Pergeseran Peran Saikong Peran Saikong Dalam Upacara Kematian Masyarakat Tionghoa di Kota Medan

Sesampainya di pemakaman jenazah tidak langsung dimakamkan akan tetapi diadakan sembahyang terlebih dahulu. Kegiatan sembahyang tersebut ditujukan kepada Tuapekongdewa tanah maksud dari upacara ini adalah sebagai tanda permohonan keluarga agar dewa tanah berkenan menerima arwah almarhum. Dalam tahapan upacara ini, Saikong akan membacakan doa-doa agar arwah tenang di peristirahatan barunya. Setelah itu baru jenazah dimasukkan ke dalam liang kubur. Setelah proses pelemparan biji-bijian oleh pihak keluarga, maka Saikong akan mengucapkan kata-kata baik dan akan menanyakan kepada semuanya “好 好?” hao bu hao baik tidak? dan semuanya akan menjawab “好” hao baik. Dengan demikian maka prosesi pemakaman telah selesai. Jika sebelumnya jenazah disemayamkan di rumah, maka Saikong akan kembali ke rumah tersebut untuk membacakan mantera membersihkan rumah tersebut dari unsur-unsur atau hawa negatif.

5.3 Pergeseran Peran Saikong

Pada awalnya ketika masyarakat Tionghoa baru menetap di Indonesia, Saikong memiliki peran yang cukup beragam dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa. Sehingga pada awalnya jasa seorang Saikong tidak hanya dipakai dalam upacara kematian masyarakat Tionghoa, tetapi dalam berbagai ritual kebudayaan yang lain. Hal ini terjadi karena pada zaman dahulu seorang Saikong dipandang sebagai sosok yang sangat memegang peranan penting dalam berbagai tahap kehidupan masyarakat. Namun Universitas Sumatera Utara akhirnya sosok Saikong sedikit demi sedikit mulai mengalami penyempitan peran. Hal itu disebabkan pola pikir masyarakat Tionghoa yang akhirnya memandang bahwa, sosok Saikong merupakan sosok yang hanya dipercaya dapat berkomunikasi dan berhubungan dengan dewa saja. Seperti contoh membacakan doa agar sang dewa berkenan menghapus dosa dari arwah yang telah wafat, hal inilah yang menyebabkan pada akhirnya jasa Saikong lebih banyak dipakai dalam upacara kematian. Pergeseran peran Saikong yang ketiga juga terjadi pada upacara kematian masyarakat Tionghoa. Berdasarkan penuturan para Saikong di lokasi penelitian, era tahun 80-an merupakan saat dimana peran Saikong dalam upacara kematian sedikit demi sedikit mulai digantikan oleh tokoh agama atau tokoh masyarakat yang lain, misalnya biksu, ustadz, dan pendeta. Hal yang menyebabkan perubahan ini menurut para Saikong adalah, beragamnya kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Tionghoa. Seperti contoh masyarakat Tionghoa penganut muslim dan Kristen yang taat, maka dalam upacara kematian akan dipimpin oleh ustadz untuk yang beragama islam dan pendeta untuk yang beragama Kristen. Era tersebut menurut para Saikong adalah saat dimana pengaruh agama mulai menguat dalam kehidupan masyarakat Tionghoa. Keanekaragaman kepercayaan serta pengaruh agama yang kuat pada masyarakat Tionghoa, mengakibatkan pemakai jasa Saikong dalam upacara kematian pada masa itu hanya penganut Buddha dan Konghucu. Hal ini terjadi karena menurut para Saikong ajaran Buddha dan Konghucu memiliki sedikit kesamaan yaitu sama-sama memiliki kepercayaan kepada dewa dan dewi, Sehingga penganut kedua keyakinan ini Universitas Sumatera Utara memakai jasa Saikong untuk memanjatkan doa-doa kepada dewa dan dewi agar sang dewa berkenan menghapuskan dosa arwah yang meninggal. Pada saat pemakai jasa Saikong pada masa itu yang tinggal hanya penganut Buddha dan Konghucu, maka di era tahun 2000-an, sosok Saikong pun mulai mengalami pergeseran peran. Selain karena perkembangan zaman dan pola pikir masyarakat Tionghoa, peraturan pemerintah yang baru dianggap sebagai salah satu faktor perubahan tersebut. Pada masa itu, pemerintah mencabut berbagai peraturan mengenai pembatasan ruang gerak masyarakat Tionghoa. Ketika itu, masyarakat Tionghoa mulai mengalami kebebasan dalam berbagai bidang termasuk bebas dalam beribadah dan bebas menunjukkan eksistensi diri sebagai masyarakat Tionghoa. Pada masa itu diperkirakan sebagian dari penganut Buddha mulai memiliki pola pikir yang sedikit berubah mengenai sosok Saikong. Masyarakat Tionghoa penganut ajaran itu mengganggap bahwa jasa Saikong lebih tepat dipakai untuk masyarakat Tionghoa penganut Konghucu. Hal ini disebabkan Saikong pada kenyatannya lebih identik kepada dewa dan bukan kepada sang Buddha. Sehingga pada upacara kematian, pada umumnya Saikong lebih banyak berdoa kepada sang dewa daripada melafalkan paritta untuk sang Buddha. Sementara itu penganut Buddha yang taat menganggap bahwa pelafalan paritta dan berbagai doa kepada sang Buddha, merupakan salah satu komponen yang dianggap cukup penting dalam upacara kematian. Sehingga umat Buddha yang pada awalnya merupakan salah satu kepercayaan yang masih tersisa sebagai pengguna jasa Saikong, sedikit demi sedikit mulai berubah, sebagian dari Universitas Sumatera Utara penganut keyakinan ini mulai beralih memakai jasa seorang biksu atau biksuni dalam upacara kematian. Pada saat ini pengaruh dari berbagai perubahan itu dapat dilihat dari semakin sedikitnya pemakai jasa Saikong dalam upacara kematian. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh penulis, disimpulkan bahwa saat ini pengguna jasa Saikong dalam upacara kematian adalah sebagian besar penganut Konghucu dan sebagian kecil dari penganut Buddha. Penganut Buddha yang masih menggunakan jasa Saikong pada umumnya adalah penganut Buddha yang belum bisa meninggalkan kepercayaan tradisionalnya. Sedangkan penganut Konghucu pada umumnya hingga kini masih memakai jasa Saikong hal ini disebabkan pada awalnya keberadaan Saikong merupakan pengaruh dari agama Konghucu. Pergeseran peran Saikong juga terjadi pada upacara pemakaman, yang mana pada zaman dahulu ketika akan berangkat ke pemakaman biasanya Saikong akan membantu keluarga dalam mengangkat jenazah. Hal ini disebabkan pada zaman dahulu masyarakat Tionghoa masih berjalan kaki untuk menempuh pemakaman. Tetapi seiring dengan perkembangan teknologi dan untuk menghemat waktu menjadi lebih efisien, maka masyarakat Tionghoa pada saat ini telah menggunakan kendaraan untuk mengantarkan jenazah menuju pemakaman. Masyarakat Tionghoa pada zaman dahulu juga memandang sosok Saikong sebagai seorang tokoh masyarakat yang luar biasa. Pada awal kedatangan masyarakat Tionghoa ke Indonesia, bahkan hingga zaman orde baru sosok Saikong merupakan Universitas Sumatera Utara orang yang dipandang sebagai sosok yang memiliki kemampuan luar biasa dan dipercaya sebagai media penghubung antara dewa dan manusia. Namun, saat ini jumlah masyarakat Tionghoa yang mengagumi dan mempercayai sosok Saikong mulai berkurang. Menurut penuturan mereka, sosok Saikong sama saja dengan manusia pada umumnya. Hal ini disebabkan seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat Tionghoa juga mulai mengalami perubahan pola pikir. Seperti contoh pada zaman dahulu pembacaan mantera-mantera yang dipercaya memiliki kekuatan magis, saat ini mulai dipandang sebagai sesuatu yang kurang dapat diterima oleh akal sehat. Sebagian masyarakat Tionghoa dewasa ini sudah tidak mempercayai hal tersebut. Universitas Sumatera Utara

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan