Faktor-faktor yang Menyebabkan Pergeseran Kurikulum MA 1. Faktor Agama ideologi

BAB IV PENGARUH KEBIJAKAN PENDIDIKAN PEMERINTAH TERHADAP

PERGESERAN KURIKULUM MADRASAH ALIYAH Madrasah Aliyah Negeri pertama kali didirikan, tidak secara langsung oleh pemerintah Departemen Agama, tetapi melalui proses penegerian seperti halnya Madrasah Tsanawiyah Negeri, yakni dengan Keputusan Menteri Agama No. 80 tahun 1967. Dalam keputusan itu disebutkan bahwa madrasah yang dinegerikan itu adalah Madrasah Aliyah Al-Islam di Surakarta, Madrasah Aliyah Pesantren Sabilil Muttaqien PSM Takeran Magetan di Jawa Timur dan Madrasah Aliyah Palangki di Sumatera Barat, dengan Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri atau MAAIN. 1 Melihat realitas yang demikian, madrasah benar-benar milik masyarakat umat. Selanjutnya, bab ini merupakan analisis yang akan membuktikan bahwa pergeseran kurikulum lebih dipengaruhi faktor politik.

A. Faktor-faktor yang Menyebabkan Pergeseran Kurikulum MA 1. Faktor Agama ideologi

2 Menurut Kelly, dalam perspektif politik, ideologi adalah dominan dalam pendidikan. 3 Pendidikan tidak hanya sebuah materi yang diwariskan secara turun 1 Departemen Agama RI, Sejarah Madrasah, Pertumbuhan, Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam melalui Proyek Peningkatan Madrasah Aliyah Tahun Anggaran 19992000, 1999, 12. 2 Menurut golongan positivistic yang dikategorikan ideologi adalah segala penilaian etis, norma, teori-teori metafisik dan keagamaan. Semua yang termasuk ideologi itu termasuk keyakinan yang tidak ilmiah karena tidak rasional dan hanya merupakan keyakinan subyektif. Bila ideologi dikaitkan dengan ilmu pengetahuan menurut Kuntowijoyo ideologi bersifat subyektif, normatif, dan tertutup sedangkan ilmu pengetahuan mempunyai watak obyektif, faktual dan terbuka. Lihat, Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, 20. Istilah ideologi paling sering dihubungkan dengan dua pemikir besar, Karl Marx dan Karl Mannheim. Bagi Marx, ideologi-ideologi politikpun tak pelak lagi sebagaian besar merupakan pembenaran bagi materi yang ada atau organisasi ekonomi masyarakat. Sementara konsep Manheim tentang sebuah ideologi total –sebagai lawan dari konsepnya tentang sebuah ideologi tertentu– pada intinya sama dengan Marx. Lihat, William F. O’neil, Educational Ideologies: Contemporary Expression of Educational Philosophies Santa Mania, California, Amerika Serikat: Goodyear Publishing Company, Inc, 1981, 31. temurun dari generasi tua kepada generasi muda, dan evaluasi dari ilmu pengetahuan dan masyarakat saja tetapi pendidikan itu adalah sebuah materi isi kurikulum dari satu golongan masyarakat yang dominan dalam mempropagandakan ideologinya, kemudian mencapai kontrol politik dalam rangka pengembangan kekuasaannya, demikan lanjut Kelly. 4 Pernyataan Kelly diperkuat oleh Harris, bahwa pendidikan adalah sebuah kekuatan ideologi dan kepentingan yang maha dasyat. 5 Bila kita kembali ke pembahasan bab sebelumnya, bahwa pendidikan dengan kurikulumnya bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Ibaratnya, pendidikan adalah wadahnya, sedangkan kurikulum adalah isinya, maka substansi dari pendidikan adalah kurikulumnya. Dengan demikian yang digarap oleh para ideolog adalah kurikulum pendidikan itu sendiri. Maka apa yang dikatakan Kelly dan Harris sebenarnya, bahwa kurikulum pendidikan tidak dapat lepas dari ideologi. Kelly melaporkan, terdapat ideologi yang berbeda-beda, dari ilmu pengetahuan, kehidupan sosial dan kemanusiaan. 6 Laporan Kelly, dapat diberi ciri dengan pernyataan Alastair C. MacIntyre, yang menyatakan bahwa sebuah ideologi selalu mempunyai tampilan kunci, pertama, bahwa ideologi berusaha menggambarkan karakteristik-karakteristik umum tertentu alam, atau masyarakat, atau kedua-duanya, karakteristik yang tidak hanya ada di tampilan-tampilan tertentu dari dunia yang sedang berubah, yang hanya dapat diselidiki lewat pengkajian empiris. Kedua, adanya perhitungan tentang hubungan tentang apa yang dilakukan dengan apa yang seharusnya dilakukan, keterkaitan antara hakikat dunia dengan hakikat moral, politik dan panduan-panduan prilaku. Ketiga, ideologi tidak hanya dipercayai oleh anggota-anggota kelompok sosial tertentu, melainkan diyakini sedemikian rupa sehingga ia setidak-tidaknya merumuskan sebagaian keberadaan 3 A. V. Kelly, The Curriculum Theory and Practice London: Sage Publication, 2004, 38. 4 Kelly, The Curriculum Theory and Practice, 38. 5 K. Harris, Education And Knowledge: The Structured Misrepresentation of Reality London: Routledge, 1979, 140. 6 Kelly, The Curriculum Theory and Practice, 97. sosial mereka. 7 Tampilan kunci yang dinyatakan Alastair, memberikan ciri ideologi- ideologi yang dilaporkan Kelly. Ini dapat dibenarkan, karena realitasnya ideologi, terutama yang berkembang di dunia pendidikan, banyak dan bermacam-macam – berbeda antara satu dan lainnya. Bila diamati secara jeli, nampaknya laporan Kelly dan pernyataan Alastair, terangkum dalam uraian Sargent, bahwa sebuah ideologi, demikian Sargent, adalah sebuah sistem nilai atau keyakinan yang diterima sebagai fakta atau kebenaran oleh kelompok tertentu. Ia tersusun dari serangkaian sikap terhadap berbagai lembaga serta proses masyarakat. Ia menyediakan sebuah potret dunia sebagaimana adanya dan sebagaimana seharusnya dunia itu bagi mereka yang meyakininya. Dan, dengan keyakinan itu ia mengorganisir kerumitan atau kompleksitas yang besar di dunia menjadi sesuatu yang cukup sederhana dan bisa dipahami. Derajat organisasi atau penataan itu, juga penyederhanaannya yang tampak pada potret tadi, cukup bervariasi dari satu ideologi ke ideologi lain; dan semakin meningkatknya kompleksitas dunia membuat potret tadi menjadi kabur. Di saat yang sama, potret dasar yang disediakan oleh ideologi tampaknya tetap cukup mapan dan konstan. 8 Bahasa ideologi yang disampaikan kepada para anggotanya cukup sederhana dan mudah dicerna, namun sebenarnya kajiannya cukup rumit. Bila diperhatikan secara seksama, uraian Sargent, ideologi sama halnya dengan keyakinan agama, faham dan lain-lain. Bila demikian kenyataannya, maka sebuah lembaga pendidikan punya ideologi tertentu, yang tentunya ideologi itu akan di save dalam kurikulumnya dan disosialisasikan dalam proses belajar mengajar, kepada para siswanya. Sebelumnya, tentulah sudah disepakati oleh para pimpinan sekolah dan guru-gurunya serta pegawai yang lain. Bila dibedakan dari sisi masa zaman, ideologi sebenarnya dapat dibedakan menjadi dua, ideologi klasik, meliputi kapitalisme, sosialisme, dan nasionalisme. 7 Alastair MacIntyre, Against the Self Images of the Age New York: Shocken Books, 1971, 8-9. 8 Lihat, O’neil, Educational Ideologies: Contemporary Expression of Educational Philosophies, 32-33. Menurut Achmadi, ideologi ini dalam dua atau tiga dekade terakhir ini, sudah mulai kehilangan momentumnya. Hilangnya ideologi klasik diganti dengan ideologi kontemporer, seperti feminisme, pluralisme, dan postmodernisme. 9 Bergesernya kurikulum Madrasah Aliyah tidak dapat dinafikan dari dua klasifikasi besar ideologi tersebut, yakni ideologi klasik dan ideologi kontemporer. Berbeda dengan klasifikasi yang disebut Achmadi, William F. O’Neil, menyebutkan ada dua aliran ideologi besar yang cukup berpengaruh berdasarkan varian masing-masing, pertama, ideologi konservatif dengan variasi: fundamentalisme, dan konservatisme; kedua, ideologi liberalis dengan variasi: liberalisme, liberasionisme dan anarkhisme. 10 Sebelum O’Neil, sebenarnya Henry Giroux, juga telah menyebutkan, bahwa ada aliran ideologi, yaitu konservatisme, liberalisme dan aliran kritis. 11 Bila dibandingkan antara klasifikasi yang diberikan O’Neil dan Giroux, sebenarnya tidak jauh berbeda, karena konservatif dan liberalisme disebut oleh dua ahli ini. Sementara perbedaan hanya di aliran kritis dan anarkisme, walaupun arti kedua istilah ini sebenarnya juga tidak jauh berbeda. Konservatif memandang bahwa konsep yang selama ini digunakan masih tetap aktual dan relevan sehingga tidak perlu perubahan. 12 Bila berdasarkan ideologi konservatif, kurikulum Madrasah Aliyah MA masih tetap aktual sampai sekarang, tidak perlu ada perubahan atau pergeseran atau dinamisasi. Ideologi semacam ini akan terus ortodoks, dan tidak akan maju. Liberalisme menekankan pengembangan kemampuan, melindungi dan menjunjung tinggi hak dan kebebasan individu. Konsep pendidikannya bertolak dari paradigma Barat tentang rasionalisme dan individualisme, yang sejarah 9 Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris, 3. 10 O’Neil, Ideologi-ideologi Pendidikan, alih bahasa Omi Intan Naomi Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, 104-120. 11 Lihat, H. A. Giroux, Ideology, Culture, and The Process of Schooling Philadelphia: Tempel University and Falmer Press, 1981. 12 Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris, 4. perkembangannya tidak dapat dipisahkan dari perkembangan kapitalisme di Barat. Segi positif rasionalisme, individualisme dan kebebasan yang berkembang di Barat mendorong tumbuhnya kreativitas, semangat inovatif, dan optimalisasi kualitas individu yang sanggup bersaing dan bertanggung jawab dalam iklim kapitalisme. Itulah sebabnya pendidikan lebih diarahkan untuk mengejar kualitas –akademis ataupun profesional– walaupun dengan resiko biaya tinggi. 13 Dengan ideologi liberalisme, kurikulum Madrasah Aliyah akan bergeser ke arah modern, tetapi perlu dicatat bahwa kurikulum MA, tetap harus mempertahankan ciri khas ke-Islamannya, kalau tidak maka kurikulum MA akan menghasilkan manusia individualis dan kapitalis, yang ini jelas bertentangan dengan Islam. Yang menjadi idaman kurikulum MA, bagaimana supaya bergesernya ke arah modern dan Islami. Hal ini perlu perpaduan antara ideologi Islam dan liberalisme. Anarkisme, kritisisme dan rekontruksionisme, ketiga istilah ini saling mendukung. Istilah anarkisme yang digunakan William F. O’Neil bukan berkonotasi buruk, karena maksudnya adalah aliran yang anti kemapanan. Istilah yang agak halus adalah kritisisme, atau rekontruksionisme. Aliran ini memandang bahwa pendidikan tidak dapat dilepaskan dari upaya rekontruksi sosial. Mereka menghendaki perubahan struktur sosial, ekonomi, politik melalui pendidikan. Oleh karenanya pendidikan difungsikan sebagai wahana transformasi sosial, kalau perlu melakukan dekontruksi dan rekontruksi sosial, menuju tatanan yang lebih adil dan manusiawi. 14 Tokoh-tokoh kritis bahkan sering dianggap radikal yang muncul di tahun 1970-an yang gemanya di Indonesia cukup kuat ialah: Ivan Illich dengan ”de Schooling Society”, Poulo Freire dengan ”Pedagogy for The Oppressed”, dan Everett Reimer dengan ”Kematian Sekolah”. Walaupun mereka berbeda dalam menformulasikan gagasannya tetapi mereka mempunyai ide yang hampir sama, yang artinya pendidikan adalah merupakan wahana yang sangat strategis untuk melakukan penyadaran bagi setiap 13 Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris, 5. 14 Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris, 5-6. individu masyarakat atas hak-haknya. Oleh karenanya pendidikan harus melakukan peranannya yang sangat signifikan untuk memerdekakan dan membebaskan individu manusia, terutama generasi muda dari penindasan, kebodohan dan kemiskinan. Menurut mereka sekolah-sekolah formal yang ada sekarang ini tidak dapat menjalankan peran pembebasan dan kemerdekaan ini, bahkan sebaliknya sering digunakan untuk melanggengkan kekuasaan. 15 Penulis lebih menyebut apa yang dilakukan Ivan Illich, Poulo Freire dan Everett Reimer adalah ideologi oposan, dalam rangka mengkritisi keadaan pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah, karena secara politis, ideologi tidak dapat dipisahkan dengan politik. Hal yang demikian secara alamiah akan terus terjadi, contoh ketika kurikulum SKB diberlakukan yang menyatakan madrasah mengajarkan 30 pelajaran agama, 70 pelajaran umum, sehingga efek sipil dari keadaan yang demikian terjadi krisis ulama, maka muncul kebijakan pendirian Madrasah Aliyah Program Khusus MAPK, dalam rangka menjawab krisis ulama tersebut. Hal ini pula terjadi dalam kurikulum MA, ketika dalam KBK dan KTSP, content materi PAI mengecil sampai 2 jam perminggu, maka banyak umat Islam yang berkomentar terjadi sekularisasi dalam kurikulum MA. Ini perlu menjadi perhatian serius, bagaimana cara mengatasinya, sehingga secara politis madrasah terintegrasi dengan pendidikan nasional, tetapi ciri khas ke-Islamannya tetap include. Menurut Achmadi, cukup besar pengaruh ideologi pendidikan liberal di dunia pendidikan Indonesia, sebagai contoh konkrit, pada awal Orde Baru dikembangkan Sekolah Pembangunan masih pilot proyek, dalam proses belajar mengajar dikembangkan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional PPSI, kemudian CBSA, dan Sistem Kredit Semester SKS. Di Era Reformasi salah satu upaya reformasi pendidikan ialah diberlakukannya kurikulum Berbasis Kompetensi KBK, yang kemudian dikembangkan menjadi KTSP. Bahkan secara sadar atau tidak sadar kita juga mengadopsi ideologi liberalisme dan kapitalisme sekaligus, misalnya 15 Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris, 6. adanya gerakan pelatihan masyarakat dengan model ”Comunity Development” yang muatan pelatihannya menggunakan konsep Achievement Motivation Training ciptaan David McClelland. Sedangkan contoh paling mutakhir ialah pemberlakuan Badan Hukum Milik Negara BHMN bagi Perguruan Tinggi Negeri tertentu. Yang ini rasa sulit menepis adanya ideologi kapitalisme dalam sistem pendidikan di Indonesia. 16 PPSI, CBSA, SKS, KBK dan KTSP adalah perjalanan sejarah kurikulum nasional Indonesia dari pasca munculnya UU pendidikan yang pertama tahun 1950 sampai munculnya UU pendidikan tahun 2003. Secara tidak langsung merupakan perjalanan sejarah pergeseran kurikulum MA, dengan demikian dapat disimpulkan sementara bahwa pergeseran kurikulum MA secara tidak sadar dipengaruhi ideologi liberalisme. Menurut Frans Magnis Suseno, ideologi dapat dibagi menjadi dua, ideologi dalam arti netral dan ideologi terbuka. Ideologi dalam arti netral adalah sistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap dasar rohani sebuah gerakan kelompok sosial atau kebudayaan. Dalam hal ini ideologi tergantung isinya, kalau isinya baik maka ideologi itu baik, begitu pula sebaliknya. Sedang ideologi terbuka adalah ideologi yang hanya menetapkan nilai-nilai dasar, sedang penerjemahannya ke dalam tujuan dan norma-norma sosialpolitik selalu dapat dipertanyakan dan disesuaikan dengan prinsip-prinsip moral dan perkembangan cita-cita masyarakat. Operasionalisasinya tidak ditentukan secara apriori, melainkan harus disepakati secara demokratis. Oleh karena itu ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak totaliter, dan tidak dimaksudkan untuk melegitimasi kepentingan sekelompok orang. 17 Berdasar klasifikasi yang diuraikan Frans, dapat diamati perkembangan pendidikan Islam di Indonesia yang jelas menggambarkan kurikulumnya secara totalitas, seperti pendidikan Islam tradisional, modern dan muncul fenomena baru yang lagi populer pendidikan Islam dengan ideologi salafi. Penulis pikir pendidikan Islam tradisional dan salafi menggunakan ideologi dalam arti netral, karena pendidikan –kurikulum– yang 16 Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris, 7. 17 Lihat, Frans Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis Yogyakarta: Kanisius, 1992, 236. dikembangkan merupakan sistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap dasar rohani sebuah gerakan kelompok sosial atau kebudayaan dari umat Islam tertentu. 18 Sedangkan pendidikan Islam modern menggunakan ideologi terbuka karena hanya menetapkan nilai-nilai dasar, sedang penerjemahannya ke dalam tujuan dan norma-norma sosialpolitik selalu dapat dipertanyakan dan disesuaikan dengan prinsip-prinsip moral dan perkembangan cita-cita masyarakat. Adapun pergeseran kurikulum Madrasah Aliyah Negeri MAN merupakan kelompok pendidikan Islam modern, oleh karenanya menggunakan ideologi terbuka. Banyaknya ideologi yang muncul saat ini perlu menjadi perhatian para praktisi pendidikan. Terlebih, disamping ideologi-ideologi yang berasal dari Barat, pada masa Orde Baru, sistem pendidikan nasional di Indonesia juga syarat dengan ideologi Pancasila. Yang menjadi sebuah pertanyaan, apakah Islam juga termasuk sebuah ideologi?, jawabannya pasti, bahwa Islam adalah sebuah ideologi. Dalam sistem pendidikan Islam, Islam merupakan inti pokok ideologi yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian pergeseran kurikulum MA, walaupun dibawa oleh ideologi apapun menurut penulis, tetap harus punya landasan yang kuat dengan ideologi Islam.

2. Faktor Sosial

Sosial, merupakan faktor yang menyebabkan bergesernya kurikulum madrasah. Sosial di sini adalah keadaankondisi sosial yang ada di masyarakat, seperti dinyatakan Tilaar, bahwa kurikulum tersembunyi hidden curriculum sebenarnya merupakan refleksi dari perubahan sosial, 19 yang terjadi di dalam masyarakat, dan 18 Madrasah di Indonesia yang dikelola oleh suatu organisasi sosial kemasyarakatan banyak dipengaruhi oleh orientasi idologi organisasinya. Misalnya, madrasah yang didirikan Muhammadiyah, kurikulumnya lebih bersifat ala ideologi Muhammadiyah. Demikian halnya madrasah yang dikelola oleh NU orientasi kurikulumnya juga lebih menitikberatkan pada kemurnian mazhab. Lihat, Supriyanto, Pendidikan Islam dan Politik, dalam Abudin Nata ed., Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia Jakarta: Grasindo, 2001, 272. 19 Menurut Carolyn Zerbe Enns dan Linda M. Forrest, bahwa tujuan perubahan sosial direfleksikan melalui usaha-usaha transformasi disiplin, yaitu a perubahan content orang-orang dengan tidak mendominasi status sehingga menjadi jarak untuk memusatkan kurikulum; b oleh sebab itu sewajarnyalah apabila kurikulum tersembunyi itu menjadi titik tolak kurikulum sekolah. Kurikulum formal di sekolah hampir selalu mengalami kegagalan, oleh karena tidak memperhitungkan adanya kurikulum tersembunyi. Berbagai kurikulum sekolah sudah out-of-date sebelum para siswa meninggalkan ruangan sekolah. 20 Pernyataan Tilaar didukung Ivan Illich, bahwa kurikulum tersembunyi itu penting, karena kurikulum semacam ini merespon masalah sosial yang ada di masyarakat. Agaknya Illich sedikit lebih kejam, karena sampai pada tingkat penghapusan pendidikan formal, yang menurutnya akan lebih bermanfaat. 21 Menurut penulis, tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan tetap pemerintah dan masyarakat, cuma, pergeseran kurikulum yang terjadi, harus terus memperhatikan perkembangan sosial yang ada di masyarakat, sehingga kurikulum tersebut, termasuk kurikulum Madrasah Aliyah tetap relevan dengan kebutuhan sosial masyarakat. Menurut Paulo Freire, pendidikan harus dapat menyelesaikan masalah -- termasuk masalah sosial– oleh karena itu isi pendidikan –kurikulum– harus disesuaikan dengan permasalahan-permasalahan yang muncul. Manusia, lanjut Freire, adalah pencipta dari sejarahnya sendiri. 22 Keberadaan manusia dalam menghadapi masalah sebagai mahluk yang berada dalam proses menjadi, meskipun manusia menyadari dirinya masih belum lengkap dan tidak selesai, dalam kesadaran ketidaklengkapan tersebut tertanam dalam diri manusia bahwa pendidikan, dimana terkandung kurikulumnya, harus mampu memberikan kepuasan tersendiri bagi kelangsungan hidup di dunia ini. Sifat tidak selesainya manusia serta sifat realitas transformasi pengajaran, pembelajaran, penelitian dan metode-metode tes; c kesenjangan kebijakan yang melarang para siswa; d kembali memikirkan hubungan antara para siswa dan guru. Lihat, Carolyn Zerbe Enns dan Linda M. Forrest, Toward Defining and Integrating Multicultural and Feminist Paedagogies, dalam Carolyn Zerbe Enns dan L. Sinacore ed., Teaching and Social Justice, Integrating Multicultural and Feminist Theories Washington, DC: American Psychological Association, 2002, 15. 20 H. A. R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar Paedagogik Transformatif Untuk Indonesia Jakarta: Grasindo, 2002, 371. 2121 Ivan Illich, Deschooling Society New York: Harper Row, 1972, 12. 22 Paulo Freire, Cultur Action For Freedom Massachusetts: Harvard Educational Review and Center For Studi of Development and Social Change, 1970, 57. dalam transformasi sosial mengakibatkan bahwa pendidikan merupakan suatu kegiatan yang berlangsung tiada batas. 23 Oleh karena itu, tegas Freire, pendidikan adalah proses kemerdekaan bukan penjinakan domestifikasi sosial sebagaimana terjadi dalam dunia ketiga bahwa pendidikan sering dijadikan alat melegitimasi kehendak penguasa terhadap rakyat yang tidak berkuasa, untuk itu pendidikan harus menjadi aksi dan refleksi secara menyeluruh untuk merubah realitas yang menindas. 24 Naluri manusia yang merdeka dan hidup bermasyarakat di lingkungannya harus dipelihara lewat kurikulum madrasah. Ketika ”naluri merdeka” manusia dikekang oleh kurikulum, karena kurikulum yang ada digunakan untuk melanggengkan legalitas politik tertentu, pastilah manusia akan menuntut terbebasnya naluri tersebut. Sebab jika kurikulum dipaksakan sentralistik, berarti kurikulum tersebut bergeser bukan karena tuntutan sosial yang ada di masyarakat, tetapi kurikulum tersebut telah dikebiri oleh penguasa. Pada dasarnya perkembangan sosial masyarakat adalah dinamis, dengan demikian ketika pergeseran kurikulum dipengaruhi oleh faktor sosial, maka pergeseran tersebut juga dinamis. Di awal Indonesia baru merdeka, situasi sosial masyarakat Muslim menghendaki bahwa lembaga madrasah adalah identik dengan pesantren, yaitu sebagai lembaga tafaqquh fi al-di n. Maka kurikulumnyapun menghendaki 100 mengajarkan agama. Tetapi dalam perjalanan sejarah umat Islam di Indonesia, misalnya situasi sosial umat Islam di tahun 1990-an, umat Islam sudah sadar akan pentingnya pengetahuan umum, dan perlunya madrasah diakui oleh pemerintah, maka kurikulumnyapun menyesuaikan dengan tuntutan sosial umat Islam saat itu dan pemerintah. Begitu seterusnya. Menurut Garfinkel, setiap orang bergulat untuk menangkap pengalaman sosial sedemikian rupa sehingga pengalaman itu ”punya arti”. 25 Supaya pengalaman 23 Freire, Cultur Action For Freedom, 68. 24 Freire, Cultur Action For Freedom, xiii. 25 Margaret M Poloma, Sosiologi Kontemporer Jakarta: Rajawali Pers, 2000, 320. mempunyai arti, diperlukan penjelasan, adapun penjelasan ini harus ditransformasi melalui media pendidikan, yakni kurikulumnya. Dalam mentransformasi pengalaman tersebut juga jangan hanya diberi tafsir intelektualis dan psikomotoris, sehingga siswa hanya akan menjadi orang pandai dan terampil saja tetapi tidak mempunyai sense of social di masyarakat, oleh karena itu pendidikan juga harus mengembangkan potensi spiritual anak didiknya. 26 Dengan kesadaran sikap afektif-nya, para siswa akan menyadari dirinya merupakan bagian dari anggota sosial masyarakat, hal seperti ini mesti harus muncul dalam kurikulum madrasah. Di awal munculnya madrasah, nampak bahwa kurikulumnya mengarah pada pembentukan manusia spiritualis, tetapi perkembangan sosial masyarakat Muslim kini, kurikulum madrasah telah diarahkan kepada pembentukan manusia intelektualis dan psikomotoris, terbukti ada MAN Model dan ada MA Ketrampilan. Ketika zaman ini masih Orde Baru, pendidikan masih bersifat sentralistik, semua kebijakan pendidikan berasal dan yang menentukan pusat. Seolah-olah pemerintah menutup diri dengan perkembangan sosial masyarakat ini, padahal, meminjam pernyataan Tilaar, pendidikan dan pengajaran harus mengikutsertakan peran serta masyarakat sosial sebagai stakeholder. 27 Sejak perencanaan, pelaksanaan program, evaluasi sampai pada manajemen sekolah, harus mengikut sertakan peran masyarakat, demikian tegas Tilaar. 28 Hal ini senada dengan teori John Wiles dan Joseph Bondi, dalam teorinya Wiles dan Bondi menguraikan, bahwa pengembangan kurikulum adalah pekerjaan dan usaha bersama-sama. Pengembangan kurikulum harus melibatkan banyak kelompok, agensi dan individu, baik dalam sekolah maupun luar sekolah. Guru yang akan melaksanakan kurikulum akan lebih 26 Pendidikan harus bertujuan untuk membangun kemampuan kognitif pengetahuan, psikomotorik keterampilan dan afektif sikap. Lihat, M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, Cross-Cultural Understanding Untuk Demokrasi dan Keadilan Yogyakarta: Pilar Media, 2007, 144. 27 Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar Paedagogik Transformatif Untuk Indonesia, 427 28 Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar Paedagogik Transformatif Untuk Indonesia, 430. besar menentukan sukses dan tidaknya perubahan kurikulum. Demikian pula dengan siswa, mereka harus menjadi bagian dari proses pengembangan kurikulum. Orang tua dan kelompok anggota masyarakat –komite sekolah– yang harus mendukung perubahan dan pengembangan kurikulum tersebut sejak dari awal, juga harus terlibat. 29 Semakin banyak kontribusi masyarakat terhadap pengembangan, pergeseran dan perubahan kurikulum, maka semakin tinggi tingkat validitas dan kualitasnya. Pernyataan Wiles dan Bondi diperkuat Walker, bahwa guru mempunyai kewenangan yang amat besar untuk melakukan inovasi dan pergeseran kurikulum, mengujicobakannya di dalam kelas, lalu mereka memiliki kurikulum operasional yang kuat untuk diterapkannya dalam proses pembelajaran. Mereka dapat melakukan hal itu karena didukung dengan kepercayaan masyarakat pengguna sekolah, dan bahkan mereka diberi dukungan untuk melaksanakannya. Akan tetapi guru juga tidak boleh main-main dalam pengembangan, pergeseran dan inovasi kurikulumnya, karena siswa, orang tua siswa, para pengguna juga memiliki hak untuk terlibat dalam mengkritisi kurikulumnya itu. Orang tua memiliki ekspektasi terhadap anak-anaknya sehingga mereka harus diikutkan dalam pembahasan kurikulum di sekolah tersebut. Demikian juga universitas yang akan menerima lulusan sekolah menengah, boleh menyampaikan berbagai kualifikasi yang diperlukan, sebagaimana pasar tenaga kerja juga boleh menyampaikan kualifikasi keilmuan, keahlian dan keterampilan yang dibutuhkan. Bahkan siswa juga dapat mengontrol kurikulum sekolah dengan tidak mengikuti pelajaran yang menurut mereka tidak relevan dengan kompetensi yang dibutuhkannya. 30 Preser masyarakat terhadap pergeseran kurikulum madrasah agar lebih demokratis, kemudian lembaga tersebut merubah kurikulumnya sesuai tuntutan 29 John Wiles dan Joseph Bondi, Curriculum Development A Guide to Practice Columbus, Ohio, USA: Merryl Publishing Company, 1989, 119. 30 Decker F. Walker dan Jonas F. Soltis, Curriculum and Aims New York: Teacher College Press, 1997, 5. Lihat juga, Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007, 78. sosial masyarakat Muslim khususnya, adalah bukti bahwa pergeseran kurikulum madrasah merespon tuntutan sosial. Pesantren tradisional yang sudah mulai membuka lembaga pendidikan formal di dalamnya, munculnya pesantren modern, dan modernisasi madrasah, ini juga termasuk indikatornya. Kurikulum pendidikan mengikuti perkembangan sosial kemasyarakatan, seperti teorinya Karl Marx, ada kaitan antara sistem pendidikan kurikulum dengan kapitalisme industri. Namun teori ini menurut Tilaar punya kelemahan, karena secara realitas perkembangan industri dengan perkembangan pendidikan biasanya tidak sejalan. Tilaar lebih lanjut, menjelaskan, ketika terjadi boom pendidikan pada tahun 60-an, dengan lahirnya negara-negara baru seperti di Afrika dan Asia, maka pendidikan dianggap suatu investment yang sangat penting sebelum negara-negara itu memasuki dunia industri. Menurut Tilaar, struktur sekolah tidak usah berakar dari kapitalisme. Ledakan pendidikan ternyata muncul pula pada masyarakat non industri. 31 Ketika pandangan kita materialistik, ada benarnnya teori Marx, karena dalam kurikulum pendidikan yang dikembangkan ada kemampuan intelektual dan skill. Tetapi perlu diingat bahwa perkembangan tersebut, bukan satu-satunya, ada attitude sikap yang tidak kalah pentingnya dikembangkan dalam pendidikan. Ketika kita berfikir yang kedua ini, ada benarnya pula pendapat Tilaar. Dengan demikian maka pendapat Marx dan Tilaar harus dikawinkan sehingga muncul teori baru. Pendidikan dikejar oleh masyarakat untuk mencapai sukses ekonomi dan mobilitas sosial, demikian Collins dan Dore. 32 Demikian pula pendidikan dikejar juga bukan bertujuan material semata, tetapi pendidikan dikejar juga untuk menciptakan keadilan sosial. Gagasan Andrew Milner, barangkali perlu dicatat untuk mendasari masalah ini, untuk menciptakan keadilan sosial kita harus menghilangkan ketidakadilan dengan menangani sebabnya pada tingkat akar, dengan kata lain, seakar 31 Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar Paedagogik Transformatif Untuk Indonesia, 412-413 32 Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar Paedagogik Transformatif Untuk Indonesia, 413, lihat pula, Ronald Dore, The Diploma Disease t.k: t.p., 1976. akarnya. 33 Doktrin keadilan sosial dan ketidakadilan sosial, yang paling efektif pastilah disampaikan lewat proses pendidikan –transfer of values– yang materinya harus include dalam kurikulum. Terlebih, ketika masuk dalam kurikulum MA, sangat efektif karena kurikulum MA sendiri banyak muatan Islamnya, tergantung bagaimana metode guru yang paling efektif dalam transfer of values terhadap ajaran keadilan sosial ini. Ini tuntutan masyarakat di Era Reformasi, dimana pada masa Orde Baru, keadilan terpasung. Bahasa juga dapat menjadi pemicu masalah sosial, ketika suatu bangsa tidak mempunyai Bahasa Nasional. Karena secara politis, Bahasa Nasional adalah alat pemersatu komponen bangsa. Seperti India, sebagaimana dilaporkan Thut dan Don Adams, bahwa tidak adanya Bahasa Nasional di India setelah kemerdekaan, menghambat persatuan dan kesatuan. Karena bahasa Inggris tidak dapat diterima dengan pertimbangan kebudayaan 34 dan kebangsaan, maka bahasa yang paling populer yaitu Hindi, menjadi pilihan yang masuk akal. Pemerintah menetapkan Hindi sebagai Bahasa Nasional pada tahun 1965. Tetapi menjadi persoalan, karena Hindi hanya digunakan setengah dari populasi India. Masih ada sembilan bahasa utama yang dituturkan paling sedikit satu juta warga. 35 Dalam prakteknya bahasa mengalami perkembangan, seperti bahasa Indonesia sendiri mengalami perkembangan dari ejaan Van Oposyen, Suwandi sampai Ejaan Yang Disempurnakan EYD. Perkembangan bahasa sebagai alat komunikasi sosial maupun ilmiah, akan berpengaruh terhadap pergeseran kurikulum. Content bahasa, baik untuk mata pelajaran bahasa Indonesia, maupun mata pelajaran lain yang disampaikan dengan bahasa Indonesia, pastilah mengikuti perkembangan ejaan yang ada di Indonesia, kalau tidak maka akan 33 Andrew Milner, “Change or charity”, Alliance, Vol. 8 No. 3, September 2003, 21-24. 34 Arab, sebagai contoh, bahasa –sebagai hasil kebudayaan– Arab dan sejarah Arab merupakan dua elemen dalam pendidikan baik Islam maupun Kristen, lihat, A.L. Tibawi, Islamic Education, Its Traditions and Modernization into the Arab National Systems London: Luzac and Company Ltd, 1979, 224. 35 I.N. Thut dan Don Adams, Educational Patterns in Contemporary Societies New York: McGraw-Hill Book Company, 1984, 625. menimbulkan masalah sosial. Demikian, dinamisasi sosial di masyarakat yang tidak dapat dibendung perkembangannya, menuntut pergeseran kurikulum –dalam pembahasan ini adalah kurikulum MA.

3. Faktor Ekonomi

Ekonomi juga tidak kalah pentingnya mempengaruhi pergeseran kurikulum madrasah. Karena dengan pertumbuhan perekonomian yang baik akan menjadi faktor pendukung pergeseran kurikulum madrasah ke arah dinamis, demikian pula sebaliknya pertumbuhan perekonomian yang buruk akan menjadi kendala pergeseran kurikulum madrasah ke arah dinamis, bisa-bisa statis atau bahkan mundur ke belakang. Senada dengan hal ini, Hasan Langgulung, memasukan ekonomi sebagai salah satu asas dalam pendidikan. Seperti pernyataannya, bahwa ekonomi dengan pendidikan –kurikulumnya– selalu bergandengan sejak dahulu kala. Ahli-ahli ekonomi sejak zaman itu, begitu juga pencipta-pencipta sains telah mengakui pentingnya peranan yang dimainkan oleh pendidikan dalam pertumbuhan pengetahuan manusia dan selanjutnya pentingnya yang belakangan ini untuk perkembangan ekonomi. 36 Kemudian, dalam bidang ekonomi yang sangat relevan dengan pendidikan, tegas Langgulung, adalah hal-hal yang berkaitan dengan invesment dan hasilnya. Artinya kalau modal ditahan sekian lama dan sekian banyak, berapa banyak nanti keuntungan yang diharapkan dari situ. Negara-negara industri memerlukan waktu yang lebih lama untuk belajar, jadi memerlukan lebih banyak investasi dalam pendidikan, sedangkan di negara-negara berkembang waktu belajar itu lebih sedikit, dan tentunya budget untuk pendidikan juga kurang. 37 Di sini nampak jelas, bahwa pendidikan berimplikasi hasil ekonomi, dan ekonomi mendukung kualitas pendidikan. Di negara maju kurikulumnya lebih kompleks dibanding dengan negara berkembang, berbanding lurus, demikian pula ekonomi di negara maju lebih kompleks dibanding negara berkembang. 36 Hasan Langgulung, A sas-asas Pendidikan Islam Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru, 2003, 19. 37 Langgulung, A sas-asas Pendidikan Islam, 19. Pendidikan dengan kurikulumnya, lanjut Langgulung, merupakan faktor produksi. Dalam teori ekonomi klasik, tenaga manusia ditambah tanah menghasilkan produksi. Dalam teori ekonomi neo-klasik, tanah dan tenaga harus dibedakan dari modal fiskal, yaitu alat-alat, seperti pabrik, perkakas, dan bangunan dalam proses produksi. Diakui bahwa sumbangan setiap faktor, tanah, tenaga atau modal, dapat dibedakan dari sumbangan yang lain. Belakangan ini sumbangan tenaga dapat dibagi lagi menjadi sumbangan tenaga tulen –sederhana dan sumbangan tenaga keikhlasan– terampil skill. Istilah yang terakhir ini disebut modal manusia human capital yang dianggap faktor terpenting dalam produksi. 38 Untuk menciptakan human capital yang berkualitas tinggi, perlu kurikulum pendidikan yang berkualitas. Sebagaimana Langgulung, Oemar Hamalik, melengkali pernyataanya, bahwa kehidupan ekonomi pada dasarnya tidak hanya berpangkal pada kegiatan produksi saja, tetapi juga distribusi, dan konsumsi. Kegiatan ekonomi yang baik ialah sistem ekonomi yang dipergunakan bagi masyarakat luas. Oleh karenanya masalah ekonomi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial, fungsional dan struktural. 39 Setiap masyarakat, lanjut Hamalik, memiliki keyakinan, adat kebiasaan, dan nilai- nilai kultural yang mendasari kegiatan ekonominya, serta memanifestasikan pola kelakuan ekonomi tertentu. Pola itu diperlukan oleh masyarakat dan dilembagakan dalam institusi ekonomi. Dengan demikian, nilai-nilai kultural tersebut menjiwai sistem dan kegiatan, serta memberikan kekuatan dan prestise tertentu terhadap masyarakat untuk berusaha dan menciptakan kesejahteraannya. 40 Demikian pula dengan masyarakat Indonesia, mempunyai sistem ekonomi yang tentunya berbeda dengan negara-negara lain di dunia. Terkait dengan perekonomian Indonesia, Dawam Raharjdo menyatakan bahwa perekonomian di Indonesia adalah bersifat demokratis, seperti koperasi, Badan 38 Langgulung, A sas-asas Pendidikan Islam, 19. 39 Oemar Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum Bandung: Rosda, 2009, 90. 40 Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, 90. Usaha Milik Daerah BUMD dan Badan Usaha Milik Negara BUMN. Bentuk perekonomian seperti ini, yang mempunyai landasan konstitusi kuat di Indonesia, adapun swasta, tegas Dawam, kedudukannya dalam konstitusi lemah. Tetapi dalam prakteknya, justeru yang menguasai perusahaan-perusahaan besar adalah swasta. Yang menjadi konglomerat juga perusahaan swasta. Dengan demikian, kesimpulan Dawam, karena pemerintah membiarkan liberalisasi untuk pihak swasta, dan pemerintah juga nampaknya demikian dengan BUMN-nya. 41 Realitas perekonomian yang demikian mempengaruhi kondisi pendidikan di Indonesia. Karena dengan praktek perekonomian yang demikian, yang kaya semakin kaya, yang miskin makin miskin, padahal yang miskin lebih banyak, akhirnya akan menimbulkan masalah sosial di masyarakat, yang berimplikasi pada pendidikan. Bahkan menurut catatan kompas tahun 1998, yang dikutip Musa Asy’arie, penduduk Indonesia yang miskin mencapai 113 juta jiwa. 42 Masyarakat miskin, enggan bersekolah, karena ketiadaan biaya. Maka kurikulum pun berjalan apa adanya, tidak dapat tercapai secara ideal, karena untuk merealisasikan kurikulum yang ideal diperlukan biaya yang cukup. Masyarakat miskin di kota oleh Parsudi Suparlan disebut gelandangan. Gelandangan artinya selalu berkeliaran, atau tidak pernah mempunyai tempat tinggal yang tetap. Pekerjaan mereka disebut Parsudi, seperti pedagang kaki lima, penjual pakaian bekas tukang loak, penyapu jalan, tukang becak, dan penjaga malam. Bahkan diantara mereka ada yang menjadi pelacur. 43 Pertanyaannya kemudian, bagaimana mereka memikirkan pendidikan, gaya hidupnya saja jauh berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Dengan demikian faktor ekonomi sangat mempengaruhi masyarakat memperoleh pendidikan dengan kurikulum yang layak. 41 Uraian lengkap dapat dibaca, M. Dawam Rahardjo, “Demokrasi Ekonomi Dalam Alam Leberalisasi Ekonomi”, dalam Rizal Ramli et. al., Liberalisasi Ekonomi dan Politik di Indonesia Yogyakarta: Pusat Pengembangan Manajemen PPM FE UII, 1997, 247-250. 42 Musa Asy’arie, Keluar dari Krisis Multidimensi Yogyakarta: LESFI, 2001, 165. 43 Penjelasan lengkap penelitian Parsudi, dapat dibaca, Parsudi Suparlan Pny., Kemiskinan di Perkotaan Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995, 178-181. Barangkali, dapat menjadi penguat, uraian Kelly, bahwa setiap institusi pendidikan mempunyai tugas untuk membantu anak-anak atau para siswa mereka agar supaya mereka produktif dan mencapai kepuasan karir; lembaga pendidikan itu mempunyai tanggung jawab untuk men-support ekonomi yang menjadi dana untuk para siswa. Ide yang demikian, lanjut Kelly hendaknya masuk dalam kurikulum sekolah 44 madrasah. Dengan demikian untuk mewujudkan outcome yang produktif dan dapat bekerja sesuai disiplin ilmunya, maka kurikulum harus benar-benar aplikatif, artinya menekankan pada kemampuan akal dan skill dan bersifat praktis, tidak hanya sekedar teoritis.

4. Faktor Budaya

Pendidikan beserta kurikulumnya adalah sebuah lingkungan, menurut Hasan Langgulung lingkungan inilah yang berusaha mewariskan nilai-nilai budaya yang dimilikinya kepada setiap anggotanya –para siswanya dalam pendidikan– dengan tujuan memelihara kepribadian dan identitas budaya tersebut sepanjang zaman. Sebab budaya dan peradaban, lanjut Langgulung, dapat mati seperti orang perseorangan. Orang disebut mati bila nyawanya putus. Budaya dan peradaban disebut mati bila nilai-nilai, norma-norma dan berbagai unsur lain yang dimilikinya berhenti berfungsi, artinya tidak diwariskan lagi dari generasi ke generasi dan tidak lagi diamalkan setiap hari oleh penganut-penganutnya. 45 Hal ini dikuatkan, oleh Tilaar, kebudayaan tanpa pendidikan akan punah. 46 Dengan demikian pendidikan beserta kurikulumnya merupakan media pelestarian budaya dan peradaban. Ketika budaya dan peradaban berkembang, secara otomatis pendidikan beserta kurikulumnya akan mengikutinya, atau sebaliknya. 44 Kelly, The Curriculum Theory and Practice, 188. 45 Langgulung, Pendidikan Islam pada A bad ke 21 Jakarta: Pustaka Al-H{ usna Baru, 2003, 75. 46 Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002, 8. Menurut Tilaar, Tanpa kebudayaan, tanpa lembaga-lembaga sosial, tidak mungkin seorang individu berkembang atau menjadi individu yang inovatif. 47 Demikian pula Thomas R. Rochon, menurutnya, lembaga politik juga berpotensi merubah budaya. 48 Sebab meminjam perkataan Langgulung, kebudayaan adalah faktor luar yang harus dikendalikan dari dalam –potensi manusia yang berupa fitrah. Ibarat sebuah mata uang, tegas Langgulung, adalah bermuka dua, satu muka disebut potensi yang satu disebut din, yang satu berkembang dari dalam tiap individu, sedang yang satu lagi dipindahkan transmission dari orang ke orang, dari generasi ke generasi, jadi bersifat dari dalam ke luar. 49 Harus ada kecerdasan dari dalam untuk menyikapi dan mengolah kebudayaan. Dalam hal budaya, yang menurut penulis perlu diperhatikan dalam kurikulum pendidikan khususnya madrasah, Langgulung, menjelaskan; dalam mensikapi budaya, ada yang menerima dan menolak, jika budaya itu baik dan tidak bertentangan dengan inti pokok ajaran Islam –dalam madrasah– maka dapat diterima, dan jika sebaliknya, maka ditolak. Dalam hal adaptasi, ada dua kecenderungan, yaitu assimilasi dimana kebudayaan Yunani dan Persi itu diasimilasikan atau dicernakan oleh kebudayaan Islam supaya dapat berpadu dengan kepribadian Islam. Kecenderungan yang kedua, akomodasi dimana si peminjam, dalam hal ini kaum Muslimin, membuka diri terhadap budaya baru itu kalau perlu 47 Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar Paedagogik Transformatif Untuk Indonesia, 417. 48 Indikator ini terjadi ketika kasus pelecehan seksual yang diperankan oleh Senat Komite Yudisial mendengarkan tuntutan Profesor Hill melawan Judge Thomas sebelum berhadapan dengan publik. Tanpa mendengarkan kesaksian Anita Hill tuntutan tidak akan didengarkan. Dan tanpa kekerasan kampanye pemilihan umum, para senat komite juga tidak akan turun mendengarkan secara jelas kecemasan publik secara langsung. “Anda tidak hanya mengambil kasus itu”, yaitu menceritakan tuduhan untuk para senator supaya meresponnya dengan menentukan usaha-usaha supaya memunculkan sensitifitas mereka pada isu pelecehan seksual. Proses politik Amerika merespon keduanya antara konfrontasi publik dengan Anita Hill dan Clarence Thomas dan untuk membuktikan bahwa para senat Amerika memonitor reakasi publik. Penjelasan lebih lanjut, baca Thomas R. Rochon, Culture Moves, Ideas, A ctivism, and Changing V alues Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1998, 200. 49 Langgulung, Pendidikan Islam Pada A bad ke 21, 79. menyesuaikan diri dengan kehendak pendatang itu supaya betah hidup dalam lingkungan budaya Islam. Ini merupakan kecenderungan golongan filosof-filosof Muslim. 50 Apa yang diuraikan Langgulung, merupakan sikap kita –kurikulum madrasah– terhadap budaya yang datang. Untuk mensikapi hal tersebut, pastilah kita –kurikulum madrasah– harus mempunyai filter yang kuat, sehingga tidak salah mentransformasi budaya. Perlu direkam pengakuan Michael S. Merry, yang menyatakan sesungguhnya tidak seperti Yahudi, Sikhis dan Hindu, Islam adalah merupakan agama yang universal, diantara misinya adalah menerima perbedaan budaya, etnis, politik atau afiliasi bahasa. Sehingga berkembangnya sekolah Islam menjadi sekolah yang pluralis, demikian Merry. 51 Dalam beberapa peradaban Barat dapat dilihat gejala ini, seperti gejala asimilasi pada zaman Stalin di Rusia, tetapi pada zaman Kruschov kecenderungan akomodatif lebih menonjol. Begitu juga di Komunis Cina, pusat kecenderungan asimilatif, dapat dilihat pada revolusi kebudayaan pada tahun 60-an, sedang semenjak Komunis Cina dipimpin oleh Deng Xiao Peng kecenderungan akomodatif mulai menonjol. Gerakan Muhammad Ali di Mesir, mencapai puncaknya di Turki di bawah Kemal Attaturk bukanlah gerakan adaptasi, tetapi adopsi dengan pengertian mengambil; bulat-bulat dari Barat dan membuang warisan budaya sendiri, sebab mereka berpendapat kalau ingin maju tirulah orang Barat dan buang yang kita punya sebab itulah sumber kemunduran. Kalau orang Barat pakai cepiau maka pakailah cepiau, sampai-sampai di Turki diusahakan penghapusan tulisan Arab. Adzan sendiri diucapkan pakai bahasa Turki. Di Iran sendiri terjadi gerakan modernisasi melalui jalan yang sama, yaitu adopsi, di bawah dinasti Pahlevi, yang mengikis pengaruh 50 Langgulung, Pendidikan Islam pada A bad ke 21, 82-83. 51 Michael S. Merry, Culture, Identity, and Islamic Schooling: A Philosophical Approach Macmillan: Palgrave, 2007, 162. Islam dari masyarakat Iran. 52 Berdasarkan teori transmisi kebudayaan dan contoh transmisi kebudayaan baik negara Islam maupun negara Barat, maka jelas, terjadinya transmisi kebudayaan pada suatu negara, kelompok maupun lembaga pendidikan tertentu, akan mengubah content materi yang akan dipelajari khususnya dalam kurikulum. Dengan demikian maka budaya menjadi faktor terjadinya pergeseran kurikulum. Hal ini dapat diketahui pula, bahwa secara umum, filter budaya dalam kurikulum madrasah adalah ajaran Islam –al-Qur’an dan al-Hadis– ini tentunya berbeda dengan filter kurikulum di sekolah umum. Terkait dengan Indonesia, Tilaar menegaskan, selama Orde Baru nilai-nilai moral yang merupakan inti dari kebudayaan dan pendidikan telah diredusir menjadi nilai-nilai indoktrinasi yang tanpa arti dan sekedar menjadi semboyan untuk melindungi kebobrokan hidup para pemimpin. 53 Seperti halnya penjelasan di atas, bahwa filter budaya kurikulum madrasah adalah al-Qur’an dan Hadis, maka nilai- nilai ini harus dikembalikan lagi dalam kurikulum madrasah, sehingga tidak dipolitisasi. Realitas yang terjadi pada masa Orde Baru, ternyata berbeda dengan Era Reformasi. Masih terkait dengan pernyataan Tilaar, pada Era Reformasi, pendidikan mempunyai visi baru, membangun manusia dan masyarakat madani Indonesia yang mempunyai identitas, berdasarkan budaya Indonesia. 54 Kenyataan transformasi budaya pada masa Orde Baru dengan Orde Reformasi ternyata, berbalik seratus delapan puluh derajat, dimana pada masa Orde Baru nilai moral untuk menfilter budaya diindoktrinasi oleh kekuasaan politik, tetapi pada Orde Reformasi justeru mendambakan identitas masyarakat madani berdasarkan budaya Indonesia. Realitas yang demikian, pastilah berpengaruh pada kurikulum, khususnya kurikulum 52 Lihat, Langgulung, Pendidikan Islam Pada Abad ke 21, 79. 53 Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, 10. 54 Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, 11. madrasah, sehingga jelas terjadi pergeseran kurikulum MA dari zaman Orde Baru ke zaman Orde Reformasi.

B. Dominasi Faktor Politik