yang statusnya sama, tetapi dengan rasa menghormati; 2 untuk berbicara dengan
lxxiii
orang  yang  statusnya  lebih  tinggi  dan  hubungan  akrab;  3  untuk  berbicara dengan orang yang statusnya lebih rendah; 4 untuk membicarakan orang atau
pihak III yang statusnya lebih tinggi. Menurut  Haryana  Harjawiyana  dan  Th.  Supriya  2001:46-47  basa  ngoko  alus
mempunyai beberapa ciri sebagai berikut. 1
Leksikon  ngoko  yang  dipakai  untuk  menghormati  orang  yang  diajak  berbicara itu  ada  leksikon  krama  inggilnya  diganti  leksikon  krama  inggil,  tetapi  apabila
tidak  ada  leksikon  krama  inggilnya  tetap  digunakan  leksikon  ngoko.    Misalnya: embah ngombe ‘nenek minum’
→ eyang ngunjuk; awakmu ‘badanmu’ → salira panjenengan;  bukumu  ‘bukumu’
→  buku  panjenengan;  potrete  bojone  ‘foto suamiistrinya’
→ potrete ingkang garwa. 2 Leksikon ngoko yang berhubungan dengan diri pribadi termasuk orang yang ada
kaitannya  dengan  diri  pribadi  meskipun  ada  leksikon  krama  inggilnya  tetap digunakan leksikon ngoko. Misalnya:
57   Aku arep wisuh. ‘Saya akan mencucu.’
57a Adalem arep wisuh. 58
Adhiku lagi turu. ‘Adik saya sedang tidur.’
58a Adhi adalem lagi turu. 3 Leksikon ngoko yang berhubungan dengan binatang dan tanaman meskipun ada
leksikon krama inggilnya tetap digunakan leksikon ngoko. Misalnya: 59    Perkututmu njaluk ngombe.
‘Perkututmu minta minum.’ 59a   Perkutut panjenengan njaluk ngombe.
60     Jam tangane bojomu mati.
lxxiv
‘Jam tangan suamiistrimu mati.’ 60a   Jam tangane ingkang garwa mati.
4  leksikon  krama  tidak  pernah  digunakan.  Yang  digunakan  leksikon  krama  inggil atau leksikon ngoko yang tidak ada leksikon krama inggilnya. Misalnya:
61   Pak Darja mangan gedhang. ‘Pak Darja makan pisang.
61a  Pak Darja dhahar gedang. 62
Kowe dak kon nulis layang. ‘Anda saya suruh menulis surat.’
62a  Panjenengan dak aturi nulis layang. 5  Prefiks di- tetap di-, kok- diganti krama inggil panjenengan, dak- tetap dak- atau
diganti adalem apabila dipakai untuk berbicara dengan orang yang sudah akrab.
Misalnya:  dideleng →  dipriksani  ‘dilihat’,  dicekel  →  diasta  ‘dipegang’,
kokwenehi →  panjenengan-paringi  ‘andakamu  beri’,  Pak  Abu,  dak-melu  ya?
‘Pak  Abu,  saya  ikut  ya?’
→  Pak  Abu  dak-ndherek  ya?  Embah,  dak-melu  apa
oleh? ‘Nenek, saya ikut apa boleh?’
→ Eyang, adalem ndherek apa kepareng?
6 Sufiks –e tetap –e, -mu diganti krama inggil panjenengan, -ku tetap –ku apabila
dipakai untuk berbicara dengan orang yang sudah akrab, status sama atau lebih rendah,  -ku  diganti  adalem  apabila  untuk  berbicara  dengan  orang  yang  sudah
akrab.  Misalnya:  suwenge →  sengkange  ‘subangnya’,  anakmu  →  putra
panjenenganingkang  putra  ‘anak  kamu’,  Adhimu  turu  ing  paturonku
→
Ingkang rayi sare wonten paturonku ‘Adikmu tidur di tempat tidurku’, Kowe wis weruh  anakku
→  Panjenengan  sampun  priksa  anak  adalem?  ‘Kamu  sudah
melihat anak saya.’ 7
Konfiks di-ake tetap di-ake, kok-ake, kok diganti krama inggil panjenengan,  dak- ne tetap dak-ne  untuk berbicara dengan orang yang sudah akrab, status sama
lxxv
atau  lebih  rendah,  dak-  diganti  adalem  dan  –ne  tetap  apabila  untuk  berbicara dengan orang yang sudah akrab tetapi statusnya lebih tinggi, dak-ane tetap dak-
ane  kalau  untuk  berbicara  dengan  orang  yang  sudah  akrab,  status  sama  atau lebih  rendah,  dak-  diganti  adalem,  sedangkan  –ane  tetap  apabila  untuk
berbicara  dengan  orang  yang  sudah  akrab  tetapi  statusnya  lebih  tinggi.
Misalnya:  dirungokake →  dimidhangetake,  kokgawakake  →  panjenengan-
ampilake,  Anakmu  dakturokne → Ingkang putra dak-sarekne ‘Anak kamu saya
tidurkan’, Embah dak-gawekne wedang kopi → Eyang adalem-gawekne unjukan
kopi ‘Nenek saya buatkan minuman kopi’, Paturonmu dak-turonane
→ Pasarean
panjenengan  dak-turonane  ‘Tempat  tidur  kamu  saya  tiduri’,  Embah  dak- payungane
→ Eyang adalem-songsongane ‘Nenek saya payungi.’
8. Basa Krama