54
3. Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan
kepada pengadilan agama dalam wilayah berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut di atas.
4. Pengadilan agama akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan
memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan supaya perkawinan dilangsungkan.
5. Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang
mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan pada pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka.
68
E. Analisis Perbandingan antara Fiqh Munakahat, Kompilasi Hukum Islam
dan UU Perkawinan
Dalam sub bab ini akan dicoba memperbandingkan fiqh munakahat, hukum perundang-undangan tentang perkawinan, dan KHI Buku I tentang
Perkawinan. Dari hasil perbandingan tersebut akan terlihat bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tentang perkawinan secara prinsip
tidak menyalahi ketentuan agama yang bernama fiqh munakahat, sehingga pada akhirnya umat Islam dapat mengakuinya sebagai fiqh muamalat yang berlaku
khusus untuk Indonesia.
1. Fiqh Munakahat dan UU Perkawinan
Fiqh munakahat sebagai Hukum Agama mendapat pengakuan resmi dari UU Perkawinan dalam mengatur hal-hal yang berkenaan dengan perkawinan bagi
68
Amir Syarifuddin, Op.cit, hal 83-85
Universitas Sumatera Utara
55
umat beragama Islam. Landasan hukum ini terdapat dalam Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan yang rumusannya:
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Dengan melihat kepada lahiriah pasal tersebut di atas akan berarti bahwa apa yang dinyatakan sah dalam fiqh munakahat adalah juga sah menurut UU
Perkawinan. Dengan demikian, pada dasarnya tidak ada perbedaan antara fiqh munakahat dengan UU Perkawinan. Namun dengan melihat kepada materi UU
Perkawinan dan dibandingkan dengan materi fiqh munakahat masih terlihat adanya perbedaan itu. Kalau perbandingan itu dilakukan dengan mazhab fiqh
tertentu, umpamanya dengan fiqh munakahat yang berlaku menurut mazhab Syafi’i, terlihat ada perbedaan. Namun bila dibandingkan dengan fiqh munakahat
salah satu mazhab mana pun secara terbuka mungkin adanya perbedaan itu semakin tidak nyata. Oleh karena itu, dalam membuat perbandingan tidak hanya
melihat kepada mazhab tertentu saja, tetapi juga kepada keseluruhan mazhab yang nyata-nyata keseluruhannya adalah mazhab Islami. Umpamanya, UU Perkawinan
yang tidak mencantumkan wali sebagai syarat perkawinan adalah salah bila dibandingkan dengan mazhab Syafi’i tetapi tidak salah bila dibandingkan dengan
mazhab Hanafi.
69
69
Ibid, hal. 28-29.
Universitas Sumatera Utara
56
Bila dihubungkan UU Perkawinan kepada fiqh munakahat yang selama ini berlaku di Indonesia, yaitu menurut mazhab Syafi’i, terdapat empat bentuk
hubungan:
70
Keempat: Ketentuan UU tidak terdapat fiqh munakahat dalam mazhab manapun, namun dengan menggunakan reinterpretasi dan pertimbangan maslahat
tidak ada salahnya untuk diterima dalam fiqh. Umpamanya, keharusan perceraian di pengadilan dan keharusan izin poligami oleh pengadilan serta perceraian harus
didasarkan kepada alasan-alasan yang sudah ditentukan. Fiqh munakahat manapun membolehkan perceraian di luar pengadilan; perceraian boleh saja
Pertama: UU sudah sepenuhnya mengikuti fiqh munakahat bahkan sepertinya UU mengutip langsung dari Al-Qur’an. Contoh dalam hal ini
umpamanya ketentuan tentang larangan perkawinan dan ketentuan tentang masa tunggu bagi istri yang bercerai dari suaminya yang dijabarkan dalam PP No.9
Tahun 1975. Kedua: Ketentuan yang terdapat dalam UU sama sekali tidak terdapat
dalam fiqh munakahat mazhab manapun, namun kerena bersifat administratif dan bukan substansial dapat ditambahkan ke dalam fiqh. Contohnya dalam hal ini,
umpamanya pencatatan perkawinan dan pencegahan perkawinan. Ketiga: Ketentuan dalam UU tidak terdapat fiqh munakahat dalam mazhab
manapun, namun dengan pertimbangan kemaslahatan dapat diterima. Contoh dalam hal ini adalah batas minimal umur pasangan yang akan kawin dan harta
bersama dalam perkawinan.
70
Ibid, hal. 30.
Universitas Sumatera Utara
57
dilakukan tanpa alasan apa pun dan tidak mensyaratkan izin pengadilan untuk lakukan poligami. Mungkin ketentuan UU menurut lahirnya tidak sejalan dengan
fiqh munakahat yang berlaku dalam mazhab tertentu namun tidak menyalahi fiqh munakahat mazhab lainnya. Contoh dalam hal ini, umpamanya UU tidak
mensyaratkan adanya wali dalam perkawinan pasangan yang telah dewasa. Menurut fiqh munakahat mazhab Syafi’i yang berlaku di Indonesia perkawinan
yang demikian tidaklah sah, karena wali merupakan salah satu rukun dalam perkawinan. Meskipun demikian, ketentuan UU tersebut sudah sejalan dengan
mazhab Hanafi. Dalam membicarakan sumber fiqh munakahat dan banyaknya versi kitab
fiqh munakahat sebagai reasilasi dari pendapat yang beragam dalam memahami sumber fiqh tersebut yang belum menjalankan bagian-bagaian dari UU
Perkawinan itu dapat diyakinkan bahwa sumber fiqh layak untuk direformulasi sehingga UU Perkawinan yang ada itu dapat diterima sebagai formulasi baru dari
fiqh munakahat. Dengan demikian, UU Perkawinan secara prinsip dapat diterima karena tidak menyalahi ketentuan fiqh tertentu. Hal ini terjadi mungkin karena
pembuat UU Perkawinan tersebut, yaitu DPR lebih memperhatikan kesadaran hukum mayarakat yang mayoritas adalah beragama Islam.
71
2. KHI dan UU Perkawinan