Perspektif Kompilasi Hukum Islam

30 6 Seorang yang telah cerai kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu dari yang berlangkutan menentukan lain. 7 Seorang wanita yang perkawinannya terputus untuk kawin lagi telah lampau tenggang waktu tunggu. 8 Perkawinan harus dilangsungkan menurut tata cara perkawinan yang diatur oleh PP No. 9 Tahun 1975 jo. Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. 26 Ternyata UUP melihat persyaratan perkawinan itu hanya menyangkut persetujuan kedua calon mempelai dan batasan umur serta tidak adanya halangan perkawinan perkawinan antara kedua calon mempelai tersebut. Ketiga hal tersebut sangat menentukan untuk pencapaian tujuan perkawinan itu sendiri. Persetujuan kedua calon mempelai meniscayakan perkawinan itu tidak didasari paksaan. Syarat ini setidaknya mengisyaratkan adanya emansipasi wanita sehingga setiap wanita dapat dengan bebas menentukan pilihannya siapa yang paling cocok dan maslahat sebagai suaminya. Jadi di sini tidak ada paksaan, terlebih lagi masyarakat yang telah maju. 27

2. Perspektif Kompilasi Hukum Islam

Berbeda dengan UU No. 1 Tahun 1974, KHI ketika membahas rukun perkawinan tampaknya mengikuti sistematika fiqh yang mengaitkan rukun dan syarat. Ini di muat dalam Pasal 14. Kendatipun KHI menjelaskan 5 rukun perkawinan sebagaimana fiqh ternyata dalam uraian persyaratannya KHI 26 Mohd. Idris Ramulyo, Op.cit. hal.56-57 27 Ibid, hal. 69 Universitas Sumatera Utara 31 mengikuti UUP yang berkenaan dengan persetujuan kedua calon mempelai dan batasan umur. 28 1. Calon suami Pasal 14 KHI berbunyi : “Untuk melaksanakan perkawinan harus ada : 2. Calon isteri 3. Wali nikah 4. Dua orang saksi dan 5. Ijab dan Kabul” a. Calon suami dan calon istri Mengenai calon suami dan calon istri diatur dalam Pasal 15 KHI. Dalam pasal ini diatur batas umur seseorang untuk menikah. KHI mengikuti ketentuan Pasal 7 UU Perkawinan yaitu untuk laki-laki berusia 19 tahun dan bagi perempuan berusia 16 tahun. 29 Sesuai dengan ajaran Islam, perkawinan tidak boleh dipaksakan, dalam Pasal 16 dan 17 KHI disyaratkan persetujuan kedua calon mempelai. Bentuk persetujuan ini dapat berupa pernaytaan yang tegas dan nyata baik secara tertulis, lisan maupun isyarat. Namun boleh juga berupa diamnya calon mempelai dalam arti tidak ada penolakan. 30 Islam hanya mengakui perkawinan antara laki-laki dan perempuan dan tidak boleh lebih dari itu, seperti sesama laki-laki atau sesama perempuan, karena ini yang disebut dalam Al-Qur’an. Adapun syarat-syarat yang mesti dipenuhi untuk laki-laki dan perempuan yang akan kawin ini adalah sebagai berikut : 31 28 Ibid, hal.71 29 Neng Djubaedah, Sulaikin Lubis dan Farida Prihatini, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Recca Publishing, Jakarta, 2005, hal. 65 30 Ibid, hal. 66 31 Ibid, hal. 64-66 Universitas Sumatera Utara 32 1 Keduanya jelas identitasnya dan dapat dibedakan dengan yang lainnya. Adanya syarat peminangan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi kiranya merupakan suatu syarat supaya kedua calon pengantin telah sama- sama tahu mengetahui mengenai pihak lain, secara baik dan terbuka. 2 Keduanya sama-sama beragama Islam. 3 Antara keduanya tidak terlarang melangsungkan perkawinan. 4 Kedua belah pihak telah setuju untuk kawin dan setuju pula dengan pihak yang mengawininya. KHI mengatur persetujuan kedua mempelai itu dalam Pasal 16 dengan uraian sebagai berikut : 1 Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. 2 Bentuk persetujuan calon mempelai wanita dapat berupa pernyataan yang tegas dan nyata dengan tulisan, lisan, atau syarat tapi dapat juga diam dalam arti tidak ada penolakan yang tegas. 5 Keduanya telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan perkawinan. b. Wali dalam perkawinan 1 Pengertian wali Dalam perkawinan, wali itu adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Akad nikah dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak laki-laki yang dilakukan oleh mempelai laki-laki sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya. 32 32 Amir Syarifuddin, Op.cit, hal. 69. Universitas Sumatera Utara 33 Mengenai wali, KHI mensyaratkan harus ada wali mempelai wanita. Macam wali diatur dalam Pasal 20 adalah wali nasab dan wali hakim. Sedangkan ketentuan wali nasab diatur dalam Pasal 21. 33 2 Orang-orang yang berhak menjadi wali Yang berhak menempati kedudukan wali ada tiga kelompok : 34 Kedua: wali hakim, yaitu orang yang menjadi wali dalam kedudukannya sebagai hakim atau penguasa. Menurut Pasal 23 KHI, wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin Pertama: wali nasab, yaitu wali berhubungan tali kekeluargaan dengan perempuan yang akan kawin. Pasal 21 KHI menyebutkan bahwa wali nasab terdiri dari emapt kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Petama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat sauadara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. Keempat, kelompok saudara laki- laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka. Pasal 22 menyebutkan apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi atau karena wali itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka yang berhak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut syarat sebagai wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya. 33 Neng Djubaedah, Loc.Cit. 34 Ibid, hal. 75. Universitas Sumatera Utara 34 menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan. Jumhur ulama yang terdiri dari Syafi’iah, Hanbilah, Zhahiriah, dan Syi’ah Imamiah membagi wali menjadi dua kelompok : 35 a. Saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada Pertama: wali dekat atau wali qarib; yaitu ayah dan kalau tidak ada ayah pindah kepada kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan mutlak terhadap anak perempuan yang akan dikawinkannya. Ulama Hanabiah menempatkan orang yang diberi wasiat oleh ayah untuk mengawinkan anaknya berkedudukan sebagai ayahnya. Kedua: wali jauh atau wali ab’ad; yaitu wali dalam garis keturunan selain ayah dan kakek, juga selain anak dan cucu, karena anak menurut ulama jumhur tidak boleh menjadi wali terhadap ibunya dari segi ia adalah anak, bila anak berkedudukan sebagai wali hakim boleh ia mengawinkan ibunya sebagai wali hakim. Adapun wali ab’ad adalah sebagai berikut : b. Saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada c. Anak saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada d. Anak saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada e. Paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada f. Paman seayah, kalau tidak ada pindah kepada g. Anak paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada h. Anak paman seayah. i. Ahli waris kerabat lainnya kalau ada. 35 Ibid, hal. 75-76. Universitas Sumatera Utara 35 3 Syarat-syarat wali Menurut Pasal 20 ayat 1 KHI, yang bertindak sebagai wali nikah adalah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baliqh. Orang-orang yang disebutkan di atas baru berhak menjadi wali bila memenuhi syarat sebagai berikut : 36 a Telah dewasa dan berakal sehat dalam arti anak kecil atau orang gila tidak berhak menjadi wali. Ini merupakan syarat umum bagi seseorang yang melakukan akad. b Laki-laki. Tidak boleh perempuan menjadi wali. c Muslim; tidak sah orang yang tidak beragama Islam menjadi wali untuk muslim. Hal ini berdalil dari firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 28, yang artinya berbunyi : 37 “Janganlah orang-orang mu’min mengambil orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang mu’min. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah.” d Orang merdeka. e Tidak berada dalam pengampuan atau mahjur alaih. Alasannya ialah bahwa orang yang berada di bawah pengampuan tidak dapat berbuat hukum dengan sendirinya. Kedudukannya sebagai wali merupakan suatu tindakan hukum. 36 Amir Syarifuddin, Op,cit. hal. 76-78. 37 Departemen Agama RI, Op.cit., hal.112 Universitas Sumatera Utara 36 f Berpikir baik. Orang yang terganggu pikirannya karena keduaanya tidak boleh menjadi wali, karena dikawatirkan tidak akan mendatangkan maslahat dalam perkawinan tersebut. g Adil dalam arti tidak pernah terlibat dengan dosa besar dan sering berbuat dosa kecil serta tetap memelihara sopan santun. Keharusan wali adil ini berdasarkan kepada sabda Nabi dari Aisyah menurut riwayat dari al-Qithniy, yang artinya : 38 “ tidak sah nikah kecuali bila ada wali dan dua orang saksi yang adil.” h Tidak sedang melakukan ihram, haji atau umroh. c. Dua orang saksi KHI mensyaratkan wajib ada dua orang saksi dalam Pasal 24, 25, 26. Syarat saksi adalah laki-laki muslim, akil baligh, adil, tidak terganggu ingatannya dan tidak tuna rungu atau tuli. Saksi ini harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah dan menandatangani akta nikah pada waktu itu juga. 39 Akad nikah mesti disaksikan oleh dua orang saksi supaya ada kepastian hukum dan untuk menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad di kemudian hari. 40 Saksi dalam pernikahan mesti memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 41 1 Saksi itu berjumlah paling kurang dua orang. Inilah pendapat yang dipegang oleh jumruh ulama. Bagi ulama Hanafiah saksi itu boleh terdiri dari satu orang 38 Sebagaimana yang dikutip oleh Amir Syarifuddin, Lok,cit. 39 Neng Djubaidah, Loc. cit. 40 Amir Syarifuddin, Op.cit . hal. 81. 41 Ibid ,hal. 83. Universitas Sumatera Utara 37 laki-laki dan dua orang perempuan, sedangkan bagi ulama Zhahiriah boleh saksi itu terdiri dari empat orang perempuan. 2 Kedua saksi itu adalah beragama Islam. 3 Kedua saksi itu adalah orang merdeka. 4 Kedua saksi itu bersifat adil dalam arti tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak selalu melakukan dosa kecil dan tetap terjaga sopan santun. Ulama Hanafiah tidak menyaratkan adil pada saksi perkawinan. 5 Kedua saksi dapat melihat dan mendengar. UU Perkawinan tidak menempatkan kehadiran saksi dalam syarat-syarat perkawinan, namun UU Perkawinan menyinggung kehadiran saksi itu dalam Pembatalan Perkawinan dan dijadikan sebagai salah satu hal yang membolehkan pembatalan perkawinan, sebagaimana terdapat dalam Pasal 26 Ayat 1. d. Ijab dan qabul akad nikah Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua.. 42 UU Perkawinan tidak mengatur tentang akad perkawinan bahkan tidak membicarakan akad sama sekali. Mungkin UU Perkawinan menempatkan akad perkawinan itu sebagaimana perjanjian atau kontrak biasa dalam tindakan perdata. Penempatan seperti ini sejalan dengan pandangan ulama Hanafiah yang 42 Ibid, hal. 61. Universitas Sumatera Utara 38 menganggap akad perkawinan tidak memerlukan wali selama yang bertindak telah dewasa dan memenuhi syarat. 43 1 Yang berhak mengucapkan qabul adalah calon mempelai pria secara pribadi. Namun KHI secara jelas mengatur akad perkawinan dalam Pasal 27, 28, dan 29 yang keseluruhannya mengikuti apa yang terdapat dalam fiqh. Ijab dan qabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas dan beruntun dan tidak berselang waktu. Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan kepada orang lain. 2 Dalam hal tertentu ucapan qabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria. 3 Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan. 44 Ulama sepakat menempatkan ijab dan qabul itu sebagai rukun perkawinan. Untuk sahnya suatu akad perkawinan disyaratkan beberapa syarat. Di antara syarat tersebut ada yang disepakati oleh ulama dan ada yang diperselisihkan oleh ulama. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut: 45 a. Akad harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul. Ijab adalah penyerahan dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki. Seperti ucapan wali pengantin perempuan: “ Saya kawinkan anak saya bernama si A kepadamu 43 Ibid. 44 Mohd. Idris Ramulyo, Op.cit, hal.55-56 45 Amir Syarifuddin, Op.cit, hal. 62-63. Universitas Sumatera Utara 39 dengan mahar sebuah kitab Al-Qur’an”. Qabul adalah penerimaan dari pihak laki-laki. Seperti ucapan mempelai laki-laki: “ Saya terima mengawini anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Al-Qur’an. Tentang bolehkah pihak laki-laki mendahului ucapan pihak perempuan, kebanyakan ulama memperbolehkannya. Bentuk ucapan pihak laki-laki yang mendahului ucapan pihak perempuan, umpamanya ucapan suami:” Saya nikahi anak Bapak bernama si A dengan mahar sebuah kitab Al-Qur’an”. Ucapan wali yang menyusul kemudian umpamanya: “ Saya terima engkau nikahi anak saya bernama si A dengan mahar sebuah kitab Al- Qur’an”. b. Materi dari ijab dan qabul tidak boleh berbeda, nama perempuan secara lengkap dan bentuk mahar yang disebutkan. c. Ijab dan qabul harus diucapkan secara bersambungan tanpa terputus walaupun sesaat. Ulama Malikiah memperbolehkan terlambatnya ucapan qabul dari ucapan ijab, bila keterlambatan hanya dilakukan dalam waktu yang pendek. d. Ijab dan qabul tidak boleh dengan menggunakan ucapan yang bersifat membatasi masa berlangsungnya perkawinan, karena perkawinan itu ditujukan untuk selama hidup. Di samping rukun dan syarat perkawinan yang telah diuraikan di atas, ada syarat yang harus dipenuhi agar perkawinan sah, yaitu harus ada mahar. Kata “mahar” berasal dari bahasa Arab dan telah menjadi bahasa Indonesia yang dipakai. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefenisikan mahar itu sebagai : Universitas Sumatera Utara 40 “pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika akad nikah”. 46 Mahar itu dalam bahasa Arab disebut dengan delapan nama yaitu: mahar, shadaq, nihlah, faridhah, hiba’, ujr, ‘uqar, dan alaiq. Keseluruhan kata tersebut mengandung arti pemberian wajib sebagai imbalan atas sesuatu yang diterima. Hukum taklifi dari mahar itu adalah wajib, dengan arti laki-laki yang mengawini seorang perempuan wajib menyerahkan mahar kepada istrinya itu dan berdosa suami yang tidak menyerahkan mahar kepada istrinya. 47 Menurut KHI, calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak. 48 1. Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai. Mahar diberikan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam. 2. Apabila calon mempelai wanita menyejutui, penyerahan boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi utang calon mempelai pria. 3. Kewajiban menyerahkan mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan. 4. Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan. 46 Ibid , hal. 84. 47 Ibid, hal. 84-85 48 Mohd. Idris Ramulyo, Op.cit, hal 76 Universitas Sumatera Utara 41 5. Suami yang menalak istrinya qabla ad-dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah. 6. Apabila suami meninggal dunia qabla ad-dukhul, seluruh mahar yang ditetapkan menjadi hak penuh istrinya. 7. Apabila perceraian terjadi qabla ad-dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsil. 49 Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat dig anti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang. 50 1. Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi calon mempelai wanita tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahar dianggap lunas. Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan, penyelesaiannya diajukan ke pengadilan agama. 2. Apabila istri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami wajib menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama penggantinnya belum diserahkan, mahar dianggap masih belum dibayar. 51 Dasar wajibnya menyerahkan mahar itu ditetapkan dalam Al- Qur’an dan hadis Nabi. Dalil dalam ayat Al-Qur’an adalah firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 4 yang artinya: 52 “Berikanlah mahar kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan 49 Ibid, hal 76-77 50 Ibid, hal 77 51 Ibid. 52 Departemen Agama RI, Op.cit, hal.165 Universitas Sumatera Utara 42 kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya.” Adapun dalil dari hadis di antaranya adalah sabda Nabi yang berasal dari Sahal bin Sa’ad al-Sa’idi dalam suatu kisah panjang dalam bentuk hadis mutaffaq alaih yang artinya : 53 Dari adanya perintah Allah dan perintah nabi untuk memberikan mahar itu, maka ulama sepakat menetapkan hukum wajibnya memberi mahar kepada istri. Tidak ditemukan adanya literatur ulama yang menempatkannya sebagai rukun. Mereka sepakat menempatkannya sebagai syarat sah bagi suatu perkawinan, dalam arti perkawinan yang tidak pakai mahar tidak sah. Bahkan ulama Zhahiriah mengatakan bahwa bila dalam akad nikah dipersyaratkan tidak pakai mahar, maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. “Ya Rasul Allah bila anda tidak punya keinginan untuk mengawininya, maka kawinkan saya dengannya. Nabi berkata:” Apa kamu memiliki sesuatu”. Ia berkata :”tidak ya Rasul Allah”. Nabi berkata:”Pergilah kepada keluargamu mungkin kamu akan mendapatkan sesuatu. Kemudian ia pergi dan segera kembali dan berkata:”Tidak saya memperoleh sesuatu ya Rasul Allah”. Nabi berkata:”carilah walaupun hanya sebentuk cincin besi”. 54

C. Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Suatu Perkawinan