6.  Diskusi mingguan Program Studi Pendidikan Islam di KDPI-Pasca UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2 tahun, dari tahun 2000 – 2002.
7.  Peserta seminar “The Reconstruction of Syari’a in The Islamic State”, di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2003.
8.  Peserta bedah buku “Pemikiran Syari’ah Hasan al-Bana”, di Islamic Centre Bekasi, tahun 2003.
9.  Penelitian untuk para peneliti tingkat lanjut, Dosen IAIN “SMH” Banten, di Anyer, tahun 2007.
10.  Pembicara seminar pendidikan “Metamorfosis Mutu Pendidikan Banten: Kurikulum, Mutu Guru dan Budaya Lokal banten”, tahun 2009.
11.  Pembicara Seminar pendidikan “Menguak Rahasia Pendidikan ala Rasulullah”, 2010.
E. Tulisan Ilmiah
I. Tulisan Yang di Publikasikan 1.  “Perjumpaan Sufisme dan Agama-agama Lain”, dipulikasikan oleh Majalah
Bulanan Departemen Agama Jawa Barat “Media Pembinaan”, No. 08XXVIII November 2001.
2.  “Pendidikan Sebagai Media Transformasi Budaya Renungan Bagi Para Pendidik dan Penyelenggara Pendidikan Dalam Menyambut Tahun Pelajaran
Baru 20022003”, “Media Pembinaan”. 3.   “Madrasah di Makkah dan Madinah”, Jurnal Ilmiah Bidang Keagamaan dan
Kemasyarakatan, “Al-Qalam”, Vol. 20No. 98, 99Juli-Desember 2003, Serang: Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, IAIN “SMH” Banten,
2003. 4.  Madrasah-madrasah di Makkah dan Madinah dalam Sejarah Pendidikan Islam,
pada Periode Klasik dan Pertengahan, Prof. Dr. H. Abudin Nata, MA. Ed., Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
5.  Ibnu Khaldun 1332-1402 M: Prinsip dan Metode Pengajaran, dalam Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, Prof. Dr. Suwito, MA. dan Fauzan, MA.
Ed., Bandung: Angkasa, 2003. 6.  Kurikulum Madrasah Orde Reformasi – 2007: Analisis Pengembangan dan
Pembaharuan ke Arah Modern, Jurnal Ke-Islaman, Kemasyarakatan dan Kebudayaan, “Tazkia”, Vol. IX No. 02, 2008.
II. Dalam Bentuk Skripsi, Tesis dan Disertasi 1.  “Pendidikan Anak Menurut Al-Qur’an Studi Tentang Materi dan Metode”,
Skripsi S1, 1995. 2.  “Pendidikan Jasmani Dalam Perspektif Islam”, Tesis S2, 2003.
3.   “Pergeseran Kurikulum Madrasah dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional”, Angkatan 2006.
F. Riwayat Pekerjaan
1.  Direktur TPA “Al-Huda”, Klitren Lor Yogyakarta, tahun 1992 – 1993. 2.  Guru Privat Keluarga dari Yayasan Tunas Melati Yogyakarta, tahun 1992 –
1995. 3.  Guru al-Qur’an pada Program Pemberantasan Baca Tulis al-Qur’an se SD
Klitren Lor Yogyakarta, tahun 1993 – 1994. 4.  Distributor PT. Amindoway Jaya, tahun 1993.
5.  Marketing Supervisor PT. Cahaya Matahari Timur Yogyakarta, tahun 1994. 6.  Kepala Cabang PT. Cahaya Matahari Timur di Kebumen, tahun 1994 6 bulan.
7.  Anggota ASBI Asosiasi Sarang Burung Walet Indonesia, tahun 1994 –1995. 8.  Cyper Operator di Subur Tiasa Playwood Sdn. Bhd., Sibu East Malaysia, tahun
1996. 9.  Boyler Operator di Azaz Mahir Sdn. Bhd., Bintulu East Malaysia, tahun 1997.
10.  TU MI Asy-Syuhada Jakarta, tahun 1998 3 bulan. 11.  Guru MI Asy-Syuhada Jakarta, tahun 1998-1999.
12.  Dosen STAI Al-Ghuraba’ Jakarta, tahun 1998-1999.
13.  Guru PNS MTs Negeri Rengasdengklok, Karawang, tahun 1999 –2003. 14.  Dosen STAI Darul Qalam Tangerang dan Bekasi, tahun 1999 – 2007.
15.  Dosen PGSD dan PGTK Darul Qalam Cut Mutia Bekasi, Islamic Centre Bekasi dan Tanjung Barat Jakarta, tahun 1999 – 2007.
16.  Dosen STIMIK Kharisma Karawang, tahun 2000 – 2003. 17.  Dosen Tetap PNS pada Fakultas Tarbiyah dan Adab IAIN “SMH” Banten
Serang, tahun 2003 – sekarang. 18.  Ketua Badan Pelaksana Harian PGTKRA-PGSDMI STAIKHA “Nur
El-Qolam” untuk kampus Serang, Cilegon dan Jayanti, tahun 2005 – 2008. 19.  Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam STAI TIARA Jakarta mulai Januari
2008-2009. 20.  Badan Pembina Yayasan “Nur El-Qolam” Banten, tahun 2005-2009.
21.  Ketua Yayasan “Nur El-Qolam” Banten, 2009-sekarang.
1
BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Pada tahun 1950-an, kurikulum
1
yang diselenggarakan madrasah, menurut laporan  Steenbrink    sepertiganya  terdiri  dari  pelajaran  agama,  sedang  sisanya
merupakan  pelajaran  umum.
2
Berarti,  pelajaran  umum  dua  pertiganya.  Hal  ini didukung  pernyataan  pemerintah    dalam  Undang-Undang  1950  pasal  10  yang
menyebutkan  bahwa  belajar  di  sekolah  agama  yang  telah  mendapat  pengakuan Departemen  Agama,  sudah  memenuhi  kewajiban  belajar.
3
Bukti  madrasah  semakin tidak  mendominasi  mata  pelajaran  Agama,  ketika  KH.  Wahid  Hasyim  menjabat
Menteri Agama tahun 1949–1952, supaya memasukkan tujuh pelajaran di lingkungan madrasah,  yaitu  mata  pelajaran  Membaca-Menulis  latin,  Berhitung,  Bahasa
Indonesia, Sejarah, Ilmu Bumi dan Olahraga.
4
Ketika  Departemen  Agama  dipimpin  oleh  KH.  Moh.  Ilyas  1953-1959 mengadakan  pembaharuan  sistem  pendidikan  madrasah  dengan  memperkenalkan
Madrasah  Wajib  Belajar  MWB  8  tahun.  Tujuan  dari  MWB  ini  diarahkan  pada pembangunan  jiwa  bangsa,  yaitu  untuk  kemajuan  di  bidang  ekonomi,  industri  dan
transmigrasi  dengan  kurikulum  yang  menyelaraskan  tiga  perkembangan  yaitu perkembangan  otak,  perkembangan  hati  dan  keprigelan  tanganketrampilan  three  H:
1
Caswell dan Campbell mengatakan bahwa Kurikulum adalah seluruh pengalaman siswa di bawah bimbingan para guru. Saylor dan Alexander memberikan penguat, bahwa kurikulum didasarkan
pada  semua  kesempatan  belajar  yang  disediakan  oleh  sekolah.  Lihat,  Philip  W.  Jakcson  ed.,  Hand Book of Research on Curriculum New York: Macmillan Publishing Company, 1999, 4.
2
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern Jakarta: LP3ES, 1996, 96.
3
Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, 88.
4
Abdul  Rachman  Shaleh,  Madrasah  dan  Pendidikan  Anak  Bangsa,  Visi,  Misi  dan  Aksi Jakarta: Rajawali Pers, 2005, 26.
2 heart,  head,  hand.
5
Senada  dengan  tujuan  MWB,  seperti  dijelaskan  oleh  Plato, bahwa  suatu  bangsa  harus  mempunyai  konsepteori  pendidikan  yang  mendalam.  Hal
itu  ditujukan  dengan  metode  pengajaran,  membangun  teori  ilmu  pengetahuan, kerangka  kurikulum  pendidikan,  pendidikan  dalam  peran  sosial  dan  analisis  manusia
secara alamiah.
6
Baru  setelah  keluar  Keputusan  Menteri  Agama  No.  52  Tahun  1971, dirumuskanlah  Kurikulum  di  Cibogo  yang  diberlakukan  secara  nasional.  Dengan
beberapa  perbaikan  dan  penyempurnaan,  kurikulum  itu  kemudian  dikenal  dengan kurikulum  1973.
7
Dari  struktur  materi  yang  ditawarkan  kurikulum  itu,  menurut cacatan  Maksum,  sudah  cukup  mencerminkan  perkembangan  yang  serius  dalam
rangka  mengarahkan  madrasah  sebagai  bagian  dari  Sistem  Pendidikan  Nasional. Komponen-komponen kurikulum itu meliputi tidak saja mata-mata pelajaran agama,
tetapi  juga  mata-mata  pelajaran  umum  dan  mata-mata  pelajaran  kejuruan.
8
Mata pelajaran  agama  dan  umum  saja  menurut  penulis  tidak  cukup  karena  implementasi
keduanya  sangat  penting  –teori  dan  praktek–  kesimpulan  ini  diyakini  oleh  Bobbit, bahwa content materi yang diberikan kurikulum harus dapat diketahui secara teori
dan  diaplikasikan  secara  praktek,  teori  dan  praktek  hendaklah  menjadi  scope  dan sequence kurikulum Madrasah Aliyah.
9
Perlu  diketahui  bahwa  perubahan  kurikulum  madrasah  Madrasah AliyahMA  terkait  dengan  gerakan  pembaharuan  pendidikan  Islam.  Seperti
madrasah-madrasah  Diniyah  yang  ada  di  Padang  Panjang.  Madrasah-madrasah
5
Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Visi, Misi dan Aksi,  26.
6
Robert S. Brumbaugh, dan Nathaniel M. Lawrence, Philosopher on Education, Six Essays on the foundations of Western Thought Boston: Houghton Mifflin Company, 1963, 20.
7
Abdul Rachman, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Visi, Misi dan Aksi, 34.
8
Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya Jakarta: Logos, 1999, Cet II, 142.
9
Dengan  kurikulum  ini,  tegas  Bobbit,  hendaknya  siswa  akan  dapat  menikmati  hasil  dari proses  pendidikan,  sehingga  Bobbit  percaya  bahwa  para  siswa  akan  dapat  meraih  kesuksesan  pada
masa  depannya.  Lihat,  Franklin  Bobbit  dalam  David  J.  Flinders  dan  Stephen  J.  Thornton  Ed.,  The Curriculum Studies Reader New York dan London: Routledgefalmer, 2004, Cet II, 3.
3 Diniyah seperti ini, sistemnya mencontoh sekolah pemerintah HIS, seperti memakai
meja dan kursi, serta mengajarkan mata pelajaran umum disamping pelajaran agama. Model madrasah seperti ini,  awal mula didirikan oleh Haji Abdullah Ahmad dengan
Adabiyah  School
10
1909,  kemudian  juga  Madrasah  Diniyah  yang  didirikan  oleh Zainuddin  Labai  tahun  1915  yang  merupakan  perkembangan  dari  surau  Jembatan
Besi.  Madrasah  ini  juga  menggunakan  sistem  ko-edukasi  yang  dicontoh  dari kebiasaan  yang  berlaku  di  sekolah-sekolah  pemerintah.
11
Disamping  itu  juga madrasah  Mu’allimin  Muhammadiyah  di  Yogyakarta  yang  didirikan  kira-kira  tahun
1918,  dimana  kurikulumnya  diklasifikasikan  menjadi  agama  dan  umum,  Prosentase ilmu  umum  dan  agama  seimbang  50  agama  dan  50  umum.
12
Tahun-tahun berikutnya  setelah  madrasah  Mu’allimin,  isi  kurikulumnya  sudah  mulai  didominasi
oleh umum. Realitas demikian yang mendasari kurikulum madrasah MA bergeser. Sekilas  diamati,  bahwa  beberapa    laporan  para  penulis  di  atas  mendukung
pernyataan  bahwa  pergeseran  kurikulum  madrasah  MA  sejak  sebelum  merdeka, setelah  merdeka,  Orde  Lama  sampai  Orde  Baru    1966  bahkan  sampai  tersusunnya
kurikulum  madrasah  secara  nasional  1971,  telah  mengalami  pergeseran  baik komponen  tujuan,  isi,  metode,  maupun  evaluasi  yang  penulis  asumsikan,  bahwa
pergeseran tersebut lebih dominan bersifat politis untuk tujuan dan isi kurikulum dan bergeser  ke  arah  modern  untuk  metode  dan  evaluasi.  Argumen  Raimond  William,
dapat menjadi dasar analisis ini, bahwa definisi baru pendidikan secara umum adalah output-nya  dapat  memecahkan  masalah  dan  dapat  mempraktekannya.  Pendidikan
bentuk ini, tegas William, adalah bentuk kurikulum modern.
13
Hal ini dapat diperkuat dengan apa yang direkam oleh John. D. Mc. Neil, para sosiolog melaporkan,  bahwa
10
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia Jakarta: LP3ES, 1996, 51.
11
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 62.
12
Mahmud  Yunus,  Sejarah  Pendidikan  Islam  di  Indonesia  Jakarta:  Hidakarya  Agung, 1996, 227.
13
Terlebih  ketika  ditambah,  matematika,  geografi,  bahasa  modern,  dan  sain  fisika  yang sangat penting, lihat, John White dalam Alex More, Schooling, Society and Curriculum London and
New York: Rountledge, 2006, Cet I, 43.
4 inovasi  kurikulum  –tentunya  mengandung  makna  pergeseran–  di  sebuah  sekolah
adalah merupakan suatu keharusan untuk menemukan sesuatu yang lebih baik.
14
Terkait dengan  munculnya kurikulum secara nasional tahun  1971,  menurut Maksum  bahwa  madrasah  MA  pada  awalnya  didirikan  oleh  masyarakat  secara
mandiri, tetapi dengan penegerian dan pembakuan kurikulum itu madrasah-madrasah cenderung berjalan secara seragam. Civil Effect bagi lulusannya pun menjadi teratur.
Madrasah  dengan  demikian  tidak  diragukan  lagi  sebagai  lembaga  pendidikan  yang pengelolaan,  struktur  dan  kurikulumnya  mendekati  sama  dengan  sekolah  di
lingkungan  Departemen  Pendidikan  dan  Kebudayaan.
15
Kurikulum  yang  baik, menurut Franklin  Bobbit akan dapat mendiagnosa kesulitan belajar siswa dan dapat
membawa  pendidikan  ke  arah  yang  lebih  prospek.
16
Usaha  merevisi  terus  menerus kurikulum  madrasah  MA  dari  sisi  metode  dan  evaluasi,  adalah  dalam  rangka
merealisasikan kurikulum seperti diungkapkan Bobbit. Tahun  1975 dikeluarkan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri  mengenai
“Peningkatan  Mutu  Pendidikan  pada  Madrasah.”  Dalam  Surat  Keputusan  Bersama itu,  masing-masing  Kementerian  Agama,  Kementerian Pendidikan dan  Kebudayaan,
dan  Kementerian  Dalam  Negeri  memikul  tanggungjawab  dalam  pembinaan  dan pengembangan pendidikan madrasah.
17
14
John.  D.  Mc.  Neil,  Curriculum  A  Comprehensive  Introduction  Boston  Toronto:  Luttle Brown  and  Company,  t.t.,  117.  Sebagai  bahan  perbandingan  reformasi  kurikulum  yang  ada  di
Amerika  Serikat,  pergerakan  reformasi  kurikulum  dimulai  sejak  suksesnya  peluncuran  satelit  Rusia yang  pertama,  1957,  kejadian  spektakuler  ini  mempercepat  revisi  kurikulum,  terutama  dalam  hal
matematika dan fisika, walaupun sempat mengalami stagnan ketika terjadinya perang dunia II,  lihat John  I.  Goodlad  dalam  David  J.  Flinders  dan  Stephen  J.  Thornton  Ed.,  The  Curriculum  Studies
Reader, 60.
15
Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, 144.
16
Franklin  Bobbit  dalam  David  J.  Flinders  dan  Stephen  J. Thornton  Ed.,  The  Curriculum Studies Reader New York dan london: Routledgefalmer, 2004, cet II, 3.
17
Maksum,  Madrasah,  Sejarah  dan  Perkembangannya,  149,  lihat  pula,  M.  Arifin,  Kapita Selekta  Pendidikan  Islam  dan  Umum  Jakarta:  Bumi  Aksara,  1995,  230.  Pada  saat  ini  Menteri
Agamanya  adalah  H.A.  Mukti  Ali,  lihat,  Muhaimin,  Pengembangan  Kurikulum  Pendidikan  Agama Islam, di Sekolah Madrasah dan Perguruan Tinggi Jakarta: Rajawali Pers, 2005, 197.
5 Dalam  SKB  disebutkan  bahwa  mata  pelajaran  Agama  di  madrasah  MA
adalah  kurang  lebih  30,  berarti  yang  70  adalah  mata  pelajaran  umum.
18
Artinya implementasi dalam pengajaran tidak mengurangi kuantitas jam pelajaran mata-mata
pelajaran umum. Pada  tahap  awal  setelah  SKB,  Departemen  Agama  menyusun  kurikulum
1976
19
–keputusan  Menteri  Agama  No.  75,  tanggal  29  Desember  1976–  yang diberlakukan  secara  intensif  mulai  tahun  1978.  Kemudian  kurikulum  1976  ini
disempurnakan  lagi  melalui  kurikulum  1984  sebagaimana  dinyatakan  dalam  SK Menteri Agama No. 45 Tahun  1987.
20
Penyempurnaan ini sejalan dengan perubahan kurikulum sekolah di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Penjelasan di atas  membuktikan  bahwa  kenyataan sejarah keberadaan serta peran  madrasah  adalah  ikut  mencerdaskan  kehidupan  bangsa.  Hal  ini  terlihat  dari
Undang-Undang  Pendidikan  tahun  1950,  sejarah  pembaharuan  madrasah  sejak sebelum  Indonesia  merdeka,  pasca  kemerdekaan,  dan  bergesernya  kurikulum
madrasah pasca tahun 1950-2006. Dari sisi metode dan evaluasi kurikulum madrasah MA  terus  melakukan  pembaharuan,  walaupun  secara  politis  tujuan  dan  isi
kurikulum madrasah MA harus mengikuti undang-undang pendidikan yang berlaku. Namun peran madrasah MA dalam ikut mencerdaskan kehidupan bangsa tidak bisa
dialpakan. Selanjutnya,
penulis mencermati
bahwa ada
faktor-faktor yang
menyebabkan  kurikulum  madrasah  bergeser,  bila  merujuk  uraian  di  atas,  diantara faktor  yang  menyebabkan  kurikulum  madrasah  bergeser  adalah  faktor  perubahan
sosial, ekonomi, politik dan budaya. Analisis penulis ini diperkuat oleh Larry Cuban, bahwa  faktor-faktor  yang  menyebabkan  perubahan  daerah  dan  sekolah  adalah
18
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, 197.
19
Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Visi, Misi dan Aksi, 34.
20
Hemat  penulis  saat  ini  Menteri  Agamanya  adalah  Munawir  Sjadzali,  lihat  Muhaimin, Pengembangan  Kurikulum  Pendidikan  Agama  Islam,  di  Sekolah,  Madrasah  dan  Perguruan  Tinggi,
197.
6 demografi,  culture  kebudayaan,  politik,  sosial  dan  ekonomi.
21
Hal  ini  identik dengan  apa  yang  dikatakan  Jonathan  Tudge  dalam  Vygotsy  and  Education,
sebagaimana  dikutip  Tilaar,  mengatakan  bahwa  dari  perkembangan  pribadi seseorang  menuntut  perkenalan  premier  dari  lingkungannya.  Dunia  kehidupan  di
dalam  perkembangan  pribadi  manusia  individuasi  akan  semakin  lama  semakin meluas  dari  lingkungan  keluarga,  masyarakat  sekitar,  masyarakat  etnisnya,
masyarakat  negara,  dan  seterusnya  masyarakat  global.”
22
Catatan  Audrey  Osler, mendukung  pernyataan  Tudge,    dalam  seminar  Internasional  dan  Interdisipliner  di
Harvard  University  tahun  2002,  bahwa  kehidupan  dan  pengalaman  senantiasa berkembang  sampai  hari  ini  yang  senantiasa  berhubungan  dengan  realitas  ekonomi,
proses  sosial,  inovasi  teknologi  dan  media,  dan  arus  budaya  yang  melewati  batas- batas  negara  dengan  kejadian  yang  lebih  besar.
23
Program  pendidikan  haruslah disusun  berdasarkan  perkembangan  dunia  tersebut.  Dengan  demikian  kurikulumpun
harus  bergeser.  Pendidikan  adalah  penting  sekali  di  dalam  pembentukan  kapital sosial.  Dalam  fungsinya  yang  demikian  perlu  mengetahui  organisasi  sosial,  adat
istiadat setempat dimana peserta didiknya hidup dan berkembang.
24
Tidak  dapat  diabaikan,  perkembangan  ekonomi  juga  merupakan  faktor penting  yang  menyebabkan  kurikulum  bergeser.  Larry  Cuban,  memberikan  contoh,
ketika  pasokan  dolar  dikurangi  ke  sekolah-sekolah  di  Amerika,  maka  program-
21
Larry  Cuban  menjelaskan  faktor-faktor  ini,  untuk  sekolah  di  Amerika,  dimana  sistem sekolah dan kurikulumnya adalah  desentralisasi. Lihat Larry Cuban, dalam Philip W. Jakcson ed.,
Hand Book of Research on Curriculum New York: Macmillan Publishing Company, 1999, 217.
22
H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan Jakarta: Grasindo, 2002, 88.
23
Kondisi lokal dan global tidak bisa ditawar lagi harus berhubungan dengan kehidupan kita sehari-hari,  kurikulum  sekolah membutuhkan hubungan-hubungan  ini  secara  eksplisit.  Lihat,  Audrey
Osler dalam, Alex More ed. Schooling, Society and Curriculum, 101-102.
24
Tilaar,  Perubahan  Sosial  dan  Pendidikan,  91,  bandingkan  dengan  catatan  Alan  Peskhin dalam Philip W. Jakcson ed., Hand Book of Research on Curriculum, 248. Pendidikan tak dapat tiada
harus memberikan jawaban atas tekanan-tekanan yang datang dari desakan dan tekanan dari kekuatan- kekuatan sosio-politik –ekonomi yang dominan pada saat tertentu, lihat, S. Nasution, Kurikulum dan
Pengajaran Jakarta: Bumi Aksara, 1995, Cet II, 23.
7 program pengajaran di sekolah banyak berhenti.
25
Para penyumbang sekolah-sekolah di
Amerika diantaranya,
para dermawan
donatur,  organisasi-organisasi philanthropic  dan  juga  support  dari  para  komunitas  bisnis.
26
Selanjutnya  faktor politik, sebagai bukti bahwa faktor politik menentukan pergeseran kurikulum, seperti
dikatakan  John  I.  Goodlad,  bahwa  perencanaan  kurikulum  adalah  proses  politik, bahkan  proses  politik  itu  adalah  sebuah  proses  ideologi  yang  menentukan  ending
akhir  dan  arti  pendidikan.
27
Bahkan  jika  melihat  kebijakan-kebijakan  pemerintah faktor  politik  ini  nampaknya  yang  lebih  dominan  mempengaruhi  pergeseran
kurikulum  madrasah.  Faktor  budaya,  tidak  bisa  absent,  merupakan  faktor  penyebab pergeseran kurikulum,  hal ini senada dengan laporan Alex More, kurikulum sekolah
sering  dipresentasikan  dan  dipahami  untuk  menyeleksi  ilmu  pengetahuan knowledge  dan  kebudayaan  dari  suatu  negara,  tipikal  penyeleksian  yang  demikian
hendaklah  dilakukan  terus  menerus  untuk  menggambarkan  secara  khusus  skill-skill kebudayaan  dan  pemilihan  kebudayaan-kebudayaan  tersebut  dari  kelompok-
kelompok  sosial  tertentu.  Referensi  seperti  ini  hendaknya  menjadi  jalan  kurikulum sekolah untuk merespon kerja sekolah dari murid-muridnya.
28
Disamping  itu,  bahwa  implikasi  UUSPN  No.  2  Tahun  1989  terhadap Pendidikan  Madrasah  dapat  dilihat  pada  kurikulum  dari  semua  jenjang  madrasah,
mulai  dari  Ibtidaiyah,  Tsanawiyah,  sampai  dengan  Aliyah.  Secara  umum penjenjangan  itupun  paralel  dengan  penjenjangan  Pendidikan  Sekolah,  mulai  dari
Sekolah  Dasar,  Sekolah  Lanjutan  Tingkat  Pertama,  sampai  dengan  Sekolah Menengah  Umum.  Di  bawah  ketentuan  yang  terintegrasi  itu  Madrasah  Ibtidaiyah
25
Cuban dalam Philip W. Jakcson ed., Hand Book of Research on Curriculum, 217.
26
Walter Feinberg dan Jonas F. Soltis, School and  Society New York and London: Teachers College Press, 2004, 121.
27
Statement  lain  mengatakan  bahwa  struktur  politik  masuk  dalam  situasi  pendidikan.  Unik dan  sensitif  hubungan  antara  lokal,  negara  dan  pemerintah  daerah  dalam  memberikan  support  dan
mensikapi  masalah-masalah  sekolah,  demikian  contoh  di  Amerika,  lihat  Goodlad  dalam  David  J. Flinders dan Stephen J. Thornton Ed., The Curriculum Studies Reader, 62.
28
Alex, Schooling, Society and Curriculum, 87.
8 pada  dasarnya  adalah  “Sekolah  Dasar  Berciri  Khas  Islam”,  Madrasah  Tsanawiyah
adalah  “Sekolah  Lanjutan Pertama  Berciri  Khas Islam”,  kedua-duanya MI dan MTs termasuk  dalam  kategori  Pendidikan  Dasar.  Sedang  Madrasah  Aliyah  MA
dikategorikan sebagai “Sekolah Menengah Umum Berciri Khas Islam”.
29
Bisa dilihat Keputusan Menteri Agama RI Nomor 372 tahun 1993 tentang kurikulum Pendidikan
Dasar  Berciri  Khas  Islam.
30
Menurut  Kurikulum  ini  MI  dan  MTs  melaksanakan Kurikulum Nasional SD dan SLTP.
31
Terkait  kurikulum  Madrasah  Aliyah  MA,  telah  dikeluarkan  keputusan Menteri  Agama  Republik  Indonesia  Nomor  373  tahun  1993  tentang  kurikulum
Madrasah  Aliyah.  Dalam  ketentuan  ini,  isi  kurikulum  terdiri  dari  dua  program pengajaran  umum  dan  pengajaran  khusus  sebagaimana  berlaku  dalam  sekolah
umum.
32
Tarmizi  Taher  ketika  menjadi  Menteri  Agama,  nampaknya  mencoba menawarkan kebijakan dengan jargon “Madrasah sebagai sekolah umum yang Berciri
Khas Agama Islam –kurikulum  1994– yang muatan kurikulumnya sama dengan non madrasah.  Kebijakan  ini  ditindak  lanjuti  oleh  A.  Malik  Fadjar  –kurikulum  2004–
bahkan  Malik  menetapkan  eksistensi  Madrasah  untuk  memenuhi  tiga  tuntutan minimal  dalam  peningkatan  kualitas  madrasah,  yaitu  1  bagaimana  menjadikan
Madrasah  sebagai  wahana  untuk  membina  ruh  dan  praktek  hidup  ke-Islaman;  2 bagaimana  memperkokoh  keadaan  madrasah  sehingga  sederajat  dengan  Sistem
Sekolah;  3  bagaimana  madrasah  mampu  merespon  tuntutan  masa  depan  guna
29
Maksum,  Madrasah,  Sejarah  dan  Perkembangannya,  155,  lihat  pula,  Abdul  Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Visi, Misi dan Aksi, 35.
30
Sesuai keterangan Muhaimin, saat ini menteri Agamanya adalah Tarmizi Taher, Muhaimin, Pengembangan  Kurikulum  Pendidikan  Agama  Islam,  di  Sekolah,  Madrasah  dan  Perguruan  Tinggi,
197.
31
Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, 155 – 156.
32
Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, 58.
9 mengantisipasi  perkembangan  iptek  dan  era  globalisasi.
33
Nampak  jelas  pergeseran kurikulum madrasah MA untuk metodependekatan  mengarah ke modern, indikator
mengarah  kepada  modern  salah  satunya  ditandai  dengan  beralihnya  aktifitas  yang berpusat  pada  guru  menjadi    berpusat  pada  siswa.  Seperti  dikatakan  oleh  Beane,
bahwa  bila kreasi kurikulum di prioritaskan kepada siswa akan lebih baik dari pada kepada  para  pendidik  –dari  level-level  yang  berbeda  sampai  tegaknya  suatu
kurikulum.
34
Tentunya pendekatan modern dengan tetap tidak meninggalkan ruh ke- Islamannya.
Apabila  dibandingkan  jenis  nama  pelajaran    agama  antara  mata  pelajaran dalam  struktur  kurikulum  madrasah  MA  tahun  1994  dengan  struktur  tahun  2004,
tidak  mengalami  perubahan  karena  jenis  mata  pelajaran  itu  masih  didasarkan  atas Keputusan  Menteri  Agama  No.  110  Tahun  1982  tentang  pembidangan  ilmu  ke-
Islaman.  Pada kurikulum tahun  2004 dihindarkan pertemuan tatap muka  yang hanya satu jam pelajaran, agar pembobotan dalam prinsip belajar tuntas dapat diselesaikan.
Adapun  keseluruhan  jumlah  jam  pelajaran  perminggu  dipertahankan  seperti  yang tercantum pada struktur kurikulum tahun 1994.
35
Dalam kurikulum Madrasah 2004 KBK menggunakan sistem semester dan ditetapkan  tingkat  kelas  yang  berkelanjutan,  MI  enam  tahun  kelas  I–VI,  MTs  tiga
tahun  kelas  VII–IX,  MA  tiga  tahun  kelas  X–XII.  Pemilihan  program  pada  MA ditetapkan  sesudah  kelas  X.
36
Kurikulum  Berbasis  Kompetensi  selanjutnya diterjemahkan ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP tahun 2006.
Ilustrasi di atas  nampak  jelas,  bahwa  setiap periode kurikulum  mempunyai karakteristik  sendiri-sendiri.  Kurikulum  madrasah  sejak  tahun  1950–2006  adalah
33
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, 197-199.
34
Beane  dalam  Vincent  A.  Anfara,  Jr.,  Sandra  L.  Stacki  ed.,  Middle  School  Curriculum Instruction and Assessment US: National Middle School Association Westerville, 2002, 9.
35
Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Visi, Misi dan Aksi,  202.
36
Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Visi, Misi dan Aksi, 204.
10 mengalami pergeseran, baik dari komponen tujuan, isi, strategi pembelajaran maupun
evaluasi pembelajarannya, asumsi peneliti pergeseran tersebut, adalah  lebih dominan dipengaruhi  faktor  politik  dan  bergeser  tradisional  ke  modern.  Selanjutnya  adanya,
faktor-faktor    yang  menyebabkan  kurikulum  madrasah  bergeser.  Di  antara  faktor- faktor  yang  ada,  salah  satunya  –menurut  penulis–  ada  faktor  yang  lebih  dominan
mempengaruhinya.
B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah