Tarik Menarik Kepentingan Partai Politik dalam Pendidikan

melalui kurikulum pendidikan ini merupakan strategi politik penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. 72 Pendekatan politik lewat kurikulum adalah metode doktrin yang cukup efektif, karena secara hukum, para siswa yang belum mempunyai hak pilih secara aktif pun, sudah mengetahui pesan politik penguasa yang sedang berkuasa. Hancurnya rezim Orde Baru, muncul Orde Reformasi, dimana masyarakat, khususnya dalam dunia pendidikan merasa terbebas dari unsur politisasi pendidikan. Yang tadinya kebijakan pendidikan bersifat sentralistik, pada zaman reformasi bersifat otonomi. Sehingga munculnya UU Pendidikan No. 20 Tahun 2003, seiring dengan munculnya undang-undang otonomi daerah. Muncul Kurikulum Berbasis Kompetensi KBK, dimana seorang siswa dituntut memiliki kompetensi yang diharapkan. Pengetahuan tidak hanya bersifat teoritis tetapi praktis, tidak hanya bersifat intelektualis tetapi juga spiritual. Kemudian muncul juga Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP, yang intinya sama dengan KBK, hanya saja otoritas pembuatan kurikulumnya bersifat otonomi dari satuan pendidikan. Bila di teliti secara seksama, munculnya kurikulum semuanya ini bersifat politis. Dengan demikian melihat penjelasan di atas maka jelas memberikan ilham, bahwa kebijakan kurikulum, khususnya kurikulum MA, muncul lebih didominasi faktor politik.

C. Tarik Menarik Kepentingan Partai Politik dalam Pendidikan

Ketika negeri ini baru merdeka, perdebatan mengenai Dasar Negara sebagai falsafah negara hangat dibicarakan. Ada dua golongan yang cukup berperan dalam perdebatan ini, yaitu golongan Islam dan nasionalis sekuler serta Kristen. Seperti diprediksi oleh para sarjana bahwa umat Islam menghendaki Islam sebagai Dasar Negara Indonesia, namun ditentang habis oleh golongan nasionalis sekuler serta Kristen, dengan alasan bahwa Indonesia terdiri dari macam-macam agama, ketika 72 Supriyanto, Pendidikan Islam dan Politik, dalam Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia Jakarta: Grasindo, 2001, 276. dasar negaranya Islam maka tidak terakomodir semua. Menurut Syafi’i Ma’arif, akhirnya di bawah panitia kecil yang dipimpin Soekarno didapat kesepakatan pada tanggal 22 Juni 1945, sebagai rumusan kompromi yang dikenal sebagai Piagam Jakarta yaitu: ”....Negara berdasarkan ke-Tuhanan yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.....” Tetapi karena satu dan lain hal –terutama karena pertimbangan aspirasi kalangan Kristen di wilayah Timur– sehari setelah kemerdekaan, rumusan ini akhirnya dicabut dari draf Undang-Undang Dasar tersebut. 73 Melihat realitas yang demikian, umat Islam sangat kecewa, karena suara mayoritas tidak dapat mewakili umat mayoritas. Lain dengan India, justeru, Hindu mayoritas yang menguasai pemerintahannya, sementara Muslim minoritas ketakutan. Untuk mengantisipasi ketakutan tersebut, mengambil tindakan melalui partai politiknya sendiri, Moslem League, untuk membentuk negara terpisah; ”Muslim India merasa bahwa mereka sudah menjadi orang Islam sebelum menjadi orang India”. 74 Setelah membandingkan dengan India, maka inilah satu babak kekalahan umat Islam Indonesia. Dengan kekalahan ini tentunya berimplikasi terhadap keadaan kurikulum madrasah –terutama kurikulum MA setelah tahun 1950 dan sebelum tahun 1973– dapat dibayangkan ketika negara ini berdasarkan Islam, tentulah kepentingan madrasah yang diprioritaskan. Karena secara tidak langsung golongan nasionalis sekuler yang secara politis menang dalam hal ini, maka secara politis pula merekalah yang lebih berkuasa, akhirnya sekolah diposisikan nomor satu, sedangkan madrasah beserta kurikulumnya nomor dua. 73 Syafi’i Ma’arif menguraikan proses dan dinamika politik yang berlangsung dalam perdebatan antara kelompok nasionalis sekuler dengan kelompok Islam tentang Dasar Negara. Ia menyebutkan proporsi kelompok Islam dalam BPUPKI yang berjumlah 68 orang hanya 20 saja. Begitu pula dengan kompromi Piagam Jakarta yang dicapai oleh panitia Sembilan yang diketuai oleh Ir. Soekarno dan salah seorang anggotanya yaitu AA Maramis, seorang Kristen. Baca, Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan Jakarta: LP3ES, 1985, 101-109. 74 E. Blunt ed., Social Service in India India: H.M. Stationery Office, 1939, 109. Dikutip dari Wallbank, A Short History of India and Pakistan New York: American Library, 1958, 169. Babak kedua kekalahan politis umat Islam, seperti dilaporkan BJ. Boland, yaitu tentang pembentukan Kementerian Agama dalam kabinet pertama pemerintahan RI, tanggal 19 Agustus 1945. Laporan Boland, bahwa Latuharhary, salah seorang wakil dari kalangan Kristen, keberatan dengan pembentukan Kementerian Agama meskipun pada pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang saja telah ada lembaga khusus yang mengurusi keperluan keagamaan umat Muslim. 75 Dapat dibayangkan ketika tidak ada Kementerian Agama, bagaimana nasib madrasah beserta kurikulumnya, apakah dapat eksis atau kemudian hilang. Lagi-lagi dibentuknya Kementerian Agama juga karena alasan politis, Pemerintah menyadari, bahwa kepentingan umat Islam selama ini tidak terakomodir, takut kalau umat Islam marah. Akhirnya pada masa kabinet Syahrir dari Partai Sosialis memutuskan pembentukan Kementerian Agama, pada tanggal 3 Januari 1946. 76 Melalui kementerian ini, kepentingan-kepentingan dan nasib madrasah beserta kurikulumnya dapat diperjuangkan. Kemudian kebijakan kurikulum pada masa Orde Baru –kurikulum MA tahun 1973, 19751976, 1984, dan 1994– sesuai dengan situasi politiknya adalah bersifat sentralistik. Indikator ini adalah kuatnya kekuasaan Soeharto sebagai presiden, sekaligus sebagai pemegang kekuasaan eksekutif. Dimana DPR sebagai kekuatan legislatif dan MA yang mempunyai kekuasaan yudikatif, semuanya di bawah kendali presiden Soeharto. Kenapa demikian, Harun Al-Rasyid mengatakan: ”Peran legislatif pemerintah menjadi sangat besar, karena kebanyakan anggota DPR adalah wakil partai pemerintah Golkar dan kelompok militer, ABRI, yang sesungguhnya adalah orang-orang pemerintah”. 77 Dengan demikian, lanjut Al-Rasyid, kebanyakan anggota DPR mewakili partainya –pemerintah– bukan aspirasi rakyat. DPR sebagai legislatif 75 Lihat, B. J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970 Jakarta: Grafiti Pers, 1982, 40. 76 Boland, Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970, 12. 77 Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia: Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 2 tahun 1989 Leiden-Jakarta: INIS, 2004, 70. tidak mempunyai otonomi untuk menentukan kebijakan, hal ini sangat malang, kata Montesquieu. Menurutnya, apabila kekuatan legislatif dan eksekutif dipegang oleh orang yang sama, atau oleh Dewan Hakim yang sama, tidak bisa ada kebebasan. Malang benar halnya jika orang yang sama, atau badan yang sama menjalankan ketiga kekuasaan itu, yaitu kekuasaan menetapkan hukum, menjalankan keputusan publik, dan menghakimi tindak kriminal. 78 Hal ini diperkuat oleh John Locke, yang menyarankan agar kekuasaan negara dibagi menjadi dua bagian terpisah; kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif. 79 Dia juga menyarankan agar kedua kekuasaan tersebut melibatkan orang yang berbeda, dan kekuasaan legislatif harus lebih tinggi daripada kekuasaan eksekutif, agar dapat mengendalikan kinerja eksekutif. Seperti pernyataan Locke, hanya ada satu kekuasaan tertinggi yaitu kekuasaan legislatif, yang lain berada di bawahnya. 80 Berdasarkan teori para ahli tersebut, jelas, bahwa kebijakan pemerintah Indonesia yang saat itu bersifat sentralistik, berimplikasi pada tujuan dan hasil kurikulum, terlebih pada kurikulum madrasah yang saat itu secara politis masih diposisikan pada tempat yang nomor dua. Madrasah yang secara politis adalah hasil perjuangan para tokoh Muslim dan yang memelihara perkembangannya juga orang Islam secara mayoritas, tetapi kurang mendapat perhatian pemerintah. Dikarenakan kebijakan yang sangat sentralistik, termasuk dalam kurikulumnya. Kebijakan pendidikan pada masa Orde Baru ini, muncul dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mendikbud, yang merupakan kepanjangan tangan dari Presiden. Dan presiden mengakui bahwa yang mengurusi pendidikan adalah Depdikbud bukan Depag, maka kebijakan pendidikan pun yang diberi kewenangan adalah Mendikbud. Adapun Menteri Agama dalam menentukan kebijakan madrasah termasuk kurikulum, hanya merujuk pada Mendikbud. Kebijakan 78 Montesquieu, The Spirit of Laws, dalam D.W. Carrithers ed., Compedium of the first English Edition Barkeley dan Los Angeles: University of California Press, 1977, 78. 79 W. S. Carpenter, Introduction to John Locke, Two Treatises of Civil Government London: J.M. Dent dan Son Ltd., 1962, 190-191. 80 Carpenter, Introduction to John Locke, Two Treatises of Civil Government, 192. yang sentralistik ini memunculkan otoritarianisme. Biasanya dalam pemerintahan seperti ini, sering memunculkan kebijakan yang mementingkan penguasa atau kelompok yang dekat dengan penguasa. Hal ini berbeda dengan kebijakan dalam pemerintahan yang demokratis, demikian Almond dan Powell. 81 Selanjutnya, Almond dan Powel mengatakan, bahwa dalam proses pembentukan kebijakan, kepentingan politik lebih diprioritaskan dalam rangka melakukan perjuangan politik untuk golongannya. 82 Melihat realitas yang demikian, secara politis madrasah mendapat dukungan masyarakat karena sifatnya yang populis, namun secara politis pula perhatian pemerintah terhadap madrasah kecil, dalam segala hal. Disatu sisi pemerintah Orde Baru menginginkan pendidikan nasional membesar dan kuat, dengan resiko mengabaikan madrasah, di sisi lain para tokoh Muslim tidak rela membiarkan keadaan madrasah termasuk kurikulumnya demikian. Sebenarnya hubungan yang tidak nyaman antara pemerintah dengan organisasi Muslim dikarenakan adanya perbedaan perspektif mengenai ideologi negara dan konstitusi. Liddle mencatat bahwa selama duapuluh tahun pertama Orde Baru, aktivis politik Muslim modernis dikucilkan dan dianiaya oleh pemerintah sebagai golongan kanan ekstrim. 83 Dengan dukungan perwira militer sekuler, pemerintah Orde Baru menghasilkan banyak kebijakan yang menurut Hefner 84 adalah anti Islam. Selama periode ini, menurut Liddle, tuntutan kaum Muslim modernis, khususnya dalam bidang pendidikan seperti izin bagi siswa perempuan untuk memakai kerudung di sekolah negeri, dianggap pemerintah sebagai ganjal pembuka dalam kampanye 81 Almond dan G. B. Powell, System, Process, and Policy, Comparative Politics Boston dan Toronto: Little, Brown dan Company, 1978, 232. 82 Almond dan Powell, System, Process, and Policy, Comparative Politics, 233. 83 W. Liddle, Coercion, Co-Optation, and The Management of Ethnic Relation in Indonesia. dalam M.E. Brown Ganguly, S. eds, Government Policies and Ethnic Relations in Asia and The Pasific Harvard University: The Center of Science and International Affair, John F. Kennedy School of Goverment, 1997, 307. 84 R. Hefner, Islam, State and Civil Society: ICMI and The Struggle for the Indonesian Midlle Class, Indonesia, 56 t.k: t.p., 1993, 2-4. untuk menciptakan negara Islam. 85 Perseteruan yang demikian tentunya mempengaruhi hasil kebijakan-kebijakan pemerintah yang mendiskreditkan umat Islam, yang secara langsung pula berimplikasi terhadap pembuatan kebijakan kurikulum madrasah. Agar content materi kurikulumnya kering dari nilai-nilai Islam. Ada dua model dalam mempertahankan ideologi Islam guna merealisasikan kebijakan yang menguntungkan pendidikan Islam. Model yang pertama, adalah modelnya Muhammad Natsir, yang menggunakan partai politik Islam, Masyumi, sebagai alat perjuangannya. Para pendukung pendekatan politik percaya bahwa kepentingan Muslim hanya bisa terwakili dalam kebijakan negara jika ada partai politik Islam formal atau organisasi, atau sebaliknya, jika ada kaukus Islam di dalam kelompok politik Islam formal atau organisasi dan jika ada kaukus Islam di dalam kelompok politik yang ada dalam birokrasi. 86 Masyumi, sebagai kendaraan politiknya Natsir, menyatakan bahwa partai politik bermaksud: untuk menerapkan pikiran Islam dalam urusan negara, untuk mewujudkan negara berdasar kedaulatan rakyat dan masyarakat berdasar keadilan menurut ajaran Islam, untuk memperkokoh dan menyempurnakan konstitusi Republik Indonesia, sehingga terwujud masyarakat dan negara Islam. 87 Sebenarnya tidak hanya Masyumi, tetapi juga NU, yang pada awal pemikirannya tidak memisahkan antara agama dan kehidupan negara. 88 Pendekatan politik yang demikian inilah yang disebut Anwar sebagai ”pendekatan politik” yang menurut dia menimbulkan salah pengertian dan konflik antara Islam 85 Liddle, Coercion, Co-Optation, and The Management of Ethnic Relation in Indonesia. Dalam M.E. Brown Ganguly, S. eds, Government Policies and Ethnic Relations in Asia and The Pasific, 307. 86 Abdurrahman Wahid, “RUU Pendidikan Memerlukan Penalaran yang Lebih Bermakna dan Dinamis”, Suara Pembaharuan Jakarta: Suara Pembaharuan, 24 Agustus 1988. 87 Lihat, Munawir Sjadzali, Islam and Governmental System: Teaching, History and Reflection Jakarta: INIS, 1991, 129. 88 Pemikiran mereka dipengaruhi oleh pemikiran politik Islam yang dikembangkan oleh para ulama seperti Al-Mawardi dan Ibnu Taimiyah, serta tokoh-tokoh Islam lain, baik pada masa awal, klasik, pertengahan serta modern. Lihat, Nurhayati, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, 172. dan negara. 89 Model politik yang demikian, cocok ketika masyarakatnya homogen – Islam semua– tetapi ketika masyarakatnya heterogen seperti Indonesia, akan mengalami kendala yang cukup serius. Adapun model yang kedua adalah modelnya Nurcholish Madjid, yang gagasannya tertuang dalam bukunya ”Islam Y es, Partai Politik No”, yang ditulis pada tahun 1970. Inti gagasannya, bahwa memajukan nilai-nilai Islam –kurikulum MA– dalam masyarakat Indonesia tidak harus dilakukan melalui partai politik, melainkan melalui program budaya. Bagi Nurcholish dan pengikutnya, hakikat Islam mengacu kepada kondisi kehidupan Muslim dan bagaimana mencapainya, bahwa kaum Muslim harus lebih memperhatikan pembangunan pendidikan dan kesejahteraan. 90 Para pendukung ”pendekatan budaya” lebih lanjut mengatakan bahwa tantangan yang dihadapi para pemimpin Muslim adalah agar tidak mendesak pemerintah untuk menghasilkan kebijakan berorientasi Islam, melainkan mensosialisasikan nilai-nilai Islam dalam masyarakat Muslim melalui pendekatan moral, pendidikan –kurikulum MA– dan persuasif. 91 Mereka percaya bahwa dalam masyarakat yang sangat pluralistik seperti Indonesia, pendekatan budaya ”lebih menguntungkan” baik bagi kaum Muslim sebagai mayoritas maupun bagi kelompok minoritas. 92 Nampaknya model yang kedua lebih bijak dan lebih halus dalam 89 M. S. Anwar, Pemikiran dan A ksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Musli m Orde Baru Jakarta: Paramadina, 1995, 237. 90 A. Santoso, Islam and Politics in Indonesia During the 1990s, A sian Journal of Political Science tk: tp., 1995, 10. 91 Abdurrahman Wahid, Islam, Politics and Democracy in Indonesia in the 1950s and 1990s. Paper presented to Conference on Democracy in Indonesia Clayton: Monash University, 17- 20 Desember 1992. 92 Abdurrahman Wahid, Islam, Politics and Democracy in Indonesia in the 1950s and 1990s. Paper presented to Conference on Democracy in Indonesia Clayton: Monash University, 17- 20 Desember 1992. Sebenarnya ada dua model lagi, yaitu model Barat yang memisahkan urusan agama dengan pemerintahan dan modelnya Munawir yang mengatakan bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi memiliki perangkat tata nilai dan etika kehidupan bernegara. Lihat, Munawir, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran Jakarta: UI Pres, 1993, 1-2. memasukan nilai-nilai ke-Islaman –kurikulum MA, dibanding model yang pertama, karena memperhatikan heterogenitas. Dalam sejarah dipaparkan bahwa dengan model yang kedua ini, hubungan pemerintah dengan Islam modernis menjadi akrab, sementara hubungan pemerintah dengan kaum sekuler agak mengendur. 93 Sebagai contoh terkait dengan pendidikan, pada tahun 1991, sesudah pertentangan selama sebelas tahun antara Muslim shaleh dan pihak berwenang di Depdikbud, wanita-wanita Muslimah diperkenankan memakai jilbab ke sekolah. 94 Melihat hal ini, banyak pemimpin Muslim melihat perubahan ini sebagai ”niat baik pemerintah Orde Baru terhadap Islam”. 95 ”Sekarang dapat dikatakan bahwa pemerintah Orde Baru sangat aktif dan efektif dalam mewakili aspirasi Islam” kata Lukman Harun pada tahun 1995. Baginya, kecenderungan ini ”suatu perkembangan yang menarik” menunjukan bahwa pada waktu itu hubungan ”Muslim dengan pemerintah mantap, dan pemerintah bersikap arif terhadap Muslim dan Muslim memakai cara bijak dalam mengkritisi pemerintah. 96 Bahkan Sekretaris Jenderal DDII, Hussen Umar, menggambarkan proses perangkulan terhadap kepentingan Muslim oleh pemerintah Orde Baru pada tahun 1980-an dan 1990-an sebagai indikasi terjadinya ”perubahan strategi global pemerintah dari sekularisasi ke Islamisasi. 97 Pendek kata perjuangan Islam modernis adalah berhasil. Berhasilnya Muslim modernis mendekati pemerintahan Orde Baru, terjadi perubahan secara politis terhadap nasib madrasah termasuk kurikulumnya, munculnya UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan 93 Santoso, Islam and Politics in Indonesia During the 1990s, A sian Journal of Political Science, 5. 94 Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia: Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 2 tahun 1989, 141. 95 Anwar, “Politik Islam di Tengah Isu Suksesi” Peristiwa Utama, Ummat, 1995, 42. 96 Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia: Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 2 tahun 1989, 141. 97 Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia: Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 2 tahun 1989, 142. Nasional, dimana madrasah menjadi sub sistem pendidikan nasional. Lulusan madrasah diterima di Perguruan Tinggi Umum Negeri, dan lulusan madrasah juga dapat diterima di berbagai departemen, tidak hanya Departemen Agama. Kurikulum MA, dimodernisir dari sisi metode dan evaluasinya. Walaupun lagi-lagi content agamanya lebih sedikit dari pada umumnya, tetapi pelajaran agama menjadi ruh semua mata pelajaran umum dan suasana ke-Islaman tetap terus di pertahankan di lingkungan MA. Bagaimana dengan Islam tradisionalis, seperti kalangan Nahdlatul Ulama NU, apakah ikut berkiprah dan berpartisipasi dalam birokrasi Orde Baru?, rupanya tidak. Menurut Hendro Prasetyo dkk, Muslim tradisionalis, justeru disingkirkan oleh rezim Orde Baru. Dalam rangka mengantisipasi hal ini maka muncul wacana civil society. Munculnya civil society dari kalangan Muslim tradisionalis adalah upaya melawan hegemoni negara. Nada umumnya dipengaruhi dan dibentuk oleh situasi politik Orde Baru yang kurang memberi tempat dan peran kepada kalangan NU, serta akibat-akibat yang tidak menguntungkan yang ditimbulkannya terhadap para intelektual dan aktivisnya. Situasi yang tidak menguntungkan ini muncul terutama, meskipun tidak seluruhnya, karena hubungan politik yang kurang baik antara NU dan Orde Baru. 98 Wacana masyarakat sipil di lingkungan NU dimotori oleh generasi baru para intelektual dan aktivis NU yang sejak awal dasawarsa 1980-an berusaha mengembangkan satu format baru perjuangan Islam di Indonesia. Format baru itu menempatkan kekuatan gerakan masyarakat civil society, bukan negara political society, sebagai basis sosial-kultural tumbuhnya masyarakat yang mandiri. 99 Perjuangan tersebut mengambil bentuk program-program transformasi sosial yang dilakukan secara hampir merata, dari kalangan aktivis organisasi NU di kota-kota 98 Hendro Prasetyo, Ali Munhanif, dkk., Islam dan Civil Society, Pandangan Muslim Indonesia Jakarta: Gramedia, 2002, 195. 99 Lihat Bosco Carvallo dan Dasrizal ed., A spirasi Umat Islam Indonesia Jakarta: Leppenas, 1984, lihat juga KH. Abdurrahman Wahid, Pergumulan Islam dan Pembangunan Jakarta: Leppenas, 1984. besar hingga santri dan para kyai pesantren di desa-desa. 100 Program transformasi sosial yang direalisasikan dalam bentuk Lembaga Swadaya Masyarakat LSM, berkembang terbesar di Indonesia. Kemudian muncul para aktivis muda NU, seperti Ulil Absar Abdalla dengan Lembaga Kajian dan Sumber Daya Manusia Lakpesdam, Imam Aziz dengan Lembaga kajian Islam dan Sosial LKiS dan lain- lain. Lembaga-lembaga ini berkembang secara spektakuler dan menjadi wadah penggerak pembaharuan pemikiran NU, sehingga NU maju. Bahkan ketika lembaga- lembaga ini lagi populer, dan ketika itu Nurcholish Madjid masih hidup pernah memberikan komentar, bahwa terjadi fenomena perkembangan pemikiran pembaharuan NU lebih maju 101 daripada Muhammadiyah, lewat para pemuda aktivis NU. Ending pergerakan aktivis NU ini pada masa reformasi, dimana dapat mengantarkan KH. Abdurrahman Wahid Gusdur, menjadi orang nomor satu di Republik ini. Pada masa inilah terjadi pergeseran status bagi para intelektual alumni pondok pesantren, sehingga falsafah pendidikan mereka pun dapat tersalurkan, lewat kebijakan orang-orang NU yang menduduki pemerintahan. Natsir dengan partai politiknya Masyumi, tentu perjuangan dalam bidang pendidikannya juga berhaluan ideologi Masyumi, dimana ideologi tersebut include dalam kurikulum pendidikannya. Demikian pula para pemikir Muslim modernis walaupun tidak melalui jalur politik, tetapi sebenarnya politis, dimana mereka mendekati penguasa. Ketika itu partai penguasa Orde Baru adalah Golkar, dengan demikian mau tidak mau mereka –Muslim modernis– mengikuti politik Golkar. Berdasarkan latar belakang pendidikannya, mereka lebih condong kepada back ground akademiknya dari pada politiknya. Dengan demikian haluan ideologi mereka dalam kurikulum pendidikannya adalah liberal terbukaBarat. Sedang Islam 100 Prasetyo, Islam dan Civil Society: Pandangan Muslim Indonesia, 196. 101 Pemikiran filsafat Barat modern, seperti materialism historis Karl Marx, post- modernisme Michael Fucoult, orientalisme Edwar Said, teologi pembebasan Gustavo Gittierez, gerakan anti-sekolah Ivan Illich, kritik ideologi Jurgen Habermas, dan lain sebagainya, akrab terdengar menjadi rujukan intelektual bagi kalangan pemikir muda NU, lihat, Prasetyo, Islam dan Civil Society: Pandangan Muslim Indonesia, 202. tradisionalis yang notabene NU, kendaraan politiknya adalah Partai Kebangkitan Bangsa PKB, ini muncul ketika negara Indonesia memasuki Era Reformasi – kurikulum MA tahun 2004 dan 2006– dimana telah lepas dari rezim Soeharto. Karena mayoritas back ground pendidikan mereka adalah pesantren tradisional, maka kultur pesantren yang salafiyah, tidak dapat ditinggalkan, dan secara otomatis mewarnai kurikulum pendidikan mereka, walaupun para pemuda aktifisnya sudah banyak menggunakan rujukan Barat, kultur tetap sulit dihilangkan. Dengan demikian, maka tarik menarik partai politik amat kental dalam kebijakan kurikulum, termasuk dalam aplikasi kurikulumnya, terutama kurikulum MA.

D. Kebijakan Politis Pemerintah dalam Kurikulum Madrasah 1.