Tulisan Ilmiah Latar Belakang Masalah

6. Diskusi mingguan Program Studi Pendidikan Islam di KDPI-Pasca UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2 tahun, dari tahun 2000 – 2002. 7. Peserta seminar “The Reconstruction of Syari’a in The Islamic State”, di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2003. 8. Peserta bedah buku “Pemikiran Syari’ah Hasan al-Bana”, di Islamic Centre Bekasi, tahun 2003. 9. Penelitian untuk para peneliti tingkat lanjut, Dosen IAIN “SMH” Banten, di Anyer, tahun 2007. 10. Pembicara seminar pendidikan “Metamorfosis Mutu Pendidikan Banten: Kurikulum, Mutu Guru dan Budaya Lokal banten”, tahun 2009. 11. Pembicara Seminar pendidikan “Menguak Rahasia Pendidikan ala Rasulullah”, 2010.

E. Tulisan Ilmiah

I. Tulisan Yang di Publikasikan 1. “Perjumpaan Sufisme dan Agama-agama Lain”, dipulikasikan oleh Majalah Bulanan Departemen Agama Jawa Barat “Media Pembinaan”, No. 08XXVIII November 2001. 2. “Pendidikan Sebagai Media Transformasi Budaya Renungan Bagi Para Pendidik dan Penyelenggara Pendidikan Dalam Menyambut Tahun Pelajaran Baru 20022003”, “Media Pembinaan”. 3. “Madrasah di Makkah dan Madinah”, Jurnal Ilmiah Bidang Keagamaan dan Kemasyarakatan, “Al-Qalam”, Vol. 20No. 98, 99Juli-Desember 2003, Serang: Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, IAIN “SMH” Banten, 2003. 4. Madrasah-madrasah di Makkah dan Madinah dalam Sejarah Pendidikan Islam, pada Periode Klasik dan Pertengahan, Prof. Dr. H. Abudin Nata, MA. Ed., Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004. 5. Ibnu Khaldun 1332-1402 M: Prinsip dan Metode Pengajaran, dalam Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, Prof. Dr. Suwito, MA. dan Fauzan, MA. Ed., Bandung: Angkasa, 2003. 6. Kurikulum Madrasah Orde Reformasi – 2007: Analisis Pengembangan dan Pembaharuan ke Arah Modern, Jurnal Ke-Islaman, Kemasyarakatan dan Kebudayaan, “Tazkia”, Vol. IX No. 02, 2008. II. Dalam Bentuk Skripsi, Tesis dan Disertasi 1. “Pendidikan Anak Menurut Al-Qur’an Studi Tentang Materi dan Metode”, Skripsi S1, 1995. 2. “Pendidikan Jasmani Dalam Perspektif Islam”, Tesis S2, 2003. 3. “Pergeseran Kurikulum Madrasah dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional”, Angkatan 2006.

F. Riwayat Pekerjaan

1. Direktur TPA “Al-Huda”, Klitren Lor Yogyakarta, tahun 1992 – 1993. 2. Guru Privat Keluarga dari Yayasan Tunas Melati Yogyakarta, tahun 1992 – 1995. 3. Guru al-Qur’an pada Program Pemberantasan Baca Tulis al-Qur’an se SD Klitren Lor Yogyakarta, tahun 1993 – 1994. 4. Distributor PT. Amindoway Jaya, tahun 1993. 5. Marketing Supervisor PT. Cahaya Matahari Timur Yogyakarta, tahun 1994. 6. Kepala Cabang PT. Cahaya Matahari Timur di Kebumen, tahun 1994 6 bulan. 7. Anggota ASBI Asosiasi Sarang Burung Walet Indonesia, tahun 1994 –1995. 8. Cyper Operator di Subur Tiasa Playwood Sdn. Bhd., Sibu East Malaysia, tahun 1996. 9. Boyler Operator di Azaz Mahir Sdn. Bhd., Bintulu East Malaysia, tahun 1997. 10. TU MI Asy-Syuhada Jakarta, tahun 1998 3 bulan. 11. Guru MI Asy-Syuhada Jakarta, tahun 1998-1999. 12. Dosen STAI Al-Ghuraba’ Jakarta, tahun 1998-1999. 13. Guru PNS MTs Negeri Rengasdengklok, Karawang, tahun 1999 –2003. 14. Dosen STAI Darul Qalam Tangerang dan Bekasi, tahun 1999 – 2007. 15. Dosen PGSD dan PGTK Darul Qalam Cut Mutia Bekasi, Islamic Centre Bekasi dan Tanjung Barat Jakarta, tahun 1999 – 2007. 16. Dosen STIMIK Kharisma Karawang, tahun 2000 – 2003. 17. Dosen Tetap PNS pada Fakultas Tarbiyah dan Adab IAIN “SMH” Banten Serang, tahun 2003 – sekarang. 18. Ketua Badan Pelaksana Harian PGTKRA-PGSDMI STAIKHA “Nur El-Qolam” untuk kampus Serang, Cilegon dan Jayanti, tahun 2005 – 2008. 19. Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam STAI TIARA Jakarta mulai Januari 2008-2009. 20. Badan Pembina Yayasan “Nur El-Qolam” Banten, tahun 2005-2009.

21. Ketua Yayasan “Nur El-Qolam” Banten, 2009-sekarang.

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada tahun 1950-an, kurikulum 1 yang diselenggarakan madrasah, menurut laporan Steenbrink sepertiganya terdiri dari pelajaran agama, sedang sisanya merupakan pelajaran umum. 2 Berarti, pelajaran umum dua pertiganya. Hal ini didukung pernyataan pemerintah dalam Undang-Undang 1950 pasal 10 yang menyebutkan bahwa belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan Departemen Agama, sudah memenuhi kewajiban belajar. 3 Bukti madrasah semakin tidak mendominasi mata pelajaran Agama, ketika KH. Wahid Hasyim menjabat Menteri Agama tahun 1949–1952, supaya memasukkan tujuh pelajaran di lingkungan madrasah, yaitu mata pelajaran Membaca-Menulis latin, Berhitung, Bahasa Indonesia, Sejarah, Ilmu Bumi dan Olahraga. 4 Ketika Departemen Agama dipimpin oleh KH. Moh. Ilyas 1953-1959 mengadakan pembaharuan sistem pendidikan madrasah dengan memperkenalkan Madrasah Wajib Belajar MWB 8 tahun. Tujuan dari MWB ini diarahkan pada pembangunan jiwa bangsa, yaitu untuk kemajuan di bidang ekonomi, industri dan transmigrasi dengan kurikulum yang menyelaraskan tiga perkembangan yaitu perkembangan otak, perkembangan hati dan keprigelan tanganketrampilan three H: 1 Caswell dan Campbell mengatakan bahwa Kurikulum adalah seluruh pengalaman siswa di bawah bimbingan para guru. Saylor dan Alexander memberikan penguat, bahwa kurikulum didasarkan pada semua kesempatan belajar yang disediakan oleh sekolah. Lihat, Philip W. Jakcson ed., Hand Book of Research on Curriculum New York: Macmillan Publishing Company, 1999, 4. 2 Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern Jakarta: LP3ES, 1996, 96. 3 Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, 88. 4 Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Visi, Misi dan Aksi Jakarta: Rajawali Pers, 2005, 26. 2 heart, head, hand. 5 Senada dengan tujuan MWB, seperti dijelaskan oleh Plato, bahwa suatu bangsa harus mempunyai konsepteori pendidikan yang mendalam. Hal itu ditujukan dengan metode pengajaran, membangun teori ilmu pengetahuan, kerangka kurikulum pendidikan, pendidikan dalam peran sosial dan analisis manusia secara alamiah. 6 Baru setelah keluar Keputusan Menteri Agama No. 52 Tahun 1971, dirumuskanlah Kurikulum di Cibogo yang diberlakukan secara nasional. Dengan beberapa perbaikan dan penyempurnaan, kurikulum itu kemudian dikenal dengan kurikulum 1973. 7 Dari struktur materi yang ditawarkan kurikulum itu, menurut cacatan Maksum, sudah cukup mencerminkan perkembangan yang serius dalam rangka mengarahkan madrasah sebagai bagian dari Sistem Pendidikan Nasional. Komponen-komponen kurikulum itu meliputi tidak saja mata-mata pelajaran agama, tetapi juga mata-mata pelajaran umum dan mata-mata pelajaran kejuruan. 8 Mata pelajaran agama dan umum saja menurut penulis tidak cukup karena implementasi keduanya sangat penting –teori dan praktek– kesimpulan ini diyakini oleh Bobbit, bahwa content materi yang diberikan kurikulum harus dapat diketahui secara teori dan diaplikasikan secara praktek, teori dan praktek hendaklah menjadi scope dan sequence kurikulum Madrasah Aliyah. 9 Perlu diketahui bahwa perubahan kurikulum madrasah Madrasah AliyahMA terkait dengan gerakan pembaharuan pendidikan Islam. Seperti madrasah-madrasah Diniyah yang ada di Padang Panjang. Madrasah-madrasah 5 Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Visi, Misi dan Aksi, 26. 6 Robert S. Brumbaugh, dan Nathaniel M. Lawrence, Philosopher on Education, Six Essays on the foundations of Western Thought Boston: Houghton Mifflin Company, 1963, 20. 7 Abdul Rachman, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Visi, Misi dan Aksi, 34. 8 Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya Jakarta: Logos, 1999, Cet II, 142. 9 Dengan kurikulum ini, tegas Bobbit, hendaknya siswa akan dapat menikmati hasil dari proses pendidikan, sehingga Bobbit percaya bahwa para siswa akan dapat meraih kesuksesan pada masa depannya. Lihat, Franklin Bobbit dalam David J. Flinders dan Stephen J. Thornton Ed., The Curriculum Studies Reader New York dan London: Routledgefalmer, 2004, Cet II, 3. 3 Diniyah seperti ini, sistemnya mencontoh sekolah pemerintah HIS, seperti memakai meja dan kursi, serta mengajarkan mata pelajaran umum disamping pelajaran agama. Model madrasah seperti ini, awal mula didirikan oleh Haji Abdullah Ahmad dengan Adabiyah School 10 1909, kemudian juga Madrasah Diniyah yang didirikan oleh Zainuddin Labai tahun 1915 yang merupakan perkembangan dari surau Jembatan Besi. Madrasah ini juga menggunakan sistem ko-edukasi yang dicontoh dari kebiasaan yang berlaku di sekolah-sekolah pemerintah. 11 Disamping itu juga madrasah Mu’allimin Muhammadiyah di Yogyakarta yang didirikan kira-kira tahun 1918, dimana kurikulumnya diklasifikasikan menjadi agama dan umum, Prosentase ilmu umum dan agama seimbang 50 agama dan 50 umum. 12 Tahun-tahun berikutnya setelah madrasah Mu’allimin, isi kurikulumnya sudah mulai didominasi oleh umum. Realitas demikian yang mendasari kurikulum madrasah MA bergeser. Sekilas diamati, bahwa beberapa laporan para penulis di atas mendukung pernyataan bahwa pergeseran kurikulum madrasah MA sejak sebelum merdeka, setelah merdeka, Orde Lama sampai Orde Baru 1966 bahkan sampai tersusunnya kurikulum madrasah secara nasional 1971, telah mengalami pergeseran baik komponen tujuan, isi, metode, maupun evaluasi yang penulis asumsikan, bahwa pergeseran tersebut lebih dominan bersifat politis untuk tujuan dan isi kurikulum dan bergeser ke arah modern untuk metode dan evaluasi. Argumen Raimond William, dapat menjadi dasar analisis ini, bahwa definisi baru pendidikan secara umum adalah output-nya dapat memecahkan masalah dan dapat mempraktekannya. Pendidikan bentuk ini, tegas William, adalah bentuk kurikulum modern. 13 Hal ini dapat diperkuat dengan apa yang direkam oleh John. D. Mc. Neil, para sosiolog melaporkan, bahwa 10 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia Jakarta: LP3ES, 1996, 51. 11 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 62. 12 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Jakarta: Hidakarya Agung, 1996, 227. 13 Terlebih ketika ditambah, matematika, geografi, bahasa modern, dan sain fisika yang sangat penting, lihat, John White dalam Alex More, Schooling, Society and Curriculum London and New York: Rountledge, 2006, Cet I, 43. 4 inovasi kurikulum –tentunya mengandung makna pergeseran– di sebuah sekolah adalah merupakan suatu keharusan untuk menemukan sesuatu yang lebih baik. 14 Terkait dengan munculnya kurikulum secara nasional tahun 1971, menurut Maksum bahwa madrasah MA pada awalnya didirikan oleh masyarakat secara mandiri, tetapi dengan penegerian dan pembakuan kurikulum itu madrasah-madrasah cenderung berjalan secara seragam. Civil Effect bagi lulusannya pun menjadi teratur. Madrasah dengan demikian tidak diragukan lagi sebagai lembaga pendidikan yang pengelolaan, struktur dan kurikulumnya mendekati sama dengan sekolah di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 15 Kurikulum yang baik, menurut Franklin Bobbit akan dapat mendiagnosa kesulitan belajar siswa dan dapat membawa pendidikan ke arah yang lebih prospek. 16 Usaha merevisi terus menerus kurikulum madrasah MA dari sisi metode dan evaluasi, adalah dalam rangka merealisasikan kurikulum seperti diungkapkan Bobbit. Tahun 1975 dikeluarkan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri mengenai “Peningkatan Mutu Pendidikan pada Madrasah.” Dalam Surat Keputusan Bersama itu, masing-masing Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementerian Dalam Negeri memikul tanggungjawab dalam pembinaan dan pengembangan pendidikan madrasah. 17 14 John. D. Mc. Neil, Curriculum A Comprehensive Introduction Boston Toronto: Luttle Brown and Company, t.t., 117. Sebagai bahan perbandingan reformasi kurikulum yang ada di Amerika Serikat, pergerakan reformasi kurikulum dimulai sejak suksesnya peluncuran satelit Rusia yang pertama, 1957, kejadian spektakuler ini mempercepat revisi kurikulum, terutama dalam hal matematika dan fisika, walaupun sempat mengalami stagnan ketika terjadinya perang dunia II, lihat John I. Goodlad dalam David J. Flinders dan Stephen J. Thornton Ed., The Curriculum Studies Reader, 60. 15 Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, 144. 16 Franklin Bobbit dalam David J. Flinders dan Stephen J. Thornton Ed., The Curriculum Studies Reader New York dan london: Routledgefalmer, 2004, cet II, 3. 17 Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, 149, lihat pula, M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum Jakarta: Bumi Aksara, 1995, 230. Pada saat ini Menteri Agamanya adalah H.A. Mukti Ali, lihat, Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, di Sekolah Madrasah dan Perguruan Tinggi Jakarta: Rajawali Pers, 2005, 197. 5 Dalam SKB disebutkan bahwa mata pelajaran Agama di madrasah MA adalah kurang lebih 30, berarti yang 70 adalah mata pelajaran umum. 18 Artinya implementasi dalam pengajaran tidak mengurangi kuantitas jam pelajaran mata-mata pelajaran umum. Pada tahap awal setelah SKB, Departemen Agama menyusun kurikulum 1976 19 –keputusan Menteri Agama No. 75, tanggal 29 Desember 1976– yang diberlakukan secara intensif mulai tahun 1978. Kemudian kurikulum 1976 ini disempurnakan lagi melalui kurikulum 1984 sebagaimana dinyatakan dalam SK Menteri Agama No. 45 Tahun 1987. 20 Penyempurnaan ini sejalan dengan perubahan kurikulum sekolah di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Penjelasan di atas membuktikan bahwa kenyataan sejarah keberadaan serta peran madrasah adalah ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini terlihat dari Undang-Undang Pendidikan tahun 1950, sejarah pembaharuan madrasah sejak sebelum Indonesia merdeka, pasca kemerdekaan, dan bergesernya kurikulum madrasah pasca tahun 1950-2006. Dari sisi metode dan evaluasi kurikulum madrasah MA terus melakukan pembaharuan, walaupun secara politis tujuan dan isi kurikulum madrasah MA harus mengikuti undang-undang pendidikan yang berlaku. Namun peran madrasah MA dalam ikut mencerdaskan kehidupan bangsa tidak bisa dialpakan. Selanjutnya, penulis mencermati bahwa ada faktor-faktor yang menyebabkan kurikulum madrasah bergeser, bila merujuk uraian di atas, diantara faktor yang menyebabkan kurikulum madrasah bergeser adalah faktor perubahan sosial, ekonomi, politik dan budaya. Analisis penulis ini diperkuat oleh Larry Cuban, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan perubahan daerah dan sekolah adalah 18 Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, 197. 19 Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Visi, Misi dan Aksi, 34. 20 Hemat penulis saat ini Menteri Agamanya adalah Munawir Sjadzali, lihat Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, 197. 6 demografi, culture kebudayaan, politik, sosial dan ekonomi. 21 Hal ini identik dengan apa yang dikatakan Jonathan Tudge dalam Vygotsy and Education, sebagaimana dikutip Tilaar, mengatakan bahwa dari perkembangan pribadi seseorang menuntut perkenalan premier dari lingkungannya. Dunia kehidupan di dalam perkembangan pribadi manusia individuasi akan semakin lama semakin meluas dari lingkungan keluarga, masyarakat sekitar, masyarakat etnisnya, masyarakat negara, dan seterusnya masyarakat global.” 22 Catatan Audrey Osler, mendukung pernyataan Tudge, dalam seminar Internasional dan Interdisipliner di Harvard University tahun 2002, bahwa kehidupan dan pengalaman senantiasa berkembang sampai hari ini yang senantiasa berhubungan dengan realitas ekonomi, proses sosial, inovasi teknologi dan media, dan arus budaya yang melewati batas- batas negara dengan kejadian yang lebih besar. 23 Program pendidikan haruslah disusun berdasarkan perkembangan dunia tersebut. Dengan demikian kurikulumpun harus bergeser. Pendidikan adalah penting sekali di dalam pembentukan kapital sosial. Dalam fungsinya yang demikian perlu mengetahui organisasi sosial, adat istiadat setempat dimana peserta didiknya hidup dan berkembang. 24 Tidak dapat diabaikan, perkembangan ekonomi juga merupakan faktor penting yang menyebabkan kurikulum bergeser. Larry Cuban, memberikan contoh, ketika pasokan dolar dikurangi ke sekolah-sekolah di Amerika, maka program- 21 Larry Cuban menjelaskan faktor-faktor ini, untuk sekolah di Amerika, dimana sistem sekolah dan kurikulumnya adalah desentralisasi. Lihat Larry Cuban, dalam Philip W. Jakcson ed., Hand Book of Research on Curriculum New York: Macmillan Publishing Company, 1999, 217. 22 H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan Jakarta: Grasindo, 2002, 88. 23 Kondisi lokal dan global tidak bisa ditawar lagi harus berhubungan dengan kehidupan kita sehari-hari, kurikulum sekolah membutuhkan hubungan-hubungan ini secara eksplisit. Lihat, Audrey Osler dalam, Alex More ed. Schooling, Society and Curriculum, 101-102. 24 Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan, 91, bandingkan dengan catatan Alan Peskhin dalam Philip W. Jakcson ed., Hand Book of Research on Curriculum, 248. Pendidikan tak dapat tiada harus memberikan jawaban atas tekanan-tekanan yang datang dari desakan dan tekanan dari kekuatan- kekuatan sosio-politik –ekonomi yang dominan pada saat tertentu, lihat, S. Nasution, Kurikulum dan Pengajaran Jakarta: Bumi Aksara, 1995, Cet II, 23. 7 program pengajaran di sekolah banyak berhenti. 25 Para penyumbang sekolah-sekolah di Amerika diantaranya, para dermawan donatur, organisasi-organisasi philanthropic dan juga support dari para komunitas bisnis. 26 Selanjutnya faktor politik, sebagai bukti bahwa faktor politik menentukan pergeseran kurikulum, seperti dikatakan John I. Goodlad, bahwa perencanaan kurikulum adalah proses politik, bahkan proses politik itu adalah sebuah proses ideologi yang menentukan ending akhir dan arti pendidikan. 27 Bahkan jika melihat kebijakan-kebijakan pemerintah faktor politik ini nampaknya yang lebih dominan mempengaruhi pergeseran kurikulum madrasah. Faktor budaya, tidak bisa absent, merupakan faktor penyebab pergeseran kurikulum, hal ini senada dengan laporan Alex More, kurikulum sekolah sering dipresentasikan dan dipahami untuk menyeleksi ilmu pengetahuan knowledge dan kebudayaan dari suatu negara, tipikal penyeleksian yang demikian hendaklah dilakukan terus menerus untuk menggambarkan secara khusus skill-skill kebudayaan dan pemilihan kebudayaan-kebudayaan tersebut dari kelompok- kelompok sosial tertentu. Referensi seperti ini hendaknya menjadi jalan kurikulum sekolah untuk merespon kerja sekolah dari murid-muridnya. 28 Disamping itu, bahwa implikasi UUSPN No. 2 Tahun 1989 terhadap Pendidikan Madrasah dapat dilihat pada kurikulum dari semua jenjang madrasah, mulai dari Ibtidaiyah, Tsanawiyah, sampai dengan Aliyah. Secara umum penjenjangan itupun paralel dengan penjenjangan Pendidikan Sekolah, mulai dari Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, sampai dengan Sekolah Menengah Umum. Di bawah ketentuan yang terintegrasi itu Madrasah Ibtidaiyah 25 Cuban dalam Philip W. Jakcson ed., Hand Book of Research on Curriculum, 217. 26 Walter Feinberg dan Jonas F. Soltis, School and Society New York and London: Teachers College Press, 2004, 121. 27 Statement lain mengatakan bahwa struktur politik masuk dalam situasi pendidikan. Unik dan sensitif hubungan antara lokal, negara dan pemerintah daerah dalam memberikan support dan mensikapi masalah-masalah sekolah, demikian contoh di Amerika, lihat Goodlad dalam David J. Flinders dan Stephen J. Thornton Ed., The Curriculum Studies Reader, 62. 28 Alex, Schooling, Society and Curriculum, 87. 8 pada dasarnya adalah “Sekolah Dasar Berciri Khas Islam”, Madrasah Tsanawiyah adalah “Sekolah Lanjutan Pertama Berciri Khas Islam”, kedua-duanya MI dan MTs termasuk dalam kategori Pendidikan Dasar. Sedang Madrasah Aliyah MA dikategorikan sebagai “Sekolah Menengah Umum Berciri Khas Islam”. 29 Bisa dilihat Keputusan Menteri Agama RI Nomor 372 tahun 1993 tentang kurikulum Pendidikan Dasar Berciri Khas Islam. 30 Menurut Kurikulum ini MI dan MTs melaksanakan Kurikulum Nasional SD dan SLTP. 31 Terkait kurikulum Madrasah Aliyah MA, telah dikeluarkan keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 373 tahun 1993 tentang kurikulum Madrasah Aliyah. Dalam ketentuan ini, isi kurikulum terdiri dari dua program pengajaran umum dan pengajaran khusus sebagaimana berlaku dalam sekolah umum. 32 Tarmizi Taher ketika menjadi Menteri Agama, nampaknya mencoba menawarkan kebijakan dengan jargon “Madrasah sebagai sekolah umum yang Berciri Khas Agama Islam –kurikulum 1994– yang muatan kurikulumnya sama dengan non madrasah. Kebijakan ini ditindak lanjuti oleh A. Malik Fadjar –kurikulum 2004– bahkan Malik menetapkan eksistensi Madrasah untuk memenuhi tiga tuntutan minimal dalam peningkatan kualitas madrasah, yaitu 1 bagaimana menjadikan Madrasah sebagai wahana untuk membina ruh dan praktek hidup ke-Islaman; 2 bagaimana memperkokoh keadaan madrasah sehingga sederajat dengan Sistem Sekolah; 3 bagaimana madrasah mampu merespon tuntutan masa depan guna 29 Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, 155, lihat pula, Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Visi, Misi dan Aksi, 35. 30 Sesuai keterangan Muhaimin, saat ini menteri Agamanya adalah Tarmizi Taher, Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, 197. 31 Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, 155 – 156. 32 Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, 58. 9 mengantisipasi perkembangan iptek dan era globalisasi. 33 Nampak jelas pergeseran kurikulum madrasah MA untuk metodependekatan mengarah ke modern, indikator mengarah kepada modern salah satunya ditandai dengan beralihnya aktifitas yang berpusat pada guru menjadi berpusat pada siswa. Seperti dikatakan oleh Beane, bahwa bila kreasi kurikulum di prioritaskan kepada siswa akan lebih baik dari pada kepada para pendidik –dari level-level yang berbeda sampai tegaknya suatu kurikulum. 34 Tentunya pendekatan modern dengan tetap tidak meninggalkan ruh ke- Islamannya. Apabila dibandingkan jenis nama pelajaran agama antara mata pelajaran dalam struktur kurikulum madrasah MA tahun 1994 dengan struktur tahun 2004, tidak mengalami perubahan karena jenis mata pelajaran itu masih didasarkan atas Keputusan Menteri Agama No. 110 Tahun 1982 tentang pembidangan ilmu ke- Islaman. Pada kurikulum tahun 2004 dihindarkan pertemuan tatap muka yang hanya satu jam pelajaran, agar pembobotan dalam prinsip belajar tuntas dapat diselesaikan. Adapun keseluruhan jumlah jam pelajaran perminggu dipertahankan seperti yang tercantum pada struktur kurikulum tahun 1994. 35 Dalam kurikulum Madrasah 2004 KBK menggunakan sistem semester dan ditetapkan tingkat kelas yang berkelanjutan, MI enam tahun kelas I–VI, MTs tiga tahun kelas VII–IX, MA tiga tahun kelas X–XII. Pemilihan program pada MA ditetapkan sesudah kelas X. 36 Kurikulum Berbasis Kompetensi selanjutnya diterjemahkan ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP tahun 2006. Ilustrasi di atas nampak jelas, bahwa setiap periode kurikulum mempunyai karakteristik sendiri-sendiri. Kurikulum madrasah sejak tahun 1950–2006 adalah 33 Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, 197-199. 34 Beane dalam Vincent A. Anfara, Jr., Sandra L. Stacki ed., Middle School Curriculum Instruction and Assessment US: National Middle School Association Westerville, 2002, 9. 35 Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Visi, Misi dan Aksi, 202. 36 Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Visi, Misi dan Aksi, 204. 10 mengalami pergeseran, baik dari komponen tujuan, isi, strategi pembelajaran maupun evaluasi pembelajarannya, asumsi peneliti pergeseran tersebut, adalah lebih dominan dipengaruhi faktor politik dan bergeser tradisional ke modern. Selanjutnya adanya, faktor-faktor yang menyebabkan kurikulum madrasah bergeser. Di antara faktor- faktor yang ada, salah satunya –menurut penulis– ada faktor yang lebih dominan mempengaruhinya.

B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah