KARAKTERISTIK KURIKULUM MADRASAH ALIYAH

BAB III KARAKTERISTIK KURIKULUM MADRASAH ALIYAH

Pada awal Islam masuk Indonesia, sekitar abad ke-7 M1 H, 1 lembaga pendidikan Islam secara resmi belum disebut madrasah, 2 seperti di Minangkabau Sumatera Barat lembaga pendidikan Islam yang didirikan oleh Syekh Burhanuddin 3 disebut surau, di Sumatera Selatan dan Jawa disebut langgar, di Aceh disebut dayah atau meunasah, di Gayo disebut meresah, 4 di Kalimantan dan Sulawesi Selatan disebut pondok, sementara di Jawa dan Kalimantan Selatan disebut pesantren, 5 yang 1 Sidi Ibrahim Boechari, Pengaruh Timbal Balik Antara Pendidikan Islam dan Pergerakan Nasional di Minangkabau Jakarta: Gunung Tiga, 1981, 32. Marwan Saridjo, Dkk, juga melaporkan bahwa Islam masuk Indonesia sekitar Abad 1 Hijriyah atau 7 Masehi. Laporan Marwan ini berdasarkan kesimpulan “Seminar Masuknya Islam ke Indonesia”. Lihat, Marwan Saridjo, Dkk, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia Jakarta: Dharma Bhakti, 1983, 14. 2 Madrasah baik yang ada di dunia Islam pada umumnya maupun yang ada di Indonesia khususnya, adalah sebuah lembaga pendidikan Islam yang muncul agak belakangan, setelah terlebih dulu muncul lembaga-lembaga pendidikan non madrasah. Lihat, Abudin Nata, Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia Jakarta: UIN Press, 2006, 124. Ahmad Salabi, menuliskan dalam bukunya tentang lembaga-lembaga pendidikan sebelum madrasah masa klasik Islam, yaitu: al- Kuttab, guna mengajarkan membaca dan menulis, al-Kuttab; untuk mengajarkan membaca al-Qur’an dan dasar-dasar agama Islam, Pengajaran di istana dengan cara privat, Hawa nit al-W a riqi n toko-toko buku, Mana zil al-Ulama rumah para ulama, al-S{oluna t al-A da biyah sanggar sastera, al-Badiyah tempat belajar sastera dan budaya asli, dan Masjid. Lihat, Ahmad Salabi, Tari kh al-Tarbiyah al- Isla miyah Mesir: al-Kashf li al-Nashr wa al-T{ ila ba’ah wa al-Tauji, 1954, 20-84. Lihat juga, Asma Hasan Fahmi, Maba di al-Tarbiyah al-Isla miyah Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam edisi Indonesia Pent. Ibrahim Husein, Jakarta: Bulan Bintang, 1979, 30-50. 3 Sayang tidak dijumpai sistem pendidikan dan kurikulumnya. Sebagai peninggalan dari Syekh Burhanuddi n yaitu sebuah stempel dari tembaga dengan tulisan Arab, sebilah pedang, sebuah kitab bernama Fath{ul W ahab, karangan Abi Yahya Zakaria Ans{ ari. Lihat Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Jakarta: Hidrakarya Agung, 1996, 33. Dimungkinkan kitab tersebut sebagai rujukan kurikulumnya. Syekh Burhanuddin adalah seorang pendakwah Islam pertama di Minangkabau, lihat Murni Djamal, DR. H. A bdul Karim A mrullah: His Influence in The Islamic Reform Movement in Minangkabau in The Early Twentieth Century DR. H. Abdul Karim Amrullah: Pengaruhnya dalam Gerakan Pembaharuan Islam di Minangkabau pada Awal Abad ke-20 edisi Indonesia Jakarta: INIS, 2002, 52. 4 Lihat, C. Lekkerker, Land en Volk van Sumatra Leiden: N.V. Boekhandel en Drukkerij, 1916, 166-167. 5 Azyumardi Azra, Dina Afrianty, dan Robert W. Hefner, “Pesantren and Madrasa: Muslim Schools and National Ideals in Indonesia”, dalam Robert W. Hefner dan Muhammad Qosim Zaman semua ini oleh Mahmud Yunus disebut madrasah. 6 Pemimpin surau disebut Syekh, sementara pengasuh pesantren di Jawa disebut Kyai. 7 Sebagai bahan perbandingan Helen N. Boyle, menulis bahwa sekolah yang pertama dalam dunia Islam adalah masjid. 8 Diperkuat oleh M.A. Zaki Badawi, bahwa masjid sebagai jantung semua aktifitas keagamaan dan puncak semua sistem. 9 Jika tulisan Boyle, dapat dijadikan bahan pembanding, berarti sejarah perkembangan lembaga pendidikan Islam di Indonesia urutannya tidak jauh berbeda dengan sejarah perkembangan lembaga pendidikan Islam dalam dunia Islam. Masjid di Indonesia juga sebagai lembaga pendidikan Islam pertama. Pendidikan Agama Islam di surau langgar bersifat elementer. Tujuan pendidikan dan pengajaran di langgar surau adalah agar anak didik dapat membaca al-Qur’an dengan baik dan benar, tanpa memperhatikan pemahaman akan isi dan ed., Schooling Islam, The Culture and Politics of Modern Muslim Education United State of America: Princeton University Press, 2007, 174. 6 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, 20. Menurut informasi Mahmud Yunus bahwa Syekh Burhanuddi n mengajarkan ilmunya di Ulakan, Pariaman, Minangkabau mulai tahun 1100 H 1680 M, berduyun-duyun para pelajar menuntut ilmu syari’ah kepada beliau, lihat, Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, 24. 7 Azyumardi Azra, Surau, Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi Jakarta: Logos, 2003, 7. Menurut Sidi Gazalba, seperti dikutip Azyumardi Azra, Surau merupakan bangunan peninggalan kebudayaan masyarakat setempat sebelum datangnya Islam. Surau dalam sistem adat Minangkabau adalah kaum, suku atau indu. Lihat, Azra, Surau, Pendidikan Islam Tradisional Dalam Transisi dan Modernisasi, 8. Perkembangan selanjutnya surau sebagai lembaga pendidikan Islam, berkembang layaknya pesantren di Jawa. Seperti surau yang dibangun oleh Syekh Abdurrahman 1777-1899 M, ia membangun 30 surau, rata-rata berukuran 7x8 meter kebanyakan bertingkat dua. Surau-surau ini dibangun mengelilingi bangunan induk. Bangunan induk yang pertama dan utama adalah “Masjid Dagang”, yang dibangun bertingkat dua, dengan arsitektur gaya rumah adat Minangkabau. Lihat, Azra, Surau, Pendidikan Islam Tradisional Dalam Transisi dan Modernisasi, 11, lihat juga Azyumardi Azra, Dina Afrianty, dan Robert W. Hefner, Pesantren and Madrasa: Muslim Schools and National Ideals in Indonesia, dalam Hefner dan Kasim ed., Schooling Islam, The Culture and Politics of Modern Muslim Education, 174. 8 Helen N. Boyle, Qur’anic Schools, Agents of Preservation and Change New York and London: Rountledge Falmer, 2004, 11. 9 M.A. Zaki Badawi, “Traditional Islamic Education – Its Aims and Purposes in Present Day”, dalam Syed Muhammad al-Naquib al-Atas ed., Aims and Objectives of Islamic Education Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979, 105. makna al-Qur’an tersebut. 10 Nampaknya tujuan pendidikan surau ini belum banyak mengalami pergeseran dari dulu sampai sekarang. Adapun pendidikan Islam di surau, dimulai dengan mempelajari abjad huruf Arab Hijaiyah atau kadang-kadang langsung mengikuti guru dengan menirukan apa yang telah dibaca dari kitab suci al- Qur’an. 11 Sementara itu juga diajarkan tata cara mengerjakan ibadah sh alat , masalah keimanan yang lebih dikenal dengan sifat dua puluh serta akhlak yang diajarkan lewat cerita-cerita seperti nabi-nabi, orang-orang shaleh sehingga diharapkan anak mampu meneladaninya. 12 Metode utama yang dipakai dalam pengajaran di surau adalah ceramah, membaca dan menghafal. 13 Dengan demikian tidak ada metode yang dipakai pada pengajaran surau itu, yang dapat menimbulkan murid berpikir kritis dan analisis. Padahal dalam metode pendidikan modern, pendidikan yang bermakna ketika anak mengalami langsung. Jean Piaget, dalam laporan singkatnya, mengatakan bahwa anak-anak menggunakan struktur mental yang berbeda untuk berpikir dan merasakan 10 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999, 23. Ini untuk surau tingkat rendah. Menurut Munawaratul Ardi, dalam disertasi doktornya, bahwa surau tidak mempunyai tujuan pendidikan secara tertulis. Pendidikan di surau menurut kemauan dan kemampuan Tuanku yang mengajar –dugaan saya ini untuk surau ketika Islam baru masuk Indonesia. Ketika Ardi mengadakan wawancara dengan Tuanku Labai Umar Batang Sariak Sungai Limau, Tuanku Ali Amran Hasan, Pakandangan, Tuanku Abu Bakar Sungai Geringging dan Tuanku Bermawi Surau Pondok Ulakan, tanggal 3 Maret 2002, Ardi mendapatkan tujuan pendidikan surau yaitu, menciptakan dan mengembangkan kepribadian Muslim yang beriman dan bertaqwa, berakhlak mulia, menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah. Sehingga dengan segala ketaatan dan kepatuhan akan terwujud sebuah pengabdian dan ketaqwaan. Untuk itu pendidikan surau berusaha melahirkan manusia yang berilmu pengetahuan Agama, mengamalkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari untuk diri sendiri dan masyarakat dengan ikhlas mandiri dan teguh dalam pendirian. Lihat, Ardi, “Surau: Lembaga Pendidikan Islam Tradisional pada Masa Kontemporer di Padang Pariaman” Disertasi Doktor, 186- 187. 11 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, 21-22. 12 Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, 34. 13 Azra, Surau, Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, 98. dunia lain. Kemampuan terstruktur untuk anak ditentukan oleh kesiapan biologis dan pengalaman hidup mereka. 14 Sistem pendidikan yang digunakan pada lembaga ini yaitu sorogan, dimana seorang murid mengajukan sebuah kitab berbahasa Arab kepada gurunya, dan guru menjelaskan cara membaca dan menghafalnya; dalam hal murid yang sudah maju, guru juga memberikan penjelasan mengenai penerjemahan teks dan juga tafsirnya. 15 Dan juga metode h{alaqah yakni seorang gurukyai dalam memberikan pengajarannya duduk dengan dikelilingi murid-muridnya, 16 metode ini dalam pesantren di Jawa disebut bandongan. 17 Sistem h{alaqahbandongan dan sorogan, sebenarnya bukan sistem baru, ini sudah dimulai sejak zaman Rasul SAW. Walaupun dalam sistem pendidikan modern sistem tradisional sudah dimodifikasi bahkan dirubah. Evaluasi pendidikan yang ada di surau tidak diprogramkan seperti di madrasahsekolah formal. Evaluasi dilaksanakan setiap kegiatan belajar. Setiap belajar murid disuruh membaca dan menerjemahkan bacaan di hadapan guru. Dengan demikian guru langsung mengetahui dan menyaksikan perkembangan kemampuan muridnya. Bagi fakih yang sudah menamatkan dan memahami satu kitab, ia boleh pindah ke kitab lain. Cara ini terus berlangsung sampai fakih selesai dan menguasi kitab-kitab standar yang ditentukannya. 18 Mahmud Yunus berpendapat, bahwa di Jawa lembaga pendidikan Islam saat awal Islam masuk, yang mirip dengan surau disebut pesantren. Nama pondok 14 Lihat, Jacqueline Grennon Brooks dan Martin G. Brooks, In Search of Understanding The Case For Constructivist Classrooms Alexandria, Virginia: Association For Supervision and Curriculum Development, 1993, 70. 15 Azra, Surau, Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, 99. 16 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, 23. 17 Yaitu seorang kyai membaca dan menjelaskan isi suatu kitab dalam lingkaran murid- muridnya, sementara para murid santri memegang bukunya sendiri; mereka mendengarkan penjelasan guru dan membuat catatan pada sisi halaman kitab atau dalam buku catatan khusus. Lihat, Azra, Surau, Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, 99. 18 Lihat, Ardi, “Surau: Lembaga Pendidikan Islam Tradisional pada Masa Kontemporer di Padang Pariaman”, 193-194. pesantren baru dikenal di sumatera seteleh Indonesia merdeka, sebelumnya namanya surau atau langgar. 19 Menurut Marwan Saridjo dkk, orang yang pertama kali mendirikan pesantren di Indonesia ialah Syekh Maulana Malik Ibrahi m. Tentu saja bentuk pesantren mula pertama itu sangat sederhana. 20 Abdurrahman Mas’ud, dalam bahasa yang sedikit berbeda seraya menguatkan, Maulana Malik Ibrahi m meninggal 1419 M di Gresik, Jawa Timur, spiritual father walisongo, dalam masyarakat santri Jawa biasanya dipandang gurunya-guru tradisi pesantren di tanah Jawa. 21 Tujuan yang utama dari pesantren pada awalnya adalah sekedar menyiarkan Islam sambil beribadah. 22 Sementara sistem pendidikan pesantren hampir mirip dengan sistem pengajaran di surau-surau Sumatera Tengah. Mahmud Yunus, menginformasikan isi kurikulum pesantren, ”Di pesantren inilah para santri dihadapkan dengan berbagai cabang ilmu agama yang bersumber dari kitab-kitab kuning, seperti Sharaf, Nahwu, Fikih, Tafsir, Kalam Tauhid, Tasawuf dan lain- lain”. 23 Metode yang dipakai oleh pesantren, tidak berbeda dengan metode yang dipakai oleh surau, seperti telah dijelaskan. Hanya perbedaan istilah saja, wetonan 19 Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, 231. 20 Saridjo, Dkk., Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, 24. 21 Abdurrahman Mas’ud, “Sejarah dan Budaya Pesantren”, dalam, Isma’il SM dkk, Dinamika Pesantren dan Madrasah Jakarta: Pustaka Pelajar, 2002, 3. 22 Saridjo, dkk, Sejarah Pesantren di Indonesia, 30. Arifin, menjelaskan tujuan pesantren ada dua, tujuan umum; membimbing anak didik santri yang berkerpribadian Islam, yang dengan ilmu agamanya ia sanggup menjadi muballi gh Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya. Tujuan khusus, mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam agama yang diajarkan oleh kyai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat. Lihat, Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum Jakarta: Bumi Aksara, 1991, 248. Nurcholish Madjid, seperti dikutip Saifudin Zuhri, mensinyalir bahwa tujuan pendidikan pesantren pada umumnya diserahkan kepada proses improvisasi menurut perkembangan pesantren yang dipilih sendiri oleh kyai atau bersama-sama pembantunya secara intuitif. Sementara Manfred Ziemek, masih merupakan kutipan Saifudin Zuhri, mengemukakan bahwa tujuan pesantren adalah untuk menyampaikan pengetahuan dan nilai-nilai dasar maupun gambaran akhlak dan keistimewaan yang dimiliki oleh kyai sebagai pengembangan tradisi. Mencetak kyai muda, ulama, ustadh maupun tujuan formal yang utama dari pesantren. Lihat, Saifudin Zuhri, “Formulasi Kurikulum Pesantren”, dalam Isma’il SM dkk, Dinamika Pesantren dan Madrasah, 98-99. 23 Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, 131-132. dipergunakan pesantren di jawa –Tengah dan Timur– bandongan istilah yang dipakai pesantren di Jawa Barat, sedangkan h{alaqah dipakai di Sumatera Minangkabau. Istilah h{alaqah berarti merujuk metode pengajaran yang dilaksanakan oleh nabi Muhammad SAW. Nabi duduk di masjid 24 dan mengajar para sahabatnya teks-teks suci. Para sahabat duduk mengelilingi Nabi pada setengah lingkaran –tidak ada satu sahabatpun yang duduk di samping beliau– majelis yang demikian disebut h{alaqah, 25 dan metode sorogan. Evaluasi pendidikan pesantren, sebenarnya tidak berbeda dengan sistim evaluasi surau, yaitu hafalan dan ujian tahunan khatam al-kutub. 26 Ketika santri sudah menyelesaikan sebuah kitab, maka boleh pindah ke kitab lainnya dengan seizin kyainya, atau sudah hafal kitab tertentu. Analisis Zaki Badawi dapat dijadikan bahan pembanding, bahwa tahap pencapaian siswasantri pada sistem tradisional adalah menilai totalitas siswasantri sebagai seseorang. Kesalehan dan sikap moral merupakan pengakuan yang sama, walaupun superioritas juga penting untuk mencapai bidang-bidang yang lain. 27 24 Menurut Makdisi, dalam komunitas Muslim klasik masjid memang bersifat multifungsi. Selain sebagai tempat ibadah dalam pengertian sempit ia juga tempat bertukar pikiran dalam arti yang luas. Searah dengan kebutuhan tersebut, lambat laun banyak masjid-masjid yang dikenal sebagai tempat al-rih{lah al- ‘ ilmiah pengembaraan mencari ilmu, mendirikan asrama dan pemondokan di sekitarnya sebagai tempat menginap para pencari ilmu tersebut yang datang dari berbagi kota. Dikenallah istilah masjid khan. Lihat, JM. Muslimin, “Tradisi Ilmiah dalam Masyarakat Islam: Sejarah, Institusi dan Tantangan Perubahan” dalam, Kusmana dan JM. Muslimin ed. Paradigma Baru Pendidikan: Restropeksi dan Proyeksi Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia Jakarta: PIC UIN Jakarta, 2008, 141, 144. 25 Setelah Nabi wafat, sistim h{alaqah tidak berhenti, diteruskan oleh para sahabat, hampir setiap masjid ada h{alaqah. Kurikulumnyapun terus berkembang, tidak hanya pelajaran agama yang dikajinya, periode selanjutnya –sekitar abad ke-9– sudah diajarkan philology, gramer, kimia, fisika, aritmatika, aljabar dan geometri. Lihat, Boyle, Qur’anic Schools, Agents of Preservation and Change, 11. 26 Azyumardi Azra, Dina Afrianty, dan Robert W. Hefner, “Pesantren and Madrasa: Muslim Schools and National Ideals in Indonesia”, dalam Hefner dan Qosim Zaman ed., Schooling Islam, The Culture and Politics of Modern Muslim Education, 176. 27 Badawi, “Traditional Islamic Education – Its Aims and Purposes in Present Day”, dalam Syed Muh{ ammad al-Naquib al-Atas ed., Aims and Objectives of Islamic Education, 106. Pesantren yang belum mencangkok sistem modern belum mengenal atau memang tidak perlu mengenal sistem penilaian evaluasi. Kenaikan tingkat cukup ditandai dengan bergantinya kitab yang dipelajari. Santri Tahap berikutnya kurikulum madrasah pada masa kerajaankesultanan di Indonesia, seperti kerajaan Islam di Aceh meliputi, kerajaan Samudera Pasai, kerajaan Perlak dan kerajaan Aceh Darussalam. Kerajaan Islam Malaka, kerajaan Islam Demak, kerajaan Islam Mataram, kerajaan Islam di Kalimantan Banjarmasin, kerajaan Islam di Maluku dan kerajaan Islam di Sulawesi. Karakteristik kurikulum madrasah pesantrensurau pada masa kesultanan hampir tidak berbeda dengan pada masa awal Islam, dimana pendidikan Islam dilaksanakan sesuai dengan latar belakang keilmuan sang raja, tujuannya memperdalam pengetahuan agama, sistem dan metodenya masih h{alaqah dan bandongan, content materinya juga ulu m al-di n, serta evaluasinya juga sama dengan pesantren dan surau pada masa Islam awal. Kemudian kurikulum madrasah pada masa penjajahan Belanda. Ada dua tahap perkembangan pendidikan Islam pada masa ini, pertama, kemunduran pendidikan Islam yaitu sebelum tahun 1900 M, kedua, bangkit kembali pendidikan Islam yaitu setelah tahun 1900 M. Dimana setelah tahun 1900 M muncul madrasah yang sebelumnya adalah pesantren atau surau. Madrasah ini tertata secara lebih modern, dibanding pesantren atau surau. Seperti laporan Deliar Noer, lahirnya madrasah-madrasah yang berkelas 1909-1930; pendidikan Islam yang mula-mula berkelas memakai bangku, meja dan papan tulis adalah Sekolah Adabiah Adabiah School 28 didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad 1909 -1914 di Padang. Pada masa sendiri yang mengukur dan menilai, apakah ia cukup menguasai bahan yang lalu dan mampu untuk mengikuti pengajian kitab berikutnya. Masa belajar juga tidak ditentukan, waktu tamat tidak dibatasi sehingga memberi kelonggaran pada santri untuk meninggalkan pesantren setelah merasa puas terhadap ilmu yang telah diperolehnya dan merasa siap terjun di masyarakat. Penilain tidak dilakukan melalui angka-angka yang diberikan oleh guru dan secara formal diakui oleh institusi pendidikan yang bersangkutan, tetapi ditentukan oleh kemampuannya mengajar kitab-kitab atau ilmu-ilmu yang diperolehnya kepada orang lain. Dengan kata lain potensi lulusan pondok pesantren langsung ditentutakan oleh masyarakat konsumen, demikian Mastuhu, seperti dikutip Saifudin. Lihat, Saifudin, “Formulasi Kurikulum Pesantren”, dalam Ismail SM dkk, Dinamika Pesantren dan Madrasah, 104. 28 Adabiah School yang didirikan Abdullah Ahmad ini awal mula pendiriannya adalah mencontoh sekolah yang didirikan oleh Syekh Taher di Singapura yaitu al-Iqbal al-Isla miyah, yang didirikan tahun 1908 M bersama Raja Haji ‘ Ali bin Ahmad. Lihat, Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900 – 1942 Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942 edisi Indonesia Jakarta: LP3ES, 1996, Cet VIII, 41. Adabiah School, Tawalib dan Muhammadiyah pada masa ini gencar untuk memperkenalkan Sekolah Islam dengan model dan materi pengajaran semisal ini pesantren di jawa juga sudah mulai mengajarkan ilmu-ilmu umum. Lembaga pendidikan Islam yang muncul pada masa penjajahan Belanda ini ada yang dapat bertahan sampai sekarang dan ada yang sudah colaps. Yang masih ada seperti Muhammadiyah, Mathla’ul Anwar, Al-Khairiyah, NU dan lain-lain. Selanjutnya kurikulum madrasah pada masa penjajahan Jepang. Seperti dilaporkan Mahmud Yunus bahwa antara tahun 1931-1945 terjadi pembaharuan madrasah di Indonesia. 29 Karakteristik secara umum kurikulum madrasah pada masa pasca kemerdekaan sampai lahirnya Undang-Undang Pendidikan NO. 4 Tahun 1950 JO UU NO. 12 Tahun 1954. Steenbrink melaporkan bahwa dalam rangka konvergensi, Departemen Agama pada masa ini menganjurkan supaya pesantren yang tradisional dikembangkan menjadi sebuah madrasah, disusun secara klasikal dengan memakai kurikulum yang tetap dan memasukan pelajaran umum disamping agama. Sehingga murid di madrasah tersebut mendapatkan pendidikan umum yang sama dengan murid di sekolah umum. 30 Pesantren berbondong-bondong memasukkan pelajaran umum pada kurikulumnya. Sebagai contoh pesantren Tebuireng, sejak KH. Ilyas ditunjuk menjadi kepala Madrasah Salafiyah, tahun 1958 KH. Ilyas menjadi Menteri Agama. Dibawah kepemimpinan KH. Ilyas, madrsasah yang ada di pesantren ini, isi kurikulumnya dimasukkanlah pengetahuan umum, meliputi; membaca dan menulis huruf latin, mempelajari bahasa Indonesia, mempelajari ilmu bumi dan sejarah Indonesia, mempelajari ilmu berhitung. 31 Salah satu tandanya lagi kondisi saat ini adalah mulai masuknya pelajaran agama di sekolah umum. dengan Sekolah Belanda. Hanya saja, di sekolah-sekolah ini diajarkan agama Islam pada waktu ekstra. Dengan kata lain, pada era ini misi pendidikan Islam adalah untuk memperkuat barisan bangsa untuk mempertahankan kemerdekaan serta dalam konsteks pendidikan Islam menawarkan pendidikan yang integratif. Yang menggabungkan tradisi baru, seperti yang dikenal Belanda ditambah dengan pengajaran ke-Islaman pada jam-jam ekstra. Lihat, JM. Muslimin, “Tradisi Ilmiah dalam Masyarakat Islam: Sejarah, Institusi dan tantangan Perubahan”, dalam Kusmana dan JM. Muslimin ed., Paradigma Baru Pendidikan: Restropeksi dan Proyeksi Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia, 147. 29 Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, 104. 30 Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, 97. 31 Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, 235-236 Ilustrasi di atas menjadi bahan bahwa ternyata cikal bakal madrasah sudah tumbuh dan berkembang jauh sebelum Indonesia merdeka. Madrasah tumbuh dan berkembang secara alamiah, murni dari keinginan dan kekuatan masyarakat, khususnya umat Islam. Selanjutnya bagaimana karakteristik kurikulum Madrasah Aliyah sejak munculnya Undang-Undang pendidikan yang pertama sampai munculnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003?.

A. Masa Undang-Undang Pendidikan No. 4 Tahun 1950 Jo UU No. 12 Tahun 1954