KHI dan UU Perkawinan Fiqh Munakahat dan KHI

57 dilakukan tanpa alasan apa pun dan tidak mensyaratkan izin pengadilan untuk lakukan poligami. Mungkin ketentuan UU menurut lahirnya tidak sejalan dengan fiqh munakahat yang berlaku dalam mazhab tertentu namun tidak menyalahi fiqh munakahat mazhab lainnya. Contoh dalam hal ini, umpamanya UU tidak mensyaratkan adanya wali dalam perkawinan pasangan yang telah dewasa. Menurut fiqh munakahat mazhab Syafi’i yang berlaku di Indonesia perkawinan yang demikian tidaklah sah, karena wali merupakan salah satu rukun dalam perkawinan. Meskipun demikian, ketentuan UU tersebut sudah sejalan dengan mazhab Hanafi. Dalam membicarakan sumber fiqh munakahat dan banyaknya versi kitab fiqh munakahat sebagai reasilasi dari pendapat yang beragam dalam memahami sumber fiqh tersebut yang belum menjalankan bagian-bagaian dari UU Perkawinan itu dapat diyakinkan bahwa sumber fiqh layak untuk direformulasi sehingga UU Perkawinan yang ada itu dapat diterima sebagai formulasi baru dari fiqh munakahat. Dengan demikian, UU Perkawinan secara prinsip dapat diterima karena tidak menyalahi ketentuan fiqh tertentu. Hal ini terjadi mungkin karena pembuat UU Perkawinan tersebut, yaitu DPR lebih memperhatikan kesadaran hukum mayarakat yang mayoritas adalah beragama Islam. 71

2. KHI dan UU Perkawinan

KHI disusun dengan maksud untuk melengkapi UU Perkawinan dan diusahakan secara praktis mendudukkannya sebagai hukum perundang-undangan meskipun kedudukannya tidak sama dengan itu. KHI dengan demikian berinduk 71 Ibid. Universitas Sumatera Utara 58 kepada UU Perkawinan. Dalam kedudukannya sebagai pelaksana praktis dari UU Perkawinan, maka materinya tidak boleh bertentangan dengan UU Perkawinan. Oleh karena itu, seluruh materi UU Perkawinan disalin ke dalam KHI meskipun dengan rumusan yang sedikit berbeda. Di samping itu, dalam KHI ditambahkan materi lain yang prinsipnya tidak bertentangan dengan UU Perkawinan. Hal ini terlihat dari jumlah pasal yang ada di antara keduanya. UU Perkawinan mempunyai lengkap 67 pasal sedangkan KHI mencapai 170 pasal. 72

3. Fiqh Munakahat dan KHI

Sejauh materi UU perkawinan yang diatur dalam KHI, pengaturannya mengikuti rumusan yang terdapat dalam UU dan ditambahkan pasal-pasal lain yang tidak terdapat dalam UU sebagai pelengkap UU Perkawinan. Sejauh yang mengatur secara langsung materi perkawinan dalam UU Perkwinan tidak ada yang luput dari KHI. Di atas telah dijelaskan hubungan antara fiqh munakahat dengan UU Perkawinan. Kemudian dijelaskan pula bahwa KHI itu adalah UU Perkawinan yang dilengkapi dengan fiqh munakahat atau dalam arti lain fiqh munakahat itu adalah bagian dari KHI. Hubungan fiqh munakahat, dengan bagian KHI yang bukan merupakan fiqh munakahat, yaitu UU Perkawinan itu adalah sebagaimana digambarkan sebelum ini. Namun fiqh munakahat yang merupakan bagian dari KHI tidak seluruhnya sama dengan dengan fiqh munakahat. 73 72 Ibid, hal. 31. 73 Ibid, hal. 34. Universitas Sumatera Utara 9

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan suatu lembaga suci yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang menyebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Salah satu prinsip yang dianut undang-undang ini adalah calon suami istri harus telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan memperoleh keturunan yang baik dan sehat. Undang-undang Perkawinan menentukan batas umur untuk kawin bagi pria adalah 19 tahun dan bagi wanita berusia 16 tahun. Tapi kenyataan di lapangan menunjukkan banyaknya perkawinan di bawah umur sebagaimana yang ditetapkan dalam UU Perkawinan. Secara nasional data BPS memperlihatkan hampir 47 persen perempuan pernah menikah saat usia mereka di bawah 18 tahun; 13,4 persen perempuan sudah menikah pada usia 10-15 tahun; 33,4 persen menikah usia 16-18 tahun. Pernikahan perempuan pada usia 10-15 tahun tertinggi terdapat di Kalimantan Selatan dengan jumlah 18,89 persen dari jumlah perempuan yang pernah menikah. Menyusul kemudian Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Papua, Universitas Sumatera Utara