Lebih rinci lagi, Tracy dan Baratz
109
menegaskan perlunya penelitian kesantunan linguistik dilakukan sebagai studi kasus. Hal ini didorong pendapat mereka
mengenai apa yang disebut dengan ’face’ berbeda dengan ’facework’. Mereka mengatakan bahwa konsep wajah merujuk kepada identitas yang diklaim oleh penutur
petutur bagi dirinya dalam situasi sosial tertentu face refers to the identities people claim or attribute to each other in specific social situations; Sedangkan upaya
menjaga muka merujuk kepada strategi komunikasi yang dilakukan dalam mengakomodasi identitas tersebut facework refers to the ’communicative strategies
that are the enacment , support, or chalenge of those situated identities. Dalam tataran praktis, sampai saat ini para peneliti masih berpendapat bahwa
realisasi kesantunan linguistik hanya dapat diamati melalui realisasi tindak tutur. Dengan kata lain, dalam mengkaji kesantunan linguistik terlebih dahulu perlu
ditetapkan realisasi tindak tutur yang akan dikaji dimana kesantunan linguistik tersebut terjadi.
2.3 Ungkapan dan Interpretasi Kesantunan linguistik
Untuk lebih mudah memahami kesantunan linguistik, Allan dan Burridge
110
memperkenalkan konsep dysphemism, orthophemism, dan euphemism. Disfemisme
109
K.. Tracy, Barats, S. The case for case studies of facework. In S. Ting-Toomey Ed., He challenge of facework cross-cultura; and interpersonal issues pp. 287-306, 1994, P. 287.
110
Keith Alan and Kate Burridge“Sweet talking and Offensive Language”. Forbidden Words. Cambridge: Cambridge University Press, 2006, p. 31.
adalah ujaran yang bersifat menyerang speaking offensively, ortofemisme adalah ujaran yang bersifat langsung straight talking, dan eufemisme adalah ujaran yang
menyenangkan sweet talking. Karena ketiga x-femisme ini berkaitan dengan rasa bahasa yang bersifat relatif, maka ia menganjurkan agar penelitian mengenai
kesantunan linguistik difokuskan kepada rasa bahasa kriteria kesantunan linguistik kelas menengah middle-class politeness criterion = MCPC. Salah satu contoh
perbandingan penggunaan bahasa dari ketiga x-femisme ini digambarkan dalam diagram 2.1:
Ungkapan Bahasa Language expression
Preferred
Lebih formal langsung
orthophemism Lebih
akrab figuratif figurative
dysphemisme
- shit - poo
- have a period -kotoran faeces
-menstuasi menstruate
- bleed Dispreferred
Diagram 2.1: Perbandingan x-femisme Allan dan Burridge 2006: 33 Dari diagram ini dapat disimpulkan bahwa kesantunan linguistik berada dalam
wilayah ortofemisme dan eufemisme dan bukan pada wilayah dysfemisme. Artinya kesantunan linguistik berada pada wilayah yang berseberangan dengan ujaran yang
bersifat menyerang. Haverkate dalam Reiter
111
membagi kesantunan linguistik atas dua bahagian besar yakni kesantunan linguistik yang bersifat komunikatif dan kesantunan linguistik
yang bersifat non-komunikatif. Contoh kesantunan linguistik non-komunikatif adalah memberi tempat duduk kepada wanita atau orang yang lebih tua. Kesantunan
linguistik yang bersifat komunikatif terbagi lagi atas dua bagian yakni kesantunan linguistik dan kesantunan non-linguistik. Kesantunan linguistik adalah kesantunan
linguistik yang direalisasi dalam tanda-tanda verbal dengan sejumlah strategi yang
111
Rosina Márquez Reiter, op. cit, p. 4.
bersifat linguistik. Kesantunan linguistik dan non linguistik adalah kesantunan linguistik yang direalisasi dalam gerak gerik tubuh yang diikuti tanda-tanda verbal
paralinguistik seperti misalnya menepuk bahu seseorang sambil mengucapkan ‘selamat pagi’ dan kesantunan linguistik yang direalisasi dalam bentuk gerak gerik
tubuh tanpa tanda-tanda verbal non-paralinguistik seperti mengangguk sambil tersenyum kepada seseorang dengan maksud menyapa.
Diagram kesantunan linguistik Haverkate sebagai berikut: POLITENESS
-communicative +communicative
- linguistic +linguistic
-paralinguistic +paralinguistic -metalinguistic
+metalinguistic
-microlevel +macrolevel phatic conversational communication etiquette
reference illocution Diagram 2.2: kesantunan linguistik Haverkate dalam Reiter 2000: 4
Merujuk kepada diagram kesantunan linguistik Haverkate, kesantunan linguistik dibagi atas dua bahagian lagi yakni kesantunan linguistik meta-linguistik
dan kesantunan linguistik non-metalinguistik. Kesantunan linguistik metalinguistik adalah kesantunan linguistik yang mencakup phatic communion dan etiket. Contoh
realisasi kesantunan linguistik phatic communion adalah tidak diam tetapi mengajak seseorang yang berada di dekat kita untuk berbicara; atau menghindari membicarakan
topik-topik tertentu yang kemungkinan menyinggung perasaan lawan bicara; Contoh realisasi etiket dalam kesantunan linguistik adalah tidak berteriak, memperhatikan
pembicaraan lawan bicara, dan tidak menginterupsi. Kesantunan linguistik non-metalinguistik terdiri atas kesantunan linguistik
yang bersifat mikro dan kesantunan linguistik yang bersifat makro. Kesantunan linguistik tingkat mikro tidak dijelaskan oleh Haverkate, sementara kesantunan
linguistik tingkat makro mencakup kajian aspek referensi dan ilokusi. Di dalam penelitian ini, kesantunan linguistik yang dimaksudkan adalah kesantunan linguistik
non-metalinguistik yang bersifat makro. Fokus kajian di dalam kesantunan linguistik ini adalah referensi dan ilokusi. Yang dimaksud dengan referensi adalah tuturan-
tuturan yang digunakan oleh pembicara sedangkan yang dimaksud dengan ilokusi adalah maksud di balik tuturan tersebut. Menurut Watts
112
maksud dibalik tuturan santun adalah mempertimbangkan orang lain; Kesantunan linguistik dengan demikian
adalah upaya atau strategi mempertimbangkan orang lain. Secara lebih jelas, kesantunan linguistik menurut Hoza
113
adalah pilihan- pilihan linguistik yang dilakukan petutur untuk mencapai kesantunan linguistik.
Pilihan-pilihan linguistik ini bersifat tidak mengikat. Penelitian kesantunan linguistik adalah penelitian yang difokuskan kepada kajian mengenai pilihan strategis atas
sumber daya linguistik tertentu dalam mencapai kesantunan linguistik. Peneliti pada
112
Richard J. Watts , op. cit, p. 1.
113
J. Hoza, op. cit, p. 17
umumnya mengamati bagaimana sumber daya linguistik diberdayakan untuk mencapai kesantunan linguistik dalam tindak tutur tertentu.
Maksud tuturan seorang pembicara tentu tidak dapat diperoleh dengan hanya mengkaji aspek referensi tuturan saja. Hal ini dikarenakan kata-kata yang dikenal
sebagai pemarkah kesantunan linguistik seperti ’maaf’, ’terimakasih’ tidak secara otomatis menjadikan sebuah tuturan sebagai santun. Kajian kesantunan linguistik
dengan demikian memerlukan kontekstualisasi hubungan interaksi yang terjadi pada saat sebuah ujaran digunakan. Sebagaimana telah dinyatakan pada bagian sebelumnya,
hal ini sejalan dengan Sinar
114
yang menyatakan bahwa penggunaan bahasa adalah kontekstual khususnya dalam arti bahwa secara kontekstual bahasa terikat kepada
konteks. Begitu pula Reiter
115
menyatakan bahwa kesantunan linguistik bukan merupakan sebuah karakteristik yang melekat kepada sebuah tindakan tetapi dibentuk
oleh hubungan interaksi yang didasarkan kepada norma yang diyakini bersama, dibangun, dan diproduksi ulang oleh sekelompok orang di dalam sebuah kelompok
sosial. Sejalan dengan Haverkate, Watts
116
mengatakan bahwa kesantunan linguistik dapat ditentukan dengan dua cara, pertama mengenali ekspresi linguistik yang
digunakan dan kedua, menginterpretasi ekspresi linguistik dalam keseluruhan interaksi
114
Tengku Silvana Sinar, Teori Analisis Wacana Pendekatan Sistemik-Fungsional Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008, p. 28.
115
Rosina Márquez Reiter, op. cit, p. 3
116
Richard J. Watts , op. cit, p. 4.
sosial. Dengan demikian mengenali kesantunan linguistik tidak dapat hanya dengan mengandalkan ekspressi linguistik semata, tetapi kesantunan linguistik sangat
bergantung kepada interpretasi tingkah laku dalam keseluruhan interaksi sosial. Watts menulis,
It would also seem that whether or not a participant’s behavior is evaluated as polite or impolite is not merely a matter of the linguistic expressions that she
uses, but rather depends on the interpretation of that behavior in the overall social interaction.
Pendapat Watts di atas menegaskan bahwa interpretasi berdasarkan
keseluruhan interaksi sosial lah yang menentukan sebuah ungkapan linguistik sebagai santun atau tidak. Hal yang sama juga diungkapkan Holtgraves
117
. Menurutnya interaksi sosial secara implisit melibatkan penilaian kognitif partisipan yang terlibat di
dalam interaksi komunikasi. Lebih lanjut Watts membedakan antara ekspressi kesantunan linguistik yang
mengikat secara sosial dan ekspressi kesantunan linguistik yang dipilih secara strategis oleh peserta komunikasi dalam sebuah peristiwa komunikasi. Kesantunan linguistik
yang mengikat secara sosial bersifat ritual dan formulaik sedangkan kesantunan linguistik yang dipilih secara strategis bersifat semi-formulaik sehingga terbuka untuk
diinterpretasi sebagai kesantunan linguistik. Contoh kesantunan linguistik yang bersifat ritual dan formulaik adalah mengucapkan terima kasih setelah menerima
pujian orang, mengucapkan kata ”maaf” apabila salah menyebut nama orang, atau
117
T. Holtgraves, Language as social action : Social psychology and language use. Mahwah, N.J.: Erlbaum, 2002, p. 8.
menggunakan kata ”mohontolong” apabila meminta seseorang melakukan sesuatu. Penggunaan kata ”terimakasih”, ”maaf”, dan ”mohontolong” dalam konteks yang
mengikat secara sosial ditandai dengan adanya harapan dari pembicara untuk menerima ucapan tersebut. Oleh karena itu Watts menegaskan ucapan ”terima kasih”,
”maaf” dan ”mohontolong” dalam konteks yang mengikat secara sosial tidak dimasukkan ke dalam kajian kesantunan linguistik. Dia juga menegaskan bahwa
penggunaan sapaan, bentuk-bentuk penghormatan, ungkapan-ungkapan yang bersifat ritual, ujaran tidak langsung dan sebagainya diinterpretasi sebagai bentuk-bentuk
kesatunan linguistik manakala penggunaannya melampaui penggunaan yang bersifat normatif
118
. Fokus kajian kesantunan linguistik menurut Watts adalah ekspressi atau
ungkapan kesantunan linguistik yang dipilih secara strategis oleh peserta komunikasi. Sebagai contoh adalah kalimat seperti: ”Mungkin perlu nanti bapak jelaskan kepada
kami dulu, bagaimana pula persentasinya ...,” yang diungkapkan seorang Anggota DPR pada sebuah rapat DPR. Ungkapan linguistik ini bersifat semi formulaik dan
terbuka terhadap interpretasi kesantunan linguistik. Di dalam konteks rapat DPR, salah satu bentuk ujaran yang bersifat formulaik dan lazim serta memenuhi kriteria atau
standar kesantunan linguistik dalam meminta penjelasan adalah ”Mohon bapaksaudara jelaskan...”. Ujaran ”Mungkin perlu nanti bapak jelaskan kepada kami
dulu, bagaimana pula persentasinya ...,” jelas melebihi standar kesantunan linguistik
118
Richard J. Watts,.
op. cit.
p 52.
yang lazim dan berterima, bersifat semi formulaik sehingga terbuka terhadap interpretasi kesantunan linguistik.
2.4 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara