Wilayah Kajian Kesantunan linguistik

kolaboratif kemitraan dan aspek kompetitif pengawasan. Dimensi fungsi kesantunan linguistik pada rapat DPR terbagi dua yakni fungsi individual yang di dalam disertasi ini dimaknai sebagai pilihan-pilihan strategis anggota DPR yang dibingkai fungsi sosial yang dimaknai sebagai perilaku lazim dan berterima di rapat DPR. Ketiga, dimensi realisasi menemukan sejumlah strategi yang digunakan anggota DPR dalam merealisasi kesantunan linguistik. Keempat, dimensi sosio-kultural menggambarkan bagaimana faktor-faktor yang bersifat etnis, jenis kelami, usia, dan pendidikan melebur dan membentuk perilaku sosial yang bersifat normatif, di atas mana perilaku santun dipraktikkan.

2.2 Wilayah Kajian Kesantunan linguistik

Berdasarkan pengamatan Fraser di dalam Watts 100 , penelitian-penelitian kesantunan linguistik diilhami empat sudut pandang yang berbeda yakni sudut pandang norma sosial the social norm view; sudut pandang maksim percakapan the conversational maxim view; sudut pandang menjaga muka face-saving view; dan sudut pandang kontrak percakapan the conversational-contract view. Secara lebih rinci Reiter 101 menjelaskan masing-masing sudut pandang tersebut. Dia menyatakan, sudut pandang norma sosial menggambarkan kesantunan linguistik sebagai suatu aturan norma sosial yang bersifat historis dan dididikkan orangtua kepada anak-anak mereka. Sudut pandang maksim percakapan merupakan 100 Richard J. Watts , op. cit, p. 4. 101 Rosina Márquez Reiter, op. cit, pp. 5-6 gabungan prinsip kesantunan linguistik dan prinsip kerjasama yang dikemukakan Grice. Lakoff dan Leech menurutnya menganut sudut pandang ini. Sudut pandang menjaga muka merupakan gagasan yang dikemukakan Brown dan Levinson 102 . Sudut pandang kontrak percakapan diajukan Fraser dan Nolen 103 yang kemudian ditautkan dengan sudut pandang menjaga muka. Menurut Reiter, sudut pandang terakhir ini lah yang paling luas dianut saat ini. Sejalan dengan pendapat di atas, Eelen pada Watts 104 2003: 4 membagi kajian kesantunan linguistik ke dalam tiga wilayah berbeda yakni kesantunan linguistik metapragmatik metapragmatic politeness, kesantunan linguistik klasifikatori classificatory politeness, dan kesantunan linguistik ekspressif expressive politeness. Kesantunan linguistik metapragmatik menyangkut penilaian atas sifat dan perlunya kesantunan linguistik; kesantunan linguistik klasifikatori adalah komentar peserta komunikasi dan orang di luar mereka mengenai kesantunan linguistik yang terjadi dalam peristiwa komunikasi; kesantunan linguistik ekspressif adalah kesantunan linguistik yang secara ekplisit dilakukan peserta komunikasi. Kajian kesantunan linguistik juga mencakup wilayah pembicara dan pendengar. Fukushima 105 menyatakan bahwa kesantunan mencakup ekspressi 102 Penelope Brown dan Stephen C. Levinson, op. cit, 103 B. Fraser, Nolen William. 1981. The association of deference with linguistic form. Intl. J. Soc. Lang, 27, 93-109, 1981. 104 Richard J. Watts 2003, op. cit, p. 4. 105 Saeko Fukushima, “Evaluation of politeness: The case of attentiveness. Multilingua – journal of Cross-Cultural and Interlanguage Communication. Volume: 23, Issue: 4, Cover Date: December 2004, Page start: 365 – 387. BerlinNew York : Walter de Gruyter, 2004, pp. 365-387. pembicara yang disebutnya sebagai ’linguistic politeness’ dan evaluasi pendengar yang disebutnya sebagai ’behavioral politeness’. Penelitian kesantunan menurutnya lebih banyak meneliti ekspressi pembicara dan kurang meneliti evaluasi pendengar. Secara lebih khusus, sejumlah peneliti menempatkan kajian kesantunan linguistik dalam wilayah kajian pragmatik. Pragmatik adalah ilmu yang mengkaji makna kontekstual dan apa yang tersirat pada ujaran 106 . Hal ini sejalan dengan pendapat Wattts 107 bahwa kesantunan linguistik bukan ungkapan makna referensial. Dia mengatakan bahwa kesantunan linguistik merupakan ungkapan makna prosedural expression of procedural meaning yang memerlukan prosedur tertentu untuk memahami maknanya. Selanjutnya dia menjelaskan bahwa makna prosedural berada dalam tataran makna interpersonal sehingga interpretasi makna ini dapat mengungkap bagaimana jenis hubungan sosial yang dibangun di dalam peristiwa komunikasi tersebut. Pendapat bahwa kesantunan linguistik berada dalam wilayah kajian pragmatik juga didukung Hoza 108 . Dia menyatakan bahwa kesantunan linguistik berkaitan erat dengan makna sosial, yakni harapan yang dibangun partisipan dalam konteks tertentu. Makna sosial adalah meta-pesan penutur yang tidak diujarkan namun dapat mengkomunikasikan hubungan –sikap satu sama lain, kejadian, dan apa yang sesungguhnya dikatakan. 106 George Yule, op. cit, p. 3 107 Richard J. Watts 2003, op. cit, p. 175 108 J. Hoza, Its not what you sign, its how you sign it : Politeness in american sign language Washington, D.C.: Gallaudet University Press, 2007, P. 14. Lebih rinci lagi, Tracy dan Baratz 109 menegaskan perlunya penelitian kesantunan linguistik dilakukan sebagai studi kasus. Hal ini didorong pendapat mereka mengenai apa yang disebut dengan ’face’ berbeda dengan ’facework’. Mereka mengatakan bahwa konsep wajah merujuk kepada identitas yang diklaim oleh penutur petutur bagi dirinya dalam situasi sosial tertentu face refers to the identities people claim or attribute to each other in specific social situations; Sedangkan upaya menjaga muka merujuk kepada strategi komunikasi yang dilakukan dalam mengakomodasi identitas tersebut facework refers to the ’communicative strategies that are the enacment , support, or chalenge of those situated identities. Dalam tataran praktis, sampai saat ini para peneliti masih berpendapat bahwa realisasi kesantunan linguistik hanya dapat diamati melalui realisasi tindak tutur. Dengan kata lain, dalam mengkaji kesantunan linguistik terlebih dahulu perlu ditetapkan realisasi tindak tutur yang akan dikaji dimana kesantunan linguistik tersebut terjadi.

2.3 Ungkapan dan Interpretasi Kesantunan linguistik

Dokumen yang terkait

Peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Padang Lawas dalam penyelesaian sengketa lahan (studi kasus: sengketa lahan antara PT sumatera Riang Lestari dan PT Sumatera Sylva Lestari dengan Masyarakat Adat Kecamatan Aek Nabara Barumun)

1 100 105

Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Suatu Studi terhadap Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Simalungun Periode 2009-2014)

0 56 76

Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Terhadap Kinerja Eksekutif di Kota Medan

3 64 152

Persepsi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Medan Tentang Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Medan Tahun 2013

5 57 111

Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Suatu Studi Terhadap Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Simalungun Periode 2009-2014)

0 22 77

Hubungan Wakil dengan yang Diwakili (Studi Perbandingan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara Periode 1999-2004 dengan Periode 2004-2009)

1 45 101

Hak Recall Partai Politik Terhadap Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Dalam Korelasinya Dengan Pelaksanaan Teori Kedaulatan Rakyat.

8 114 110

Minat Menonton anggota Dewan Perwakilan Daerah Tapanuli Selatan terhadap Berita Politik Di Metro TV ( Studi Korelasi Tentang Tayangan Berita Politik Dan Minat Menonton Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tapanuli Selatan Terhadap Metro TV )

1 39 143

Studi Perwakilan Politik Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara Periode 2004-2009

0 44 152

SITUASI BERBAHASA KOMPETITIF DALAM RANAH RAPAT PARIPURNA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT PROPINSI SUMATERA UTARA.

0 1 8