Dominasi Faktor Politik Pergeseran kurikulum madrasah dalam undang-undang sistem pendidikan nasional

madrasah, sehingga jelas terjadi pergeseran kurikulum MA dari zaman Orde Baru ke zaman Orde Reformasi.

B. Dominasi Faktor Politik

Pembahasan ini akan membuktikan bahwa dalam pergeseran kurikulum MA, faktor politik lebih dominan daripada faktor lain yang telah disebut. Dalam undang-undang pendidikan yang pertama yaitu UU No. 4 tahun 1950 belum secara spesifik memberikan ketentuan khusus dalam hal pengaturan terhadap lembaga pendidikan Islam. Meskipun demikian, undang-undang ini telah memberikan pengakuan terhadap kedudukan sekolah agama madrasah, seperti tercantum dalam pasal 10 ayat 2 undang-undang tersebut, bahwa ”Belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah mengakui kewajiban belajar”. Sebelum ditetapkannya undang-undang tersebut, Menteri Agama telah mengeluarkan ketentuan yang memberikan pengakuan terhadap madrasah sebagai salah satu bentuk lembaga pendidikan Islam, yakni Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1946 yang ditetapkan pada tanggal 19 Desember tahun 1946 tentang bantuan dan subsidi terhadap madrasah. 55 Dalam peraturan tersebut dianjurkan agar madrasah memberikan setidak-tidaknya sepertiga dari jumlah jam pelajarannya untuk pelajaran umum meliputi bahasa Indonesia, berhitung, membaca dan menulis huruf latin pada madrasah rendah, ditambah dengan ilmu bumi, sejarah, kesehatan, tumbuh- tumbuhan di madrasah lanjutan. 56 Bila melihat content, kurikulum madrasah bergeser, dan pergeseran ini nampak jelas unsur politisnya, karena madrasah diakui oleh pemerintah sebagai memenuhi kewajiban belajar ketika mau mengajarkan pelajaran umum. Yang tadinya madrasah mengajarkan 100, pelajaran agama ulu m al-di n. 55 Lihat, Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan Jakarta: Rajawali Press, 2009, 179. 56 Nurhayati, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, 180. Pada tahun 1972, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1972 tentang kewenangan penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan di bawah satu pintu yaitu oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, termasuk di dalamnya penyelenggaraan pendidikan agama. Keputusan Presiden tersebut diikuti oleh Inpres No. 15 tahun 1974 tentang pelaksanaan Keputusan Presiden tersebut. 57 Menurut penulis ada tiga tafsir menanggapi Kepres dan Inpres tersebut, pertama, pemerintah berbuat demikian karena menghendaki satu sistem pendidikan nasional, bukan dualisme atau sistem ganda, sehingga memanagnya mudah. Kedua, ada semacam rasa ketakutan pemerintah terhadap politik umat Islam, ketika pendidikan agama kuat akan melawan pemerintah dan membentuk negara Islam. Ketiga, supaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mendapat pekerjaan yang lebih besar berupa proyek, dengan dimasukannya pendidikan agama di dalamnya. Melihat realitas yang demikian, Kepres No. 34 tahun 1972 dan Inpres No 15 Tahun 1974 mendapat tantangan yang sangat keras dari kalangan Islam. Kedua keputusan tersebut dipandang sebagai langkah untuk mengebiri tugas dan peran Departemen Agama dan bagian dari sekularisasi yang dilakukan pemerintah Orde Baru. Menurut Nurhayati Djamas, kecurigaan tersebut cukup beralasan dikaitkan dengan setting sosial politik yang berlangsung pada awal pemerintahan Orde Baru yang menerapkan kebijakan politik, memarjinalkan politik Islam melalui pengebiran partai politik Islam. 58 Melihat reaksi umat Islam yang sangat mengecam pemerintah, membuat pemerintah gerah dan ketakutan, kemudian mengadakan sidang kabinet terbatas, tanggal 26 Oktober 1974, kemudian Presiden Soeharto memberikan penjelasan keputusan tersebut: pertama, karena tujuan pembangunan nasional adalah untuk mencapai kemajuan material dan spiritual yang seimbang, maka harus ada keseimbangan antara pendidikan umum dan agama. Kedua, pendidikan umum adalah tanggung jawab Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, sedang pendidikan agama 57 Nurhayati, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, 183-184. 58 Nurhayati, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, 184. berada di bawah tanggung jawab Menteri Agama. Ketiga, untuk melaksanakan kepres No. 34 Tahun 1972 dan Inpres No. 15 tahun 1974 dengan sebaik-baiknya perlu ada kerjasama antara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Dalam Negeri dan Departemen Agama. 59 Berdasarkan keterangan presiden tersebut akhirnya muncul kurikulum 1975 yang terkenal dengan sebutan kurikulum SKB Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri. Hal ini jelas, bahwa munculnya kurikulum SKB Tiga Menteri ini syarat muatan politis. Muatan politis tersebut dapat dilihat, bahwa sejarah munculnya SKB dilandasi oleh reaksi umat Islam terhadap Kepres dan Inpres yang kontroversial. Selanjutnta SKB tersebut diantaranya berisi mewajibkan kepada madrasah untuk mengajarkan 30 pelajaran agama dan 70 pelajaran umum. Maka ada sebagaian madrasah yang mengikuti SKB, ada sebagaian madrasah yang lain yang tidak mau mengikuti SKB. Madrasah Aliyah Negeri MAN, karena di bawah otoritas Departemen Agama secara otomatis mengikuti SKB. Menanggapi kebijakan pendidikan yang sentralistik pada masa Orde Baru, meminjam istilahnya Neil, bahwa sering terjadi kebijakan yang kontroversi antara pemerintah pusat dan daerah. 60 Kebijakan yang kontroversi tersebut, biasanya bersifat politis. Karena menurut Kelly, bahwa sistem pendidikan dapat dimanipulasi oleh kepentingan politik dalam rangka mencapai tujuannya. 61 Sedangkan manipulasi pendidikan dan masyarakat itu sendiri dominan dipengaruhi oleh kekuatan kelompok yang masuk di dalamnya, demikian lanjut Kelly. 62 Berbeda dengan Tilaar, harapan besarnya adalah mengesampingkan kepentingan kelompok, partai politik, sehingga ia berharap muncul undang-undang di negeri ini, pendidikan yang tanpa membedakan ras, agama, tingkat sosial ekonomi, gender, sehingga terbentuk masyarakat yang 59 Nurhayati, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, 184. 60 John D. McNeil, Curriculum A Comprehensive Introduction New York: John Wiley Sons, INC., 1996, 289. 61 Kelly, The Curriculum Theory and Practice, 38. 62 Kelly, The Curriculum Theory and Practice, 38. demokratis. 63 Menanggapi dua ide yang bertolak belakang, sebenarnya Neil dan Kelly, lebih melihat perkembangan pendidikan secara alamiyah, sementara Tilaar menginginkan konsep yang ideal yaitu demokratisasi pendidikan, bahwa pendidikan adalah hak asasi manusia untuk mengembangkan dirinya, sehingga diperlukan undang-undang dan kebijakan baru yang mengaturnya. Di Indonesia sangat nampak sebagai bukti apa yang dikatakan Neil dan Kelly, bahwa kebijakan pendidikan khususnya yang terkait dengan umat Islam harus mendapat restu dari presiden Soeharto. Sebagai contoh, di awal pemerintahannya terangkatnya presiden Soeharto, karena dukungan militer yang kuat. Namun pada periode berikutnya dukungan militer melemah, sehingga Soeharto mulai melirik kelompok Muslim. Muncullah Ikatan Cendekiawan Muslim ICMI, sebagai organisasi Muslim modern. Dengan ICMI inilah aspirasi umat Islam dapat tersampaikan. Sehingga ditetapkannya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional UU No. 2 tahun 1989 yang oleh kalangan Muslim dianggap memenuhi aspirasi mereka, serta UU No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama tidak dapat dilepaskan dari restu yang diberikan Soeharto. 64 Dalam UU No. 2 tahun 1989 ini madrasah diakui sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, sehingga secara politis umat Islam merasa diakui eksistensinya. Walaupun sebagai konsekwensinya kurikulum MA harus mengikuti kurikulum pendidikan nasional. Menanggapi sejarah lahirnya kurikulum SKB, sebagai bahan perbandingan seperti pernyataan Kelly, bahwa tidak efektif ketika kurikulum yang kontroversial didasarkan pada pembuatan kebijakan yang profesional. 65 Atau menurut penulis dibalik, tidak efektif ketika kebijakan kontroversial didasarkan pada pembuatan kurikulum yang profesional. Dengan demikian yang paling efektif adalah kurikulum yang diterima semua pihak didasarkan pada kebijakan yang profesional. Atau 63 Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar Paedagogik Transformatif Untuk Indonesia, 430. 64 Nurhayati, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, 170-171. 65 Kelly, The Curriculum Theory and Practice, 97. sebaliknya, akan efektif ketika kebijakan yang diterima semua pihak didasarkan pada pembuatan kurikulum yang profesional. Selanjutnya Neil menyatakan, bahwa kebijakan kurikulum jarang rasional, atau didasarkan pada penelitian. Pengambilan keputusan sering tidak berdasar pada analisa content yang hati-hati dalam berbagai disiplin dan kebututuhan-kebutuhan yang bersifat sosial, atau pada studi proses pembelajaran dan konsen para pembelajar. Kurikulum yang ada sering tidak netral berdasarkan ilmu pengetahuan, padahal kurikulum merupakan hasil seleksi dari kebutuhan masyarakat secara umum. 66 Kebijakan kurikulum yang demikian adalah politis. Sebab, lanjut Neil, bahwa pembuatan keputusan kurikulum merupakan sebuah proses politik. 67 Bila dianalisa kenyataan bukan hanya sekarang, pendidikan terkait dengan politik, sebab sejak zaman Plato dan Aristoteles, telah disebutkan bahwa pendidikan ada kaitannya dengan politik, ungkapan yang menegaskan ”As is the state, so is the school”, sebagaimana negara, seperti itulah sekolah, atau ”What you want in the state, you must put into the school” apa yang anda inginkan dalam negara, harus anda masukkan ke sekolah. 68 Hal ini jelas bagi kita, bahwa berdasarkan pada teori para ahli kurikulum, kebijakan pembuatan kurikulum sering bersifat politis, hal ini terbukti pada keputusan-keputusan pembuatan kurikulum di Indonesia. Menurut Azyumardi, sepanjang perjalanan sejarah Islam misalnya, terdapat hubungan yang amat erat antara pendidikan dengan politik. Kenyataan ini, lanjut guru besar UIN Jakarta ini, dapat dilihat dari pendirian banyak madrasah di Timur Tengah yang disponsori oleh penguasa politik. Contoh paling terkenal dalam hal ini adalah madrasah Niz} amiyah di Baghdad yang didirikan sekitar 1064 oleh Wazir Dinasti Saljuk, Niz} am al-Mulk. Azyumardi melanjutkan laporannya, bahwa di 66 Neil, Curriculum A Comprehensive Introduction, 290. 67 Neil, Curriculum A Comprehensive Introduction, 290. 68 James S. Coleman, ed., Education and Political Development Princeton: Princeton University Press, 1965, 6., lihat juga, Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru Jakarta: logos, 1999, 61. madrasah ini, seorang pemikir dan ulama besar, al-Ghazali pernah menjadi guru besar. 69 Semakin kuatlah, bahwa madrasah –include kurikulumnya– tidak dapat dipisahkan dengan politik, baik di dunia Barat, Islam maupun Indonesia sendiri. Di Indonesia pernah terjadi sosialisasi politik terbuka melalui lembaga pendidikan. Menurut Azyumardi, sosialisasi politik 70 terbuka, merupakan upaya sengaja untuk menanamkan sikap politik tertentu melalui kandungan politik tertentu ke dalam kurikulum pendidikan. Semua ini dapat dilakukan dalam bentuk penyajian subjek tertentu dalam kurikulum seperti mata pelajaran Pancasila; indoktrinasi atau penataran –seperti penataran P4– atau bahkan kegiatan-kegiatan brain washing. Hasil dari sosialisasi politik terbuka ini sering diragukan orang. 71 Sangat kentara, bahwa penataran P4 itu alat politiknya Orde Baru melalui kurikulum pendidikan. Indikatornya, dengan penataran P4 dapat mendoktrin siswa dan menyampaikan pesan-pesan politiknya Orde Baru, indikator selanjutnya, setelah lengsernya Soeharto sebagai lambang otoriter Orde Baru, nyatanya penataran P4 sudah tidak ada lagi. Hasil dari sosialisasi politik melalui kurikulum dalam kasus Indonesia ini, menyebabkan wacana demokrasi politik tidak terbangun secara ideal. Kecurigaan para penguasa terhadap aksi-aksi frontal semakin kuat, ditambah oleh ambisius penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Karena itu, sosialisasi politik 69 Azyumardi, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, 61. 70 Alfred de Grazia dan James S Coleman, seperti dikutip Azyumardi, membedakan antara pendidikan politik political education –Grazia– dengan sosialisasi politik political socialization – Coleman. Pendidikan politik –sama dengan propaganda– bertujuan membangun dukungan bagi kebijakan-kebijakan penguasa. Melalui pendidikan politik, penguasa mendidik anak didik tentang, misalnya, bagaimana bertingkah laku sebagai warga negara atau bagaimana menyikapi pemerintah, dan sebagainya. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu pendidikan politik yang semula bersifat persuasif dapat berubah menjadi koersi pemaksaan fisik. Istilah politik mengacu kepada proses dimana individu-individu memperoleh sikap dan perasaan terhadap sistem politik, dan terhadap peranan mereka di dalamnya, yang mencakup: cognition apa yang diketahui dan dipercayai orang tentang sistem politik eksistensinya dan modus operandinya, feeling bagaimana perasaan seseorang terhadap sistem politik, termasuk kesetiaan dan perasaan kewajiban sipil, sense of political competence apa peranan seseorang dalam sistem politik. Lihat, Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, 63-64. 71 Azyumardi Azra, “Sosialisasi Politik dan Pendidikan Islam”, dalam Jurnal Komunikasi Dunia Perguruan Madrasah, Vol. I, Nomor, 0211997, 22. melalui kurikulum pendidikan ini merupakan strategi politik penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. 72 Pendekatan politik lewat kurikulum adalah metode doktrin yang cukup efektif, karena secara hukum, para siswa yang belum mempunyai hak pilih secara aktif pun, sudah mengetahui pesan politik penguasa yang sedang berkuasa. Hancurnya rezim Orde Baru, muncul Orde Reformasi, dimana masyarakat, khususnya dalam dunia pendidikan merasa terbebas dari unsur politisasi pendidikan. Yang tadinya kebijakan pendidikan bersifat sentralistik, pada zaman reformasi bersifat otonomi. Sehingga munculnya UU Pendidikan No. 20 Tahun 2003, seiring dengan munculnya undang-undang otonomi daerah. Muncul Kurikulum Berbasis Kompetensi KBK, dimana seorang siswa dituntut memiliki kompetensi yang diharapkan. Pengetahuan tidak hanya bersifat teoritis tetapi praktis, tidak hanya bersifat intelektualis tetapi juga spiritual. Kemudian muncul juga Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP, yang intinya sama dengan KBK, hanya saja otoritas pembuatan kurikulumnya bersifat otonomi dari satuan pendidikan. Bila di teliti secara seksama, munculnya kurikulum semuanya ini bersifat politis. Dengan demikian melihat penjelasan di atas maka jelas memberikan ilham, bahwa kebijakan kurikulum, khususnya kurikulum MA, muncul lebih didominasi faktor politik.

C. Tarik Menarik Kepentingan Partai Politik dalam Pendidikan