xli
4 Jika dalam imbangan tidak terdapat kata krama dan krama inggil, jadi kata itu netral, nomina, verba, atau adjektiva yang berkaitan dengan kata atau klitik
kelompok 1, 2, atau 3 sama saja, yakni netral. Kata-kata lainnya menyesuaikan dengan kata atau klitik pengendalinya. Pada kalimat yang
pengendalinya kata atau klitik kelompok 1 semua katanya ngoko; pada kalimat yang pengendalinya kata atau klitik kelompok 2 semua katanya krama; pada
kalimat yang pengendalinya kata atau klitik kelompok 3 bergantung kepada afiks kata pengendali itu. Jika afiksnya ngoko, kata-kata lainnya juga ngoko, jika
afiksnya krama, kata-kata lainnya juga krama. Jika kata pengendalinya tanpa afiks, seperti halnya panjenengan, penentunya ialah keakraban antara pihak I dengan
pihak II. Kalau pihak I akrab dengan pihak II, kata-katanya, selain yang netral, ngoko; jika tidak akrab, krama. Misalnya:
24 Aku arep nyurung montor. Kr lugu
‘Saya akan mendorong mobil.’
25 Kula badhe nyurung montor. Panjenengan saget mbiyantu nyurung? Kr halus
‘Saya akan mendorong mobil. Saudara dapat membantu mendorong.’
3. Bahasa Jawa Krama Maryono Dwiraharjo, 2001
Buku ini merupakan hasil penelitian yang membahas bentuk dan fungsi tingkat tutur dalam bahasa Jawa krama masyarakat tutur Jawa di Kotamadya
Surakarta. Tujuan umum buku ini adalah mendeskripsikan tingkat tutur krama dalam masyarakat tutur Jawa. Selanjutnya tujuan khususnya adalah
xlii
memberikan pemerian mengenai bentuk tingkat tutur krama dalam bahasa Jawa dan fungsi tingkat tutur krama dalam masyarakat tutur Jawa.
Datanya berupa data lisan dan data tertulis. Data lisan berasal dari peristiwa tutur yang terjadi di dalam masyarakat berupa penggunaan tingkat tutur krama
dengan segala variasinya, sedangkan data tertulis berasal dari sumber tertulis yang berupa wacana dalam bahasa Jawa dalam bentuk tingkat tutur.
Adapun hasil pembahasan dalam buku ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Bentuk krama pada dasarnya ditandai dengan penanda lingual yang meliputi
penanda morfologis dan penanda leksikal. Penggunaan bentuk krama tuturan ditentukan oleh faktor penentu nonlingual yang berupa konteks sosial.
Secara kebahasaan bentuk krama dapat dijumpai dalam empat tataran kebahasaan, yaitu 1 tataran morfologi, 2 tataran leksikon, 3 tataran
kalimat, dan 4 tataran wacana. Tataran morfologi dan tataran leksikon dapat dipandang sebagai dasar pembentukan tataran sintaksis, sedangkan tataran
sintaksis sebagai dasar pembentukan tataran wacana. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa tataran morfologi dan tataran leksikon dapat dipandang
sebagai dasar penanda bentuk krama secara lingual. Secara morfologis penanda bentuk krama dalam bahasa Jawa terlihat adanya
pembentukan kata dengan penambahan afiks. Di dalam bahasa Jawa dikenal adanya afiks ngoko dan afiks krama. Kedua jenis afiks itu menandai perbedaan
jenis kata bentukan yang dihasilkan. Afiks ngoko menghasilkan kata bentukan ngoko, sedangkan afiks krama menghasilkan kata bentukan krama. Selain afiks
ngoko dan afiks krama, di dalam bahasa Jawa juga dikenal adanya istilah kata ngoko tembung ngoko dan kata krama tembung krama. Dengan adanya
xliii
istilah kata krama tersebut merupakan bukti bahwa bentuk krama dapat ditandai secara leksikal.
Penentuan bentuk krama secara nonlingual ialah merupakan faktor penentu di luar kebahasaan. Tuturan dalam bentuk krama dilatarbelakangi adanya konteks
sosial dalam masyarakat tutur Jawa. Konteks sosial yang menentukan digunakannya bentuk krama setidak-tidaknya ada 5 hal, yaitu 1 penutur, 2
mitra tutur, 3 situasi tutur, 4 tujuan tutur, dan 5 hal yang dituturkan. Secara lingual, secara bebas konteks orang dapat mengubah kalimat ngoko
menjadi kalimat krama atau wacana krama. Dalam penggunaan di lingkungan masyarakat tutur Jawa perubahan bentuk ngoko menjadi bentuk krama atau
sebaliknya harus mengingat konteks sosial tersebut. Bentuk krama sebagai alat komunikasi dalam masyarakat tutur Jawa, khusus
di Kotamadya Surakarta masih digunakan sebagi alat komunikasi baik secara lisan maupun secara tertulis. Berdasarkan lingkungan sosialnya fungsi bentuk krama
masih digunakan di dalam lingkungan 1 keluarga, 2 pendidikan, 3 kebudayaan, 4 keagamaan, 5 jaringan kerja, dan 6 yang lain dalam
masyarakat. Penggunaan bentuk krama secara lisan cenderung kepada pemakaian bentuk
krama yang nonbaku yang dapat dijumpai adanya pemendekan, campur kode, dan interferensi. Selanjutnya penggunaan bentuk krama secara tertulis pada
umumnya cenderung kepada pemakaian bentuk krama yang baku, di dalamnya kemungkinan adanya pemendekan, campur kode, dan interferensi sedikit
sekali. Sebagai perwujudan fungsi komunikatifnya, penggunaan bentuk krama secara lisan dan secara tertulis menunjukkan bahwa masyarakat tutur Jawa di
xliv
Kotamadya Surakarta masih memperhatikan adanya fungsi bentuk krama. Adanya usaha perorangan dan paguyuban yang selalu menggunakan bentuk
krama merupakan bukti fungsi bentuk krama dalam masyarakat jawa.
4. Kemampuan Berbahasa Jawa Krama Murid TK, SD, dan SMP di Kota Madia Surakarta Sumarlam, Sisyono Eko Widodo, Sutadi Wiryaatmaja, dkk. 1993
Penelitian Sumarlam, Sisyono Eko Widodo, Sutadi Wiryatmaja mengenai masalah kemampuan berbahasa Jawa krama murid TK, SD, dan SMP di kota
Madia Surakarta. Tujuan penelitiannya adalah 1 mendeskripsikan kosa kata bahasa Jawa krama yang sering digunakan secara kurang tepat oleh siswa TK,
SD, dan SMP di Kodia Surakarta, 2 mengetahui faktor-faktor penyebab kesalahan berbahasa Jawa krama penyebab kemampuan berbahasa Jawa
kurangrendah siswa TK, SD, dan SMP di Kodia Surakarta, dan 3 memberikan saran-saran yang berkaitan dengan cara mengatasi kesalahan-kesalahan
pemakaian kosa kata bahasa Jawa krama sehubungan dengan faktor-faktor penyebab terjadinya kesalahan berbahasa tersebut.
Data dalam penelitian ini adalah data yang terdiri atas identitas informan, data eksternal, dan data internal: data yang berkaitan langsung dengan
kemampuan berbahasa Jawa krama. Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik pengisisan angket kuesioner, teknik observasi pengamatan, dan
teknik wawancara. Data yang telah terkumpul diklasifikasikan dan dianalisis dengan menggunakana pendekatan deskriptif kualitatif.
Adapun hasil penelitiannya dapat disimpulkan sebagai berikut.
xlv
1 Kemampuan berbahasa Jawa krama murid-murid TK di Kodia Surakarta belum
memadai. Hal ini tercermin dalam penguasaan kosa kata. Kosa kata yang hadir cukup frekuen dalam kehidupan kanak-kanak misalnya bahasa Jawa kramanya
mripat, kuping, nulis, dan beberapa kosa kata warna dasar belum dikuasai oleh anak secara baik, kecuali kosa kata bilangan dasar, seperti siji, loro, telu, dan
sebagainya. 2
Salah satu faktor penyebab kesalahan pemakaian kosa kata anak TK adalah hadirnya situasi dwibahasa digunakannya dua bahasa Jawa – Indonesia pada
kehidupan kanak-kanak. 3
Saran yang diberikan oleh peneliti adalah situasi dwibahasa itu ditunda kehadirannya dalam kehidupan kanak-kanak, sehingga mereka memperoleh
fondasi yang kokoh dalam penguasaan bahasa ibu bahasa Jawa. 4
Kemampuan berbahasa Jawa krama murid-murid SD di Kodia Surakarta rata- rata cukup, sedangkan kemampuan berbahasa Jawa krama murid-murid SMP di
Kodia Surakarta rata-rata baik. Hal ini tercermin di dalam penguasaan kosa kata, seperti 1 kosa kata bahasa Jawa krama yang sering digunakan secara kurang
tepat berdasarkan unggah-ungguhing basa Jawa baik oleh murid-murid SD maupun SMP di Kodia surakarta adalah kosa kata yang bervariasi tingkat
tuturnya lebih dari dua, yaitu ngoko, krama, dan krama inggil, 2 pada umumnya murid-murid SD dan SMP di Kodia Surakarta sudah mengerti bentuk krama dari
setiap kata, tetapi mereka masih mengalami kesulitan di dalam menerapkan kata-kata tersebut secara tepat sesuai dengan unggah-ungguh, yaitu dalam
hubungannya dengan siapa yang berbicara O1, siapa yang diajak berbicara O2, dan siapa atau apa yang dibicarakan.
xlvi
5 Faktor-faktor penyebab yang kurang mendukung peningkatan kemampuan
berbahasa Jawa krama murid-murid SD dan SMP di Kodia Surakarta adalah sebagai berikut: 1 buku-buku bacaan dan majalah berbahasa Jawa, baik di
sekolah maupun di rumah kurang tersedia, 2 keteladanan dalam hal pemakaian bahasa Jawa krama yang baik dan benar dari para orang tua dan guru kurang, 3
kurang adanya motivasi yang kuat dalam diri para murid untuk mempelajari bahasa Jawa secara intensif.
B. Kajian Teori Kajian teori yang digunakan dalam penelitian ini pada dasarnya adalah teori
sosiolinguistik dan teori tingkat tutur. Pembahasan kajian teori selanjutnya akan berkaitan dengan hal-hal yang terdapat dalam rumusan masalah.
1. Sosiolinguistik Manusia adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang hidup berkelompok