13
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Orientasi Nilai
Orientasi ialah peninjauan untuk menentukan sikap arah, tempat, dan sebagainya yang tepat dan benar; pandangan yang mendasari pikiran, perhatian
atau kecenderungan. Menurut Kluckhohn dalam Mulyana, 2004, nilai adalah konsepsi tersurat atau tersirat, yang sifatnya membedakan individu atau ciri-ciri
kelompok dari apa yang diinginkan, yang memengaruhi tindakan pilihan terhadap cara, tujuan antar dan tujuan akhir. Definisi ini berimplikasi terhadap
pemaknaan nilai-nilai budaya. Kluckhohn mengungkapkan ada enam implikasi terpenting, yaitu sebagai berikut:
a. Nilai merupakan konstruk yang melibatkan proses kognitif logis dan rasional
dan proses ketertarikan dan penolakan menurut kata hati. b.
Nilai selalu berfungsi secara potensial, tetapi tidak selalu bermakna apabila diverbalisasi.
c. Apabila hal itu berkenaan dengan budaya, nilai diungkapkan dengan cara unik
oleh individu atau kelompok. d.
Karena kehendak tertentu dapat bernilai atau tidak, maka perlu diyakini bahwa pada dasarnya disamakan aquated daripada diinginkan, ia didefenisikan
berdasarkan keperluan sistem kepribadian dan sosiol budaya untuk mencapai keteraturan dan menghargai orang lain dalam kehidupan sosial.
e. Pilihan diantara nilai-nilai alternatif dibuat dalam konteks ketersediaan tujuan
antara means dan tujuan akhir ends.
14
f. Nilai itu ada, ia merupakan fakta alam, manusia, budaya, dan pada saat yang
sama ia adalah norma-norma yang telah disadari. Pandangan Kluckhohn itu mengandung pengertian bahwa segala sesuatu yang
diinginkan baik itu materi, benda atau gagasan mengandung nilai, karena dipersepsi sebagai sesuatu yang baik, seperti makanan, uang, rumah, kebenaran,
kejujuran dan keadilan. Menurut Kattsoff dalam Sofyan Sauri dan Herlan Firmansyah, 2010 mengungkapkan bahwa hakikat nilai dapat dijawab dengan
tiga macam cara: pertama, nilai sepenuhnya berhakikat subjektif, bergantung kepada pengalaman manusia pemberi nilai itu sendiri. Kedua, nilai merupakan
kenyataan-kenyataan ditinjau dari segi ontologi, namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai tersebut merupakan esensi logis dan dapat diketahui
melalui akal. Ketiga, nilai-nilai merupakan unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan. Sedangkan Sadulloh 2004 mengemukakan tentang hakikat nilai
berdasarkan teori-teori sebagai berikut: menurut teori voluntarisme, nilai adalah suatu pemuasan terhadap keinginan atau kemauan. Menurut kaum hedonisme,
hakikat nilai adalah pleasure atau kesenangan, sedangkan menurut formalisme, nilai adalah sesuatu yang dihubungkan pada akal rasional dan menurut
pragmatisme, nilai itu baik apabila memenuhi kebutuhan dan nilai instrumental yaitu sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Dari beberapa pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa hakikat dan makna nilai adalah sesuatu hal sesuatu hal yang dihubungkan dengan
akal rasional, logis dan bergantung pada pengalaman manusia pemberi nilai itu sendiri. Nilai itu sendiri adalah sesuatu hal yang bersifat abstrak, seperti penilaian
baik atau buruknya sesuatu, penting atau kurang penting, apa yang lebih baik atau
15
kurang baik, dan apa yang lebih benar atau kurang benar yang dapat mempengaruhi perilaku manusia dalam bertindak atau berbuat sesuatu hal dalam
kehidupan sosial. Orientasi nilai dapat dikatakan bersifat komplek tetapi berpola pada
prinsip yang mengutamakan tatanan dan langsung pada tindakan dan pikiran manusia yang berhubungan dengan solusi dalam memecahkan masalah. Lima
masalah dasar dalam hidup yang menentukan orientasi nilai budaya manusia menurut Kluckhohn dalam Pelly, 1994 :
a. Masalah mengenai hakekat dari hidup manusia
Ada kebudayaan yang memandang hidup manusia itu pada hakikatnya suatu hal yang buruk dan menyedihkan. Pada agama Budha misalnya, pola-pola
tindakan manusia akan mementingkan segala usaha untuk menuju arah tujuan bersama dan memadamkan hidup baru. Adapun kebudayaan-kebudayaan lain
memandang hidup manusia dapat mengusahakan untk menjadikannya suatu hal yang indah dan menggembirakan.
b. Masalah mengenai hakekat dari karya manusia
Kebudayaan memandang bahwa karya manusia bertujuan untuk memungkinkan hidup, kebudayaan lain menganggap hakikat karya manusia
itu untuk memberikannya kehormatan, ada juga kebudayaan lain yang menganggap karya manusia sebagai suatu gerak hidup yang harus
menghasilkan lebih banyak karya lagi. c.
Masalah mengenai hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang dan waktu Kebudayaan memandang penting dalam kehidupan manusia pada masa
lampau, keadaan serupa ini orang akan mengambil pedoman dalam
16
tindakannya contoh-contoh dan kejadian-kejadian dalam masa lampau. Sebaliknya ada kebudayaan dimana orang hanya mempunyai suatu pandangan
waktu yang sempit. Dalam kebudayaan ini perencanaan hidup menjadi suatu hal yang sangat amat penting.
d. Masalah mengenai hakikat hubungan manusia dengan alam sekitarnya
Kebudayaan yang memandang alam sebagai suatu hal yang begitu dahsyat sehingga manusia hanya dapat bersifat menyerah tanpa dapat berusaha
banyak. Sebaliknya, banyak pula kebudayaan lain yang memandang alam sebagai lawan manusia dan mewajibkan manusia untuk selalu berusaha
menaklukan alam. Kebudayaan lain masih ada yang menganggap bahwa manusia dapat berusaha mencari keselarasan dengan alam.
e. Masalah mengenai hakekat hubungan manusia dengan sesamanya
Ada kebudayaan yang memntingkan hubungan vertikal antara manusia dengan sesamanya. Tingkah lakunya akan berpedoman pada tokoh-tokoh pemimpin.
Kebudayaan lain mementingkan hubungan horizontal antara manusia dan sesamanya dan berusaha menjaga hubungan baik dengan tetangga dan
sesamanya merupakan suatu hal yang penting dalam hidup terutama menjaga hubungan baik dengan keluarga. Kecuali pada kebudayaan lain yang tidak
menganggap manusia tergantung pada manusia lain, sifat ini akan menimbulkan individualisme.
Meskipun cara mengkonsepsikan lima masalah pokok dalam kehidupan manusia yang universal itu sebagaimana yang tersebut diatas berbeda-beda untuk
tiap masyarakat dan kebudayaan, namun dalam tiap lingkungan masyarakat dan kebudayaan tersebut lima hal tersebut di atas selalu ada. Sementara itu
17
Koentjaraningrat telah menerapkan kerangka Kluckhohn di atas untuk menganalisis masalah nilai budaya bangsa Indonesia, dan menunjukkan titik
kelemahan dari kebudayaan Indonesia. Kelemahan utama antara lain mentalitas meremehkan mutu, mentalitas suka menerabas, sifat tidak percaya
kepada diri sendiri, sifat tidak berdisiplin murni, mentalitas suka mengabaikan tanggung jawab.
2.2 Sistem Kekeluargaan Masyarakat Tionghoa