Pengertian Perkawinan Pengertian Perkawinan dan hukumnya perkawinan

19

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP HUKUM PERKAWINAN

DI INDONESIA

A. Pengertian dan Asas Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan dan hukumnya perkawinan

a. Pengertian Perkawinan

Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi. 9 Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti kawin, seperti dalam Q.S an-Nisa’ ayat 3, yang artinya berbunyi : 10 Demikian pula banyak terdapat kata za-wa-ja dalam Al-Qur’an dalam arti kawin, seperti pada Q.S al-Ahzab ayat 37, yang artinya berbunyi : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yang yatim bilamana kamu mengawininya maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. 11 “Dan ingatlah, ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah limpahkan ni’mat kepadanya dan kamu juga telah memberi ni’mat kepadanya: “Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu 9 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Perdana Media, Jakarta,Cetakan ke-2,2007, hal. 35 10 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya Transliterasi Arab-Latin Model Kanan Kiri, Cv Asy-Syifa’, Semarang, 2001, hal. 165 11 Ibid, hal 934-935. Universitas Sumatera Utara 20 takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya menceraikannya, Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu’min untuk mengawini istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya terhadap istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi”. Pengertian perkawinan menurut UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 yang berlaku di Indonesia terdapat pada Pasal 11 yakni: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia, kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ada beberapa hal dari rumusan tersebut di atas yang perlu diperhatikan : 12 Ketiga: dalam defenisi tersebut disebutkan pula tujuan perkawinan, yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia, dan kekal yang menafikan sekaligus perkawinan temporar sebagaimana yang berlaku dalam perkawinan mut’ah dan perkawinan tahlil. Pertama: digunakan kata “seorang pria dengan seorang wanita” mengandung arti bahwa perkawinan itu hanyalah antar jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolak perkawinan sesama jenis yang waktu ini telah dilegalkan oleh beberapa negara Barat. Kedua: digunakan ungkapan “sebagai suami istri” mengandung arti bahwa perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama”. 12 Amir Syarifudin, Op.cit, hal. 40 Universitas Sumatera Utara 21 Keempat: disebutkan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan bahwa perkawinan itu adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk memenuhi perintah agama. Di samping defenisi yang diberikan oleh UU No.1 Tahun 1974 tersebut di atas, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia memberikan defenisi lain yang tidak mengurangi arti-arti defenisi UU tersebut, namun bersifat menambah penjelasan, dengan rumusan tersebut sebagai berikut : “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.Pasal 2. Ungkapan akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalizhan merupakan penjelasan ungkapan “ikatan lahir batin” yang terdapat dalam rumusan UU Perkawinan yang mengandung arti bahwa akad perkawinan itu bukanlah semata perjanjian yang bersifat keperdataan. 13 Ungkapan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, merupakan penjelasan dari ungkapan “berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam UU Perkawinan. Hal ini lebih menjelaskan bahwa perkawinan merupakan peristiwa agama dan oleh karena itu orang yang melaksanakannya telah melakukan perbuatan ibadah. 14 Defenisi-defenisi yang diberikan oleh ulama-ulama terdahulu sebagaimana terlihat dalam kitab-kitab klasik begitu pendek dan sederhana hanya mengemukakan hubungan kelamin setelah berlangsungnya perkawinan itu. Ulama 13 Ibid, hal. 40 14 Ibid, hal. 41 Universitas Sumatera Utara 22 kontemporer memperluas jangkauan defenisi yang disebutkan ulama terdahulu. Di antaranya sebagaimna yang disebutkan Ahmad Ghandur dalam bukunya al-Ahwal al-Syakhsiyah fi al-Tasyri’ al-Islamiy : 15 perkawinan adalah :suatu perjanjian yang suci, kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun- menyantuni, kasih-mengasihi, tenteram dan bahagia. “Akad yang menimbulkan kebolehan bergaul antar laki-laki dan perempuan dalam tuntutan naluri kemanusiaan dan kehidupan, dan menjadikan untuk kedua pihak secara timbal balik hak-hak dan kewajiban-kewajiban”. Menurut Sajuti Thalib, sebagimana yang dikutip oleh Mohamad Idris Ramulyo : 16 Dalam pandangan Islam di samping perkawinan itu sebagai perbuatan ibadah, ia juga merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul. Sunnah Allah, berarti: menurut qudrat dan iradat Allah dalam penciptaannya, sedangkan sunnah Rasul berarti suatu tradisi yang telah ditetapkan oleh Rasul untuk dirinya sendiri dan untuk umatnya. 17 Menurut Sayyid Sabiq, perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada semua makhluk Tuhan baik manusia, hewan maupun b . Hukumnya perkawinan 15 Ibid, hal. 39 16 Mohamad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam : Suatu Analisis UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum islam, 1991, Jakarta, Bumi Aksara, hal. 1-2 17 Amir Syarifuddin, Op.cit, hal. 41 Universitas Sumatera Utara 23 tumbuh-tumbuhan. 18 Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam QS.Adz- Dzariat ayat 49, yang artinya berbunyi: 19 Allah juga berfirman dalam QS .Yasiin ayat 36, yang artinya berbunyi : “Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran-Nya”. 20 Perkawinan merupakan suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak, berkembang biak, dan menjaga kelestarian hidupnya, setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Tuhan tidak mau menjadikan manusia seperti makhuk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betinanya secara anarki tanpa suatu aturan. Akan tetapi demi menjaga kehormatan dan martabat, Allah membuat hukum sesuai dengan martabatnya. “Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun apa yang tidak mereka ketahui”. 21 Dengan demikian, hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan saling meridhai dengan upacara ijab qabul dan dihadiri saksi-saksi sebagai lambang dari adanya kesepakatan dari kedua mempelai. Para ulama telah sepakat bahwa menikah itu diperintahkan. Namun, mereka berbeda 18 Sebagaimana yang dikutip Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam: Perspektif Fikih dan Hukum Positif, UII Press, Jogyakarta, 2011, hal. 20 19 Departemen, Agama RI. Op.cit. hal. 1174 20 Ibid, hal. 978 21 Abdul Ghofur Anshori, Loc.cit. Universitas Sumatera Utara 24 pendapat mengenai hukumnya. Dalam hal ini pendapat para ulama terbagi kepada beberapa kelompok yakni : 22 Tapi kebanyakan mazhab mengatakan bahwa hukum menikah berbeda- beda tergantung kondisi seseorang, khususnya mempelai laki-laki sebagai pihak yang mendapat amanah dari Allah SWT berupa peran sebagai kepala keluarga. Pertama, nikah wajib bagi setiap orang yang sudah mampu untuk melakukannya sekali seumur hidup. Pendapat ini adalah pendapatnya Dawud ad- Dahiry, Ibn Hazm dan lainnya. Dalil yang menjadi dasar pendapat ini adalah d dhahir nash-nash, baik berupa al-Quran, maupun hadis nabi yang memerintahkan pernikahan. Kedua, nikah hukumnya bisa sunnah, bagi mereka yang syahwatnya sudah mengebu akan tetapi masih besar kemungkinan seandainya belum menikah pun, ia masih dapat menjaga diri dari perbuatan zina. Ketiga, nikah juga bisa haram, bagi orang yang belum siap menikah, baik secara lahir menafkahi maupaun secara bathin berhubungan badan sehingga kalau dipaksakan menikah, si wanita akan menderita baik lahir maupaun bathin. Atau, nikah juga bisa haram, bagi orang yang bermaksud jahat dengan nikahnya itu, misalnya ingin menyakiti istri dan keluarganya karena balas dendam. Keempat, nikah juga bisa makruh, bagi orang yang kondisinya seperti disebutkan di atas, akan tetapi tidak menimbulkan madharat bagi istri. Jadi, apabila menikah, si istri tidak merasakan dampak negatif yang besar. 22 Ibid, hal 22 Universitas Sumatera Utara 25 Dengan kata lain bahwa hukum nikah dapat berbeda bagi subjek hukum mukalaf satu dengan subjek hukum yang lain.

2. Asas Perkawinan