Latar Belakang Masalah Pergeseran kurikulum madrasah dalam undang-undang sistem pendidikan nasional

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada tahun 1950-an, kurikulum 1 yang diselenggarakan madrasah, menurut laporan Steenbrink sepertiganya terdiri dari pelajaran agama, sedang sisanya merupakan pelajaran umum. 2 Berarti, pelajaran umum dua pertiganya. Hal ini didukung pernyataan pemerintah dalam Undang-Undang 1950 pasal 10 yang menyebutkan bahwa belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan Departemen Agama, sudah memenuhi kewajiban belajar. 3 Bukti madrasah semakin tidak mendominasi mata pelajaran Agama, ketika KH. Wahid Hasyim menjabat Menteri Agama tahun 1949–1952, supaya memasukkan tujuh pelajaran di lingkungan madrasah, yaitu mata pelajaran Membaca-Menulis latin, Berhitung, Bahasa Indonesia, Sejarah, Ilmu Bumi dan Olahraga. 4 Ketika Departemen Agama dipimpin oleh KH. Moh. Ilyas 1953-1959 mengadakan pembaharuan sistem pendidikan madrasah dengan memperkenalkan Madrasah Wajib Belajar MWB 8 tahun. Tujuan dari MWB ini diarahkan pada pembangunan jiwa bangsa, yaitu untuk kemajuan di bidang ekonomi, industri dan transmigrasi dengan kurikulum yang menyelaraskan tiga perkembangan yaitu perkembangan otak, perkembangan hati dan keprigelan tanganketrampilan three H: heart, head, hand. 5 Senada dengan tujuan MWB, seperti dijelaskan oleh Plato, bahwa suatu bangsa harus mempunyai konsepteori pendidikan yang mendalam. Hal itu ditujukan dengan metode pengajaran, membangun teori ilmu pengetahuan, kerangka kurikulum pendidikan, pendidikan dalam peran sosial dan analisis manusia secara alamiah. 6 Baru setelah keluar Keputusan Menteri Agama No. 52 Tahun 1971, dirumuskanlah Kurikulum di Cibogo yang diberlakukan secara nasional. Dengan beberapa perbaikan dan penyempurnaan, kurikulum itu kemudian dikenal dengan kurikulum 1973. 7 Dari struktur materi yang ditawarkan kurikulum itu, menurut cacatan Maksum, sudah cukup mencerminkan perkembangan yang serius dalam rangka mengarahkan madrasah sebagai bagian dari Sistem Pendidikan Nasional. 1 Caswell dan Campbell mengatakan bahwa Kurikulum adalah seluruh pengalaman siswa di bawah bimbingan para guru. Saylor dan Alexander memberikan penguat, bahwa kurikulum didasarkan pada semua kesempatan belajar yang disediakan oleh sekolah. Lihat, Philip W. Jakcson ed., Hand Book of Research on Curriculum New York: Macmillan Publishing Company, 1999, 4. 2 Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern Jakarta: LP3ES, 1996, 96. 3 Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, 88. 4 Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Visi, Misi dan Aksi Jakarta: Rajawali Pers, 2005, 26. 5 Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Visi, Misi dan Aksi, 26. 6 Robert S. Brumbaugh, dan Nathaniel M. Lawrence, Philosopher on Education, Six Essays on the foundations of Western Thought Boston: Houghton Mifflin Company, 1963, 20. 7 Abdul Rachman, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Visi, Misi dan Aksi, 34. Komponen-komponen kurikulum itu meliputi tidak saja mata-mata pelajaran agama, tetapi juga mata-mata pelajaran umum dan mata-mata pelajaran kejuruan. 8 Mata pelajaran agama dan umum saja menurut penulis tidak cukup karena implementasi keduanya sangat penting –teori dan praktek– kesimpulan ini diyakini oleh Bobbit, bahwa content materi yang diberikan kurikulum harus dapat diketahui secara teori dan diaplikasikan secara praktek, teori dan praktek hendaklah menjadi scope dan sequence kurikulum Madrasah Aliyah. 9

B. Rumusan Masalah