59
BAB III KETENTUAN PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT
HUKUM PERKAWINAN INDONESIA
A. Usia Perkawinan
1. Batas usia perkawinan menurut UU Perkawinan No.1 Tahun 1974
Ketentuan mengenai batas usia untuk kawin diatur dalam Pasal 7 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 sebagai berikut :
“Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 sembilan belas dan pihak wanita sudah mencapai umur 16
enam belas tahun”. Bagi mereka yang hendak melangsungkan pernikahan di bawah batasan
minimal usia nikah sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 7 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 di atas, maka harus mengajukan permohonan dispensasi nikah ke
Pengadilan Agama. Selanjutnya Pengadilan akan memproses permohonan tersebut dengan pertimbangannya. Alasan-alasan permohonan ini sangat perlu
untuk dipertimbangkan karena mereka yang hendak menikah masih terlalu dini, sehingga belum ada kesiapan fisik dan psikis.
74
74
Ibid.
Dispensasi nikah ini diatur dalam Pasal 7 ayat 2 Undang-undang ini, yaitu sebagai berikut :
“Dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1 pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang
ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita”.
Universitas Sumatera Utara
60
2. Batas usia perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam
Dalam Kompilasi Hukum Islam, mengenai batas usia calon mempelai diatur dalam Pasal 15 yang berbunyi:
1 Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan
hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang No. 1
Tahun 1974, yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.
2 Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun
harus mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 ayat 2, 3, 4 dan 5 UU No. 1 Tahun 1974.
Dari kedua ketentuan di atas, dapat dimaknai bahwa apabila pasangan suami istri menikah dengan umur yang relatif masih muda, yaitu di bawah umur
19 tahun bagi pria dan umur 16 tahun bagi wanita, dilihat dari kematangan fisik dan psikisnya masih belum cukup. Oleh karenanya, bila mereka hendak
menikah harus meminta izin orang tuanya.
75
Menurut KHI, usia perkawinan harus dibatasi demi menjaga keselamatan keluarga dan rumah tangga agar terwujud keluarga yang kekal dan bahagia. Laki-
laki di bawah umur 19 tahun dan perempuan di bawah umur 16 tahun dinilai belum cakap dalam membina kehidupan berumah tangga.
76
berbeda pula ketentuan dan cara-cara orang dewasa untuk melangsungkan perkawinan.
Dalam hukum Islam, tidak ada ketentuan batas umur untuk melakukan suatu perkawinan. Perbedaan iklim dan adat istiadat di tanah air, menyebabkan
77
75
Ibid, hal. 103.
76
Perpustakaan Pusat, Universitas Negeri Maulana Malik Ibrahim , Op. cit. hal. 14.
77
T.Jafizham Persentuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkwainan Islam. , PT. MESTIKA, Jakarta 2006, hal. 259
Universitas Sumatera Utara
61
Dalam hukum Islam juga dikenal istilah “baligh”. Baligh merupakan istilah dalam Hukum Islam yang menunjukkan seseorang telah mencapai
kedewasaan. Baligh diambil dari bahasa Arab yang secara bahasa memiliki arti “sampai”, maksudnya telah sampainya umur seseorang pada tahap kedewasaan.
Prinsipnya, seorang laki-laki yang telah baligh jika sudah pernah mimpi basah mengeluarkan sperma. Adapun seorang perempuan disebut baligh jika sudah
menstruasi. Nyatanya cukup sulit memastikan pada umur berapa seorang lelaki bermimpi basah rata-rata umur 15 tahun atau seorang perempuan mengalami
menstruasi. Untuk mengatasi masalah kesulitan itu, ulama Hanafiah kemudian memberikan batasan umur untuk kepastian hukum, karena ini terkait kecakapan
hukum. Kedewasaan seseorang memang menjadi tolak ukur untuk menentukan apakah ia cakap secara hukum atau tidak. Dalam hukum Islam, kecakapan hukum
merupakan kepatutan seseorang untuk melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan ahliat al-wujud, serta kepatutan seseorang untuk dinilai
perbuatannya sehingga berakibat hukum ahliat al-ada. Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ukuran ketidakcakapan dalam
Hukum Islam adalah kebelum-balighan seseorang berdasarkan ukuran tersebut di atas.
78
Surat an- Nur ayat 32, yang artinya berbunyi : Ayat yang berkaitan dengan kelayakan seseorang untuk menikah ada dua
ayat dalam Al-Qur’an yaitu, surat an-Nur ayat 32 dan surat an Nisa’ ayat 6.
79
78
Ade Manan Suherman, Op.cit hal. 50.
79
Departemen Agama RI, Op.cit,hal,.773
Universitas Sumatera Utara
62
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak kawin dari hamba-hamba sahayamu yang
lelaki dan hamba-hambamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah
Maha luar lagi Maha Mengetahui.” Al-Maraghi menafsirkan wassalihi, para lelaki atau perempuan yang
mampu untuk menikah dan menjalankan hak-hak suami istri, seperti berbadan sehat, mempunyai harta dan lain-lain. Quraysh Shihab menafsirkan ayat tersebut
wassalihi, yaitu seseorang yang mampu secara mental dan spiritual untuk membina rumah tangga, bukan dalam arti taat beragama, karena fungsi
perkawinan memerlukan persiapan bukan sekedar materi, tetapi kesiapan spiritual, baik laki-laki maupun perempuan.
80
Begitu pula dengan QS surat an-Nisa’ ayat 6, yang artinya berbunyi:
81
Dalam tafsir al-Misbah, maka makna dasar rusdh adalah kelurusan jalan. Dari sisi lahir kata rusdh yang bagi manusia adalah kesempurnaan akal dan jiwa
yang menjalankannya mampu bersifat dan bertindak setepat mungkin. Al-Maragi menafsirkan dewasa rusdh, yaitu apabila seseorang mengerti dengan baik cara
menggunakan harta serta membelanjakannya, sedang yang dimaksud balighual- “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk
kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas pandai memelihara harta, maka serahkanlah kepada mereka
harta-hartanya…”
80
Dedi Supr iadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, Pustaka Al-Fikriis, Bandung, 2009. Hal. 22-23.
81
Departemen Agama RI, Op.cit hal.166
Universitas Sumatera Utara
63
nihdh ialah jika umur telah siap untuk menikah. Ini artinya al-Maraghi menginterpretasikan bahwa orang yang belum dewasa tidak boleh dibebani
persoalan-persoalan tertentu dalam hal ini perkawinan. Menurut Rasyid Ridha, kalimat ballighu al- nikdh menunjukkan bahwa seseorang untuk kawin yakni
samapi “bermimpi”.
82
Tapi secara eksplisit para fuqaha’ tidak sepakat terhadap batas usia minimal perkawinan, namun ia berpandangan bahwa balig bagi seseorang itu
belum tentu menunjukkan kedewasaanya.
83
Menurut Hilman Hadikusuma, usia perkawinan perlu dibatasi dengan tujuan untuk mencegah terjadinya perkawinan anak-anak yang masih asyik
dengan dunia bermainnya. Jadi, supaya dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, maka calon mempelai laki-laki dan perempuan harus benar-benar
telah siap jiwa dan raganya, serta mampu berfikir dan bersikap dewasa. Selain itu, batasan usia nikah ini juga untuk menghindari terjadinya perceraian dini, supaya
melahirkan keturunan yang baik dan sehat dan tidak mempercepat pertambahan penduduk.
84
3. Pembatasan usia minimal perkawinan