tradisionalis  yang  notabene    NU,  kendaraan  politiknya  adalah  Partai  Kebangkitan Bangsa  PKB,  ini  muncul  ketika  negara  Indonesia  memasuki  Era  Reformasi  –
kurikulum  MA  tahun  2004  dan  2006–  dimana  telah  lepas  dari  rezim  Soeharto. Karena  mayoritas  back  ground  pendidikan  mereka  adalah  pesantren  tradisional,
maka kultur pesantren yang salafiyah, tidak dapat ditinggalkan, dan secara otomatis mewarnai  kurikulum  pendidikan  mereka,  walaupun  para  pemuda  aktifisnya  sudah
banyak  menggunakan  rujukan  Barat,  kultur  tetap  sulit  dihilangkan.  Dengan demikian, maka tarik menarik partai politik amat kental dalam kebijakan kurikulum,
termasuk dalam aplikasi kurikulumnya, terutama kurikulum MA.
D. Kebijakan Politis Pemerintah dalam Kurikulum Madrasah 1.
Kebijakan Pemerintah Tentang Pendidikan yang merugikan Kurikulum Madrasah
Menurut  Malik  Fadjar,  tidak  seluruh  kebijakan  lahir  dengan  gampang.  Ia harus  mempunyai  kekuatan  tawar  menawar  kultur,  dan  dalam  kadar  tertentu  bisa
bersifat  politis.
102
Sekurang-kurangnya  untuk  melahirkan  kebijakan  kurikulum madrasah  perlu  diakomodasikan  berbagai  kepentingan  masyarakat,
103
khususnya umat  Islam.  Seperti  yang  dikemukakan  oleh  Husni  Rahim,  bahwa  madrasah  adalah
milik  masyarakat,
104
yang  merupakan  salah  satu  karakteristiknya.  Maka  kebijakan tentang  pergeseran  kurikulum  madrasah  selayaknyalah  harus  mendapat  support,
aspirasi  dan  dukungan  dari  masyarakat.  Jadi  yang  paling  baik  di  sini  aspirasi
102
Politik  dalam  pendidikan  berbeda  dengan  politik  praktis,  dalam  arti  partai  politik. Walaupun substansi politik itu sendiri secara teoritik adalah sama, dalam  arti berorientasi kemenangan
dan  kekuasaan,  namun  dalam  pendidikan  lebih  bersifat  halus  dan  mengedepankan  nilai.  Baca,  D. Easton,  A  framework  for  Political  Analysis  New  York:  Prentice-Hall,  1965,  ketika  mendefinisikan
politik pendidikan. Lihat pula, J. D. Scribner dan R. M. Englert Ed., “The Politics of Education: An Introduction”,  dalam   J.  D.  Scribner,  The  Politics  of Education:  The  Seventy-Sixth  Yearbook of   The
National Society for The Study of Education Chicago: University of Chicago Press, 1977. Lihat juga, Jane  C.  Owen,  The  Impact  of  Politics  in  Local  Education  Toronto:  Rawman  dan  Little  Field
Education, 2006, 4, 6.
103
A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam Jakarta: Fadjar Dunia, 1999, 95.
104
Husni  Rahim,  Visi  Madrasah,  http:www.blogger.comfeeds35417963postsdefaul, 2008. 27022010.
kebijakan  berasal  dari  masyarakat  ke  penguasa  bottom  up,  walaupun  ending produksi  dan  isi  kebijakan  tetap  di  penguasa.  Masyarakat  adalah  obyek  penerapan
kebijakan  tersebut.  Ketika  lahirnya  kebijakan  merupakan  paket  dari  penguasa  tanpa adanya  peran  serta  aspirasi  masyarakat,  berarti  kebijakan  yang  lahir  masih  seperti
kebijakan pendidikan pada masa Belanda.
105
Efek  dari  kebijakan  pendidikan  Belanda  yang  sentralistik  menimbulkan diskriminasi  antara  Muslim  dan  non  Muslim.  Sekolah  Kristen  menyebar  dan
berkembang di  mana-mana, sementara sekolah Islam sangat dibatasi. Sekolah Islam juga  tidak  mendapatkan  subsidi  dari  pemerintah,  bahkan  anak-anak  Muslim  jarang
bisa  bersekolah.
106
Hal  demikian,  bukan  karena  kekurangan  keuangan,  melainkan sengaja  orang  Islam  Indonesia  dibuat  bodoh  oleh  pemerintah  Hindia  Belanda.
Disamping  itu,  sebenarnya  substansi  yang  paling  mendasar  Belanda  hendak melakukan  tugas  misionarisnya  –yakni  menyebarkan  agama  Kristen  kepada
masyarakat  Indonesia,  sebagai  negara  jajahannya.  Maka  lembaga  pendidikan  Islam seperti  pesantren  dianggap  rendah.  Seperti  pandangan  Snouck  Hurgronje,  penasihat
Belanda  mengenai  masalah-masalah  Islam,  memandang  rendah  pesantren  sebagai tidak  punya  makna  dedaktik  dan  mengecam  para  santri  yang  membuang  waktu
mencari  pengetahuan  yang  moralistik  dan  tidak  toleran.
107
Muhammad  Sirozi memberikan  kesimpulan,  bahwa  pendidikan  secara  sistematik  dipakai  oleh  kolonial
Belanda untuk memanipulasi masa lampau dan masa depan penduduk pribumi.
108
Di
105
Pada masa pemerintahan kolonial  Belanda, Belanda sepenuhnya mengendalikan proses produksi,  isi,  dan  penerapan  kebijakan  pendidikan.  Kebijakan  pendidikan  Belanda  melayani
kepentingan  pendidikan  Belanda  yang  “substantive”  mengesampingkan  kebutuhan  pendidikan “substantive”  dari  rakyat  Indonesia.  Lihat,  Muhammad  Sirozi,  Politik  Kebijakan  Pendidikan  di
Indonesia, Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 21989, 20.
106
C.  A.  Fisher,  South-East  Asia:  A  Social  Economic  and  Political  Geography  London: Methuen  Co. Ltd., 1967, 106.
107
Suminto,  Politik Islam Hindia Belanda Jakarta: LP3ES,  1985, 49.
108
Sirozi,  Politik  Kebijakan  Pendidikan  di  Indonesia,  Peran  Tokoh-tokoh  Islam  dalam Penyusunan  UU  No.  21989,  29.  Kesimpulan  Sirozi  diperkuat  oleh  Fanon,  yang  menyatakan,
kolonialisme  tidak  hanya  puas    memaksakan  kekuasaannya  untuk  masa  kini  dan  masa  mendatang negara  yang  dijajah.  Kolonialisme  tidak  puas  hanya  menyembunyikan  suatu  bangsa  dalam
sini  jelas,  bahwa pada  masa kolonial Belanda  lembaga pendidikan  Islam  –pesantren dan madrasah– beserta kurikulumnya mendapat posisi yang marjinal secara politis.
Setelah  Indonesia  merdeka,  menurut  Sirozi,  Indonesia  menganut  sistem ganda  dalam  pendidikan.  Dimana  sejak  zaman  kolonial  para  pemimpin  nasionalis,
baik  yang  sekuler  maupun  yang  agama  telah  mengembangkan  program  pendidikan yang  terpisah  dan  memainkan  peran  penting  dalam  pergerakan  nasional.  Sehingga,
ketika  itu  pemerintahan  baru  Soekarno-Hatta,  kesulitan  mencari  format  sistem pendidikan  nasional.  Di  satu  sisi,  pemerintah  diwajibkan  oleh  pasal  31  ayat  2  UUD
1945  untuk  “mendirikan  dan  melaksanakan  satu  sistem  pendidikan  nasional  yang diatur  oleh  undang-undang”.  Di  sisi  lain  perdebatan  yang  berkelanjutan  antara
pemimpin  sekuler  dan  agama  mengenai  ciri  sistem  pendidikan  nasional  Indonesia memaksa
pemerintah mempertimbangkan
suatu model
alternatif sebagai
kompromi,
109
yaitu sistem ganda dualistik. Bentuk  pendidikan  yang  dikomandoi  oleh  tokoh  nasionalis  sekuler,
kemudian  disebut  dengan  pendidikan  umum,  di  bawah  otoritas  Departemen Pendidikan  dan  Kebudayaan.  Sementara,  format  pendidikan  yang  dinahkodai  oleh
para  tokoh  nasionalis  religious,  disebut  pendidikan  agama,  di  bawah  wilayah kekuasaan Departemen Agama.
110
Sebenarnya Cikal bakal terjadinya dualistik dalam
cengkeramannya  dan  mengosongkan  otak  penduduk  asli  dari  segala  bentuk  dan  isi.  Melalui  logika yang terbalik, kolonialisme menengok masa lalu bangsa yang tertindas  itu, dan memutarbalikannya,
mengubah  bentuknya,  dan  menghancurkannya.  Lihat,  Fanon,  “On  National  Culture”,  dalam  P. Williams  dan  L.  Chrisman  eds  Colonial  Discourse  and  Post-Colonial  Theory:  A Reader  London:
Harvester Wheatsheaf, 1994, 37.
109
Lihat,  Sirozi,  Politik  Kebijakan  Pendidikan  di  Indonesia,  Peran  Tokoh-tokoh  Islam dalam Penyusunan UU No. 21989, 41.
110
Setelah  Indonesia  merdeka,  satu  tahun  kemudian  Departemen  Agama  berdiri, diantaranya  atas  usul  BP-KNIP,  dimana pada   tanggal 25-28 mengadakan  sidang  pleno.  Wakil-wakil
KNIP  dari  daerah  karesidenan  Banyumas  mengusulkan,  supaya  dalam  negara  Indonesia  yang  sudah merdeka  ini  janganlah  hendaknya  urusan  agama  hanya  disambillalukan  dalam  tugas  Kementerian
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan atau departemen-departemen lainnya tetapi hendaknya diurus oleh  suatu  Kementerian  Agama  tersendiri,  lihat  Departemen  Penerangan  RI,  20  Tahun  Indonesia
Merdeka,  jilid VII Jakarta: Departemen Penerangan RI, 1965, 358-359.  Usul ini direalisasikan oleh pemerintah,  pada  tanggal  3  Januari  1946,  pemerintah  membentuk  Departemen  Agama  RI,  dengan
Menteri Agama pertama H. Rasjidi, BA. Lihat Departemen Agama RI, Peranan Departemen Agama
pendidikan  di  Indonesia,  telah  muncul  sejak  zaman  kolonial,  hal  ini  bukan dieliminasi,  malah  diperkuat.  Akibatnya  semakin  terjadi  gap  antara  sekolah  dan
madrasah.  Ada  komentar  miring  dari  Naim,  siapapun  yang  mengamati  sistem pendidikan  nasional  Indonesia,  kesan  pertamanya  adalah  bahwa  sistemnya  ruwet,
sukar diikuti dan dualistik.
111
Namun,  perdebatan  antara  para  tokoh  nasionalis  sekuler  dan  nasionalis religious, perlu diakomodir oleh pemerintah, sampai akhirnya terjadi dualistik dalam
pendidikan  di  Indonesia.  Sebenarnya  Soekarno  sendiri  juga  tidak  setuju  dengan sistem  ini,  tetapi  persatuan  dan  kesatuan  bangsa  lebih  diprioritaskan,  yang  akhirnya
sistem ganda ini adalah sebagai alternatif. Tetapi walaupun demikian, menurut Sirozi, karena  kedua  model  pendidikan  ini  disokong  oleh  posisi    ideologi  dan  perspektif
pendidikan yang berlainan maka keduanya lebih bersaing ketimbang bekerja sama,
112
realitasnya  demikian  sampai  sekarang.  Menanggapi  ide  Sirozi,  Naim  berkomentar sembari  beranalog,  “mereka  berjalan  bersama  seperti  di  atas  rel  kereta  api,  tetapi
terpisah satu sama lain”.
113
Lagi-lagi  bila  diamati  secara  jeli  pendidikan  umum,  mempunyai  otoritas yang  lebih dominan secara politis,  dibandingkan  dengan pendidikan agama.  Sebagai
bukti, dalam Surat Keputusan Bersama SKB tiga menteri –Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,  Menteri  Agama,  dan  Menteri  Dalam  Negeri–  keputusan  ini  memberi
hak yang sama bagi lulusan Madrasah Aliyah Negeri MAN dan Sekolah Menengah Atas  SMA  untuk  memperoleh  pendidikan  universitas,  tetapi  hanya  dengan  syarat
bahwa kurikulum MAN disesuikan dengan kurikulum SMA.  Kurikulum MAN  yang
dalam Revolusi dan Pembangunan Bangsa Jakarta: Departemen Agama RI, 1965, 104.  Namun pada akhirnya pembentukan Kementerian Agama ini sempat terjadi kontroversi, bila diamati kontroversi itu
adalah pada  masalah ideologi,  lihat,  Azyumardi  Azra,  HM.  Rasjidi  BA,  “Pembentukan  Kementerian Agama dalam Revolusi”, dalam Menteri-menteri Agama RI, Biografi Sosial Politik, Azyumardi Azra
dan Saiful Umam Ed., Jakarta: INIS, 1998, 5-8.
111
Naim, Quo Vadis Pendidikan Madrasah Jakarta: Republika, 31 Oktober 1996.
112
Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia, Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 21989, 42.
113
Naim, Quo Vadis Pendidikan Madrasah Jakarta: Republika, 31 Oktober 1996.
aslinya  berisi  70  mata  pelajaran  agama  dan  30  mata  pelajaran  umum,  diganti dengan  kurikulum  yang  terdiri  70  pelajaran  umum  dan  30  pelajaran  agama.
114
Idealisme para tokoh agama yang merupakan warisan para tokoh nasionalis religious, lagi-lagi  terganjal  secara  politis,  karena  kurikulum  madrasah  harus  mengikuti
kurikulum  sistem  persekolahan,  bila  nasib  lulusan  madrasah  ingin  dapat  diterima  di universitas negeri milik pendidikan umum. Ini adalah satu poin kekalahan kurikulum
madrasah.  Komentar  Naim,  “konsep  madrasah  sebagai  perpaduan  kombinasi pendidikan  agama  dan  umum  yang  setara  tidak  lagi  banyak  ditemukan  dalam
Madrasah  Aliyah”.
115
Menurut  Sirozi,  karena  kurikulum  dan  status  kedua  jenis sekolah  telah  disamakan,  nama-nama  ini  menyiratkan  bahwa  sistem  sekolah  yang
ganda  tetap  dipertahankan,  meski  tidak  dalam  arti  materi,  tetapi  dalam  arti simbolik.
116
Secara  content,  bukan  merupakan  sistem  ganda  lagi  dalam  pendidikan, tetapi  sudah  dicaplok  oleh  pendidikan  umum.  Kebijakan  yang  demikian  bila
direnungkan  secara  jeli  adalah  sangat  politis.  Hal  ini  juga  dinyatakan  oleh  Angus, “gagasan  pendidikan  pada  hakikatnya  adalah  suatu  konstruk  historis  dan  politis”.
117
Walaupun secara historis, sebenarnya sama-sama posisinya, dalam arti sekolah umum yang merupakan perjuangan kaum nasionalis sekuler dan sekolah agama  madrasah
yang merupakan perjuangan tokoh nasionalis Muslim, tetapi pada akhirnya idealisme tokoh  Muslim  terjepit  secara  politis,  karena  content  kurikulum  madrasah  semakin
kering dari ruh pelajaran Islam. Bila  kebijakan  pendidikan  dibuat  lebih  cenderung  ke  arah  politis,  maka
pembahasan  ini  tidak  lepas  dari  tahapan  orde  dalam  pemerintahan  Indonesia.  Yaitu Orde  Lama,  Orde  Baru  dan  Orde  Reformasi.  Kebijakan  pendidikan  pada  masa
114
Lihat,  Muhammad  Sirozi,  Politik  Kebijakan  Pendidikan  di  Indonesia,  Peran  Tokoh- tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 21989, 43.
115
Naim, Quo Vadis Pendidikan Madrasah Jakarta: Republika, 31 Oktober 1996.
116
Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia, Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 21989, 43.
117
L.  Angus,  Schooling  For  Social  Order:  Democracy,  Equality  and  Social  Mobility  in Education Victoria: Deakin University Press, 1986, 8.
kolonial  Belanda,  Jepang,  masa  sebelum  merdeka,  setelah  merdeka  dan  orde  lama sepintas telah penulis jelaskan. Tinggal masa Orde Baru dan Orde Reformasi dengan
tetap tidak meninggalkan undang-undang yang berlaku selama orde itu. Menurut  pandangan  Sirozi,  bahwa  sistem  politik  di  bawah  Orde  Baru
cenderung  berat  ke  eksekutif  dan  bersifat  tertutup.  Sistem  ini  memungkinkan pemerintah yang eksekutif, terutama presiden dan para menteri, untuk mengendalikan
proses  pembentukan  kebijakan.  Dalam  proses  pembentukan  kebijakan  pendidikan, presiden mempertahankan kendalinya melalui Depdikbud. Dengan memiliki kantor di
pusat  dan  daerah,  Depdikbud  mampu  mengendalikan  pembentukan  dan  penerapan kebijakan  pendidikan  di  daerah  dan  di  pusat.  Menteri  Pendidikan  dan  Kebudayaan
yang  bertanggung  jawab  menentukan  strategi  pemerintah  dan  mengarahkan mekanisme  pembentukan  kebijakan  pendidikan.  Menteri  mempunyai  kewenangan
untuk mengatur struktur yang akan dilalui kebijakan pendidikan yang diusulkan. Atas nama  Presiden,  Mendikbud  berkewenangan  untuk  mengangkat  pejabat  yang
menangani  persiapan  kebijakan  pendidikan  dan  untuk  memutuskan  hal-hal  yang penting  bagi  pembahasan  kebijakan  pendidikan.  Lebih  lagi,  Mendikbud
berkewenangan  untuk  menerapkan  kebijakan  pendidikan  dan  merancang  peraturan operasional  yang  ditetapkan  oleh  kebijakan  dalam  bentuk  keputusan  menteri.  Oleh
sebab  itu  Mendikbud  tidak  hanya  mengawasi  penerapan  kebijakan,  tetapi  juga menafsirkan  dan  merumuskan  kembali  isinya  menurut  nilai-nilai  pendidikannya,
tanpa  campur  tangan  masyarakat  dan  parlemen.
118
Ilustrasi  ini  cukup  jelas  bahwa, kebijakan  pendidikan  pada  masa  Orde  Baru  bersifat  sentralistik,  demikian  juga
dengan  madrasah.  Karena  penentu  kebijakan  dalam  bidang  pendidikan  adalah Presiden  lewat  tangan  Mendikbud,  maka  kebijakan  yang  terjadi  pada  madrasah
adalah  lewat  Mendikbud,  tentu  saja  lewat  pertimbangan  Menag,  tetapi  kekuasaan kuat tetap di Mendikbud. Maka dari sisi kebijakan yang diuntungkan tetap pendidikan
118
Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia, Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 21989, 77.
umum  sekolah  bukan  pendidikan  agama  madrasah,  termasuk  dalam  bidang kurikulum.
Almond  dan  Powell  menyatakan  bahwa  tuntutan  politik  bisa  efektif  jika “didorong  oleh  kekuatan  politik  yang  memiliki  sumber  daya  –suara,  kedudukan
dalam  badan  legislatif,  kedudukan  penting  dalam  pemerintahan  dan  kehidupan pribadi, uang, pengetahuan, teknis dan keahlian, menguasai media, atau sarana untuk
memaksa”.
119
Di  sini  jelas  bahwa  politik  tujuannya  kemenangan.  Menurut  Hefner, sebenarnya  keterlibatan  politik  dan  urusan  publik  dalam  sekolah  Islam  madrasah,
tidak  menjadi  persoalan  asal  tidak  dijadikan  tendensi  etika  dan  pengetahuan  orang Islam dalam  sebuah cara  yang eklusive dan absolute.
120
Oleh karena  itu sebenarnya, dukungan  penguasa,  dalam  hal  ini  adalah  pemerintah,  sangat  efektif  dalam  politik
pendidikan.  Hal  ini  tergambar  pada  masa  klasik  Islam,  di  mana  zaman  keemasan pendidikan Islam terwujud di sini.
121
Kebijakan  pendidikan  pada  masa  Orde  Baru  –kurikulum  MA  1973,  1984, dan  1994– yang  bersifat politis terutama adalah munculnya SKB Tiga Menteri  yang
memasukan 30 pelajaran agama dan 70 pelajaran umum –kurikulum tahun 1975. SKB  Tiga  Menteri  diperkuat  dengan  SKB  Dua  Menteri  –kurikulum  1984–  pada
akhirnya  muncul  UUSPN  No.  2  tahun  1989  yang  mengakui  madrasah  sebagai  sub sistem pendidikan nasional. Akhirnya MA disebut sebagai sekolah umum berciri khas
Islam  –kurikulum  MA  tahun  1994–  dimana  kurikulum  MA  hampir  sama  persis dengan kurikulum SMA kecuali dalam  mata-mata pelajaran untuk menunjukkan ciri
khas ke-Islamannya. Jelas yang bersifat politis di sini dari sisi tujuan kurikulum MA dan content-nya.
119
Almond  dan  G.B.  Powell,  System,  Process,  and  Policy,  Comparative  Politics  Boston dan Toronto: Litle, Brown dan Company, 1978,  232.
120
Robert  W.  Hefner, Ed.,  Making  Modern  Muslim:  The  Politics  of  Islamic Education  in Southeast Asia  Honolulu, HI: University of Hawa’i Press, 2009, 130.
121
Lihat, Pihlip K. Hitti, History of The Arabs London: Macmillan,1974,  296-298.
Contoh selanjutnya, ketika Mendikbud 1993-1998, Wardiman Djojonegoro, tepatnya  1  Januari  1995,  ia  memulai  kebijakan  lima  hari  sekolah.  Tujuan  dari
kebijakan  ini  adalah  untuk  mengembangkan  lima  hari  sekolah  yang  efektif  dan efesien,  memungkinkan  anak-anak  mendapatkan  libur  akhir  pekan  yang  cukup  dan
menggunakan  waktu  mereka  secara  lebih  disiplin”
122
Dengan  kebijakan  ini  jam belajar  diperpanjang  dari  jam  7.30  sampai  dengan  jam  4  sore.
123
Sebagai  uji  coba kebijakan  ini,  beberapa  sekolah  pemerintah  dan  non  pemerintah  dipakai  sebagai  uji
coba.  Namun  kebijakan  ini  juga  mendapat  protes  dari  banyak  kalangan  tokoh Muslim.  Dikarenakan,  mereka  –anak-anak  sekolah–  tidak  dapat  memasuki  sekolah
agama  –Madrasah  Diniyah.  Dengan  demikian  maka  akan  mematikan  lembaga Madrasah  Diniyah,  sebenarnya  motivasi  yang  prinsip  bukan  ini,  tetapi  anak-anak
Muslim dikhawatirkan tidak mendapat pelajaran agama yang maksimal, dikarenakan pelajaran  di  sekolah  umum  cuma  2  jam  per  minggu.  Dimana  pelajaran  agama  yang
maksimal  adalah  di  Madrasah  Diniyah  saat  itu.  Beberapa  kebijakan  pemerintah dalam bidang pendidikan yang telah diuraikan di atas adalah bersifat politis.
Kebijakan  pendidikan  pada  era  reformasi  –kurikulum  MA  2004  dan  2006– mengalami  banyak  perubahan  dibanding  dengan  masa  Orde  Lama  dan  Orde  Baru.
Minimal  ada  prioritas  dan  usaha  yang  serius  dari  pemerintah  untuk  meningkatkan
122
Panji Masyarakat, 1-10 Oktober 1994, 20.
123
Pada  saat itu  belum ada  Sekolah  Islam  Terpadu SIT,  dimana  sekolah ini  menerapkan konsep  Full  Day  School,  yakni  kurikulum  Madrasah  Diniyah  sudah  tercakup  dalam  sekolah  ini.
Bahkan lebih baik kurikulumnya. Sekolah ini juga menerapkan lima hari sekolah. Sebenarnya secara psikologis, untuk anak, lima hari kerja itu baik, asalkan jangan merugikan pelajaran agama anak. Baca,
Abdurrahman  Mas’ud,  Menggagas  Pendidikan  Nondikotomik:  Humasnisme  Religius  sebagai Paradigma  Pendidikan  Islam  Yogyakarta:  Gama  Media,  2002.  Sekolah  Islam  Terpadu  SIT,
didirikan  berdasarkan ideologi  salafi,  yang  banyak  didirikan  oleh  orang-orang tarbiyah,  binaan  PKS. Hefner  memberi  teori  dan  pemahaman  baru  dalam  pendidikan  Islam,  bahwa  pertumbuhan  PKS  dan
Hidayatullah yang begitu cepat, merupakan kekuatan paralel  antara Sekolah Islam Terpadu  SIT dan pergerakan  sosial.   SIT  dan  pergerakan  sosial mempunyai hubungan timbal  balik  diantara keduanya.
Menurut  Hefner,  fungsi  Sekolah  Islam  Terpadu  bagi  pergerakan  sosial,  adalah:  1.  mendiagnosa problem  kronis  dalam  masyarakat  untuk  mendata  hal-hal  yang  dibutuhkan  oleh  masyarakat,  2.
merekomendasikan  sebuah  strategi  untuk  mengatasi  masalah.  3.  menyediakan  sebuah  pemikiran bahwa  pemikiran  dapat  memberikan  support  untuk  mengusulkan  tindakan  berupa  penyelesaian
masalah. Lihat, Robert W. Hefner, Ed., Making Modern Muslim: The Politics of Islamic Education in Southeast Asia, 130.
kualitas pendidikan.  Indikator ini tergambar dalam pidato politiknya Habibie,  sesaat setelah lengsernya Soeharto, sebagai tanda dimulainya reformasi,  “hanya pendidikan
yang  berkualitas  sajalah  yang  dapat  menyampaikan  generasi  yang  mampu menghadapi  permasalahan  ke  depan  yang  makin  kompleks,  karena  itu  usaha  untuk
meningkatkan  kualitas  pendidikan  merupakan  hal  yang  perlu  mendapat  dukungan semua  pihak  dan  tak  dapat  ditunda-tunda”.
124
Pidato  Habibie,  perlu  mendapat apresiasi semua pihak. Pidato Habibie, dipertegas Megawati ketika menjadi Presiden,
bahwa  pemerintahan  Mega  harus  dapat  memperbaiki  masalah  hukum,  ekonomi  dan pendidikan.
Di  era  Reformasi,  bila  dianalisa  kurikulum  Madrasah  Aliyah  mengalami perubahan  yang  sangat  mengejutkan,  karena  pelajaran  Pendidikan  Agama  Islam
PAI  alokasi  waktunya  sama  dengan  sekolah  umum,  yaitu  2  jam  pelajaran perminggu.
125
Di  satu  sisi  insan  madrasah  merasa  gembira,  karena  secara  politis, posisi madrasah sama persis dengan sistem persekolahan. Di sisi lain, insan madrasah
juga  merasa  kehilangan,  dengan  sedikitnya  jam  mata  pelajaran  PAI.  Jadi  Madrasah Aliyah  substansinya  juga  sama  persis  dengan  SMA,  karena  kurikulumnya,  sama
persis.  Bila  diamati  secara  jeli,  pemerintah  hendak  membentuk  satu  sistem pendidikan  nasional  secara  substansial,  walaupun  pada  hakekatnya  secara  simbolik
ada dua sistem yaitu sistem sekolah dan madrasah. Satu  sistem  ini  terlihat  dari,  Undang-Undang  Sistem  Pendidikan  Nasional
No.  20  Tahun  2003,  dalam  UU  ini,  tidak  ada  diskriminasi  antara  sekolah  dan
124
Media Indonesia, 24 September 1999, 19.
125
Untuk  mensiasati  alokasi  waktu  mata  pelajaran  PAI  yang  hanya  2  jam  pelajaran perminggu,  mayoritas  MA  senantiasa  menambahkan  alokasi  waktu  tersebut,  yaitu  Aqidah  Akhlak  1
jam  pelajaran,  Sejarah  Kebudayaan  Islam  SKI  1  jam  pelajaran,  al-Qur’an  Hadis  2  jam  pelajaran, Fikih  2  jam  pelajaran,  jika  Bahasa  Arab  dimasukan  rumpun  PAI,  Bahasa  Arab  3  jam  pelajaran
perminggu.  Sehingga  ketika  Bahasa  Arab  tidak  dimasukan  jumlah  jam  pelajaran  perminggu  6  jam pelajaran, tetapi ketika Bahasa Arab dimasukkan dalam rumpun PAI maka berjumlah 9 jam pelajaran
perminggu. Untuk kasus MAN 2 Serang memberlakukan sistem fullday school, pulang jam 16.00 WIB dan MAN I Serang untuk kelas 1 dan 2 pulang jan 14.00 dan kelas 3 pulang jam 14.00. Wawancara
dengan Uus Kadarusman, Kepala MAN I Serang dan Hidayat Kepala TU MAN 2 Serang, tanggal 25 Nopember 2010.
madrasah.
126
Bahkan selanjutnya, Peraturan Pemerintah PP, Keputusan Menteri dan kebijakan  lain  mengenai  pendidikan  terlihat  tidak  ada  diskriminasi.  Nampak  bahwa
satu Sistem Pendidikan Nasional ini telah terbentuk secara politis. Walaupun banyak insan  madrasah  yang  secara  nurani  masih  banyak  protes  terhadap  keadaan  yang
demikian. Yang  menjadi  catatan  positif  pada  era  ini,  kebijakan  pendidikan,  yang
tadinya  sentralistik  pada  masa  Orde  Lama  dan  Orde  Baru,  menjadi  desentralisasi. Pergeseran  ini  disebabkan,  menurut Indra Djati Sidi,  karena  sistem terpusat terbukti
tidak  terlalu  kondusif  bagi  peningkatan  mutu  pendidikan  di  sekolahmadrasah.
127
Selama  ini  masa  Orde  Baru  lembaga  pendidikan  madrasah  berada  di  bawah naungan  Departemen  Agama  Depag  atau  pemerintah  pusat.  Bagaimana  di  era
otonomi?  Madrasah  tidak  mengalami  otonomi
128
seperti  halnya  sekolah-sekolah  di bawah  Departemen  Pendidikan  Nasional.  Meskipun  pengelolaan  madrasah  tetap
berada  di  bawah  naungan  Depag,
129
tetapi  di  era  otonomi
130
diterapkan  kebijakan baru.  Kalau  dulu  madrasah  murni  dikelola  oleh  Depag  pusat,  tetapi  sekarang
diberlakukan kebijakan
dekonsentrasi. Artinya,
kewenangan-kewenangan
126
Baca, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003.
127
Lihat,  Indra  Jati  Sidi,  Menuju  Masyarakat  Belajar,  Menggagas  Paradigma  Baru Pendidikan Jakarta: Paramadina dan Logos, 2001, 31.
128
Sebenarnya  otonomi pendidikan dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerataan,  keadilan,  demokratisasi,  dan  penghormatan  terhadap  nilai-nilai  budaya  lokal  serta
menggali  potensi  dan  keanekaragaman  daerah,  bukan  untuk  memindahkan  masalah  dari  pusat  ke kabupaten  dan  kota.  Demikian  juga  otonomi  sistem  pengelolaan  pendidikan  bertujuan  untuk
meningkatkan  mutu  pendidikan  bagi  seluruh  lapisan  masyarakat,  bukan  memindahkan  atau mengembangbiakkan  masalah  pendidikan  yang  menjadi  beban  pemerintah  pusat  ke  kabupaten  dan
kota. Lihat, Indra Jati Sidi, Menuju Masyarakat Belajar, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, 29- 30.
129
Dalam  PP  Nomor  55  tahun  2007  tentang    pendidikan  agama  dan    keagamaan  pasal    9 ayat 3 pengelolaan pendidikan keagamaan dilakukan oleh Menteri Agama.
130
Menurut  Indra,  mengapa  dilaksanakan  otonomi  dalam  pendidikan,  karena,  pertama, akuntabilitas  sekolah  dalam  penyelenggaraan  pendidikan  masih  sangat  rendah,  kedua,  penggunaan
sumber  daya  tidak  optimal,  ketiga,  partisipasi  masyarakat  masih  rendah,  keempat,  sekolah  tidak mampu  mengikuti  perubahan  yang  terjadi  di  lingkungannya.  Lihat,  Menuju  Masyarakat  Belajar,
Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, 31-33.
penyelenggaraan madrasah yang semula dipegang sepenuhnya oleh pemerintah pusat maka  sebagian  dapat  diturunkan  ke  daerah.  Ini  terutama  menyangkut  masalah-
masalah  teknis  di  lapangan  yang  berkaitan  dengan  sumber  anggaran  melalui Anggaran  Pendapatan  dan  Belanja  Daerah  APBD.  Misalnya,  soal  Rencana
Anggaran  Belanja  RAB  madrasah.  Untuk  masalah  ini  kepala  madrasah  bisa menyampaikannya  kepada  kepala  kantor  Depag  kabupatenkota  setempat.  RAB
tersebut  selanjutnya  dikonsultasikan  kepada  BupatiWali  Kota  untuk  dimintakan alokasi anggaran yang menyatu dalam Dana Alokasi Umum DAU. Karena DAU itu
sendiri merupakan dana dari pemerintah pusat, dan sebagian di antaranya adalah jatah untuk  madrasah  negeri.
131
Walaupun  realisasinya  tetap  memprioritaskan  sekolah daripada madrasah.
2.  Beberapa Kritik Tentang Kualitas Kurikulum Madrasah Selanjutnya  beberapa  kritik  terhadap  madrasah,  terutama  kurikulumnya.
Sebenarnya  pada  masa  awal  madrasah  identik  dengan  pesantren,
132
bedanya  kalau madrasah  tanpa  asrama  sedangkan  pesantren  menggunakan  asrama,  namun  content
isi kurikulumnya sama yaitu sama-sama 100 mengajarkan agama, karena sebagai lembaga  tafaqquh  fi
al-di n.  Disebabkan  hal  ini,  eksistensi  madrasah  menimbulkan
efek  sosial,  seperti  kata  Steenbrink,  “suatu  hal  yang  tragis  yang  dewasa  ini  diderita oleh  anak-anak  didik  kalangan  Islam  Indonesia,  adalah  belum  dapat  diperolehnya
lapangan  kehidupan  di  luar  keagamaan  setelah  mereka  ini  berhasil  menyelesaikan pendidikannya  dari  sekolah-sekolah  agama  seperti  madrasah,  pesantren  maupun
perguruan  tingginya”.
133
Walaupun,  sepintas  diamati  bahwa  pernyataan  Steenbrink adalah  doktrin  Barat,  tetapi  ini  adalah  merupakan  kritik  bagi  madrasah  untuk
mereformasi kurikulumnya.
131
http:www.uny.ac.idakademiksharefilefiles26042007172801_333pkn.doc.webmaster. 25032010.
132
Menurut Geertz’s, bahwa pesantren Islamic Boarding Schools adalah sebuah institusi yang  dipengaruhi  pengajaran  Hindu  Budha.  Lihat,  Hefner,  Ed.,  Making  Modern  Muslim:  The
Politics  of Islamic Education in Southeast Asia, 129.
133
Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, 15.
Secara politis, nasib madrasah masih terpojok. Seperti laporan penelitian  Ki Supriyoko bahwa pencapaian  rata-rata Nilai Ujian Nasional NUN siswa madrasah
memang  lebih  rendah  dari  pada  nilai  sekolah,  tetapi  terpautnya  relatif  kecil. Sebenarnya hal ini membanggakan bagi madrasah mengingat substansi ilmu umum di
dalam  kurikulum  madrasah  hanya  70.  Apakah  masyarakat  kita  dapat  memahami kebanggaan tersebut, ungkap Supriyoko, jawabannya adalah “Pada umumnya tidak”.
Mereka tahunya pencapaian prestasi akademis siswa madrasah lebih rendah daripada siswa  sekolah.  Bagi  insan  madrasah  hal  ini  terasa  pahit.  Tetapi  kenyataan  yang
demikian  harus  diterima.
134
Hasil  penelitian  Supriyoko  ini  perlu  menjadi  bahan renungan,  bahwa  madrasah  harus  terus  membuktikan  kualitasnya  secara  akademik,
walaupun  image  masyarakat  masih  menganggap  madrasah  kualitasnya
135
di  bawah sekolah.  Tetapi  dengan  terus  meningkatkan  kualitas  madrasah  itu,  suatu  saat
masyarakat akan melihat bukti, bahwa madrasah juga tidak kalah kualitasnya dengan sekolah secara akademik.
Di sisi lain, menanggapi umat Islam Indonesia sebagai wadah dan pelaksana madrasah  perlu  mengetahui  kualitas  umat  Islam  Indonesia,  menurut  Snouck
Hurgronje  dan  pengikut-pengikutnya,  “secara  sosial  politik  masyarakat  Islam Indonesia  sudah  termasuk  minoritas”.
136
Minoritas  maksud  Snouck  adalah  dari  sisi
134
Ki  Supriyoko,  Problema  Besar  Madrasah,  dalam  http:www.republika.co.id,  2008. 07032010.  Lebih  lanjut  Supriyoko  memberikan  solusi  kreatif,  cara    konvensional  adalah
menyampaikan ilmu umum yang porsinya sama dengan yang diberikan di sekolah, kemudian ditambah dengan ilmu agama. Cara ini bagus, tetapi hanya efektif dijalankan oleh madrasah dengan siswa yang
diasramakan alias    dipondokkan.  Madrasah  yang  eksistensinya  di  tengah  pesantren  biasanya  mampu menjalankan  cara  ini  secara  produktif.  Namun,  pada  madrasah  non  pesantren  yang  siswanya  tidak
menginap, cara ini sangat berat untuk dijalankan. Cara modern yang bisa dijalankan adalah membenahi metode pembelajaran learning method, meningkatkan mutu guru teacher quality, atau melengkapi
sarana dan fasilitas belajarnya facility. Ketiga pembenahan ini bisa dilakukan secara sendiri-sendiri. Tetapi,  lebih  produktif  dijalankan  secara  terintegrasi.  Lebih  daripada  itu  bahkan  cara  konvensional
dengan cara modern tersebut pun bisa dipadukan secara produktif.
135
Rendahnya  kualitas  madrasah  ditandai,  pertama,  rendahnya  minat  orang  tua  untuk menyekolahkan  anaknya  ke  madrasah,  kedua,  rendahnya  prosentase  alumni  madrasah  untuk
melanjutkan  pendidikannya  ke  perguruan  tinggi,  lihat,  Afrianto  Daud,  Madrasah  dan  Tantangan Dunia Global, dalam Singgalang, 17 September 2004.
136
Lihat, Verspreide Gescbriften IV2, 351-353.
pengamalan  ajaran  agamanya,  jadi  sedikit  yang  mengamalkan  agamanya  secara benar-benar, mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam dari sisi pengakuannya
saja.  Logikanya  ketika  umat  Islam  Indonesia  mayoritas  dari  sisi  pengamalan  ajaran agamanya,  akan  berpengaruh  cukup  besar  terhadap  kualitas  madrasah.  Jika  benar
demikian,  maka kritik Snouck menjadi introspeksi buat umat Islam Indonesia, tetapi jika tidak, maka kritik Snouck adalah politis.
Tidak  habis-habisnya  kritik  terhadap  madrasah,  selanjutnya  kritik  tentang latar  belakang  sosial  ekonomi  para  siswanya  yang  menjadi  input  madrasah.  Bahwa
para siswa yang masuk madrasah adalah dari golongan sosial ekonomi bawah. Tidak hanya  Indonesia,  yang  para  siswanya    masuk  madrasah  dari  kalangan  ekonomi
bawah,  Pakistan  saja  sebagai  negara  Islam,  mayoritas  yang  masuk  madrasah  adalah dari  kalangan  populasi  penduduk  yang  tidak  mampu  miskin.
137
Ini  membuktikan bahwa  dana  madrasah  untuk  meningkatkan  kualitas  madrasah  masih  sangat  minim,
baik  dari  sisi  kualitas  akademik  kurikulum,  manajemen,  aktifitas    menuju  siswa berprestasi  maupun  sarana  dan  prasarananya.  Madrasah  harus  terus  berbenah  diri
menuju kualitas.
Walaupun  berbagai  kritik,  telah  dilontarkan,  Menurut  Hefner  bahwa tersebarnya
sekolah-sekolah madrasah
untuk kemajuan
pengembangan pembelajaran  modern
138
sejak  abad  18  di  Sumatera  Barat  dan  Patani  sampai  akhir abad 19 melebar ke Sulawesi Selatan dan Kalimantan. Perkembangan ini sangat ironi
karena  dijajah  oleh  kolonialis  Barat, tetapi  memberikan  kemudahan  perjalanan  bagi Timur  Tengah  untuk  menyebarkan  Islam,  walaupun  pada  akhirnya  terjadi  krisis
137
Samina  Ahmed,  Extreme  Madrasahs  Harvard  International  Review  Winter:  Academic
Research Library, 2009,  7.
138
Pengembangan madrasah dan kurikulumnya  ke arah modern adalah sangat dibutuhkan, sebab  Pakistan  –negara  Islam–  sendiri  sebagai  bahan  perbandingan    pernah  di  tekan  oleh  dunia
internasional  untuk  mereformasi  kurikulum  madrasahnya  ke  arah  modern.  Ini  bukti  bahwa memodernisasi  lembaga  pendidikan  termasuk  madrasah  adalah  sangat  perlu.  Lihat,  Samina  Ahmed,
Extreme Madrasahs, 7.
otoritas kekuasaan.
139
Dalam keadaan Indonesia dijajah, madrasah malah justeru eksis dan terus menyebar ke seluruh Indonesia.
Setelah  kebijakan-kebijakan  pemerintah  dan  kritik-kritik  terhadap kurikulum  madrasah  berlalu,  yang  lebih  mengarah  bagaimana  madrasah  dapat
mereformasi  kurikulumnya,  dikarenakan  madrasah  banyak  mengajarkan  ilmu-ilmu agama  kepada  anak  didiknya.  Perkembangan  selanjutnya,  tuntutan  madrasah  untuk
mengajarkan  ilmu-ilmu  umum,  dalam  rangka  mengejar  ketertinggalan  kurikulum madrasah.
3.  Perebutan Otoritas Depag dan Dikbud terhadap Madrasah Masalah  politis  selanjutnya,  ada  semacam  perebutan  otoritas  antara
Depdikbud  dan  Depag.  Seperti  problematika  madrasah,  diantaranya,  perbandingan antara  jumlah  madrasah  swasta  lebih  banyak  daripada  jumlah  madrasah  negeri.
Menurut catatan Husni Rahim  jumlah Madrasah Aliyah Negeri 457 buah, sedangkan Madrasah Aliyah Swasta 2.701 buah,
140
cuma tidak disebutkan data ini diinput tahun berapa. Tetapi dengan melihat data ini perbandingan Madrasah Aliyah swasta dengan
negeri  tidak  seimbang,  hal  ini  akan  menyulitkan  pembinaan  madrasah  dari Departemen
Agama. Padahal
pemerintah lebih
mengutamakan strategi
pengembangan  pada  sekolah-sekolah  negeri,  khususnya  dalam  penyediaan  tenaga guru dan pembagian alokasi dana pembiayaan pendidikan lainnya. Kasus ini berbeda
dengan  sekolah  negeri  yang  di  bawah  otoritas  Depdikbud,  dimana  penegerian madrasah  di  bawah  Depag  berjalan  sangat  lamban.  Kelambanan  ini  disebabkan
karena Departemen Agama dianggap bukan sebagai unit yang memerlukan perhatian dan  prioritas  untuk  memperoleh  dukungan  dana  dan  dukungan  kelembagaan  seperti
Depdikbud.
141
Hal ini diperkuat, bahwa lahirnya UU Sisdiknas No. 2 tahun 1989 dan PP  Nomor  2  tahun  1990,  dimana  madrasah  merupakan  sub  sistem  pendidikan
139
Hefner, Ed., Making Modern Muslim: The Politics  of Islamic Education in Southeast Asia, 129.
140
Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia Jakarta: Logos, 2001, 109.
141
Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, 110.
nasional.  Tetapi  dengan  UU  dan  PP  tersebut,  terjadi  dualisme  kewenangan penyelenggaraan  pendidikan,  yaitu  Departemen  Pendidikan  dan  Kebudayaan  dan
Departemen  Agama.
142
Ini  politis,  dimana  seolah-olah  Departemen  Agama  jangan ngurusi pendidikan,  madrasah serahkan saja kepada Depdikbud, Departemen Agama
cukup  ngurusi,  haji,  wakaf,  nikah,  thalak  dan    rujuk.  Efek  politis  dari  hal  ini, madrasah marjinal, karena kurang terurus dan kurang dana.
Bagaimana dengan nasib madrasah swasta? Eksistensi madrasah selama ini dilihat dari analisis edukatif variabel mutu pendidikan,  bahwa biaya dari pemerintah
bukan satu-satunya faktor penentu untuk memajukan lembaga pendidikan madrasah. Yang  paling  penting  adalah  variabel  Sumber  Daya  Manusia  SDM  dan  dukungan
masyarakat  di  sekitarnya.  Selama  ini  madrasah  bersifat  bottom  up  atau  lahir  dan dikembangkan  oleh  masyarakat  umat  Islam,  sedangkan  sekolah  umum  lebih
bersikap top down atau merupakan program dari pemerintah pusat. Karena madrasah berkembang  dari  bawah,  sehingga  resikonya  madrasah  tidak  mendapat  dukungan
dana  yang  kuat  dari  pemerintah.  Kalaupun  ada  dana,  nilainya  jauh  lebih  kecil  dari sekolah-sekolah umum.
4.  SKB Tiga Menteri: Pro-Kontra Masuknya Pelajaran Umum ke dalam Madrasah Di  muka  telah  dijelaskan,  bahwa  SKB  tiga  menteri  adalah  politis,  karena
porsi  pelajaran  agama  menjadi  berkurang  di  madrasah.  Sebagai  klarifikasi  ulang, dalam  Keputusan  Menteri  Agama  KMA  Republik  Indonesia  Nomor:  17  Tahun
1978  tentang  Susunan  Organisasi  dan  Tata  Kerja  Madrasah  Aliyah  Negeri  MAN, pasal  2 disebutkan,  bahwa Madrasah  Aliyah Negeri  mempunyai tugas dalam  bidang
pendidikan  dan  pengajaran  Agama  Islam  sekurang-kurangnya  30  sebagai  mata pelajaran  dasar,  disamping  pendidikan  dan  pengajaran  umum
143
berarti  70  adalah pelajaran  umum.  Namun  oleh  Menteri  Agama  pada  saat  itu,  Mukti  Ali,  dijelaskan
bahwa  dalam  prakteknya  kedua  mata  pelajaran  tersebut  dapat  saling  mengisi,
142
Akhwan, Pengembangan Madrasah Sebagai Pendidikan untuk Semua, 44.
143
Keputusan  Menteri  Agama  Republik  Indonesia  No.  17  Tahun  1978    tentang  Susunan Organisasi dan Tata Kerja Madrasah Aliyah Negeri MAN, 2.
sehingga  sama-sama  100.  Jika  hal  ini  benar-benar  direalisasikan,  maka  madrasah dapat  menjadi  sekolah  unggul.  Tetapi  pada  kenyataannya  memang  tidak  dapat
direalisasikan apa yang dikatakan Mukti Ali. Dengan demikian sisi politisnya adalah penekanan terhadap kurikulum madrasah dengan mengurangi pelajaran agama.
Jauh  sebelum  SKB  muncul,  sebenarnya  Departemen  Agama  telah melakukan  penataan  madrasah  sebagai  lembaga  pendidikan  formal,  seperti  dalam
Keputusan  Menteri  Agama  KMA  No.  1  tahun  1952,  setelah  munculnya  Undang- Undang  Pendidikan  tahun  1950.  Berdasarkan  KMA  tersebut  pendidikan  madrasah
dilaksanakan  dalam  tiga  tingkat  yaitu,  tingkat  dasar  6  tahun  Madrasah  Ibtidaiyah, tingkat menengah pertama 3 tahun Madrasah Tsanawiyah, tingkat menengah atas 3
tahun  Madrasah  Aliyah.  Dalam  peraturan  itu  disebutkan  bahwa  di  ketiga  tingkat madrasah  ini  minimal  harus  mengajarkan  tiga  mata  pelajaran  akademik  yang
diajarkan  di  sekolah  umum  dan  mengikuti  standar  kurikulum  Departemen  Agama. Tahun 1958 muncul Madrasah Wajib Belajar MWB yang ditempuh selama delapan
tahun.  MWB  memuat  kurikulum  terpadu  antara  aspek  keagamaan,  pengetahuan umum,  dan  ketrampilan.  Walaupun  hasilnya  juga  belum  maksimal.  Munculnya
Undang-Undang  Sistem  Pendidikan  Nasional  No.  2  tahun  1989  tentang  sistem pendidikan  nasional  yang  menyatakan  bahwa  Madrasah  Ibtidaiyah  adalah  Sekolah
Dasar  berciri  khas  Islam,  Madrasah  Tsanawiyah  adalah  SLTP  berciri  khas  Islam, Madrasah Aliyah adalah SMU berciri khas Islam. Bila diamati perjalanan kurikulum
madrasah  sejak  munculnya  undang-undang  pendidikan  pertama  tahun  1950  sampai munculnya  Undang-Undang  Pendidikan  tahun  1989,  bahkan  sampai  munculnya
Undang-Undang  Pendidikan  No.  20  tahun  2003,  telah  mengalami  berkali-kali pergeseran.  Tetapi  pergeseran  tersebut  nampak  jelas  mengarah  bagaimana  sistem
madrasah  dapat  diterima  oleh  sistem  persekolahan  dalam  arti  pendidikan  nasional yang  dalam  hal  ini  di  bawah  otoritas  Departemen  Pendidikan  Nasional.  Walaupun
dengan  mengorbankan  kuantitas  tetapi  kualitas  pendidikan  Agama  Islam  tetap  ada pada  kurikulum  madrasah.  Dan  dengan  demikian  Madrasah  tetap  mempertahankan
ciri  khas  ke-Islamannya.  Setelah  MA  kurikulumnya  sama  dengan  SMA,  insan madrasah  masih  tetap  mempertahankan  suasana  keagamaannya,  walaupun  suasana
keagamaan  ini  berbeda  antara  satu  MA  dengan  MA  lainnya.  Untuk  MA  yang boarding school suasana keagamaan nampak lebih lekat dan nampak, seperti senyum
sapa dan salam yang dilakukan para siswa dan siswi MAN Insan Cendekia. Suasana ini tidak begitu lekat dan nampak pada MAN reguler –tidak boarding school. Tetapi
suasana  keagamaan  yang  lain  masih  kelihatan  seperti  tadarus,  praktek  khitabah dengan  dua  bahasa  Inggris  dan  Arab,  shalat  dluha,  shalat  dhuhur  dan  ‘asar
berjama’ah, dan lain-lain.
144
Secara  politis  terjadinya  pergeseran  kurikulum  madrasah  muncul  hal-hal yang merupakan problem madrasah dintaranya, pertama, dengan inovasi pergeseran
struktur kurikulum yang diajarkan, madrasah seolah telah kehilangan akar sejarahnya, artinya  keberadaan  madrasah  bukan  merupakan kelanjutan dari pesantren,  meskipun
diakui  bahwa pesantren  merupakan  bentuk  lembaga pendidikan  Islam  yang pertama di  Indonesia,  kedua,  terdapat  dualisme  pemaknaan  terhadap  madrasah.  Di  satu  sisi,
madrasah  diidentikan  dengan  sekolah  umum  karena  memiliki  muatan  kurikulum yang  relatif  sama  dengan  sekolah  umum.  Di  sisi  lain,  madrasah  dianggap  pesantren
dengan sistem pendidikan klasikal yang kemudian dikenal dengan Madrasah Diniyah. Ketiga,  muatan  kurikulum  yang  relatif  sama  dengan  muatan  kurikulum  di  sekolah,
menjadikan madrasah kurang memiliki jati diri sebagai lembaga yang mencetak ahli- ahli  agama.  Keempat,  dengan  penegerian  beberapa  madrasah  yang  ada,
mengakibatkan  berkurangnya  peran  serta  masyarakat terhadap  madrasah.  Ada  suatu anggapan bahwa setelah dinegerikan,  maka semua tanggung  jawab  berada di tangan
pemerintah,  sehingga  masyarakat  lepas  sama  sekali.  Kelima,  kendatipun  status madrasah  sama  dengan  sekolah  umum,  namun  dalam  realitasnya  keberadaan
madrasah  tetap  dianggap  pendidikan  kelas  dua,  baik  dari  segi  kualitas  akademik,
144
Observasi  di  MAN  Insan  Cendekia,  20  Pebruari  2010,  sebagai  bahan  perbandingan penulis juga mengadakan observasi di MAN 1 dan 2 Serang, 25 November 2010.
maupun  sarana  dan  prasarana.
145
Di  sini  menjadi  sebuah  keprihatinan,  bagaimana madrasah  dapat  bangkit  dan  diakui  kualitasnya  oleh  masyarakat  sebagai  lembaga
pendidikan  Islam  yang  unggul  juga  dalam  mata  pelajaran  umum  sehingga  minimal
pengakuan masyarakat sejajar dengan sekolah.
Pada  mulanya  banyak  masyarakat  yang  tidak  setuju,  masuknya  pelajaran umum ke madrasah. Menurut analisa Steenbrink, penolakan mereka
146
dalam rangka mempertahankan  sifat  tradisional  agama  di  bidang  pendidikan.  Pada  masyarakat
pedesaan  yang  terisolir,  rencana  pendidikan  dari  Departemen  Agama  merupakan suatu  bentuk  peralihan  dari  pendidikan  agama  tradisional  kepada  bentuk  madrasah
dengan  cap  agama  yang  masih  kuat,  lebih  mudah  diterima  daripada  sekolah  umum yang  kurang  bersifat  agama.
147
Menurut  Husni  Rahim,  hal  demikian  terjadi  karena merupakan  warisan  sejarah  Islam  di  Indonesia,  bahwa  Islam  yang  masuk  dan
berkembang di Indonesia  adalah  Islam  yang  bercorak mistik dan  sufistik  yang  lebih mementingkan  agama  dari  pada  dunia.
148
Madrasah  yang  merupakan  kepanjangan tangan dari pesantren, dimana pengaruh mistik dan sufistik  cukup besar di pesantren
145
Fatah  Syukur,  “Madrasah  dan  Pemberdayaan”,  dalam  Citra  Edukasi  Blog  spot.com, 2008. 08032010.
146
Penolakan mereka tidak hanya dalam mata pelajaran umum, tetapi juga karena sekolah Gubernemen  memakai  meja,  kursi,  papan  tulis,  penghapus  dan  lain-lain,  ini  semua  juga  ditolak,  hal
yang sama berlaku di bidang pakaian: celana, sepatu, dasi dianggap sebagai simbol dunia modern dan profan.  Di  pesantren  Mustafawiyah,  Purba  Baru,  Tapanuli Selatan  para  santri harus  memakai  sepatu
dan  celana  untuk  masuk  pelajaran  madrasah,  yang  dididik  dalam  pelajaran  pesantren.  Tetapi  untuk shalat dan untuk pelajaran tambahan dari kitab kuning yang diberikan dalam masjid, wajib dipakai
sarung dan sepatu harus dilepas, --hal yang sama terjadi dengan bahasa daerah dan bahasa Indonesia, dalam madrasah dipakai bahasa Indonesia, tetapi dalam masjid dan pengajian tambahan di dalamnya
selalu  dipakai  bahasa  daerah.  Lihat,  Steenbrink,  Pesantren  Madrasah  Sekolah:  Pendidikan  Islam dalam Kurun Modern, 233.
147
Lihat  Boland,  The  Struggle, 123,  dimana  seorang responden mengatakan:  “Orang  desa masih  kirim  anaknya  ke  pesantren.  Pimpinan  pesantren  mengirim  anaknya  ke  madrasah.  Para  guru
madrasah  kirim  anak-anak  mereka  ke  SMP  dan  SMA,  supaya  mereka  nanti  bisa  belajar  ke  IAIN. Tetapi  para  dosen  IAIN  mencari  kemungkinan  untuk  mengirim  anak-anak  mereka  ke  universitas
negeri untuk belajar di sana. Memang gambaran ini berlebih-lebihan tetapi ada unsur benarnya juga di dalamnya.
148
Husni  Rahim,  “Visi  Madrasah”,  http:www.blogger.comfeeds35417963postsdefaul, 2008. 27022010.
khususnya  pesantren  tradisional  salafiyah.  Mempengaruhi  pula  budaya  dan  tradisi serta pola pikir masyarakat Islam.
Dengan  demikian  di  Madrasah  Aliyah,  lanjut  Husni,  diadakan  program Mafikibb  Matematika,  Fisika,  Kimia,  Biologi  dan  Bahasa  Inggris  dengan  nuansa
Islam  dimaksudkan  menjembatani  kekurang  akraban  dan  kekurang  tertarikan madrasah di Indonesia dengan  bidang studi  Matematika,  Fisika,  Kimia,  Biologi  dan
Bahasa  Inggris.  Padahal  di  masa  kejayaan  Islam  ilmu  tersebut  diperkenalkan  dan dikembangkan  oleh  ilmuwan  Islam,  seperti    Jabir  ibn  Hayyan,  oleh  orang  Barat
dikenal  dengan  geber  adalah  ahli  kimia  yang  diakui  dunia  Barat.  Demikian  pula Musa al-Khawarizmi seorang ahli  matematika yang memperkenalkan al-gebra atau
al-jabar  dan  memperkenalkan  angka  Arab;  Ibn  Sina  seorang  ahli  ket}abiban kedokteran  yang  banyak  menulis  buku  kedokteran,  dan  masih  banyak  lagi  tokoh
ilmuwan  Islam  yang  muncul  di  masa  kejayaan  Islam.  Bidang  studi  Mafikibb berdasarkan  kurikulum  1994  dirasakan  sukar  bagi  kebanyakan  guru  madrasah  dan
pondok  pesantren  untuk  mengajarkannya  dan  juga  dirasakan  sulit  oleh  para  siswa. Padahal  bidang  studi  Mafikibb  merupakan  aspek  pendidikan  yang  sangat  dominan
dalam  meningkatkan  kemampuan  nalar  dan  analisis  siswa  dalam  mempelajari  dan mengembangkan  iptek.
149
Melihat  realitas  yang  demikian  rupanya  kejayaan  Islam sangat pelan bangkitnya kembali.
Salah  satu  sebab  lagi,  mengapa  sejumlah  pesantren  dan  madrasah  tidak dapat mengembangkan pendidikan umum adalah karena kenyataan bahwa pendidikan
umum  jauh  lebih  mahal  daripada  pendidikan  agama.  Para  guru  pendidikan  umum kebanyakan minta gaji yang  lebih tinggi dan mereka juga segan datang ke pesantren
yang  terletak  di  pelosok.  Hal  ini  terutama  berlaku  bagi  guru  di  tingkat  sekolah menengah.
150
Para  guru  yang  demikian,  sebenarnya  karena  mentalitas  keagamaan
149
Husni Rahim, “Visi Madrasah”,  http:www.blogger.comfeeds35417963postsdefaul, 2008. 2702 2010.
150
Steenbrink,  Pesantren  Madrasah  Sekolah:  Pendidikan  Islam  dalam  Kurun  Modern, hlm. 234.
mereka  rendah,  dikarenakan  terjadinya  dikotomi  ilmu.  Para  intelektual  Muslim, seperti  Ibnu  Sina,  al-Khwarizmi,  al-Biruni  dan  lain-lain,  mereka  ahli  dalam
pengetahuan  umum,  karena  dasar  agamanya  kuat  maka  mentalitas  untuk pengabdiannya juga besar.
Dengan  masuknya  Mafikibb  ke  dalam  kurikulum  madrasah,  dan  madrasah dapat  mengintegrasikan  kurikulumnya  –ilmu  umum  dan  agama–  pertumbuhan  dan
perkembangan  madrasah  di  Indonesia  akan  dapat  diperhitungkan.  Tetapi  dengan catatan,  bahwa  integrasi  tersebut,  jangan  hanya  menjumlahkan  mata  pelajaran  --
agama  dan  umum–  seperti  kurikulum  madrasah  tahun  1994.
151
Integrasi  yang dimaksud adalah integrasi secara sistem dan metode, bukan hanya content.
Setelah    permasalahan  madrasah  sebagai  sekolah  umum  yang  berciri  khas Islam  selesai  secara  sistem,  masih  ada  persoalan  dengan  madrasah  sebagai  sekolah
agama yang memberikan porsi utama pengajaran agama ditambah pengajaran umum sebagai  ciri  ke-Indonesiaan  dan  ke-modernan  belum  mendapat  tempat  dalam  sistem
pendidikan  nasional  versi  UU  No. 2  Tahun  1989.    Hal  ini  tampak  dari  data  siswa yang  ikut  ebtan  19941995  ternyata  murid  terbanyak  berada  di  jurusan  umum  –
52,11--  yang  mencakup  IPS,  IPA,  dan  Budaya.  Sedangkan  jurusan  Ilmu  Agama hanya 47,89.
Hal ini masih mengundang perasaan yang ”kurang puas” di kalangan umat, karena  masih  ada  perasaan  pemerintah  memojokkan  madrasah  yang  mengfokuskan
pada pengajaran agama dan dengan tambahan pelajaran umum. Juga masih terdengar pendapat yang menyatakan bahwa madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas
Islam  itu  sebagai  upaya  ”mendangkalkan  agama”  bagi  umat  Islam  Indonesia.  Tentu prasangka  ini  tidak  beralasan,  karena  memang  peminat  untuk  memasukkan  anak  ke
madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam jauh lebih besar dibanding dengan  yang  ingin  memasukkan  anaknya  ke  sekolah  agama  yang  pengetahuan
151
Menurut  Mastuhu,  dengan    kurikulum  madrasah  tahun  1994,  masih  terasa  sekali dikotomi  ilmu  –agama  dan  umum–  lihat    Mastuhu,    Memberdayakan  Sistem  Pendidikan  Islam,
Jakarta: Logos, 1999, 58.
agamanya  lebih  besar  dari  pengetahuan  umum  seperti  ditunjukkan  oleh  data  bahwa anak-anak  yang  memilih  program  pilihan  agama  jauh  lebih  kecil  48  dari  yang
memilih  pilihan  IPS  atau  matematika  52  .  yang  telah  disahkan  Presiden  pada tanggal  8  Juli  2003  setelah  melalui  perdebatan  panjang  di  masyarakat  dan  Dewan
Perwakilan Rakyat.
152
Melalui  Undang-Undang  Sistem  Pendidikan  Nasional  No.  2  tahun  1989, yaitu  diakuinya  madrasah  sebagai  suatu  Sistem  Pendidikan  Nasional,  sehingga
terbuka  juga peluang  lulusan  madrasah dapat  melanjutkan  studi ke perguruan tinggi umum.  Menurut Danim,  terbukanya peluang untuk  melanjutkan ke perguruan tinggi
umum  harus  dimanfaatkan  oleh  madrasah  sebaik  mungkin  dan  harus  meningkatkan kualitas
153
pelajaran  umum  eksakta  seperti  Matematika,  Fisika  dan  Biologi. Pernyataan Danim, dipertegas Akhwan, madrasah harus mendorong peserta didiknya
untuk  mau  bekerja  di  bidang  ekonomi,  teknik,  dan  ilmu  eksakta  murni  agar  bidang tersebut tidak hanya dikuasai oleh lulusan non madrasah yang belum tentu memiliki
mental keagamaan yang kuat.
154
Pernyataan Akhwan ini memperkuat temuan  bahwa walaupun  kurikulum  MA  telah  sama  dengan  SMA,  namun  MA  tetap
mempertahankan ciri khas ke-Islamanya. Masuknya  pelajaran  umum  ke  dalam  kurikulum  madrasah  ternyata
ditanggapi beragam oleh para tokoh Muslim dan lembaga pendidikan Islam. Di awal-
152
Husni  Rahim,  “Pengakuan  Kembali  Madrasah  sebagai  Sekolah  Agama  Berwawasan Umum”, dalam http:www.blogger.comfeeds35417963postsdefaul, 2008. 27022010.
153
Kualitas  pendidikan  menurut  Danim,  tidak  semata-mata  diukur  dari  mutu  keluaran pendidikan  secara  utuh  education  outcomes  akan  tetapi  dikaitkan  dengan  konteks  dimana mutu  itu
ditempelkan  dan  berapa  besar  persyaratan  tambahan  yang  diperlukan  untuk  itu.  Misalnya,  seorang lulusan  Madrasah  Aliyah  untuk  menduduki dunia  kerja tidak  perlu mendapatkan  pelatihan tambahan
sebelum  memberikan  layanan  di  tempat  kerjanya,  berarti  ia  adalah  lulusan  yang  lebih  bermutu daripada  yang  masih  harus  menempuh  pelatihan  pra  penempatan  dengan  spesifikasi  yang  sama
Kualitas  pendidikan  juga  bisa  diukur  dari  besarnya  kapasitas  layanan  pendidikan  dalam  memenuhi customers needs dikaitkan dengan besarnya pengorbanan yang diperlukan untuk itu, seperti biaya yang
dikeluarkan  oleh  masyarakat  atau  pemerintah,  lama  belajar,  dan  biaya-biaya  tidak  langsung.  Lihat, Sudarwan Danim,   Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, 80.
154
Akhwan,  “Pengembangan  Madrasah  sebagai  Pendidikan  untuk  Semua”,  dalam  El- Tarbawi Jurnal Pendidikan, No. 1 Vol. 1 2008, 45.
awal  masuknya  pelajaran  umum  ke  dalam  kurikulum  madrasah,  banyak  tokoh Muslim  yang  tidak  setuju,  karena  lulusan  madrasah  akan  mandul.  Dari  sisi  ilmu
agama mereka tidak matang, dan ilmu umumnya pun masih kalah sama lulusan SMA. Sehingga  ada  madrasah  yang  tetap  mempertahankan  100  pelajaran  agama,  seperti
KMI  Kulliyatul  Mu‘allimi n  al-Isla
miyah  Pondok  Pesantren  Modern  Gontor.  Ada juga  yang  mengikuti  kebijakan  pemerintah,  dengan  memasukan  pelajaran  umum
secara  dominan.  Yang  jelas  ketika,  hal  ini  ditanggapi  secara  sinis,  adalah  politis, tetapi  jika  ditanggapi  secara  lapang  dada  ini  adalah  peluang  bagi  madrasah  untuk
bangkit. 5.  Madrasah Masuk  Sistem Pendidikan Nasional: Leburnya Sistem Ganda
Munculnya  Undang-Undang  Pendidikan  No. 2  Tahun  1989 tentang  Sistem Pendidikan Nasional,  madrasah  harus berbenah diri,  karena dalam pasal  11 ayat  6:
”Pendidikan  keagamaan  merupakan  pendidikan  yang  mempersiapkan  peserta  didik untuk  dapat  menjalankan  peranan  yang  menuntut  penguasaan  pengetahuan  khusus
tentang ajaran agama yang bersangkutan”. Pendidikan keagamaan yang dimaksud di sini  tentunya  madrasah.  Secara  spesifik  dijelaskan  dalam  Peraturan  Pemerintah  No.
29  tahun  1990,  pasal  3  ayat  3:  “Pendidikan  menengah  keagamaan  mengutamakan penyiapan  siswa  dalam  penguasaan  pengetahuan  tentang  ajaran  agama  yang
bersangkutan”.  Pendidikan  menengah  keagamaan  yang  dimaksud  di  sini  tentunya Madrasah  Aliyah.  Cuma  yang  dimaksud  Madrasah  Aliyah  di  sini,  Madrasah  Aliyah
umum  atau  Madrasah  Aliyah  Keagamaan  MAK,  karena  dalam  Peraturan Pemerintah  No.  29  Tahun  1990,  pasal  4  ayat  1  disebutkan:  “Bentuk  satuan
pendidikan  menengah  terdiri  atas,  Sekolah  Menengah  Umum  SMU,  Sekolah Menengah  Kejuruan  SMK,  Sekolah  Menengah  Keagamaan,
155
--dimungkinkan
155
Dalam  PP  No.  29  Tahun  1990  disebutkan  bahwa  penamaan    masing-masing  bentuk sekolah  menengah  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  1  angka  3  ditetapkan  oleh  Menteri  Agama
setelah mendengar pertimbangan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
MA–  Sekolah  Menengah  Kedinasan  dan  Sekolah  Menengah  Luar  Biasa”.
156
Jika Madrasah  Aliyah  termasuk  sekolah  keagamaan,  maka  menurut  penulis  yang  tepat
adalah  Madrasah  Aliyah  Keagamaan,  bukan  Madrasah  Aliyah  umum  yang mempunyai  jurusan  ilmu-ilmu  Fisika,  ilmu  Biologi,  ilmu-ilmu  Sosial  dan
Pengetahuan  Budaya.  Sebenarnya  dilihat  dari  kebijakan-kebijakan  tersebut  di  atas jelas  bahwa  ruang  lingkup  pembelajaran  yang  ada  di  madrasah  dibatasi  pada
pengetahuan  agama  saja.  Hal  ini  sangat  politis,  seolah-olah  madrasah  yang  dalam bahasa  Indonesianya  sekolah  tidak  boleh  berkembang  layaknya  sekolah-sekolah
umum yang lain. Kemudian Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun  1990,  pasal 11 ayat  1 dan
2  menyebutkan:  “Pengelolaan  pendidikan  menengah  sebagai  bagian  dari  sistem pendidikan  adalah  tanggung  jawab  menteri”.
157
Menteri  yang  mempunyai kewenangan  dalam  bidang  pendidikan  tentunya  Mendikbud.  Dengan  demikian
Keputusan  Menteri  Agama  KMA,  pada  dasarnya  menjabarkan  keputusan Mendikbud. Di sini sebenarnya kelihatan unsur politisnya, nampaknya Menag  hanya
merujuk  kepada  Mendikbud,  ketika  ada  Peraturan  Pemerintah  yang  terkait  dengan pendidikan,  seperti  sekolah  kedinasan  yang  lain.  Melihat  hal  ini  sebenarnya  posisi
madrasah  tidak  mungkin  sekuat  sekolah,  karena  eksistensi  madrasah  layaknya sekolah kedinasan yang lain. Posisi politis yang demikian akan berimplikasi di segala
hal  terkait  dengan  perkembangan  madrasah.
158
Padahal  jika  melihat  Peraturan Pemerintah  Republik  Indonesia  Nomor  55  Tahun  2007  tentang  pendidikan  Agama
dan pendidikan Keagamaan Bab I pasal 11 disebutkan,  “Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan  urusan  pemerintahan  di  bidang  pendidikan”.  Berarti  otoritas
pendidikannya  sebenarnya  penuh,  tetapi  realitasnya  tidak,  karena  dari  sisi  anggaran
156
Husni,  Arah  Baru  Pendidikan  Islam  di  Indonesia,  hlm.  114.  Lihat  juga,  Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah, Bab 1 Pasal 1,
1.
157
Husni,  Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, 114.
158
PP  No.  29  Tahun  1990,  masih  dalam  suasana  Orde  Baru,  PP  ini  di  tandatangani  oleh Presiden Soeharto.
pendidikan, kucuran dana di madrasah adalah nomor dua setelah sekolah baik secara urutan maupun secara kuantitas. Dalam pasal  12 PP yang sama disebutkan, “Menteri
Agama  adalah  menteri  yang  menyelenggarakan  urusan  pemerintahan  di  bidang agama”. Dengan demikian Menteri Agama sebenarnya punya otoritas pendidikan dan
agama,  seperti  ketika  Departemen  Pendidikan  dan  Kebudayaan  masih  menjadi  satu. Tetapi  realitasnya  madrasah  di  bawah  Departemen  Agama  marjinal  dengan  suatu
alasan dana yang tidak sama dengan sekolah, hal ini juga politis. Argumen  ini  diperkuat  bunyi  ayat  2  PP  yang  sama:  “Tanggung  jawab
sekolah  menengah  keagamaan  dilimpahkan  oleh  Menteri  kepada  Menteri  Agama”. Bunyi  ayat  2  ini  bila  disandingkan  dengan  Keputusan  Menteri  Pendidikan  dan
Kebudayaan No. 0489U1992 pasal  1 butir  6:  “Madrasah  Aliyah adalah SMU  yang berciri  khas  agama  Islam  yang  diselenggarakan  oleh  Departemen  Agama”.  Ini  jelas
bahwa  secara  hirarkis,  nampaknya  interpretasi  kebijakan  pendidikan  sampai  tahap realisasi  adalah  sebagai  berikut:  Undang-Undang,  Peraturan  Pemerintah,  Keputusan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan baru Keputusan Menteri Agama sebagai tindak lanjut  dari  Keputusan  Mendikbud.  Dalam  bahasa  politis  kebijakan  Menteri  Agama
tentang madrasah tetap menduduki posisi nomor dua setelah sekolah. Merujuk  Peraturan  Pemerintah  No.  29  Tahun  1990,  pasal  4  ayat  1,  pasal
11  ayat  1  dan  2  dan  Keputusan  Menteri  Pendidikan  dan  Kebudayaan  No. 0489U1992  pasal  1  butir  6,  secara  politis  membingungkan  Madrasah  Aliyah  dan
nasib  yang  kurang  baik  bagi  MAK.  Maksudnya  kesulitan  dalam  menata.  Husni Rahim  memberikan  beberapa  alternatif,  pertama,  Madrasah  Aliyah  dijadikan  dua
satuan  pendidikan,  1  Satuan  pendidikan  menengah  umum  yang  berciri  khas  agama Islam yang legalitasnya didasarkan pada pelimpahan wewenang dan tanggung jawab
penyelenggaraan  dari  Menteri  Pendidikan  dan  Kebudayaan  SK  Mendikbud  No. 0489U1992  pasal  1  butir  6,  2  Satuan  Pendidikan  Menengah  Keagamaan  yang
legalitasnya didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 29 tahun  1990 pasal  11 ayat 2. Alternatif ini didasarkan  pada Keputusan-keputusan Menteri Agama, Nomor 370
Tahun  1993  tentang  Madrasah  Aliyah,  Nomor  371  Tahun  1993  tentang  Madrasah Aliyah Keagamaan, Nomor 373 tahun 1993 tentang kurikulum Madrasah Aliyah, dan
Nomor 374 Tahun 374 tentang Kurikulum Madrasah Aliyah Keagamaan.
159
Logikanya,  dengan  ditetapkannya  Madrasah  Aliyah  menjadi  2  satuan pendidikan, pada Madrasah Aliyah Negeri terdapat dua jenis lembaga yaitu Madrasah
Aliyah Negeri MAN Umum dan Madrasah Aliyah Keagamaan Negeri MAKN. Keberadaan  MAN  Umum  tidak  menjadi  persoalan,  karena  dasarnya  sudah
ada,  yaitu  keputusan-keputusan  Menteri  Agama  yang  berisi  penetapan  keberadaan Madrasah Aliyah Negeri.
160
Tetapi secara yuridis masalah bagi MAKN, karena dalam prakteknya,  menurut  laporan  Husni  Rahim,  16  MAN  yang  sebelumnya
menyelenggarakan  MAPK,  mulai  tahun  pelajaran  19941995  telah  melaksanakan kurikulum  MAK.
161
Menurut  penulis,  walaupun  Madrasah  Aliyah  Negeri  MAN Umum  dijadikan  menjadi  dua  satuan  pendidikan,  MAN  Umum  dan  MAK,  kalau
anggaran  dana  dari  pemerintah  juga  kecil  dan  tidak  mencukupi,  maka  nasib peningkatan kualitas output MAN Umum dan MAK juga tidak jauh berbeda dengan
sebelumnya. Dalam rangka peningkatan mutu MAN Umum dan MAK, lebih baiknya dijadikan  dua  satuan  pendidikan,  tetapi  dana  MAN  Umum  ditingkatkan  dan  dana
MAK seperti pada masa MAPK. Kedua, alternatif kedua, seperti alternatif pertama, tetapi Madrasah  Aliyah,
disamping  dibuka  program-program  seperti  SMU,  juga  dibuka  program  Ilmu-ilmu Agama,  yang  dilaksanakan  di  kelas  III,  dengan  demikian  programnya  menjadi
159
Husni,  Arah  Baru  Pendidikan  Islam  di  Indonesia,  115.  Kurikulum  Madrasah  Aliyah Keagamaan MAK, diberlakukan mulai tahun Pelajaran 19941995, lihat, Keputusan Menteri Agama
KMA  No.  374  Tahun  1993,  2.  Yang  menandatangani    Keputusan  Menteri  Agama  KMA,  adalah Menteri  Agama,  ketika  KMA  ini  ditandatangani,  Menteri  Agamanya  adalah  Tarmizi  Taher,  apabila
diamati, situasi politiknya adalah masih dibawah otoritas rezim orde Baru.
160
KMA  Nomor  17  Tahun  1987  tentang  Susunan  Organisasi  dan  Tata  Kerja  Madrasah Aliyah  Negeri;  KMA  Nomor  137  tahun  1991  tentang  Pembukaan  dan  Penegerian  Madrasah;  KMA
Nomor 42 tahun 1992 tentang pengalihan Pendidikan Guru Agama Negeri PGAN menjadi Madrasah Aliyah Negeri MAN; KMA Nomor 244 Tahun 1993 tentang Pembukaan dan Penegerian Madrasah.
Lihat, Husni, Arah Baru Pendidikan  Islam di Indonesia, 115.
161
Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, 115.
Bahasa,  IPA,  IPS  dan  Ilmu-ilmu  Agama.  Menurut  Husni  Rahim  jika  alternatif  ini dipilih, selain penetapan kelembagaan MAKN,  juga perlu dilakukan penyempurnaan
SK Menteri Agama Nomor 373, tahun  1993 tentang kurikulum  Madrasah  Aliyah.
162
Menurut  penulis,  supaya  lulusan  Madrasah  Aliyah  umum  berkualitas  tetap  saja membuka  jurusan-jurusan  umum  tidak  perlu  membuka  jurusan  ilmu-ilmu  agama,
karena  ketika  dibuka  jurusan  ini  dan  dimulai  kelas  tiga,  secara  kualitas  hasilnya  di bawah  lulusan  MAKN,  toh  ciri  khas  keagamaannya  sudah  include  dalam  mata
pelajaran  PAI.  Dengan  catatan  PAI  di  Madrasah  Aliyah  umum  alokasi  waktunya  di tambah dalam rangka memenuhi target ciri khas ke-Islaman, dan alokasi waktu untuk
pelajaran  umum  tetap  sama  dengan  SMU.  Sehingga  ketika  kualitasnya  sama-sama baik  antara  Madrasah  Aliyah  Umum  dan  MAKN,  maka  secara  market,  juga  dapat
bersaing. Ketiga,  Madrasah  Aliyah  menjadi  satuan  pendidikan  sekolah  menengah
umum  berciri  khas  agama  Islam,  seperti  dimaksud  dalam  SK  Mendikbud  Nomor 0489U1992, tetapi disamping  menyelenggarakan program-program seperti di SMU
di  lingkungan  Depdikbud  pada  Madrasah  Aliyah  dilaksanakan  Madrasa  Aliyah dibuka  program  Madrasah  Aliyah  Keagamaan  yang  dimulai  kelas  satu,  sebagai
bagian  ciri  khas  agama  Islam.  Menurut  Husni  Rahim,  jika  alternatif  ini  dipilih langkah  yang  harus  segera  diambil  adalah  penyempurnaan  keputusan-keputusan
Menteri Agama Nomor 370, 371, 373 dan 374 tahun 1993 untuk disesuaikan dengan alternatif tersebut.
163
Secara kelembagaan cukup simpel dan lebih efesien, hanya saja ketika MAKN jadi istilah tersendiri, maka MAKN manajemennya numpang di MAN
Umum.  Kalau  demikian  realitasnya,  maka  lulusan  MAKN  juga  tidak  berkualitas,
162
Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, 116.
163
Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, 116.
akibatnya  MAKN  semakin  tidak  diminati  masyarakat,  lama  kelamaan  bisa  gulung tikar. Dengan demikian keberadaan MAKN
164
secara politis jadi sangat dilematis. Nampak  jelas,  bahwa  jalan  pikiran  pemerintah,  akan  menjadikan  sistem
ganda,  yang  secara  historis  merupakan  tuntutan  tokoh  nasionalis  sekuler  dan  tokoh nasionalis  Muslim,  akan  dijadikan  satu  sistem  yaitu  Sistem  Pendidikan  Nasional
SPN. Sehingga, digunakan berbagai cara, bagaimana kurikulum madrasah sekaligus legalitas  madrasah  disamakan  kedudukannya  dengan  sistem  persekolahan.  Secara
politis  insan  madrasah dirugikan,  tetapi  jika disadari  juga  mendapat keuntungan dan peluang  yang  cukup  besar  bagi  lulusan  madrasah.  Tinggal  bagaimana,  insan
madrasah dapat tetap mempertahankan  ciri  khas  ke-Islamannya,  karena hal  ini  yang membedakan secara substansial antara sistem madrasah dengan sistem persekolahan.
6.  Madrasah adalah Sekolah Umum Berciri Khas Islam: Sebuah Realitas Yang Harus Diterima
Lahirnya  PP Nomor 29 Tahun  1990 tentang pendidikan  menengah  menjadi dasar bahwa Madrasah Aliyah adalah SMUsekolah umum berciri khas Islam. Dalam
PP Nomor 29 tersebut ditegaskan bahwa pada jenjang pendidikan menengah, terdapat bentuk-bentuk  satuan  pendidikan,  yaitu  sekolah  keagamaan,  sekolah  menengah
kedinasan dan sekolah menengah luar biasa.
165
Sekolah menengah keagamaan di sini berarti Madrasah Aliyah.
Berdasarkan  Surat  Keputusan  Menteri  Pendidikan  dan  Kebudayaan  Nomor 0489U1992  Tahun  1992  tentang  sekolah  menengah  umum,  ditetapkan  bahwa
Madrasah  Aliyah  adalah  Sekolah  Umum  yang  berciri  khas  agama  Islam  yang diselenggarakan  oleh  Departemen  Agama.  Dalam  SK  Mendikbud  tersebut  juga
164
Padahal dalam Keputusan Menteri Agama KMA, dalam Bab 1 Ketentuan Umum, pasal 2  disebutkan,  “Sekolah  Menengah  Keagamaan  adalah  bentuk  satuan  pendidikan  yang
menyelenggarakan  pendidikan  pada  jenjang  pendidikan  menengah  yang  mengutamakan  penyiapan siswa dalam  penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama”. Kemudian dalam Bab 2, pasal 1,
“Menyiapkan  siswa  dalam  penguasaan  pengetahuan  khusus  tentang  ajaran  agama  Islam”.  Lihat, Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia KMA No. 371 Tahun 1993 Tentang Madrasah Aliyah
Keagamaan, 2.
165
Husni, Arah Baru Pendidikan  Islam di Indonesia, 106.
ditegaskan  bahwa  Madrasah  Aliyah  wajib  memberikan  bahan  kajian  sekurang- kurangnya  sama  dengan  Sekolah  Menengah  Umum  SMU.  Dalam  mata  pelajaran
umum,  tetapi  dalam  mata  pelajaran  agama,  madrasah  tetap  mendapat  porsi  lebih. Husni  Rahim  melaporkan,  jika  di  SMU,  alokasi  waktu  pelajaran  agama  perminggu
hanya  2  jam,  tetapi  pada  Madrasah  Aliyah,  9  jam  pelajaran
166
--kurikulum  1994–. Dalam  kurikulum  2004  dan  2006,  alokasi  waktu  mata  pelajaran  agama  pada
Madrasah  Aliyah program  studi Ilmu  Alam, Ilmu Sosial,  dan Bahasa
167
sama persis dengan SMU.
Secara  umum,  diakuinya  madrasah  sebagai  bagian  dari  sistem  pendidikan nasional,  tersurat  dalam  Undang-Undang  No.  2  tahun  1989  tentang  Sistem
Pendidikan  Nasional,  UU  ini  mengakui  madrasah  sebagai  bagian  dari  sistem pendidikan  nasional.  Juga  berdasarkan  PP.  No.  28  dan  29  tahun  1989  ditetapkan,
bahwa madrasah adalah sekolah umum yang berciri khas Islam. Kurikulum madrasah adalah sama dengan kurikulum sekolah, plus ciri khasnya.
168
Menurut Husni Rahim, bahwa  dalam  memberikan  ciri  khas  Islam  pada  madrasah,  perlu  dilakukan  upaya
memberikan  “nuansa  Islam”  pada  bidang  studi  umum  Mafikibb,
169
Matematika, Fisika,  Kimia,  Biologi  dan  Bahasa  Inggris.  Dengan  kata  lain  mata  pelajaran  PAI
berintegrasi dengan mata-mata pelajaran Mafikibb.
166
Jumlah  yang  demikian  itu,  masih  dirasakan  “kurang”  sehingga  masih  ada  suara, kurikulum  1994  sebagai  kurikulum  yang  “mendangkalkan agama”.  Pertanyaan  sekarang,  apakah  ciri
khas agama pada madrasah hanya menjadi tanggungjawab guru bidang studi agama, sehingga bila jam belajar  bidang  studi  agama  berkurang  berarti  terjadi  pendangkalan  agama?  Ciri  khas  Islam  pada
madrasah  menjadi  tanggung  jawab  semua  orang  yang  berkait  dengan  madrasah.  Mulai  dari  kepala madrasah  pimpinan,  guru  baik  bidang  studi  agama  maupun  bidang  studi  umum,  tenaga
kependidikan  lainnya,  BP3  dan  para  murid  sendiri.  Lihat,  Husni  Rahim,  Madrasah  dalam  Politik Pendidikan  di  Indonesia    Jakarta:  Logos,  2005,  47.  Bandingkan  dengan  hasil  observasi  penulis
terhadap MAN Insan Cendekia, tanggal 20 Pebruari 2010, observasi MAN 1 dan 2 Serang, tanggal 25 November 2010.
167
E.  Mulyasa, Kurikulum  Berbasis  Kompetensi, Konsep, Karakteristik,  dan  Implementasi Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003, 81-85.
168
Husni, Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia, 46.
169
Mafikibb,  adalah  Matematika,  Fisika,  kimia,  Biologi,  dan  Bahasa  Inggris,  merupakan aspek  pendidikan  yang  sangat  dominan  dalam  meningkatkan  kemampuan  nalar  dan  analisa  siswa.
Lihat, Husni, Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia, 47.
Dalam  rangka  menindak  lanjuti  Keputusan  Mendikbud  di  atas,  telah dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Agama KMA nomor 370 tahun 1993 tentang
Madrasah Aliyah. Selain
MA sebagai
SMU berciri
khas Agama
Islam yang
penyelenggaraannya  didasarkan  pada  SK  Mendikbud  Nomor  0489U1992, Departemen  Agama  juga  berkewajiban  menyelenggarakan  sekolah  menengah
keagamaan berdasarkan PP nomor 29 tahun 1990 pasal 11 ayat 2 yang menegaskan, “tanggung  jawab  pengelolaan  sekolah  menengah  keagamaan  dilimpahkan  oleh
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kepada Menteri Agama”. Sekolah keagamaan ini,  berdasarkan  Keputusan  Menteri  Agama  Nomor  371  tahun  1993,  dinamakan
Madrasah Aliyah Keagamaan MAK.
170
Intinya,  walaupun  kurikulum  madrasah  sudah  didominasi  oleh  mata pelajaran  umum  secara  kuantitas,  tetapi  PAI,  harus  tetap  menjadi  ruh  dalam  mata-
mata  pelajaran  umum  tersebut.  Kemudian  madrasah  jangan  hanya  sebagai  tempat menggali  ilmu  saja,  tetapi  juga  sebagai  tempat  mengamalkan  ilmu.  Hal  ini  menjadi
tanggungjawab seluruh personil madrasah, dari Kepala Madrasah sampai Office Boy OB.
Penguatan  pengakuan  eksistensi  madrasah  dalam  sistem  pendidikan nasional  UU  No.  20  tahun  2003,  hendaknya  menjadikan  kesempatan  emas  bagi
insan  madrasah  untuk  meningkatkan  kualitas  madrasah
171
dari  semua  aspek, utamanya  adalah  aspek  kurikulum.  Karena  sentral  utamanya,  politisasi  sistem
persekolahan terhadap madrasah adalah kurikulumnya. Dalam trend sekarang, alumni madrasah tidak hanya terampil berdo’a, tetapi
mereka  sudah  visioner,  sehingga  membentuk alumni  yang  berwawasan  luas.  Seperti dikatakan  Hefner,  bahwa  sejak  tahun  1990,  ia  menulis  beberapa  sekolah  Islam
madrasah  baru  yang sebagian  madrasah tersebut  mendekati teori pergerakan  sosial
170
Husni, Arah Baru Pendidikan  Islam di Indonesia, 107.
171
Afrianto  Daud,    “Madrasah  dan  Tantangan  Dunia  Global”,  dalam  Singgalang,  17 September 2004.
seperti  mereka  mencapai  transformasi  politik  dan  sosial  dan  lebih  jauh  lagi  adalah “Islam tetapi   merupakan kelompok nasionalis  yang pluralis”.  Dan  ini adalah  benar,
bukan  kenyataan  yang  ditolak  minoritas,  bukan  berpusat  pada  negara,  tetapi tujuannya  adalah  merubah  warga  negara  dan  masyarakat.
172
Alumni  madrasah  telah terbukti  dapat  diterima  di  semua  kalangan,  bisa  bekerja  di  banyak  bidang
pemerintahan, seperti Departemen Keuangan, Pendidikan, Hukum, Transmigrasi dan lain-lain.
Pergeseran  kurikulum  madrasah
173
sangat  dipengaruhi  oleh  kebijakan pemerintah yang bersifat politis. Kebijakan tersebut membawa madrasah ke arah satu
sistem pendidikan nasional, yang secara historis pada dasarnya, sistem pendidikan di Indonesia  adalah  sistem  ganda.  Bila  ditinjau  dari  integrasi  Ilmu,  pergeseran
kurikulum  madrasah  adalah  ke  arah  mewujudkan  integrasi  ilmu,  walaupun,  banyak juga komentar miring, bahwa madrasah sudah tidak dapat mencetak ulama yang ahli
agama.  Tetapi  sebenarnya  masih  ada  MAK,  yang  secara  content,  muatan  ilmu agamanya  lebih dominan dibanding  ilmu umumnya.  Dari MAK  ini,  dapat  mencetak
ulama yang ahli agama.
E. Tafsir  Pergeseran