90
6. Hamil di luar nikah
Hamil di luar nikah atau “marriage by accident” merupakan faktor yang sangat dominan untuk terjadinya perkawinan di bawah umur, baik di perkotaan
maupun di pedesaan. Hamil di luar nikah ini diawali karena pergaulan bebas di antara kalangan remaja. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada poin sebelumnya
bahwa hal ini disebabkan karena kurangnya perhatian dan kasih sayang dari orang tua ditambah masa-masa remaja merupakan masa-masa pubertas yang rentan bagi
terjadinya kehamilan di luar nikah. Dari hasil wawancara bahwa di antara narasumber ada yang menikah
muda karena hamil di luar nikah, sehingga untuk menutupi aib keluarga dan untuk memperjelas status anak para pelaku memutuskan untuk menikah muda. Hal ini
memang lebih baik bagi mereka dan masa depan anak yang akan lahir tersebut meskipun secara materil dan batin pasangan tersebut belum siap untuk berumah
tangga. Tapi apa boleh dikata, nasi sudah menjadi bubur mau tidak mau harus menikah di usia yang masih sangat muda dengan beban dan tanggung jawab
layaknya orang dewasa.
B. Dampak dari Suatu Perkawinan yang Salah Satu danatau Kedua
Pasangan Suami Istri Masih Dikategorikan Sebagai Anak di Bawah Umur
UU Perkawinan dan KHI telah menetapkan batas usia untuk melangsungkan perkawinan, tapi kenyataan di lapangan banyak terjadi peristiwa
pernikahan di bawah umur ini. Seperti yang banyak terjadi di Desa Gamber
Universitas Sumatera Utara
91
Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo. Namun segala sesuatu yang tidak berjalan secara normal pasti menimbulkan dampak, baik yang bersifat positif
maupun negatif. Begitu juga dengan fenomena perkawinan di bawah umur ini, yang ternyata selain menimbulkan dampak negatif juga ada juga sisi positifnya.
Berikut akan diuraikan beberapa dampak, baik dampak negatif maupun dampak positif dari perkawinan di bawah umur berdasarkan penelitian yang
dilakukan di Desa Gamber Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo. 1.
Dampak negatif a.
Kesulitan ekonomi Para narasumber mengaku salah satu dampak yang paling dirasakan akibat
perkawinan di bawah umur tersebut bagi mereka adalah kesulitan mereka dalam menata ekonomi dan keuangan keluarga mereka. Mengingat usia mereka yang
masih dikategorikan sebagai anak-anak rasanya cukup wajar mereka kesulitan dalam menata ekonomi dan keuangan mereka karena mereka memang belum
seharusnya untuk menanggung beban ekonomi layaknya orang dewasa. Seperti yang dikatakan salah seorang narasumber bahwa mereka masih terbawa sifat-sifat
remaja yakni suka membelanjakan uang tanpa berpikir apakah barang yang dibeli tersebut lebih prioritas dari pada kebutuhan lainnya.
Selain itu juga kesulitan dalam menabung dan menghemat uang untuk masa depan. Kebanyakan dari mereka sulit untuk menabung, terkadang bukan
karena tidak cukupnya penghasilan, tapi karena belum berpengalaman dalam menata keuangan karena sebelum menikah masih diatur orang tua dengan
memberi uang jajan secukupnya tapi setelah menikah uang penghasilan serasa
Universitas Sumatera Utara
92
punya sendiri tanpa diawasi lagi oleh orang tua membuatnya boros dalam membelanjakan uang sehingga sering kali hal tersebut menjadi pemicu
percekcokan dengan pasangannya. b.
Sering terjadi perselisihan dalam rumah tangga Perselisihan tersebut menurut narasumber banyak faktor penyebabnya,
salah satunya faktor ekonomi seperti yang telah diuraikan dalam poin sebelumnya. Selain itu perselisihan dalam rumah tangga juga disebabkan karena kurangnya
saling memahami antara pasangan. Walaupun sebelum menikah sempat pacaran, tapi narasumber mengakui baru setelah menikah tahu sifat asli masing-masing.
Maka dalam proses menyesuaikan diri dengan keadaan tersebut sering terjadi perselisihan di antara pasangan. Seperti yang dialami oleh salah seorang
narasumber yang mengatakan bahwa ia telah menyesal menikah dengan pasangannya apalagi di usianya yang masih muda. Sebelum menikah yakni pada
waktu pengenalan pasangannya tersebut sangat baik dan lembut padanya maka ketika diajak untuk menikah ia mengikut saja tanpa mengindahkan nasehat dan
larangan dari orang tua apalagi ia masih duduk di bangku SMP. Baru setelah menikah sifat asli dari suaminya dirasakannya yakni tempramen dan suka
memukul. Oleh karena itu, ia sangat menganjurkan kepada muda mudi agar mengenali dulu calon pasangan dengan sebaik-baiknya dan jangan tergesa-gesa
mengambil keputusan untuk menikah muda karena penyesalan di kemudian hari tidak ada gunanya, toh anak juga sudah ada, sehingga untuk bercerai harus
berpikir-pikir ulang mengingat masa depan anak dan nama baik keluarga.
Universitas Sumatera Utara
93
c. Rendahnya pendidikan
Rata-rata narasumber yang diwawancarai masih duduk di bangku SMP dan SMA pada waktu mereka melangsungkan perkawinan. Hal ini menyebabkan
pendidikan mereka menjadi terbengkalai. Hal ini sangat disayangkan mengingat pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan dan masa depan
seseorang. Bagaimana seseorang dapat menata rumah tangganya dengan baik jika tidak dibekali dengan pendidikan yang cukup ditambah usia mereka yang
memang masih belum dewasa. Sementara membangun dan menata sebuah rumah tangga harus dibekali dengan kematangan dalam berpikir dan bertindak.
Bagaimana menata keuangan, mendidik dan mengurus anak-anak, bersosialisasi dengan lingkungan masyarakat dan sebagainya.
Ketika ditanya apakah mereka menyesal telah menikah pada usia dini, 80 5 dari 7 orang narasumber menyatakan menyesal telah menikah pada usia
dini mengingat teman-teman sebaya mereka masih bisa menikmati masa mudanya dan dapat terus sekolah setinggi-tingginya dan mengembangkan diri sedangkan
mereka sudah harus mengurus rumah tangga dan anak-anak mereka layaknya orang dewasa.
d. Kesulitan dalam mengurus anak
Pada umumnya narasumber mengaku kesulitan dalam mengurus anak- anaknya. Apalagi sewaktu mengurus bayi yang sebenarnya belum menjadi
tanggung jawab mereka, mau tidak mau harus mengurus bayi tersebut layaknya seperti seorang ibu pada umumnya. Akan tetapi jangankan mengurus bayi yang
harus ekstra hati-hati dalam merawatnya, diri sendiri saja belum bisa mereka urus
Universitas Sumatera Utara
94
dengan baik karena memang masih anak-anak. Sehingga orang tua jugalah yang repot untuk mengurus bayi tersebut sampai dapat diurus oleh ibunya sendiri
dengan aman. Namum tidak hanya berhenti di situ saja, setelah anak-anak tersebut
sekolah juga masih menemui kesulitan, baik dalam bidang materi maupun dalam mendidik anak dengan baik. Ketika seorang anak bertanya kepada ibu atau
ayahnya mengenai pelajaran di sekolah, maka para orang tua tersebut tidak bisa membantu anaknya karena memang orang tua sendiri tidak paham karena
pendidikannya yang rendah. Selain itu pola pikir orang tua juga turut pempengaruhi pola pikir anak, apabila pola pikir orang tuanya yang masih rendah
dan masih primitif maka anak juga cenderung memiliki pola pikir seperti itu. Seperti yang kita tahu bahwa anak adalah generasi penerus bangsa, dapat
dibayangkan apa jadinya bangsa ini jika genersi penerus bangsa masih berpola pikir rendah dan primitif sementara di era globalisasi ini dituntut untuk berpikiran
maju maka kita akan selamanya menjadi bangsa yang terbelakang dan menjadi sasaran penindasan dari bangsa lain.
Dari sudut pandang kedokteran, perkawinan di bawah umur mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan, di antaranya
sebagaimana yang disampaikan oleh Yusuf Hanafi sebagai berikut :
124
a. Kehamilan prematur premature pregnancy
Kehamilan pada usia muda dapat membawa akibat yang berbahaya, baik bagi ibu muda maupun bayinya. Menurut UNICEF, tidak seorang gadis pun
124
Yusuf Hanafi, Op.cit. hal. 80-87
Universitas Sumatera Utara
95
boleh hamil sebelum usia 18 tahun, karena secara fisik dan mental ia belum siap untuk melahirkan anak. Ibu muda itu berrisiko melahirkan bayi prematur dengan
berat di bawah rata-rata. Hal ini sangat berbahaya bagi bayi tersebut, karena meningkatkan resiko kerusakan otak dan organ-organ tubuh lainnya. Bayi yang
lahir dengan berat kurang dari normal punya resiko kematian 20 kali lebih besar pada tahun pertama dibanding bayi normal.
b. Kematian ibu maternal mortality
Resiko kesehatan pada ibu yang muda usia juga tidak kalah besarnya di banding bayi yang dikandungnya. Ibu muda yang berusia antara 10-14 tahun
beresiko meninggal dalam proses persalinan 5 kali lebih besar dari wanita dewasa. Persalinan yang berujung kematian merupakan faktor yang paling dominan dalam
kematian gadis antara usia 15-19 tahun seantero dunia. c.
Problem kesehatan health problem 1
Kerusakan tulang panggul cepalopelvic Pertumbuhan tulang ibu muda yang belum lengkap, meyebabkan
kerusakan tulang panggul celapalovic-nya sangat tinggi, karena bayi dilahirkan jauh lebih besar dari kemampuan tulang punggulnya. Ini berakibat pada sulit dan
lamanya proses persalinan dan mengancam rusaknya organ bayi jika dipaksakan. Juga karena nutrisi yang kurang, ibu-ibu muda sering keguguran dan dapat
terkena preeclampsia
125
125
Preeclampsia dan bentuk akhirnya eclampsia, adalah sebuah penyakit yang khusus bagi kehamilan. Preeclampsia dicirikan dengan bertambahnya tekanan darah dan hilangnya
protein dan urine proteinuria. Preeclampsia yang memburuk berkembang menjadi eclampsia, yang menambah serangan-serangan penyakit lain dengan sympton yang lebih kompleks.
dan penyakit-penyakit lainnya.
Universitas Sumatera Utara
96
2 Vesicovaginal fistulas
Resiko tambahan terhadap kesehatan ibu muda adalah gangguan pada saat melahirkan, yang terjadi bila kepala bayi terlalu besar bagi ibu. Hal ini
mengakibatkan vesicovaginal fistulas, terutama saat bidan tradisional yang tidak terlatih mengeluarkan kepala bayi dengan paksa. Vesicovaginal fistulas adalah
suatu keadaan yang mengakibatkan trauma kejiwaan dan juga trauma sosial. Akibat tekanan yang berkepanjangan pada kandung kemih ketika terjadi kelahiran
yang bermasalah, bagian bawah kemaluan menjadi rusak, dan mengakibatkan saluran yang salah antara kandung kemih dengan vagina. Perempuan yang
bersangkutan akan menderita kesulitan pada saat buang air kecil dan kadang kala saat buang air besar.
3 Kekurangan nutrisi malnoutrished
Di negara-negara berkembang, pada umumnya tingkat rata-rata konsumsi makanan pada ibu hamil dan menyusui berada jauh di bawah rata-rata kaum laki-
laki. Praktek-praktek tradisi termasuk tabu berkenaan dengan gizi mengakibatkan perempuan hamil tidak mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan sehingga menderita
kekurangan zat besi dan protein. 4
Hubungan seksual yang tidak aman Mayoritas pengantin anak-anak harus berhenti sekolah lebih awal.
Karenanya mereka tidak familiar dengan isu-isu dan layanan-layanan kesehatan reproduksi yang bersifat dasar basic reproductive helath issues and services,
termasuk resiko tertular HIV. Isolasi dan ketidakberdayaan juga turut menambah resiko kesehatan reproduksi mereka di mana ibu muda hanya memiliki otonomi
Universitas Sumatera Utara
97
diri dan kebebasan bergerak yang sangat terbatas. Tidak jarang, masalahnya adalah ketiadaan izin dari pasangan yang berpikiran sangat tradisional dan
konservatif. d.
Tidak berpendidikan no education Hampir bisa dipastikan, pengantin kanak-kanak adalah generasi putus
sekolah. Kesempatan mereka untuk mengenyam level pendidikan yang lebih tinggi menjadi terkebiri bahkan tidak sedikit pula tidak menyelesaikan bangku
pendidikan dasar primary education. Akibatnya, banyak di antara mereka yang buta aksara illiterate.
Sejumlah riset menyimpulkan, ada korelasi erat antara level pendidikan anak gadis dengan usianya saat pertama kali menikah. Semakin tinggi tingkat
pendidikan yang ditempuhnya, semakin lambat pula menapaki jenjang perkawinan. Sehingga dapat dikatakan bahwa memasukkan dan menahan anak
gadis di bangku sekolah merupakan cara terbaik untuk mencegahnya menikah di bawah umur.
e. Kekerasan dalam rumah tangga abuse and violence
Gadis-gadis muda yang dikawinkan di usia dini lazimnya bersuamikan pria yang berusia jauh lebih tua darinya. Akibat margin usia yang sangat lebar
inilah hampir selalu muncul masalah komunikasi keluarga maupun seksual di antara keduanya. Riset di 16 negara sub Sahara Afrika memperoleh data bahwa
selisih usia pengantin perempuan yang masih kanak-kanak dengan pasangannya itu rata-tara terpaut minimal 10 tahun lebih tua.
Universitas Sumatera Utara
98
Model perkawinan dengan selisih usia terpaut jauh itu pada gilirannya sering menghadirkan “mimpi buruk” bagi pengantin perempuan, di mana mereka
mengalami kekerasan abuse and violence dalam kehidupan rumah tangganya. Ironisnya, tindak kekerasan suami itu sering kali dijustifikasi secara normatif oleh
tradisi. India merupakan negara dengan kekerasan KDRT tertinggi terhadap perempuan yang menikah di usia kisaran 18 tahun.
Dampak terburuk yang penting dicermati bagi pernikahan bawah umur, adalah terganggunya aspek psikologis pelaku. Masalah psikologis berupa
kesehatan mental pelaku yang sekaligus cenderung sebagai korban berpengaruh besar bagi kelangsungan rumah tangga mereka, yang diamanatkan UU
Perkawinan. Yaitu menciptakan sebuah keluarga bahagia dan kekal disertai kewajiban dan tanggung jawab yang besar pula.
126
Tidak hanya berhenti di situ, gangguan kesehatan mental selanjutnya berpengaruh juga pada masalah psikologi sosial pelakukorban pernikahan di
bawah umur. Interaksi, komunikasi, sosialisasi, juga adaptasi di lingkungan masyarakat menjadi terkendala. Secara ekstrem masalah keterasingan di kalangan
pasangan nikah di bawah umur lebih menguasai mereka pada saat berinteraksi dengan masyarakatnya yang lebih kompleks.
127
Keterasingan akibat masalah psikologi sosial pasangan nikah di bawah umur ini berdampak pada kemampuan adaptasinya, kedewasaannya, cara
pandangnya, gaya komunikasinya, dan tentu saja kualitas daya intelektualnya. Yang disebut terakhir ini, memperlihatkan terpotongnya aspek perkembangan
126
Women and Youth Depelovment Institute Indonesia, Loc.cit.
127
Ibid,
Universitas Sumatera Utara
99
budaya pasangan menikah di bawah umur, selain disebabkan oleh jenjang kesempatan pendidikan yang terenggut. Sampai pada aspek ini, pasangan nikah di
bawah umur bisa dikatakan tidak berkualitas secara budaya. 2.
Dampak positif Ternyata, selain dampak negatif dari perkawinan di bawah umur juga
terdapat dampak positifnya sebagai berikut : a.
Masa depan anak lebih terjamin Pada umunya narasumber mengatakan bahwa perkawinan dini ini juga ada
untungnya yaitu bahwa di usia mereka yang masih muda mereka sudah punya anak sehingga nantinya mereka masih mampu menyekolahkan anak-anak mereka
setinggi-tingginya. Bila dibandingkan dengan pasangan yang menikah pada usia dewasa, apalagi yang sudah menginjak kepala tiga anak-anak mereka masih kecil.
Memang hal tersebut ada benarnya, mengingat mata pencaharian masyarakat Karo pada umumnya adalah bertani dimana hanya mengandalkan
tenaga untuk mencari nafkah. Sehingga wajar saja bila faktor usia dan tenaga sebagai patokan keberhasilan masa depan anak-anak mereka.
Tapi sebenarnya yang paling penting bagi keberhasilan masa depan generasi penerus adalah bekal akhlak dan pendidikan yang baik dari orang tuanya.
Dalam bidang materi juga tidak harus mengandalkan tenaga saja, bagaimana kalau orang tua tersebut sakit sehingga tidak bisa bekerja untuk mencari
penghasilan ? Oleh karena itu, dalam membangun sebuah rumah tangga sangat diperlukan perencanaan sehingga masa depan anak-anak tersebut dapat berjalan
dengan baik. Misalnya menabung, atau bergabung dengan asuransi pendidikan,
Universitas Sumatera Utara
100
kesehatan dan lain sebagainya. Jadi tidak mesti kawin muda saja dapat menjamin masa depan anak-anak, tapi yang terpenting adalah kesiapan dan perencanaan
yang baik serta didikan yang baik dari orang tua tersebu b.
Terhindar dari perzinahan Para narasumber mengakui mereka menikah di bawah umur, bukan hanya
semata-mata karena saling menyukai atau mencintai saja ketika mereka tahap pengenalan atau pacaran. Tapi juga dengan pertimbangan untuk mengindari zina
dan dosa besar. Mereka mengatakan bahwa dari pada mereka melakukan hal-hal yang dilarang agama seperti mendekati zina atau bahkan melakukan hubungan
seks di luar nikah maka lebih baik mereka menikah walaupun masih berusia di bawah umur.
Memang secara agama kawin muda lebih baik dari pada berzina, tapi apabila kita tidak mendekati zina atau yang dikenal dengan pacaran maka hal itu
tidak akan terjadi. Karena dalam Islam sendiri sudah diatur bagaimana cara-cara dan tahap-tahap pengenalan atau ta’aruf, bukan pacaran seperti istilah sekarang
yang tidak punya aturan. Pada hakekatnya, perkawinan di bawah umur juga mempunyai sisi positif.
Kita tahu, saat ini pacaran yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi acapkali tidak mengindahkan norma-norma agama. Kebebasannya sudah melampui batas,
di mana akibat kebebasan itu kerap kita jumpai tindakan-tindakan asusila di masyarakat. Fakta ini menunjukkan betapa moral bangsa ini sudah sampai pada
taraf yang memprihatinkan. Perkawinan di bawah umur juga merupakan upaya untuk meminimalisasi tindakan-tindakan negatif tersebut. Daripada terjerumus
Universitas Sumatera Utara
101
dalam pergaulan yang kian mengkhawatirkan, jika sudah ada yang siap untuk bertanggung jawab dan hal itu legal dalam pandangan syara’ kenapa tidak ?
demikian menurut Imam Jalaludin Suyuthi
128
C. Upaya-Upaya yang Dilakukan Untuk Mencegah Pekawinan Anak di