BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kesantunan linguistik dalam Berbagai Dimensi
Disertasi ini merupakan kajian transdisiplin yang melibatkan perspektif dari berbagai bidang ilmu ke dalam kajian linguistik. Oleh sebab itu dalam kajian pustaka
ini kesantunan linguistik ditelaah dari berbagai bidang seperti pragmatik, sosiolinguistik, dan analisis wacana. Di sana sini perspektif sosiologis, antropologis,
maupun psikologi sosial juga akan mewarnai kajian pustaka ini karena pragmatik, sosiolinguistik, dan analisis wacana juga tidak terlepas dari perspektif tersebut.
Sedikitnya ada empat dimensi yang digunakan dalam memandang dan mengkaji kesantunan linguistik berdasarkan beragam perspektif yang disebutkan di
atas. Keempat dimensi ini merupakan prinsip-prinsip yang menjadi fondasi bagi pendekatan kesantunan linguistik yang digunakan di dalam penelitian ini. Dimensi
dimaksud adalah dimensi: 1 motivasi. 2 fungsi, 3 realisasi, dan 4 konteks situasi. Dimensi pertama adalah dimensi motivasi. Berdasarkan telaah pustaka yang
dilakukan ditemukan bahwa apa yang dimaksud dengan kesantunan linguistik hampir tidak berbeda antara satu peneliti dengan peneliti lainnya. Demikian juga halnya
dengan motivasi kesantunan linguistik. Merujuk kepada beberapa kepustakaan yang tersedia, definisi dan motivasi kesantunan linguistik dapat disarikan sebagai berikut.
Geertz
50
mendefinisikan kesantunan linguistik sebagai strategi menyesuaikan bentuk bahasa dengan status sosial. Ia merumuskan definisi ini berdasarkan temuan
penelitian yang dilakukannya terhadap masyarakat Jawa yang memiliki strata sosial. Motivasi kesantunan linguistik menurutnya adalah untuk mencapai harmoni. Hal ini
sejalan dengan temuan Matsumoto 1988 dan Gu 1990 di dalam Reiter
51
yang menunjukkan bahwa motivasi kesantunan linguistik yang paling utama di dalam
masyarakat non-barat adalah kearifan discernment. Dapat dikatakan bahwa motivasi kesantunan linguistik menurut kedua ahli adalah untuk mencapai harmoni dan
kearifan. Brown dan Levinson
52
mendefinisikan kesantunan linguistik sebagai strategi menghindari mengancam muka orang lain. Mereka menyatakan bahwa kesantunan
linguistik merupakan upaya memenuhi wajah positif dan wajah negatif individu peserta berkomunikasi. Wajah positif adalah keinginan seseorang untuk diterima dan
dihargai. Wajah negatif adalah keinginan seseorang untuk tidak diganggu. Tidak berbeda dengan Brown dan Levinson, Yule
53
mendefinisikan kesantunan linguistik sebagai cara untuk merealisasikan kesadaran akan wajah orang lain. Bentuk
realisasinya menurutnya adalah melalui penghormatan deference maupun keakraban.
50
Clifford Geertz, “The Background and General Dimensions of Prijaji Belief and Etiquette” The Religion of Java Chicago: The University of Chicago Press, 1960, pp. 243 -248.
51
Rosina Márquez Reiter, op.cit p. xv
52
Penelope Brown dan Stephen C. Levinson, op.cit pp.10-11
53
George Yule, Pragmatic Oxford: Oxford University Press, 1996 p. 60
Penghormatan dinilai sebagai realisasi pemenuhan kebutuhan wajah negatif. Keakraban adalah realisasi pemenuhan kebutuhan wajah positif. Motivasi kesantunan
linguistik menurut mereka adalah untuk memenuhi kebutuhan wajah individu peserta komunikasi dengan cara menunjukkan penghormatan dan keakraban.
Selanjutnya Lakoff
54
mendefinisikan kesantunan linguistik sebagai sebuah sistim hubungan interpersonal yang dirancang untuk memfasilitasi interaksi.
Menurutnya cara yang ditempuh adalah dengan memperkecil potensi konflik dan konfrontasi. Pendapat ini sejalan dengan Zimmermann di dalam Held
55
yang menyatakan bahwa kesantunan linguistik adalah sebuah penemuan mengenai tingkah
laku sehari-hari yang bertujuan untuk menghindari dan mengurangi konflik.Menurut Lakoff dan Zimmerman, kesantunan linguistik adalah untuk memuluskan jalannya
interaksi dengan cara menghindari dan mengurangi konflik. Pada Haverkate di dalam Reiter
56
kesantunan linguistik didefinisikan sebagai strategi untuk menghindari tekanan sosial. Menurutnya tekanan sosial hampir selalu
ada di dalam peristiwa komunikasi. Motivasi kesantunan linguistik menurut Haverkate adalah untuk menghindari tekanan sosial tersebut. Kesantunan linguistik dengan
demikian dimotivasi keinginan untuk menghindari memberikan tekanan sosial kepada petutur.
54
Robin Tolmach Lakoff, “Talking About Language”. Talking Power USA: Basic Book, 1990, p. 34
55
Gudrun Held,, ”Politeness in linguistic research” Politeness in Language. Richard Watts, Sachiko Ide, Konrad Ehlich ed, New York: Mouton de Gruyter, 2005, p. 132.
56
Rosina Márquez Reiter, op. cit. pp. 4-5.
Pada Blum Kulka
57
kesantunan diasosiasikan dengan sikap toleransi, sikap terkendali, menampilkan tingkah laku yang baik, menampilkan rasa hormat, dan
bersikap baik pada orang lain. Kesantunan juga dimetaforakan sebagai sebuah amplop yang melindungi peserta interaksi agar tidak terluka dan diterobos wilayahnya selama
komunikasi berlangsung. Motivasi kesantunan linguistik menurut Watts
58
adalah menunjukkan pertimbangan kepada orang lain showing consideration for others. Hal yang sama
juga dinyatakan di dalam Lakoff dan Ide
59
. Secara lebih rinci, Allan dan Burridge
60
merumuskan kesantunan linguistik sebagai ’sedikit-dikitnya tidak menyerang dan sebaik-baiknya menyenangkan petutur’ polite is at least inoffensive and at best
pleasing to an audience. Motivasi kesantunan linguistik dengan demikian adalah untuk mempertimbangkan orang lain dengan cara sedikit-dikitnya tidak menyerang
dan sebaik-baiknya menyenangkan petutur. Berdasarkan sejumlah hal di atas dapat ditafsirkan bahwa motivasi kesantunan
linguistik adalah untuk: a mencapai kearifan, b memenuhi kebutuhan wajah individu peserta komunikasi, c memuluskan jalannya interaksi, dan d menunjukkan
pertimbangan kepada petutur. Cara yang ditempuh antara lain adalah dengan: a
57
Shosana Blum-Kulka, ”The metapragmatics of politeness in Israeli Society” Politeness in Language. Richard Watts, Sachiko Ide, Konrad Ehlich ed. New York: Mouton de Gruyter, 2005, p.
257.
58
Richard J. Watts,
op. cit.
p. 1.
59
R. T. Lakoff dan Sachiko Ide, Broadening the horizon of linguistic politeness Philadelphia, PA: John Benjamins Publishing, 2005, p. 4.
60
Keith Alan and Kate Burridge, “Sweet talking and Offensive Language”, Forbidden Words Cambridge: Cambridge University Press, 2006, p. 30
mengakomodasi strata sosial, b menghindari memberikan tekanan sosial kepada petutur, c mengkomunikasikan penghormatan dan keakraban, d menghindari dan
mengurangi konflik, dan e sedikit-dikitnya tidak menyerang dan sebaik-baiknya menyenangkan petutur.
Dimensi kedua kajian kesantunan linguistik adalah dimensi fungsi. Dimensi
ini melihat kesantunan linguistik memiliki fungsi yang berbeda pada tataran individu dan sosial. Janney dan Arndt
61
menyatakan bahwa fungsi kesantunan linguistik sosial adalah memberikan kerangka strategi yang bersifat standar untuk memasuki dan
keluar dari interaksi sosial secara anggun, seperti memulai, membina, dan mengakhiri percakapan. Janney dan Arndt
62
menulis, The function of social politeness is mainly to provide a framework of
standardised strategies for getting gracefully into, and back out of, recurring social situatons such as: initiating conversation, maintaining conversation,
terminating conversation
Sementara fungsi kesantunan linguistik individu adalah untuk memberikan kerangka bertingkahlaku dalam hubungan interpersonal yang bersifat suportif seperti
tidak mengatakan hal-hal yang mengancam, mengganggu, maupun menyakiti hati orang lain. Mereka mengatakan,
Being tactful is not simply a matter of behaving in a socially ”correct”way following rules of social usage; rather, it is a matter of behaving in an
interpersonally supportive way. It involves emphasizing with others, and not saying or doing things that threaten them, offend them, or injure their
feelings
63
.
61
Richard W. Janney dan Horst Arndt, ”Intracultural tact versus intercultural tact” Politeness in Language. Richard Watts, Sachiko Ide, Konrad Ehlich ed New York: Mouton de Gruyter, 2005,
pp. 22-23.
62
ibid. pp. 22-23
63
Ibid. pp. 22-23
Janney dan Arndt
64
lebih jauh menggambarkan perbedaan kedua fungsi kesantunan linguistik pada masing-masing dimensi individual dan sosial. Mereka
mengatakan bahwa kesantunan linguistik individu dan sosial dapat dibedakan secara metaforis. Kesantunan linguistik sosial digambarkan sebagai peraturan lalu lintas
sementara kesantunan linguistik individu digambarkan sebagai gaya dan strategi mengemudi seseorang. Menurut mereka yang memampukan seseorang menghindari
konflik interpersonal dalam kehidupan sehari-hari adalah kesantunan linguistik individu bukan kesantunan linguistik sosial.
Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa pada tataran sosial, kesantunan linguistik merupakan seperangkat norma kolektif. Fungsi kesantunan linguistik pada
tataran ini adalah untuk memagari pilihan-pilihan santun yang diambil seorang individu untuk dinilai sebagai santun. Fungsi kesantunan linguistik individu adalah
sebagai realisasi pilihan-pilhan santun yang bersifat strategis. Berhubung karena seorang individu hidup dalam sebuah komunitas tertentu, kesantunan linguistik yang
direalisasikan seorang penutur semestinya juga difahami sebagai sebuah kesantunan linguistik oleh individu lain petutur yang merupakan bagian dari komunitas yang
sama. Dalam hal ini lah fungsi kesantunan linguistik sebagai norma kolektif dan sebagai pilihan-pilihan strategis menjadi bermakna.
Dimensi ketiga yang digunakan dalam memandang kesantunan linguistik
adalah dimensi penggunaan realisasi. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, pada tataran individu kesantunan linguistik adalah seperangkat pilihan tindakan yang
64
Ibid. p. 24 .
dilakukan dalam mengungkapkan kesantunan linguistik. Pilihan-pilihan tindakan tersebut bersifat tak terbatas, kreasi yang bersifat individual yang bergerak di dalam
pagar kesantunan linguistik sosial. Kajian mengenai realisasi kesantunan linguistik membahas bagaimana manusia menggunakan istilah-istilah yang tersedia di dalam
bahasa mereka untuk mencapai kesantunan.
65
Realisasi kesantunan linguistik digambarkan pada Spolsky dan Reiter. Spolsky
66
mengibaratkan seorang individu sebagai seorang aktor yang baik yang dapat mengekspresikan sebuah ujaran dalam rentang emosi yang luas untuk mengisyaratkan
kesantunan linguistik. Reiter
67
menggambarkan kesantunan linguistik individu sebagai suatu hal yang direalisasikan dalam sejumlah alternatif cara yang dapat digunakan
seorang aktor untuk melakonkan sebuah adegan dalam bingkai standar yang diakui secara kolektif. Ia menulis,
At the individual level politeness is represented by the wide range of alternative ways in which an actor can perform an act within the shared
standard. This standard is a collective one. Dari pendapat Spolsky dan Reiter di atas dapat dikatakan bahwa kesantunan
linguistik merupakan sejumlah pilihan tak terbatas yang tersedia bagi seorang individu. Seorang individu penutur dapat memilih satu atau lebih dari pilihan tak
terbatas itu untuk mengungkapkan kesantunan linguistik. Ia juga dapat berkreasi dalam merealisasikan kesantunan linguistik menurut kadar dan maksud yang
65
Richard J.Watts
op. cit.
p.xxii.
66
Bernard Spolsky, Sociolinguistics Oxford: Oxford University Press, 1998, p. 19
67
Rosina Márquez Reiter. op. cit. p.3.
diinginkannya. Agar kesantunan linguistikn seorang individu difahami sebagai sebuah kesantunan linguistik, maka ia harus memastikan bahwa kesantunan linguistiknya
berada dalam wilayah standar yang difahami bersama. Realisasi kesantunan linguistik individu dengan demikian memiliki keragaman yang tidak terhitung jumlahnya.
Namun realisasi yang tidak mengikat ini tetap dapat difahami sebagai kesantunan linguistik apabila berada dalam bingkai kesantunan linguistik sosial yang diyakini
bersama. Realisasi kesantunan linguistik dikenali melalui strategi yang dipilih seorang individu untuk mencapai kesantunan linguistik.
Penelitian yang paling monumental dalam mengkaji kesantunan linguistik dari perspektif strateginya adalah Brown dan Levinson. Brown dan Levinson
68
menemukan 25 strategi kesantunan linguistik yang diklasifikasi atas kesantunan linguistik positif dan kesantunan linguistik negatif. Hal ini didasari prinsip bahwa
manusia memiliki dua jenis wajah yakni wajah negatif dan wajah positif. Wajah negatif adalah keinginan seseorang agar dirinya diberi ruang untuk bebas berekspresi.
Wajah positif adalah keinginan seseorang agar dirinya termasuk pemikirannya dapat diterima dan disukai. Menurut kedua pakar, kesantunan linguistik merupakan strategi
untuk memenuhi keinginan dua jenis wajah ini. Strategi kesantunan linguistik positif, dirinci ke dalam 15 sub kategori: 1
memberi perhatian notice; 2 melebihkan dalam memberikan komentar atau pujian exaggerate; 3 menegaskan intensify; 4 menggunakan penanda sebagai anggota
kelompok yang sama use in-group identity markers; 5 Mengupayakan kesepakatan
68
Penelope Brown dan Stephen C. Levinson, op. cit, pp. 101-128.
seek agreement; 6 Menghindari perbedaan pendapat avoid disagreement; 7
Mengisyaratkan kesamaan pandangan presuppose common ground; 8
Menggunakan lelucon joke; 9 Menampilkan pengetahuan penutur dan
mempertimbangkan keinginan petutur assert S’knowledge and concern for H’s
wants; 10 Menawarkan, berjanji offer, promise; 11 Bersikap optimis be
optimistic; 12 Menyertakan penutur dan petutur dalam kegiatan include both S and H in the activity; 13 Memberi atau meminta alasan give reasons; 14 Menerima
atau menampilkan sikap timbal balik atau saling assume or assert reciprocity; 15
Memberi hadiah kepada petutur give gifts to H. Sementara strategi kesantunan linguistik negatif terdiri dari 10 strategi, yakni:
1 Menggunakan ujaran tidak langsung be conventionally indirect; 2 Pertanyaan,
kalimat berpagar question, hedge; 3 Bersikap pesimis be pessimistic; 4 Meminimalkan tekanan minimize imposition; 5 Memberikan penghormatan give
deference; 6 Meminta maaf apologize; 7 Menghindarkan penggunaan kata ‘Saya’ dan ‘Kamu’ impersonalize S and H: avoid the pronouns ‘I’ and ‘You’; 8
Menyatakan tindakan pengancaman muka sebagai aturan yang bersifat umum state the FTA as a general rule; 9 Nominalisasi nominalize; 10 Menyatakan terus terang
penutur berhutang budi kepada petutur go on records
69
.
69
Penelope Brown dan Stephen C. Levinson, op. cit, pp. 109-209.
Realisasi kesantunan linguistik juga ditemukan dalam Leech
70
. Ia menjabarkan strategi kesantunan linguistik ke dalam 6 maksim yakni maksim
kebijaksanaan tact maxim, maksim kedermawanan generosity maxim, maksim pujian approbation maxim, maksim kerendahhatian modesty maxim, maksim
persetujuan agreement maxim, dan maksim simpati sympathy maxim. Penelitian Murni dan Juniati
71
yang merujuk kepada teori Leech menemukan bahwa dalam modus imperatif Bahasa Karo ditemukan 4 maksim kesantunan yakni maksim
kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim persetujuan, dan maksim simpati; sementara 2 maksim lainnya yakni maksim pujian, dan maksim kerendahhatian tidak
ditemu
ini. Selain itu juga ditemukan adanya strategi gabungan dari dua strategi berbeda yakni kan.
Realisasi kesantunan linguistik lainnya ditemukan pada Lakoff
72
. Tiga dimensi kesantunan linguistik yang diajukannya adalah keformalan formality,
keragu-raguan hesitancy, dan kesederajatan camaraderie. Penelitian Murni dan Deborah
73
yang menggunakan teori Lakoff menemukan bahwa dalam short message service sms yang dikirim anak kepada orangtua ditemukan realisasi ketiga strategi
70
G. N. Leech,. Principles of pragmatics. London New York: Longman, 1983, p. 132
71
Sri Minda Murni dan Juniati.. Language Politeness in Karo Language. Medan: Kumpulan Makalah Pertemuan Linguistik Utara 5 4-5 Desember 2006 p. 97-106.
72
Robin Tolmach Lakoff, op.cit, p. 34
73
Sri Minda Murni dan Deborah JAH, Strategies of Politeness in Short Message Language. Medan: Kumpulan Makalah Pertemuan Linguistik Utara 5 4-5 Desember 2006 p. 92-96.
gabungan keformalan dan keragu-raguan, keformalan dan keakraban, dan gabungan keragu-raguan dan keakraban.
Sifianou
74
menemukan bahwa ada perbedaan yang bersifat jender dalam memberikan pujian untuk mencapai kesantunan. Temuan penelitiannya menunjukkan
komposisi dan persentase sebagai berikut: a pujian wanita terhadap wanita 67, b pujian wanita terhadap pria 12, c pujian pria terhadap wanita 16, dan d pujian
pria terhadap pria 5. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa wanita merealisasi pujian lebih banyak dibanding pria dan pujian wanita juga lebih banyak ditujukan
kepada sesama wanita dibanding terhadap pria. Sebaliknya, pujian pria terhadap sesama pria justru lebih rendah dibanding pujian pria terhadap wanita.
Kajian mengenai realisasi kesantunan linguistik berkembang terus tanpa batas. Hal ini dapat dimaklumi mengingat kesantunan linguistik merupakan seperangkat
pilihan tindakan. Yueguo Gu di dalam Eelen
75
misalnya menunjukkan bahwa teori Leech tidak sepenuhnya dapat menggambarkan keseluruhan konsep kesantunan
linguistik di China. Berdasarkan kajian yang dilakukannya, Gu memperkenalkan 4 maksim kesantunan linguistik yakni: merendahkan diri self-denigration, menyapa
address, budi tact, dan kedermawanan generosity. Demikian juga Ide di dalam
76
meneliti realisasi kesantunan linguistik di Jepang. Dia menyimpulkan bahwa di negara ini, realisasi kesantunan linguistik
74
Maria Sifianou “Oh How appropriate” Linguistic Politeness Across Boundaries. The case of Greek and Turkish. Arin Bayraktaroglu and Maria Sifianou ed. Philadelphia: John Benjamins
North America. 2001, p. 401.
75
Gino Eelen, A Critique of Politeness Theories Manchester: Jerome Publishing, 2001, p.9
76
R. T. Lakoff dan Sachiko Ide, op. cit. pp. 45-64.
didasarkan kepada pilihan bentuk-bentuk honorific dan non-honorific dalam bertutur. Menurutnya, di dalam bahasa Jepang tidak ada bentuk-bentuk yang netral secara
sosial. Realisasi kesantunan linguistik yang ditemukannya mencakup: a bersikap sopan terhadap orang yang memiliki posisi sosial lebih tinggi; b bersikap sopan
terhadap seseorang yang memiliki kekuasaan; c bersikap sopan terhadap orang yang lebih tua; dan d bersikap sopan dalam situasi resmi yang ditentukan berdasarkan
faktor-faktor peserta tutur, peristiwa, dan topik pembicaraan. Selanjutnya, Bharuthram
77
mengkaji fenomena kesantunan linguistik pada masyarakat India pemakai Bahasa Inggris di sektor Hindu Afrika Selatan. Ia
menemukan bahwa realisasi kesantunan linguistik di sana adalah dengan: a menawarkan bantuan dan keramahan; dan b bertindak yang tidak membuat orang lain
merasa tidak nyaman. Realisasi kesantunan dalam bentuk permintaan maaf dalam penelitian
Deutschman
78
pada masyarakat British English antara lain menunjukkan bahwa leksem yang digunakan dalam mengungkapkan maaf adalah: sorry 59,2, pardon 26,5,
excuse 10,4, sedangkan lainnya yakni afraid, apologise, forgive, dan regret seluruhnya mencakup 3,9. Dari segi fungsinya dia menemukan komposisi yakni:
permintaan maaf yang sesungguhnya 36, permintaan maaf yang bersifat formulaik
77
Sharita Bharuthram, “Politness phenomena in the Hindu sector of the South African Indian English speaking community”, Journal of Pragmatics 35 2003, pp. 1523-1544.
78
Mats Deutshmann,
op. cit.
p. 51-59.
dengan fungsi tambahan 35, permintaan maaf yang bersifat formulaik 15, permintaan maaf karena sudah menyerang wajah orang lain 10, dan lainnya 4.
Realisasi kesantunan juga mengikuti konteks situasi. Dalam konteks semi- formal misalnya, Zeyrek
79
menemukan bahwa penutur menggunakan gabungan sapaan yang bersifat informal dan formal, yakni dengan menggunakan ungkapan
keakraban sekaligus penghormatan. Realisasi kesantunan linguistik dengan demikian adalah pilihan-pilihan
strategis individu peserta komunikasi. Pilihan-pilihan strategis dimaksud beragam realisasinya sebagaimana ditunjukkan pada temuan-temuan penelitian sebelumnya.
Dimensi keempat yang digunakan dalam mengkaji kesantunan linguistik
adalah dimensi konteks sosio-kultural yang mempengaruhi kesantunan linguistik. Dalam dimensi ini, kesantunan linguistik difahami sebagai representasi dari nilai-nilai
sosial dan budaya yang dianut masyarakat tertentu. Watts, et.al
80
menyatakan bahwa dalam mengkaji kesantunan linguistik, secara otomatis kita akan mengkaji interaksi
sosial dan kepantasan tingkahlaku berdasarkan konvensi sosio-kultural yang berlaku. Dimensi sosio-kultural yang digunakan dalam mengkaji kesantunan linguistik
juga berupaya mengungkapkan kecenderungan-kecenderungan yang terlihat dalam komunitas tertentu untuk merealisasikan kesantunan linguistik. Dengan dimensi ini,
kecenderungan pola realisasi kesantunan linguistik dari penutur yang berada dalam
79
Denis Zeyrek. “Politeness in Turkish and its manifestation: A socio-cultural perspective.” Linguistic Politeness Across Boundaries. The case of Greek and Turkish. Arin Bayraktaroglu and Maria
Sifianou ed. Philadelphia: John Benjamins North America, 2001, p. 66.
80
Richard J. Watts, Op.cit, p. 6.
wilayah kebudayaan tertentu diformulasikan untuk melihat keuniversalannya. Dengan dimensi ini pula, perbedaan realisasi kesantunan linguistik dikaji sebagai bagian dari
upaya menemukan keunikan realisasi kesantunan linguistik masing-masing budaya. Reaksi terhadap perspektif kesantunan masyarakat Barat misalnya, ditemukan pada
Bayraktaroglu dan Sifianou
81
. Mereka menulis, Politeness is probably a universal occurance but the theories of it have so far
been constructed in the English speaking west in particular, and the native language of the theoreticians have provided the basic insights involved in
theory construction…Consequently, the definition of the term ‘politeness’ reflect northern European norms, where politeness is primarily conceptualized
as a means of avoiding conflict in interaction. Remarkably, what is overlooked in such conceptualizations is that politeness, besides being a means of
restraining feelings, is also a means of expressing them. Our acts are not only face-threatening Brown and Levinson [1978] 1987 but also face-boosting
Bayraktaroglu 1991 or face enhancing Sifianou 1995...
Kutipan di atas secara implisit menunjukkan dua hal yakni: a konsep kesantunan bersifat universal; dan b realisasi kesantunan sangat bergantung kepada
aspek-aspek yang bersifat sosio-kultural. Salah satu penelitian paling awal dan klasik karena masih banyak dirujuk
sampai saat ini mengenai kesantunan linguistik dalam masyarakat Indonesia dilakukan Geertz pada masyarakat Jawa. Ada tiga prinsip paling utama yang diungkapkan di
dalam penelitiannya. Pertama, dia menyatakan bahwa norma-norma kesantunan linguistik pada kelompok priyayi berakar pada nilai-nilai spiritual dan konsep diri,
yakni keinginan untuk mendapatkan kedamaian bagi diri sendiri dan orang lain. Tiga
81
Arin Bayraktaroglu dan Maria Sifianou. 2001. “Introduction.” Linguistic Politeness Across Boundaries. The case of Greek and Turkish. Arin Bayraktaroglu and Maria Sifianou ed. Philadelphia:
John Benjamins North America, 2004, p. 3.
faktor yakni bahasa formal, seni Jawa, dan etiket merupakan sebuah konsep yang utuh karena yang satu berlaku dalam mewujudkan dua lainnya. Dia menulis
Formal language, Javanese art, and etiquette were all of a piece. Each person has within him the capital of rasa which is his real riches and which is what
makes for smooth relations between people and for peace among them and within people. …This ‘emotional set’ is what is called a capital of rasa, and it
is very important. Etiquette, language, and art, such as the gamelan orchestra and the shadow-play, are all intended to build up within the individual this
store of rasa capital
82
. Kesantunan linguistik direalisasikan dalam pilihan kata, kalimat, dan dialek
yang mencerminkan status sosial dan hubungan kekerabatan antara peserta percakapan. Dia menggambarkan bahwa seseorang yang statusnya lebih tinggi akan
menggunakan dialek ngoko kepada seseorang yang statusnya lebih rendah sementara yang bersangkutan akan direspon dengan dialek krama oleh lawan bicaranya.
Kedua, salah satu prinsip utama dalam etiket Jawa yang berkaitan langsung dengan kesantunan linguistik adalah prinsip kesesuaian bentuk bahasa dengan status
sosial the proper form for the proper rank. Di dalamnya terkandung pinsip andap- asor yang bermakna merendahkan diri to humble oneself politely bagi orang yang
sederajat atau pun kepada seseorang yang lebih tinggi status sosialnya. Oleh karena itu dia menggambarkan bahwa apabila dua orang priyayi yang belum saling mengenal
bertemu satu sama lain, mereka memerlukan waktu dan enerji yang sangat banyak untuk menemukan kedudukan status sosial satu sama lain untuk sampai kepada
pemilihan bentuk bahasa yang sesuai. Prinsip andap-asor menurut Geertz dapat menyelamatkan seseorang untuk tidak kehilangan muka. Acuan dalam memperkirakan
82
Clifford Geertz , op. cit, p. 243.
dan menetapkan status sosial seseorang antara lain adalah pakaian, pekerjaan, dan keturunan. Etiket priyayi sangat erat hubungannya dengan kesantunan linguistik.
Gerrtz
83
menegaskan bahwa sistem etiket Jawa terangkum secara baik di dalam kesantunan linguistik the entire etiquette system is perhaps best summed up and
symbolized in the way the Javanese use their language. Hal ketiga yang ditemukan Geertz adalah ketidaklangsungan ujaran sebagai
salah satu ciri berbahasa santun di kalangan priyayi. Dia menulis, one must get the rasa of what people are saying, the real content, because alus people often don’t like
to say what is on their minds
84
seorang petutur harus dapat menangkap apa yang sesungguhnya dimaksudkan seorang penutur sebab biasanya seorang yang santun
tidak akan mengucapkan secara langsung apa yang dipikirkannya. Namun dalam perkembangan masyarakat sesudahnya terutama di Jakarta,
Gunarwan
85
menemukan bahwa bentuk-bentuk yang paling tak langsung ternyata dinilai bukan yang paling santun. Penggunaan Isyarat Halus IH misalnya malah
dinilai kurang santun dibanding Isyarat Kuat IK dan kedua-duanya bahkan dinilai kurang santun dibanding penggunaan Performatif Pf. Dari responden diperoleh
alasan bahwa IH dan IK ‘terdengar’ sebagai sindiran.
83
Clifford Geertz , op. cit, p. 248
84
Clifford Geertz , op. cit, p. 244
85
Asim Gunarwan, “Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan Indonesia-Jawa di Jakarta: Kajian Sosiopragmatik”, PELLBA 7 Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa Atmajaya: Kelima.
Bahasa Budaya. Penyunting Bambang Kaswanti Purwo Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya, 1994 p. 98.
Dalam perspektif yang lebih luas, Saeed
86
menemukan bahwa penggunaan ujaran tak langsung merupakan strategi kesantunan linguistik yang berakar pada
norma budaya Eropa dan Amerika bukan Asia. Penelitian terhadap penggunaan ujaran tak langsung pada Bahasa Inggris dan Jerman serta Bahasa Inggris dan Rusia
menunjukkan bahwa penggunaan ujaran tak langsung dalam Bahasa Inggris lebih besar dibanding kedua bahasa Jerman dan Rusia.
Perspektif sosio-kultural dalam memandang kesantunan linguistik juga terlihat pada Eelen
87
dan Holmes
88
. Mereka menyatakan bahwa definisi dan strategi kesantunan linguistik berbeda dari satu budaya ke budaya lain. Mereka mengatakan
bahwa satu budaya cenderung menggunakan aturan maupun strategi kesantunan linguistik tertentu. Menurut Eelen, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa
budaya Eropa cenderung menekankan strategi jarak distancing, kebudayaan Asia penghormatan deferential, dan kebudayaan modern Amerika persahabatan
camaraderie. Perspektif sosio-kultural mengkaji pengaruh nilai budaya yang diyakini suatu
masyarakat terhadap pilihan-pilihan santun. Sebagai contoh digambarkan bahwa struktur percakapan dalam budaya Asia berbeda dengan budaya Amerika dan hal ini
diyakini memberi pengaruh terhadap strategi kesantunan linguistik yang digunakan
86
J. I. Saeed, Semantics 2nd ed. Malden, MA: Blackwell Pub,2000 p.218.
87
Gino Eelen, op, cit, p. 3
88
Janet Holmes, Women, men and politeness, Singapore: Longman Singapore Publisher, 1995, p. 8.
terutama di tingkat wacana. Scollon dan Scollon
89
mengatakan bahwa strukur percakapan pada budaya Asia seperti parabola parabolic arch, dimulai dari berbicara
mengenai hal-hal kecil, inti percakapan, dan ditutup dengan pembicaraan tentang hal- hal kecil lagi. Sebaliknya, struktur percakapan pada budaya Barat adalah langsung
kepada inti percakapan, diikuti pendukung berupa pembicaraan mengeani hal-hal kecil, dan ditutup dengan penegasan berkaitan dengan inti percakapan tadi. Strategi
kesantunan linguistik diyakini juga terkait dengan keragaman struktur percakapan ini. Perspektif sosio-kultural memandang kesantunan linguistik terkait dengan
faktor-faktor sosial lain seperti usia. Aziz
90
menemukan bahwa faktor usia berperan sangat penting dalam realisasi kesantunan linguistik. Dari data-data yang
dikumpulkan ditemukan adanya perbedaan yang sangat mencolok pada realisasi kesantunan linguistik yang ditunjukkan oleh kelompok generasi yang berbeda.
Perbedaan ini menurutnya menyiratkan adanya perbedaan pandangan dari masing- masing generasi terhadap fenomena santun berbahasa dalam masyarakat penutur
bahasa Indonesia. Dibandingkan dengan kelompok responden berusia menengah dan senior, kelompok responden berusia muda lebih menunjukkan sikap berterus terang
dalam bertutur untuk menyampaikan maksud tuturannya direct. Kelompok
89
R., Scollon, Scollon, S. W. , Face parameters in east-west discourse. In S. Ting-Toomey Ed., The challenge of facework cross-cultura; and interpersonal issues pp. 133-158. New York:
State Univeersiy of New York Press, 1994, p. 135.
90
E. Aminudin Aziz, “Konsep Wajah dan Fenomena Kesantunan Berbahasa pada Masyarakat Cina Moderen: Kasus Shanghai.” Linguistik Indonesia Jurnal Ilmiah Masyarakat Linguistik Indonesia,
Tahun ke 23, Nomor 2 Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005 p. 211-212.
responden berusia menengah dan senior nampak lebih berhati-hati dalam bertutur, terutama ketika menunjukkan perbedaan pendapat yang bisa menimbulkan konflik.
Faktor sosial lain yang memiliki peran yang besar dalam merealisasikan kesantunan linguistik adalah konsep diri dan hubungan sosial. Konsep diri dan konsep
hubungan sosial merupakan refleksi dari kepercayaan akan nilai-nilai budaya tertentu. Foley
91
mengatakan bahwa konsep diri di dalam budaya barat bersifat egosentris idividualistis dan konsep diri pada budaya timur bersifat sosiosentris. Secara rinci ia
menjelaskannya sebagai berikut: In these cultures, the individual and his autonomy are not singled out as the
local understanding of person, rather his embeddedness in the social context is the stuff of his definition as a person. Personhood is, thus, defined in
sociocentric term, according to the social position a particular human being occupies. The sociecentric conception of personhood regard the good of the
social grouping as fundamental as subordinate individual wants and needs to the collective good..
Pada kutipan di atas, Foley menegaskan bahwa dalam budaya sosiosentris, konsep diri didefinisikan dalam kaitannya dengan konteks sosial, status sosial, dan
pengelompokan sosial. Menurutnya hal ini merefleksikan keinginan dan kebutuhan untuk hidup secara kolektif.
Pemahaman akan hak penutur merupakan faktor sosio-kultural lain yang berperanan dalam merealisasikan kesantunan linguistik. Spolsky
92
menyatakan, Because speech events regularly include both a speaker-writer and a listener-
reader, it is not surprising that language is particularly sensitive, in the rules for speech use, to the relation between the two parties. Just as a good actor
can utter a single sentence expressing a wide range of emotional states of the
91
William A. Foley, “Politeness, Face, and the Linguistic construction of Personhood.” Anthropological Linguistics an Introduction. USA: Blackwell Publishers, 1999, p.266.
92
Bernard Spolsky, op. cit, p. 19
speaker, so the choice of an appropriate message form can be modified to express a wide range of attitudes of the speaker to the listener. Given the same
general situation, I can pass information or make a request or simply greet in a whole set of different ways that will define my attitude to the listener and the
importance I give himher. In its simplest terms, politeness consists of this recognition of the listener and his or her rights in the situation.
Pada paragraf di atas, Spolsky
93
menyatakan bahwa kesantunan linguistik juga melibatkan pemahaman hak penutur. Ia menyimpulkan, karena peristiwa tutur
menyangkut pembicara-penulis dan pendengar-pembaca, tidak mengherankan bila bahasa bersifat sensitif dalam aturan penggunaan tuturan dalam hubungan antara dua
orangkelompok. Sebagaimana halnya seorang aktor yang baik yang dapat mengekspressikan sebuah kalimat dalam sebuah rentang emosi yang luas, begitu juga
dengan sejumlah pilihan pesan yang tersedia dapat dimodifikasi oleh penutur untuk mengekspressikan rentangan sikap yang luas kepada petutur. Sebagai contoh,
memberi informasi, memohon, atau hanya menyapa dapat dilakukan dalam seperangkat pilihan cara yang amat banyak yang paling pas mewakili sikap seorang
penutur terhadap petutur dan penting tidaknya petutur bagi penutur. Secara sederhana, dia menyimpulkan kesantunan linguistik terdiri dari pemahaman petutur dan haknya
dalam situasi tertentu. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor pemahaman tentang hak petutur pada situasi komunikasi tertentu merupakan faktor
penting dalam kesantunan linguistik. Faktor sosio-kultural lain yang berperanan dalam merealisasikan kesantunan
linguistik adalah faktor jarak dan kedekatan. Yule
94
1996 menyatakan,
93
Bernard Spolsky, op. cit. p. 19
94
George Yule, op. cit. p. 160
Politeness, in an interaction, can then be defined as the means employed to show awareness of another person’s face. In this sense, politeness can be
accomplished in situations of social distance or closeness. Showing awareness for another person’s face when that other seems socially distant is often
described in terms of respect or deference. Showing the equivalent awareness when the other is socially close is often described in terms of friendliness,
camaraderie, or solidarity Yule, 1996: 60 Pada kutipan di atas, Yule
95
menyatakan bahwa jarak dan kedekatan merupakan faktor yang penting dalam kesantunan linguistik. Ia menyimpulkan bahwa
di dalam sebuah interaksi, kesantunan linguistik dapat didefinisikan sebagai cara yang digunakan untuk menunjukkan kesadaran tentang wajah orang lain. Artinya adalah
bahwa kesantunan linguistik dapat digunakan dalam situasi yang berjarak jauh maupun dekat secara sosial. Menunjukkan kesadaran tentang wajah orang lain yang
memiliki jarak sosial menurutnya sering digambarkan sebagai penghormatan. Sementara menunjukkan kesadaran tentang kesamaan kepada seseorang yang
memiliki kedekatan secara sosial sering digambarkan sebagai keakraban, persahabatan, atau solidaritas.
Oleh karena itu, perhitungan yang tepat mengenai jarak sosial ini sangat penting. Menurut Ervin-Tripp, perhitungan yang benar mengenai kedua hal ini dapat
mempertahankan hubungan sosial
96
. Sebaliknya, perhitungan yang salah dapat menciptakan konflik dan konfrontasi. Sebagai contoh, menyapa teman dekat sebagai
bukan teman dekat dianggap dingin dan menciptakan jarak. Perspektif sosio-kultural dalam memandang kesantunan linguistik juga
memasukkan faktor kekuasaan, jarak sosial, dan tingkat keterancaman sebuah tuturan
95
ibid. p.60
96
J. I. Saeed, op. cit, p. 218.
dalam merealisasikan kesantunan linguistik. Brown dan Levinson
97
merinci 3 faktor atau variabel sosial yang berpengaruh dalam praktik kesantunan linguistik, yakni 1
kekuasaan yang dilambangkan dengan P dari kata Power; 2 Jarak yang dilambangkan dengan D dari Distance; dan 3 Tingkatan yang dilambangkan dengan R dari Ranking.
Kekuasaan bermakna kemampuan memaksakan kehendak seseorang kepada orang lain. Kekuasaan dalam hal ini adalah perbedaan kekuasaan yang dipersepsi antara
penutur dan petutur the perceived power difference between hearer and speaker. Jarak sosial adalah persepsi mengenai jarak sosial di antara penutur dan petutur the
perceived social distance between them. Ranking adalah ranking budaya tindak tutur, yakni bagaimana ‘mengancam’ atau ‘berbahayanya’ tindak tutur itu di dalam budaya
tertentu the cultural ranking of the speech act. Sebagai ilustrasi, tindak tutur langsung dalam direktif dinilai kurang santun bila dibanding dengan tindak tutur tidak
langsung
98
. Selanjutnya, perhitungan antara ketiga variabel sosial ini yang dirumuskan dengan W bermakna weightiness ukuranpertimbangan dieksplisitkan ke
dalam formula dimana x bermakna tindak tutur, S bermakna pembicara, H pendengar, dan R tingkat keterancaman sebuah indak tutur:
Wx = D S,H + P H.S, + Rx Perspektif sosio-kultural dalam memandang kesantunan linguistik tidak
melepaskan diri dari makna yang terkandung di dalam istilah yang digunakan. Sebagian peneliti membedakan deference dengan kesantunan linguistik. Istilah
97
Penelope Brown dan Stephen C. Levinson, op. cit. p. 74-83.
98
J. I. Saeed, op. cit, p. 218.
deference bermakna sikap hormat yang khusus ditujukan kepada yang lebih tua sementara kesantunan linguistik ditujukan kepada semua orang tanpa memandang
usia. Bahasa Jepang adalah salah satu contoh dari bahasa yang menggunakan rasa hormat ini secara sistimatis. Ketika menyebut nama seseorang misalnya, mereka akan
menambahkan –san seperti Suzuki-san. Ungkapan rasa hormat yang lebih formal ditunjukkan dengan menambahkan kata –sama, dan ungkapan rasa sayang kepada
anak-anak diungkapkan dengan menambahkan –chan; para professional seperti guru, dokter, dll disapa dengan menambahkan –sensei di belakang nama mereka
99
. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dimensi sosio-kultural dalam
memandang kesantunan linguistik menunjukkan bahwa kesantunan linguistik difahami sebagai representasi nilai-nilai sosial dan budaya yang dianut masyarakat tertentu
termasuk nilai-nilai yang dianut masyarakat praktisi tertentu. Dimensi sosio-kultural juga mengungkapkan kecenderungan-kecenderungan yang terlihat dalam komunitas
tertentu sekaligus keunikannya pada masing-masing budaya maupun masyarakat praktisi tertentu.
Dari keempat dimensi kesantunan linguistik di atas yakni dimensi motivasi, fungsi, penggunaan realisasi, dan perspektif faktor sosio-kultural yang
mempengaruhi kesantunan linguistik, dapat dikatakan sejumlah hal sebagai berikut. Pertama, motivasi kesantunan linguistik adalah untuk: a mencapai kearifan, b
99
Zdenek Salzmann, Language, Culture, and Society. An Introduction to Lisnguistics Anthropology. 2
nd
ed Colorado. Westview Press, . 1998, ppn 195-196.
memenuhi kebutuhan pemenuhan wajah individu peserta komunikasi, c memuluskan jalannya interaksi, dan d menunjukkan pertimbangan kepada petutur. Cara yang
ditempuh antara lain adalah dengan: a mengakomodasi strata sosial, b menghindari memberikan tekanan sosial kepada petutur; c mengkomunikasikan penghormatan dan
keakraban, dan d menghindari dan mengurangi konflik, serta e sedikit-dikitnya tidak menyerang dan sebaik-baiknya menyenangkan petutur.
Kedua, dimensi fungsi menemukan bahwa pada tataran individu fungsi kesantunan linguistik adalah untuk merealisasikan pilihan-pilihan tindakan santun
yang bersifat strategis dan tidak terbatas. Pada tataran sosial fungsi kesantunan linguistik adalah sebagai norma kolektif yang memastikan tindakan-tindakan santun
sebagai tindakan yang difahami sebagai santun. Ketiga, dimensi realisasi menemukan sejumlah strategi yang digunakan baik
individu maupun kolektif anggota masyarakat untuk mengungkapkan kesantunan linguistik. Perspektif ini menunjukkan bahwa realisasi dan pemaknaan kesantunan
linguistik bersifat unik di dalam kelompok masyarakat yang berbeda-beda. Keempat, dimensi sosio-kultural menunjukkan bahwa pilihan-pilihan
kesantunan linguistik tidak terlepas dari faktor-faktor yang bersifat lazim dan berterima secara sosial dan budaya bagi masyarakat praktisi dimana kesantunan
linguistik itu digunakan.
Dalam penelitian ini, keempat dimensi ini akan digunakan. Dimensi motivasi
kesantunan linguistik di rapat DPR, sebagaimana akan dijelaskan lebih jauh nanti, adalah untuk memuluskan jalannya interaksi dengan cara menyeimbangkan aspek
kolaboratif kemitraan dan aspek kompetitif pengawasan. Dimensi fungsi kesantunan linguistik pada rapat DPR terbagi dua yakni fungsi individual yang di dalam disertasi
ini dimaknai sebagai pilihan-pilihan strategis anggota DPR yang dibingkai fungsi sosial yang dimaknai sebagai perilaku lazim dan berterima di rapat DPR. Ketiga,
dimensi realisasi menemukan sejumlah strategi yang digunakan anggota DPR dalam merealisasi kesantunan linguistik. Keempat, dimensi sosio-kultural menggambarkan
bagaimana faktor-faktor yang bersifat etnis, jenis kelami, usia, dan pendidikan melebur dan membentuk perilaku sosial yang bersifat normatif, di atas mana perilaku
santun dipraktikkan.
2.2 Wilayah Kajian Kesantunan linguistik