63
nihdh ialah jika umur telah siap untuk menikah. Ini artinya al-Maraghi menginterpretasikan bahwa orang yang belum dewasa tidak boleh dibebani
persoalan-persoalan tertentu dalam hal ini perkawinan. Menurut Rasyid Ridha, kalimat ballighu al- nikdh menunjukkan bahwa seseorang untuk kawin yakni
samapi “bermimpi”.
82
Tapi secara eksplisit para fuqaha’ tidak sepakat terhadap batas usia minimal perkawinan, namun ia berpandangan bahwa balig bagi seseorang itu
belum tentu menunjukkan kedewasaanya.
83
Menurut Hilman Hadikusuma, usia perkawinan perlu dibatasi dengan tujuan untuk mencegah terjadinya perkawinan anak-anak yang masih asyik
dengan dunia bermainnya. Jadi, supaya dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, maka calon mempelai laki-laki dan perempuan harus benar-benar
telah siap jiwa dan raganya, serta mampu berfikir dan bersikap dewasa. Selain itu, batasan usia nikah ini juga untuk menghindari terjadinya perceraian dini, supaya
melahirkan keturunan yang baik dan sehat dan tidak mempercepat pertambahan penduduk.
84
3. Pembatasan usia minimal perkawinan
Satu hal yang menarik dari Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 antara lain adalah adanya pembatasan usia minimal calon mempelai, baik laki-laki
maupun perempuan yang pada awalnya termasuk salah satu dari sebelas poin yang
82
Dedi Supriadi dan Mustofa, Op. cit hal 23
83
Ibid, hal 24
84
Dalam Ibid, hal. 14
Universitas Sumatera Utara
64
ditolak oleh Fraksi Persatuan Pembangunan karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini dirasa unik karena dalam Islam, tidak dikenal adanya batas
minimal bagi mereka yang ingin melangsungkan perkawinan. Tentu fakta sosial mempunyai banyak peran dalam masalah ini. Banyaknya kasus pernikahan dini
yang berakhir dengan tragis cukup memberikan aspirasi atas urgensitas pembatasan usia kawin.
85
Ketentuan batas umur dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 ayat 1 seperti juga disebut dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 15 ayat 1
menyebutkan perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 sembilan belas tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 enam belas
tahun. Hal ini didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan. Ini sejalan dengan prinsip yang diletakkan UU Perkawinan
bahwa calon suami istri harus sudah masak jiwa raganya, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat
keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami isteri yang masih di bawah umur.
86
85
Sudirman, Pembatasan Usia Minimal Perkawinan : Upaya Meningkatkan Martabat Perempuan
Paper Dosen Fakultas Syariah UIN Malang,ejournal.uin- malang.ac.idindex.phpegalitaarticleview1925 Diakses tanggal 27 Februari 2013. hal. 7.
86
Ibid, hal. 7-8.
Universitas Sumatera Utara
65
Di samping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyata bahwa batas umur yang rendah bagi seorang wanita
untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin, baik bagi pria
maupun wanita. Masalah penentuan umur dalam UU Perkawinan maupun dalam Kompilasi Hukum Islam, memang bersifat ijtihadiyyah, di sinilah pengaruh sosial
muncul sebagai usaha pembaharuan pemikiran fiqh masa lalu. Namun demikian, apabila dilacak referensi syariahnya ternyata mempunyai landasan yang cukup
kuat
87
. Misalnya isyarat Allah dalam surat al-Nisa‘ ayat 9, yang artinya :
88
Ayat tersebut memang bersifat umum, tidak secara langsung menunjukkan bahwa perkawinan yang dilakukan oleh pasangan usia muda di bawah ketentuan
yang diatur UU No. 1 tahun 1974 akan menghasilkan keturunan yang dikhawatirkan kesejahteraannya. Akan tetapi berdasarkan pengamatan lapangan
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang
mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar.”
87
Ibid, hal. 8.
88
Departemen Agama RI, Op.cit.hal.167.
Universitas Sumatera Utara
66
atas berbagai kasus pernikahan dini, ternyata menunjukkan bahwa pernikahan di bawah umur banyak menimbulkan hal-hal yang tidak sejalan dengan misi dan
tujuan perkawinan, yaitu terwujudnya ketentraman dalam rumah tangga berdasarkan kasih dan sayang. Tujuan ini tentu akan sulit terwujud, apabila
masing-masing mempelai belum masak jiwa raganya. Kematangan dan integritas pribadi yang stabil akan sangat berpengaruh di
dalam menyelesaikan setiap problem yang muncul dalam lika-liku rumah tangga. Banyak kasus yang menunjukkan bahwa angka perceraian yang tinggi cenderung
didominasi oleh akibat perkawinan dini. Secara metodologis, langkah penentuan usia kawin didasarkan kepada metode maslahat mursalah yang berlandaskan fakta
sosial. Namun demikian karena sifatnya yang ijtihadiyah, yang kebenarannya relatif, ketentuan tersebut tidak bersifat kaku. Artinya, apabila karena sesuatu hal
perkawinan dari mereka yang usianya di bawah ketentuan, undang-undang tetap memberikan jalan keluar.
89
“Dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1 pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang
ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita”. Pasal 7 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menegaskan:
89
Sudirman, Op.cit. 8-9.
Universitas Sumatera Utara
67
Dalam hal ini, Undang-undang Perkawinan tidak konsisten. Di satu sisi, pasal 6 ayat 2 menegaskan bahwa untuk melangsungkan perkawinan seorang
yang belum mencapai umur 21 dua puluh satu tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua, di sisi lain Pasal 7 1 menyebutkan perkawinan hanya diizinkan
jika pihak pria sudah mencapai umur 19 sembilan belas tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 enam belas tahun. Rupanya titik perbedaannya adalah
jika kurang dari 21 tahun, yang diperlukan adalah izin orang tua, dan jika kurang dari 19 atau 16, perlu izin pengadilan. Ini dikuatkan oleh Pasal 15 ayat 2 KHI.
Apabila dibanding dengan batasan umur calon mempelai di beberapa negara muslim, Indonesia secara definitif belum yang tertinggi. Berikut data
komparatif yang dikemukan Tahir Mahmood dalam buku Personal Law in islamic Countries History, Text and Comparative analysis :
90
Negara Laki-
laki Perempuan
Aljazair 21
18 Bangladesh
21 18
Mesir 18
16 Indonesia
19 16
Irak 18
18 Jordania
16 15
Libanon 18
17 Libya
18 16
Malaysia 18
16 Maroko
18 15
90
Dalam Ibid, hal. 10.
Universitas Sumatera Utara
68
Yaman Utara 15
15 Pakistan
18 16
Somalia 18
18 Yaman
Selatan 18
16 Suriah
18 17
Tunisia 19
17 Turki
17 15
Sumber : Sudirman, Pembatasan Usia Minimal Perkawinan : Upaya Meningkatkan Martabat Perempuan
Dari angka-angka di atas dapat ditegaskan bahwa batas umur terendah untuk menikah di Indonesia relatif cukup tinggi untuk laki-laki tetapi termasuk
rendah untuk perempuan. Dalam tingkat pelaksanaan, batas umur kawin bagi perempuan yang sudah rendah itu masih belum tentu dipatuhi sepenuhnya. Untuk
mendorong agar orang kawin di atas batas umur terendahnya, sebenarnya Pasal 6 ayat 2 UU Perkawinan telah memberikan ketentuan bahwa untuk
melangsungkan perkawinan bagi seseorang yang belum berumur 21 tahun harus mendapat izin dari orang tua. Tetapi dalam kenyataannya justru seringkali pihak
orang tua sendiri yang cenderung menggunakan batas umur terendah itu atau bahkan lebih rendah lagi.
e journal.uinmalang.ac.idindex.phpegalitaarticleview1925
91
Di Mesir, meskipun perkawinan yang dilakukan oleh orang yang belum mencapai batas umur terendah itu sah saja, tetapi tidak boleh didaftarkan. Di
91
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
69
Syria, yang diatur bukan hanya batas umur terendah untuk kawin, tetapi selisih umur antara laki-laki dan perempuan yang hendak melangsungkan perkawinan.
Jika perbedaan umur antara pihak laki-laki dan pihak perempuan yang hendak melangsungkan perkawinan itu terlalu jauh, maka pengadilan dapat
melarangnya.
92
Di Yordania, aturannya lebih rinci lagi, jika perbedaan umur antara pasangan yang hendak menikah itu melebihi dua puluh tahun, maka perkawinan
itu tegas-tegas dilarang kecuali ada izin khusus dari hakim. Di Indonesia ketentuan selisih umur ini belum ada, sehingga seringkali kita menyaksikan
seorang lelaki tua menikah dengan seorang perempuan yang sebenarnya pantas menjadi anaknya atau bahkan cucunya, sebagai contoh kasus Syekh Puji.
93
Hukum Syria dan Yordania memandang bahwa dalam hal demikian itu terdapat potensi untuk terjadinya pemerasan terhadap salah satu pihak atau tidak akan
menciptakan keluarga yang ideal.
94
Penentuan batas umur tersebut, masing-masing negara tentu memiliki pertimbangannya sendiri. Penerapan konsepsi hukum Islam di Indonesia dalam
kehidupan masyarakat dilakukan dengan penyesuaian pada budaya Indonesia
92
Ibid, hal. 10.
93
Pujiono Cahyo Widianto, yang lebih poluler disapa Syekh Puji yang menikahi Lutviana Ulfah anak berusia 12 tahun di Semarang pada Agustus 2008 yang lalu.
94
Ibid, hal. 10-11.
Universitas Sumatera Utara
70
yang hasilnya kadang-kadang berbeda dengan hasil ijtihad penerapan hukum Islam di negeri-negeri Islam lainnya, seperti halnya yang terdapat dalam jual beli,
sewa-menyewa, warisan, wakaf dan hibah. Demikian pula penerapan hukum Islam dilakukan melalui yurisprudensi di pengadilan agama.
95
Pertimbangan masalah kependudukan seperti diungkap dalam penjelasan Undang-undang Perkawinan, turut mempengaruhi perumusan batas umur calon
mempelai tersebut. Ini dimaksudkan untuk menjawab tantangan dan kebutuhan masyarakat, sejalan dengan tujuan hukum Islam itu sendiri. Kesemuanya itu
mengandung masalah ijtihadiyah yang diselesaikan dengan ijtihad ulama Indonesia dengan menggunakan metode-metode istislah, istihsan, al-urf, dan
lain-lain metode istidlal dengan tujuan jalb al-mashalih wa dar’u al-mafasid memperoleh kebaikan dan menghindari kerusakan.
96
Masalah kematangan fisik dan jiwa seseorang dalam konsep Islam, tampaknya lebih ditonjolkan pada aspek yang pertama, yaitu fisik. Hal ini dapat
dilihat misalnya dalam pembebanan hukum taklif bagi seseorang, yang dalam term teknis disebut mukallaf dianggap mampu menanggung beban hukum.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW mengatakan, yang artinya :
97
95
Ibid, hal. 11.
96
Ibid.
97
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
71
“Dari Aisyah r.a dari Nabi SAW bersabda: terangkat qalam pertanggungjawaban dari tiga hal : orang yang tidur
hingga ia terbangun dan sadar, orang gila hingga ia sembuh, dan anak-anak hingga ia bermimpi basah.” HR
Ahmad dan Emat Iman Tarmidzi. Menurut isyarat hadis tersebut, kematangan seseorang dilihat pada
kematangan seksualitasnya, yaitu keluar mani bagi laki-laki dan menstruasi bagi perempuan. Dari segi umur, kematangan masing-masing orang cenderung
berbeda. Hadis ini setidaknya dapat memberi gambaran, bahwa pada umumnya kematangan fisik itu sudah dimiliki seseorang yang sudah berusia 15 tahun.
Memperhatikan hadis di atas, dapat diambil pemahaman bahwa batas usia 15 tahun sebagai awal masa kedewasaan bagi anak laki-laki. Karena biasanya
pada usia tersebut anak laki-laki telah mengeluarkan air mani melalui mimpinya. Adapun bagi perempuan, 9 tahun untuk daerah seperti Madinah telah dianggap
memiliki kedewasaan. Ini didasarkan kepada pengalaman Aisyah ketika dinikahi oleh Rasulullah saw.
98
Di samping itu pemahaman terhadap nash, utamanya yang dilakukan oleh Rasulullah pada saat menikah dengan Aisyah, juga perlu dipahami seiring dengan
98
Ibid, hal. 12.
Universitas Sumatera Utara
72
tuntutan situasi dan kondisi waktu itu. Ini penting karena tuntutan kemaslahatan yang ada waktu itu dibanding dengan sekarang jelas sudah berbeda.
Undang Undang Perkawinan yang bersifat nasional kiranya bisa kita pakai sebagai patokan dan dengan berpatokan pada asas lex postiori derogate lex priori
maka dapat di katakan bahwa Indonesia telah mempunyai patokan umum untuk menetapkan usia dewasa, yaitu 18 tahun sehingga semua ketentuan lain yang
mengatur usia dewasa yang diundangkan sebelum Undang Undang Perkawinan tidak berlaku lagi.
99
B. Dispensasi Nikah di Bawah Umur