tradisionalis yang notabene NU, kendaraan politiknya adalah Partai Kebangkitan Bangsa PKB, ini muncul ketika negara Indonesia memasuki Era Reformasi –
kurikulum MA tahun 2004 dan 2006– dimana telah lepas dari rezim Soeharto. Karena mayoritas back ground pendidikan mereka adalah pesantren tradisional,
maka kultur pesantren yang salafiyah, tidak dapat ditinggalkan, dan secara otomatis mewarnai kurikulum pendidikan mereka, walaupun para pemuda aktifisnya sudah
banyak menggunakan rujukan Barat, kultur tetap sulit dihilangkan. Dengan demikian, maka tarik menarik partai politik amat kental dalam kebijakan kurikulum,
termasuk dalam aplikasi kurikulumnya, terutama kurikulum MA.
D. Kebijakan Politis Pemerintah dalam Kurikulum Madrasah 1.
Kebijakan Pemerintah Tentang Pendidikan yang merugikan Kurikulum Madrasah
Menurut Malik Fadjar, tidak seluruh kebijakan lahir dengan gampang. Ia harus mempunyai kekuatan tawar menawar kultur, dan dalam kadar tertentu bisa
bersifat politis.
102
Sekurang-kurangnya untuk melahirkan kebijakan kurikulum madrasah perlu diakomodasikan berbagai kepentingan masyarakat,
103
khususnya umat Islam. Seperti yang dikemukakan oleh Husni Rahim, bahwa madrasah adalah
milik masyarakat,
104
yang merupakan salah satu karakteristiknya. Maka kebijakan tentang pergeseran kurikulum madrasah selayaknyalah harus mendapat support,
aspirasi dan dukungan dari masyarakat. Jadi yang paling baik di sini aspirasi
102
Politik dalam pendidikan berbeda dengan politik praktis, dalam arti partai politik. Walaupun substansi politik itu sendiri secara teoritik adalah sama, dalam arti berorientasi kemenangan
dan kekuasaan, namun dalam pendidikan lebih bersifat halus dan mengedepankan nilai. Baca, D. Easton, A framework for Political Analysis New York: Prentice-Hall, 1965, ketika mendefinisikan
politik pendidikan. Lihat pula, J. D. Scribner dan R. M. Englert Ed., “The Politics of Education: An Introduction”, dalam J. D. Scribner, The Politics of Education: The Seventy-Sixth Yearbook of The
National Society for The Study of Education Chicago: University of Chicago Press, 1977. Lihat juga, Jane C. Owen, The Impact of Politics in Local Education Toronto: Rawman dan Little Field
Education, 2006, 4, 6.
103
A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam Jakarta: Fadjar Dunia, 1999, 95.
104
Husni Rahim, Visi Madrasah, http:www.blogger.comfeeds35417963postsdefaul, 2008. 27022010.
kebijakan berasal dari masyarakat ke penguasa bottom up, walaupun ending produksi dan isi kebijakan tetap di penguasa. Masyarakat adalah obyek penerapan
kebijakan tersebut. Ketika lahirnya kebijakan merupakan paket dari penguasa tanpa adanya peran serta aspirasi masyarakat, berarti kebijakan yang lahir masih seperti
kebijakan pendidikan pada masa Belanda.
105
Efek dari kebijakan pendidikan Belanda yang sentralistik menimbulkan diskriminasi antara Muslim dan non Muslim. Sekolah Kristen menyebar dan
berkembang di mana-mana, sementara sekolah Islam sangat dibatasi. Sekolah Islam juga tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah, bahkan anak-anak Muslim jarang
bisa bersekolah.
106
Hal demikian, bukan karena kekurangan keuangan, melainkan sengaja orang Islam Indonesia dibuat bodoh oleh pemerintah Hindia Belanda.
Disamping itu, sebenarnya substansi yang paling mendasar Belanda hendak melakukan tugas misionarisnya –yakni menyebarkan agama Kristen kepada
masyarakat Indonesia, sebagai negara jajahannya. Maka lembaga pendidikan Islam seperti pesantren dianggap rendah. Seperti pandangan Snouck Hurgronje, penasihat
Belanda mengenai masalah-masalah Islam, memandang rendah pesantren sebagai tidak punya makna dedaktik dan mengecam para santri yang membuang waktu
mencari pengetahuan yang moralistik dan tidak toleran.
107
Muhammad Sirozi memberikan kesimpulan, bahwa pendidikan secara sistematik dipakai oleh kolonial
Belanda untuk memanipulasi masa lampau dan masa depan penduduk pribumi.
108
Di
105
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Belanda sepenuhnya mengendalikan proses produksi, isi, dan penerapan kebijakan pendidikan. Kebijakan pendidikan Belanda melayani
kepentingan pendidikan Belanda yang “substantive” mengesampingkan kebutuhan pendidikan “substantive” dari rakyat Indonesia. Lihat, Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di
Indonesia, Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 21989, 20.
106
C. A. Fisher, South-East Asia: A Social Economic and Political Geography London: Methuen Co. Ltd., 1967, 106.
107
Suminto, Politik Islam Hindia Belanda Jakarta: LP3ES, 1985, 49.
108
Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia, Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 21989, 29. Kesimpulan Sirozi diperkuat oleh Fanon, yang menyatakan,
kolonialisme tidak hanya puas memaksakan kekuasaannya untuk masa kini dan masa mendatang negara yang dijajah. Kolonialisme tidak puas hanya menyembunyikan suatu bangsa dalam
sini jelas, bahwa pada masa kolonial Belanda lembaga pendidikan Islam –pesantren dan madrasah– beserta kurikulumnya mendapat posisi yang marjinal secara politis.
Setelah Indonesia merdeka, menurut Sirozi, Indonesia menganut sistem ganda dalam pendidikan. Dimana sejak zaman kolonial para pemimpin nasionalis,
baik yang sekuler maupun yang agama telah mengembangkan program pendidikan yang terpisah dan memainkan peran penting dalam pergerakan nasional. Sehingga,
ketika itu pemerintahan baru Soekarno-Hatta, kesulitan mencari format sistem pendidikan nasional. Di satu sisi, pemerintah diwajibkan oleh pasal 31 ayat 2 UUD
1945 untuk “mendirikan dan melaksanakan satu sistem pendidikan nasional yang diatur oleh undang-undang”. Di sisi lain perdebatan yang berkelanjutan antara
pemimpin sekuler dan agama mengenai ciri sistem pendidikan nasional Indonesia memaksa
pemerintah mempertimbangkan
suatu model
alternatif sebagai
kompromi,
109
yaitu sistem ganda dualistik. Bentuk pendidikan yang dikomandoi oleh tokoh nasionalis sekuler,
kemudian disebut dengan pendidikan umum, di bawah otoritas Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sementara, format pendidikan yang dinahkodai oleh
para tokoh nasionalis religious, disebut pendidikan agama, di bawah wilayah kekuasaan Departemen Agama.
110
Sebenarnya Cikal bakal terjadinya dualistik dalam
cengkeramannya dan mengosongkan otak penduduk asli dari segala bentuk dan isi. Melalui logika yang terbalik, kolonialisme menengok masa lalu bangsa yang tertindas itu, dan memutarbalikannya,
mengubah bentuknya, dan menghancurkannya. Lihat, Fanon, “On National Culture”, dalam P. Williams dan L. Chrisman eds Colonial Discourse and Post-Colonial Theory: A Reader London:
Harvester Wheatsheaf, 1994, 37.
109
Lihat, Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia, Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 21989, 41.
110
Setelah Indonesia merdeka, satu tahun kemudian Departemen Agama berdiri, diantaranya atas usul BP-KNIP, dimana pada tanggal 25-28 mengadakan sidang pleno. Wakil-wakil
KNIP dari daerah karesidenan Banyumas mengusulkan, supaya dalam negara Indonesia yang sudah merdeka ini janganlah hendaknya urusan agama hanya disambillalukan dalam tugas Kementerian
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan atau departemen-departemen lainnya tetapi hendaknya diurus oleh suatu Kementerian Agama tersendiri, lihat Departemen Penerangan RI, 20 Tahun Indonesia
Merdeka, jilid VII Jakarta: Departemen Penerangan RI, 1965, 358-359. Usul ini direalisasikan oleh pemerintah, pada tanggal 3 Januari 1946, pemerintah membentuk Departemen Agama RI, dengan
Menteri Agama pertama H. Rasjidi, BA. Lihat Departemen Agama RI, Peranan Departemen Agama
pendidikan di Indonesia, telah muncul sejak zaman kolonial, hal ini bukan dieliminasi, malah diperkuat. Akibatnya semakin terjadi gap antara sekolah dan
madrasah. Ada komentar miring dari Naim, siapapun yang mengamati sistem pendidikan nasional Indonesia, kesan pertamanya adalah bahwa sistemnya ruwet,
sukar diikuti dan dualistik.
111
Namun, perdebatan antara para tokoh nasionalis sekuler dan nasionalis religious, perlu diakomodir oleh pemerintah, sampai akhirnya terjadi dualistik dalam
pendidikan di Indonesia. Sebenarnya Soekarno sendiri juga tidak setuju dengan sistem ini, tetapi persatuan dan kesatuan bangsa lebih diprioritaskan, yang akhirnya
sistem ganda ini adalah sebagai alternatif. Tetapi walaupun demikian, menurut Sirozi, karena kedua model pendidikan ini disokong oleh posisi ideologi dan perspektif
pendidikan yang berlainan maka keduanya lebih bersaing ketimbang bekerja sama,
112
realitasnya demikian sampai sekarang. Menanggapi ide Sirozi, Naim berkomentar sembari beranalog, “mereka berjalan bersama seperti di atas rel kereta api, tetapi
terpisah satu sama lain”.
113
Lagi-lagi bila diamati secara jeli pendidikan umum, mempunyai otoritas yang lebih dominan secara politis, dibandingkan dengan pendidikan agama. Sebagai
bukti, dalam Surat Keputusan Bersama SKB tiga menteri –Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri– keputusan ini memberi
hak yang sama bagi lulusan Madrasah Aliyah Negeri MAN dan Sekolah Menengah Atas SMA untuk memperoleh pendidikan universitas, tetapi hanya dengan syarat
bahwa kurikulum MAN disesuikan dengan kurikulum SMA. Kurikulum MAN yang
dalam Revolusi dan Pembangunan Bangsa Jakarta: Departemen Agama RI, 1965, 104. Namun pada akhirnya pembentukan Kementerian Agama ini sempat terjadi kontroversi, bila diamati kontroversi itu
adalah pada masalah ideologi, lihat, Azyumardi Azra, HM. Rasjidi BA, “Pembentukan Kementerian Agama dalam Revolusi”, dalam Menteri-menteri Agama RI, Biografi Sosial Politik, Azyumardi Azra
dan Saiful Umam Ed., Jakarta: INIS, 1998, 5-8.
111
Naim, Quo Vadis Pendidikan Madrasah Jakarta: Republika, 31 Oktober 1996.
112
Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia, Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 21989, 42.
113
Naim, Quo Vadis Pendidikan Madrasah Jakarta: Republika, 31 Oktober 1996.
aslinya berisi 70 mata pelajaran agama dan 30 mata pelajaran umum, diganti dengan kurikulum yang terdiri 70 pelajaran umum dan 30 pelajaran agama.
114
Idealisme para tokoh agama yang merupakan warisan para tokoh nasionalis religious, lagi-lagi terganjal secara politis, karena kurikulum madrasah harus mengikuti
kurikulum sistem persekolahan, bila nasib lulusan madrasah ingin dapat diterima di universitas negeri milik pendidikan umum. Ini adalah satu poin kekalahan kurikulum
madrasah. Komentar Naim, “konsep madrasah sebagai perpaduan kombinasi pendidikan agama dan umum yang setara tidak lagi banyak ditemukan dalam
Madrasah Aliyah”.
115
Menurut Sirozi, karena kurikulum dan status kedua jenis sekolah telah disamakan, nama-nama ini menyiratkan bahwa sistem sekolah yang
ganda tetap dipertahankan, meski tidak dalam arti materi, tetapi dalam arti simbolik.
116
Secara content, bukan merupakan sistem ganda lagi dalam pendidikan, tetapi sudah dicaplok oleh pendidikan umum. Kebijakan yang demikian bila
direnungkan secara jeli adalah sangat politis. Hal ini juga dinyatakan oleh Angus, “gagasan pendidikan pada hakikatnya adalah suatu konstruk historis dan politis”.
117
Walaupun secara historis, sebenarnya sama-sama posisinya, dalam arti sekolah umum yang merupakan perjuangan kaum nasionalis sekuler dan sekolah agama madrasah
yang merupakan perjuangan tokoh nasionalis Muslim, tetapi pada akhirnya idealisme tokoh Muslim terjepit secara politis, karena content kurikulum madrasah semakin
kering dari ruh pelajaran Islam. Bila kebijakan pendidikan dibuat lebih cenderung ke arah politis, maka
pembahasan ini tidak lepas dari tahapan orde dalam pemerintahan Indonesia. Yaitu Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi. Kebijakan pendidikan pada masa
114
Lihat, Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia, Peran Tokoh- tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 21989, 43.
115
Naim, Quo Vadis Pendidikan Madrasah Jakarta: Republika, 31 Oktober 1996.
116
Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia, Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 21989, 43.
117
L. Angus, Schooling For Social Order: Democracy, Equality and Social Mobility in Education Victoria: Deakin University Press, 1986, 8.
kolonial Belanda, Jepang, masa sebelum merdeka, setelah merdeka dan orde lama sepintas telah penulis jelaskan. Tinggal masa Orde Baru dan Orde Reformasi dengan
tetap tidak meninggalkan undang-undang yang berlaku selama orde itu. Menurut pandangan Sirozi, bahwa sistem politik di bawah Orde Baru
cenderung berat ke eksekutif dan bersifat tertutup. Sistem ini memungkinkan pemerintah yang eksekutif, terutama presiden dan para menteri, untuk mengendalikan
proses pembentukan kebijakan. Dalam proses pembentukan kebijakan pendidikan, presiden mempertahankan kendalinya melalui Depdikbud. Dengan memiliki kantor di
pusat dan daerah, Depdikbud mampu mengendalikan pembentukan dan penerapan kebijakan pendidikan di daerah dan di pusat. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
yang bertanggung jawab menentukan strategi pemerintah dan mengarahkan mekanisme pembentukan kebijakan pendidikan. Menteri mempunyai kewenangan
untuk mengatur struktur yang akan dilalui kebijakan pendidikan yang diusulkan. Atas nama Presiden, Mendikbud berkewenangan untuk mengangkat pejabat yang
menangani persiapan kebijakan pendidikan dan untuk memutuskan hal-hal yang penting bagi pembahasan kebijakan pendidikan. Lebih lagi, Mendikbud
berkewenangan untuk menerapkan kebijakan pendidikan dan merancang peraturan operasional yang ditetapkan oleh kebijakan dalam bentuk keputusan menteri. Oleh
sebab itu Mendikbud tidak hanya mengawasi penerapan kebijakan, tetapi juga menafsirkan dan merumuskan kembali isinya menurut nilai-nilai pendidikannya,
tanpa campur tangan masyarakat dan parlemen.
118
Ilustrasi ini cukup jelas bahwa, kebijakan pendidikan pada masa Orde Baru bersifat sentralistik, demikian juga
dengan madrasah. Karena penentu kebijakan dalam bidang pendidikan adalah Presiden lewat tangan Mendikbud, maka kebijakan yang terjadi pada madrasah
adalah lewat Mendikbud, tentu saja lewat pertimbangan Menag, tetapi kekuasaan kuat tetap di Mendikbud. Maka dari sisi kebijakan yang diuntungkan tetap pendidikan
118
Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia, Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 21989, 77.
umum sekolah bukan pendidikan agama madrasah, termasuk dalam bidang kurikulum.
Almond dan Powell menyatakan bahwa tuntutan politik bisa efektif jika “didorong oleh kekuatan politik yang memiliki sumber daya –suara, kedudukan
dalam badan legislatif, kedudukan penting dalam pemerintahan dan kehidupan pribadi, uang, pengetahuan, teknis dan keahlian, menguasai media, atau sarana untuk
memaksa”.
119
Di sini jelas bahwa politik tujuannya kemenangan. Menurut Hefner, sebenarnya keterlibatan politik dan urusan publik dalam sekolah Islam madrasah,
tidak menjadi persoalan asal tidak dijadikan tendensi etika dan pengetahuan orang Islam dalam sebuah cara yang eklusive dan absolute.
120
Oleh karena itu sebenarnya, dukungan penguasa, dalam hal ini adalah pemerintah, sangat efektif dalam politik
pendidikan. Hal ini tergambar pada masa klasik Islam, di mana zaman keemasan pendidikan Islam terwujud di sini.
121
Kebijakan pendidikan pada masa Orde Baru –kurikulum MA 1973, 1984, dan 1994– yang bersifat politis terutama adalah munculnya SKB Tiga Menteri yang
memasukan 30 pelajaran agama dan 70 pelajaran umum –kurikulum tahun 1975. SKB Tiga Menteri diperkuat dengan SKB Dua Menteri –kurikulum 1984– pada
akhirnya muncul UUSPN No. 2 tahun 1989 yang mengakui madrasah sebagai sub sistem pendidikan nasional. Akhirnya MA disebut sebagai sekolah umum berciri khas
Islam –kurikulum MA tahun 1994– dimana kurikulum MA hampir sama persis dengan kurikulum SMA kecuali dalam mata-mata pelajaran untuk menunjukkan ciri
khas ke-Islamannya. Jelas yang bersifat politis di sini dari sisi tujuan kurikulum MA dan content-nya.
119
Almond dan G.B. Powell, System, Process, and Policy, Comparative Politics Boston dan Toronto: Litle, Brown dan Company, 1978, 232.
120
Robert W. Hefner, Ed., Making Modern Muslim: The Politics of Islamic Education in Southeast Asia Honolulu, HI: University of Hawa’i Press, 2009, 130.
121
Lihat, Pihlip K. Hitti, History of The Arabs London: Macmillan,1974, 296-298.
Contoh selanjutnya, ketika Mendikbud 1993-1998, Wardiman Djojonegoro, tepatnya 1 Januari 1995, ia memulai kebijakan lima hari sekolah. Tujuan dari
kebijakan ini adalah untuk mengembangkan lima hari sekolah yang efektif dan efesien, memungkinkan anak-anak mendapatkan libur akhir pekan yang cukup dan
menggunakan waktu mereka secara lebih disiplin”
122
Dengan kebijakan ini jam belajar diperpanjang dari jam 7.30 sampai dengan jam 4 sore.
123
Sebagai uji coba kebijakan ini, beberapa sekolah pemerintah dan non pemerintah dipakai sebagai uji
coba. Namun kebijakan ini juga mendapat protes dari banyak kalangan tokoh Muslim. Dikarenakan, mereka –anak-anak sekolah– tidak dapat memasuki sekolah
agama –Madrasah Diniyah. Dengan demikian maka akan mematikan lembaga Madrasah Diniyah, sebenarnya motivasi yang prinsip bukan ini, tetapi anak-anak
Muslim dikhawatirkan tidak mendapat pelajaran agama yang maksimal, dikarenakan pelajaran di sekolah umum cuma 2 jam per minggu. Dimana pelajaran agama yang
maksimal adalah di Madrasah Diniyah saat itu. Beberapa kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan yang telah diuraikan di atas adalah bersifat politis.
Kebijakan pendidikan pada era reformasi –kurikulum MA 2004 dan 2006– mengalami banyak perubahan dibanding dengan masa Orde Lama dan Orde Baru.
Minimal ada prioritas dan usaha yang serius dari pemerintah untuk meningkatkan
122
Panji Masyarakat, 1-10 Oktober 1994, 20.
123
Pada saat itu belum ada Sekolah Islam Terpadu SIT, dimana sekolah ini menerapkan konsep Full Day School, yakni kurikulum Madrasah Diniyah sudah tercakup dalam sekolah ini.
Bahkan lebih baik kurikulumnya. Sekolah ini juga menerapkan lima hari sekolah. Sebenarnya secara psikologis, untuk anak, lima hari kerja itu baik, asalkan jangan merugikan pelajaran agama anak. Baca,
Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Pendidikan Nondikotomik: Humasnisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam Yogyakarta: Gama Media, 2002. Sekolah Islam Terpadu SIT,
didirikan berdasarkan ideologi salafi, yang banyak didirikan oleh orang-orang tarbiyah, binaan PKS. Hefner memberi teori dan pemahaman baru dalam pendidikan Islam, bahwa pertumbuhan PKS dan
Hidayatullah yang begitu cepat, merupakan kekuatan paralel antara Sekolah Islam Terpadu SIT dan pergerakan sosial. SIT dan pergerakan sosial mempunyai hubungan timbal balik diantara keduanya.
Menurut Hefner, fungsi Sekolah Islam Terpadu bagi pergerakan sosial, adalah: 1. mendiagnosa problem kronis dalam masyarakat untuk mendata hal-hal yang dibutuhkan oleh masyarakat, 2.
merekomendasikan sebuah strategi untuk mengatasi masalah. 3. menyediakan sebuah pemikiran bahwa pemikiran dapat memberikan support untuk mengusulkan tindakan berupa penyelesaian
masalah. Lihat, Robert W. Hefner, Ed., Making Modern Muslim: The Politics of Islamic Education in Southeast Asia, 130.
kualitas pendidikan. Indikator ini tergambar dalam pidato politiknya Habibie, sesaat setelah lengsernya Soeharto, sebagai tanda dimulainya reformasi, “hanya pendidikan
yang berkualitas sajalah yang dapat menyampaikan generasi yang mampu menghadapi permasalahan ke depan yang makin kompleks, karena itu usaha untuk
meningkatkan kualitas pendidikan merupakan hal yang perlu mendapat dukungan semua pihak dan tak dapat ditunda-tunda”.
124
Pidato Habibie, perlu mendapat apresiasi semua pihak. Pidato Habibie, dipertegas Megawati ketika menjadi Presiden,
bahwa pemerintahan Mega harus dapat memperbaiki masalah hukum, ekonomi dan pendidikan.
Di era Reformasi, bila dianalisa kurikulum Madrasah Aliyah mengalami perubahan yang sangat mengejutkan, karena pelajaran Pendidikan Agama Islam
PAI alokasi waktunya sama dengan sekolah umum, yaitu 2 jam pelajaran perminggu.
125
Di satu sisi insan madrasah merasa gembira, karena secara politis, posisi madrasah sama persis dengan sistem persekolahan. Di sisi lain, insan madrasah
juga merasa kehilangan, dengan sedikitnya jam mata pelajaran PAI. Jadi Madrasah Aliyah substansinya juga sama persis dengan SMA, karena kurikulumnya, sama
persis. Bila diamati secara jeli, pemerintah hendak membentuk satu sistem pendidikan nasional secara substansial, walaupun pada hakekatnya secara simbolik
ada dua sistem yaitu sistem sekolah dan madrasah. Satu sistem ini terlihat dari, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
No. 20 Tahun 2003, dalam UU ini, tidak ada diskriminasi antara sekolah dan
124
Media Indonesia, 24 September 1999, 19.
125
Untuk mensiasati alokasi waktu mata pelajaran PAI yang hanya 2 jam pelajaran perminggu, mayoritas MA senantiasa menambahkan alokasi waktu tersebut, yaitu Aqidah Akhlak 1
jam pelajaran, Sejarah Kebudayaan Islam SKI 1 jam pelajaran, al-Qur’an Hadis 2 jam pelajaran, Fikih 2 jam pelajaran, jika Bahasa Arab dimasukan rumpun PAI, Bahasa Arab 3 jam pelajaran
perminggu. Sehingga ketika Bahasa Arab tidak dimasukan jumlah jam pelajaran perminggu 6 jam pelajaran, tetapi ketika Bahasa Arab dimasukkan dalam rumpun PAI maka berjumlah 9 jam pelajaran
perminggu. Untuk kasus MAN 2 Serang memberlakukan sistem fullday school, pulang jam 16.00 WIB dan MAN I Serang untuk kelas 1 dan 2 pulang jan 14.00 dan kelas 3 pulang jam 14.00. Wawancara
dengan Uus Kadarusman, Kepala MAN I Serang dan Hidayat Kepala TU MAN 2 Serang, tanggal 25 Nopember 2010.
madrasah.
126
Bahkan selanjutnya, Peraturan Pemerintah PP, Keputusan Menteri dan kebijakan lain mengenai pendidikan terlihat tidak ada diskriminasi. Nampak bahwa
satu Sistem Pendidikan Nasional ini telah terbentuk secara politis. Walaupun banyak insan madrasah yang secara nurani masih banyak protes terhadap keadaan yang
demikian. Yang menjadi catatan positif pada era ini, kebijakan pendidikan, yang
tadinya sentralistik pada masa Orde Lama dan Orde Baru, menjadi desentralisasi. Pergeseran ini disebabkan, menurut Indra Djati Sidi, karena sistem terpusat terbukti
tidak terlalu kondusif bagi peningkatan mutu pendidikan di sekolahmadrasah.
127
Selama ini masa Orde Baru lembaga pendidikan madrasah berada di bawah naungan Departemen Agama Depag atau pemerintah pusat. Bagaimana di era
otonomi? Madrasah tidak mengalami otonomi
128
seperti halnya sekolah-sekolah di bawah Departemen Pendidikan Nasional. Meskipun pengelolaan madrasah tetap
berada di bawah naungan Depag,
129
tetapi di era otonomi
130
diterapkan kebijakan baru. Kalau dulu madrasah murni dikelola oleh Depag pusat, tetapi sekarang
diberlakukan kebijakan
dekonsentrasi. Artinya,
kewenangan-kewenangan
126
Baca, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003.
127
Lihat, Indra Jati Sidi, Menuju Masyarakat Belajar, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan Jakarta: Paramadina dan Logos, 2001, 31.
128
Sebenarnya otonomi pendidikan dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerataan, keadilan, demokratisasi, dan penghormatan terhadap nilai-nilai budaya lokal serta
menggali potensi dan keanekaragaman daerah, bukan untuk memindahkan masalah dari pusat ke kabupaten dan kota. Demikian juga otonomi sistem pengelolaan pendidikan bertujuan untuk
meningkatkan mutu pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat, bukan memindahkan atau mengembangbiakkan masalah pendidikan yang menjadi beban pemerintah pusat ke kabupaten dan
kota. Lihat, Indra Jati Sidi, Menuju Masyarakat Belajar, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, 29- 30.
129
Dalam PP Nomor 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan pasal 9 ayat 3 pengelolaan pendidikan keagamaan dilakukan oleh Menteri Agama.
130
Menurut Indra, mengapa dilaksanakan otonomi dalam pendidikan, karena, pertama, akuntabilitas sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan masih sangat rendah, kedua, penggunaan
sumber daya tidak optimal, ketiga, partisipasi masyarakat masih rendah, keempat, sekolah tidak mampu mengikuti perubahan yang terjadi di lingkungannya. Lihat, Menuju Masyarakat Belajar,
Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, 31-33.
penyelenggaraan madrasah yang semula dipegang sepenuhnya oleh pemerintah pusat maka sebagian dapat diturunkan ke daerah. Ini terutama menyangkut masalah-
masalah teknis di lapangan yang berkaitan dengan sumber anggaran melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD. Misalnya, soal Rencana
Anggaran Belanja RAB madrasah. Untuk masalah ini kepala madrasah bisa menyampaikannya kepada kepala kantor Depag kabupatenkota setempat. RAB
tersebut selanjutnya dikonsultasikan kepada BupatiWali Kota untuk dimintakan alokasi anggaran yang menyatu dalam Dana Alokasi Umum DAU. Karena DAU itu
sendiri merupakan dana dari pemerintah pusat, dan sebagian di antaranya adalah jatah untuk madrasah negeri.
131
Walaupun realisasinya tetap memprioritaskan sekolah daripada madrasah.
2. Beberapa Kritik Tentang Kualitas Kurikulum Madrasah Selanjutnya beberapa kritik terhadap madrasah, terutama kurikulumnya.
Sebenarnya pada masa awal madrasah identik dengan pesantren,
132
bedanya kalau madrasah tanpa asrama sedangkan pesantren menggunakan asrama, namun content
isi kurikulumnya sama yaitu sama-sama 100 mengajarkan agama, karena sebagai lembaga tafaqquh fi
al-di n. Disebabkan hal ini, eksistensi madrasah menimbulkan
efek sosial, seperti kata Steenbrink, “suatu hal yang tragis yang dewasa ini diderita oleh anak-anak didik kalangan Islam Indonesia, adalah belum dapat diperolehnya
lapangan kehidupan di luar keagamaan setelah mereka ini berhasil menyelesaikan pendidikannya dari sekolah-sekolah agama seperti madrasah, pesantren maupun
perguruan tingginya”.
133
Walaupun, sepintas diamati bahwa pernyataan Steenbrink adalah doktrin Barat, tetapi ini adalah merupakan kritik bagi madrasah untuk
mereformasi kurikulumnya.
131
http:www.uny.ac.idakademiksharefilefiles26042007172801_333pkn.doc.webmaster. 25032010.
132
Menurut Geertz’s, bahwa pesantren Islamic Boarding Schools adalah sebuah institusi yang dipengaruhi pengajaran Hindu Budha. Lihat, Hefner, Ed., Making Modern Muslim: The
Politics of Islamic Education in Southeast Asia, 129.
133
Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, 15.
Secara politis, nasib madrasah masih terpojok. Seperti laporan penelitian Ki Supriyoko bahwa pencapaian rata-rata Nilai Ujian Nasional NUN siswa madrasah
memang lebih rendah dari pada nilai sekolah, tetapi terpautnya relatif kecil. Sebenarnya hal ini membanggakan bagi madrasah mengingat substansi ilmu umum di
dalam kurikulum madrasah hanya 70. Apakah masyarakat kita dapat memahami kebanggaan tersebut, ungkap Supriyoko, jawabannya adalah “Pada umumnya tidak”.
Mereka tahunya pencapaian prestasi akademis siswa madrasah lebih rendah daripada siswa sekolah. Bagi insan madrasah hal ini terasa pahit. Tetapi kenyataan yang
demikian harus diterima.
134
Hasil penelitian Supriyoko ini perlu menjadi bahan renungan, bahwa madrasah harus terus membuktikan kualitasnya secara akademik,
walaupun image masyarakat masih menganggap madrasah kualitasnya
135
di bawah sekolah. Tetapi dengan terus meningkatkan kualitas madrasah itu, suatu saat
masyarakat akan melihat bukti, bahwa madrasah juga tidak kalah kualitasnya dengan sekolah secara akademik.
Di sisi lain, menanggapi umat Islam Indonesia sebagai wadah dan pelaksana madrasah perlu mengetahui kualitas umat Islam Indonesia, menurut Snouck
Hurgronje dan pengikut-pengikutnya, “secara sosial politik masyarakat Islam Indonesia sudah termasuk minoritas”.
136
Minoritas maksud Snouck adalah dari sisi
134
Ki Supriyoko, Problema Besar Madrasah, dalam http:www.republika.co.id, 2008. 07032010. Lebih lanjut Supriyoko memberikan solusi kreatif, cara konvensional adalah
menyampaikan ilmu umum yang porsinya sama dengan yang diberikan di sekolah, kemudian ditambah dengan ilmu agama. Cara ini bagus, tetapi hanya efektif dijalankan oleh madrasah dengan siswa yang
diasramakan alias dipondokkan. Madrasah yang eksistensinya di tengah pesantren biasanya mampu menjalankan cara ini secara produktif. Namun, pada madrasah non pesantren yang siswanya tidak
menginap, cara ini sangat berat untuk dijalankan. Cara modern yang bisa dijalankan adalah membenahi metode pembelajaran learning method, meningkatkan mutu guru teacher quality, atau melengkapi
sarana dan fasilitas belajarnya facility. Ketiga pembenahan ini bisa dilakukan secara sendiri-sendiri. Tetapi, lebih produktif dijalankan secara terintegrasi. Lebih daripada itu bahkan cara konvensional
dengan cara modern tersebut pun bisa dipadukan secara produktif.
135
Rendahnya kualitas madrasah ditandai, pertama, rendahnya minat orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke madrasah, kedua, rendahnya prosentase alumni madrasah untuk
melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi, lihat, Afrianto Daud, Madrasah dan Tantangan Dunia Global, dalam Singgalang, 17 September 2004.
136
Lihat, Verspreide Gescbriften IV2, 351-353.
pengamalan ajaran agamanya, jadi sedikit yang mengamalkan agamanya secara benar-benar, mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam dari sisi pengakuannya
saja. Logikanya ketika umat Islam Indonesia mayoritas dari sisi pengamalan ajaran agamanya, akan berpengaruh cukup besar terhadap kualitas madrasah. Jika benar
demikian, maka kritik Snouck menjadi introspeksi buat umat Islam Indonesia, tetapi jika tidak, maka kritik Snouck adalah politis.
Tidak habis-habisnya kritik terhadap madrasah, selanjutnya kritik tentang latar belakang sosial ekonomi para siswanya yang menjadi input madrasah. Bahwa
para siswa yang masuk madrasah adalah dari golongan sosial ekonomi bawah. Tidak hanya Indonesia, yang para siswanya masuk madrasah dari kalangan ekonomi
bawah, Pakistan saja sebagai negara Islam, mayoritas yang masuk madrasah adalah dari kalangan populasi penduduk yang tidak mampu miskin.
137
Ini membuktikan bahwa dana madrasah untuk meningkatkan kualitas madrasah masih sangat minim,
baik dari sisi kualitas akademik kurikulum, manajemen, aktifitas menuju siswa berprestasi maupun sarana dan prasarananya. Madrasah harus terus berbenah diri
menuju kualitas.
Walaupun berbagai kritik, telah dilontarkan, Menurut Hefner bahwa tersebarnya
sekolah-sekolah madrasah
untuk kemajuan
pengembangan pembelajaran modern
138
sejak abad 18 di Sumatera Barat dan Patani sampai akhir abad 19 melebar ke Sulawesi Selatan dan Kalimantan. Perkembangan ini sangat ironi
karena dijajah oleh kolonialis Barat, tetapi memberikan kemudahan perjalanan bagi Timur Tengah untuk menyebarkan Islam, walaupun pada akhirnya terjadi krisis
137
Samina Ahmed, Extreme Madrasahs Harvard International Review Winter: Academic
Research Library, 2009, 7.
138
Pengembangan madrasah dan kurikulumnya ke arah modern adalah sangat dibutuhkan, sebab Pakistan –negara Islam– sendiri sebagai bahan perbandingan pernah di tekan oleh dunia
internasional untuk mereformasi kurikulum madrasahnya ke arah modern. Ini bukti bahwa memodernisasi lembaga pendidikan termasuk madrasah adalah sangat perlu. Lihat, Samina Ahmed,
Extreme Madrasahs, 7.
otoritas kekuasaan.
139
Dalam keadaan Indonesia dijajah, madrasah malah justeru eksis dan terus menyebar ke seluruh Indonesia.
Setelah kebijakan-kebijakan pemerintah dan kritik-kritik terhadap kurikulum madrasah berlalu, yang lebih mengarah bagaimana madrasah dapat
mereformasi kurikulumnya, dikarenakan madrasah banyak mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada anak didiknya. Perkembangan selanjutnya, tuntutan madrasah untuk
mengajarkan ilmu-ilmu umum, dalam rangka mengejar ketertinggalan kurikulum madrasah.
3. Perebutan Otoritas Depag dan Dikbud terhadap Madrasah Masalah politis selanjutnya, ada semacam perebutan otoritas antara
Depdikbud dan Depag. Seperti problematika madrasah, diantaranya, perbandingan antara jumlah madrasah swasta lebih banyak daripada jumlah madrasah negeri.
Menurut catatan Husni Rahim jumlah Madrasah Aliyah Negeri 457 buah, sedangkan Madrasah Aliyah Swasta 2.701 buah,
140
cuma tidak disebutkan data ini diinput tahun berapa. Tetapi dengan melihat data ini perbandingan Madrasah Aliyah swasta dengan
negeri tidak seimbang, hal ini akan menyulitkan pembinaan madrasah dari Departemen
Agama. Padahal
pemerintah lebih
mengutamakan strategi
pengembangan pada sekolah-sekolah negeri, khususnya dalam penyediaan tenaga guru dan pembagian alokasi dana pembiayaan pendidikan lainnya. Kasus ini berbeda
dengan sekolah negeri yang di bawah otoritas Depdikbud, dimana penegerian madrasah di bawah Depag berjalan sangat lamban. Kelambanan ini disebabkan
karena Departemen Agama dianggap bukan sebagai unit yang memerlukan perhatian dan prioritas untuk memperoleh dukungan dana dan dukungan kelembagaan seperti
Depdikbud.
141
Hal ini diperkuat, bahwa lahirnya UU Sisdiknas No. 2 tahun 1989 dan PP Nomor 2 tahun 1990, dimana madrasah merupakan sub sistem pendidikan
139
Hefner, Ed., Making Modern Muslim: The Politics of Islamic Education in Southeast Asia, 129.
140
Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia Jakarta: Logos, 2001, 109.
141
Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, 110.
nasional. Tetapi dengan UU dan PP tersebut, terjadi dualisme kewenangan penyelenggaraan pendidikan, yaitu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan
Departemen Agama.
142
Ini politis, dimana seolah-olah Departemen Agama jangan ngurusi pendidikan, madrasah serahkan saja kepada Depdikbud, Departemen Agama
cukup ngurusi, haji, wakaf, nikah, thalak dan rujuk. Efek politis dari hal ini, madrasah marjinal, karena kurang terurus dan kurang dana.
Bagaimana dengan nasib madrasah swasta? Eksistensi madrasah selama ini dilihat dari analisis edukatif variabel mutu pendidikan, bahwa biaya dari pemerintah
bukan satu-satunya faktor penentu untuk memajukan lembaga pendidikan madrasah. Yang paling penting adalah variabel Sumber Daya Manusia SDM dan dukungan
masyarakat di sekitarnya. Selama ini madrasah bersifat bottom up atau lahir dan dikembangkan oleh masyarakat umat Islam, sedangkan sekolah umum lebih
bersikap top down atau merupakan program dari pemerintah pusat. Karena madrasah berkembang dari bawah, sehingga resikonya madrasah tidak mendapat dukungan
dana yang kuat dari pemerintah. Kalaupun ada dana, nilainya jauh lebih kecil dari sekolah-sekolah umum.
4. SKB Tiga Menteri: Pro-Kontra Masuknya Pelajaran Umum ke dalam Madrasah Di muka telah dijelaskan, bahwa SKB tiga menteri adalah politis, karena
porsi pelajaran agama menjadi berkurang di madrasah. Sebagai klarifikasi ulang, dalam Keputusan Menteri Agama KMA Republik Indonesia Nomor: 17 Tahun
1978 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Madrasah Aliyah Negeri MAN, pasal 2 disebutkan, bahwa Madrasah Aliyah Negeri mempunyai tugas dalam bidang
pendidikan dan pengajaran Agama Islam sekurang-kurangnya 30 sebagai mata pelajaran dasar, disamping pendidikan dan pengajaran umum
143
berarti 70 adalah pelajaran umum. Namun oleh Menteri Agama pada saat itu, Mukti Ali, dijelaskan
bahwa dalam prakteknya kedua mata pelajaran tersebut dapat saling mengisi,
142
Akhwan, Pengembangan Madrasah Sebagai Pendidikan untuk Semua, 44.
143
Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 17 Tahun 1978 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Madrasah Aliyah Negeri MAN, 2.
sehingga sama-sama 100. Jika hal ini benar-benar direalisasikan, maka madrasah dapat menjadi sekolah unggul. Tetapi pada kenyataannya memang tidak dapat
direalisasikan apa yang dikatakan Mukti Ali. Dengan demikian sisi politisnya adalah penekanan terhadap kurikulum madrasah dengan mengurangi pelajaran agama.
Jauh sebelum SKB muncul, sebenarnya Departemen Agama telah melakukan penataan madrasah sebagai lembaga pendidikan formal, seperti dalam
Keputusan Menteri Agama KMA No. 1 tahun 1952, setelah munculnya Undang- Undang Pendidikan tahun 1950. Berdasarkan KMA tersebut pendidikan madrasah
dilaksanakan dalam tiga tingkat yaitu, tingkat dasar 6 tahun Madrasah Ibtidaiyah, tingkat menengah pertama 3 tahun Madrasah Tsanawiyah, tingkat menengah atas 3
tahun Madrasah Aliyah. Dalam peraturan itu disebutkan bahwa di ketiga tingkat madrasah ini minimal harus mengajarkan tiga mata pelajaran akademik yang
diajarkan di sekolah umum dan mengikuti standar kurikulum Departemen Agama. Tahun 1958 muncul Madrasah Wajib Belajar MWB yang ditempuh selama delapan
tahun. MWB memuat kurikulum terpadu antara aspek keagamaan, pengetahuan umum, dan ketrampilan. Walaupun hasilnya juga belum maksimal. Munculnya
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional yang menyatakan bahwa Madrasah Ibtidaiyah adalah Sekolah
Dasar berciri khas Islam, Madrasah Tsanawiyah adalah SLTP berciri khas Islam, Madrasah Aliyah adalah SMU berciri khas Islam. Bila diamati perjalanan kurikulum
madrasah sejak munculnya undang-undang pendidikan pertama tahun 1950 sampai munculnya Undang-Undang Pendidikan tahun 1989, bahkan sampai munculnya
Undang-Undang Pendidikan No. 20 tahun 2003, telah mengalami berkali-kali pergeseran. Tetapi pergeseran tersebut nampak jelas mengarah bagaimana sistem
madrasah dapat diterima oleh sistem persekolahan dalam arti pendidikan nasional yang dalam hal ini di bawah otoritas Departemen Pendidikan Nasional. Walaupun
dengan mengorbankan kuantitas tetapi kualitas pendidikan Agama Islam tetap ada pada kurikulum madrasah. Dan dengan demikian Madrasah tetap mempertahankan
ciri khas ke-Islamannya. Setelah MA kurikulumnya sama dengan SMA, insan madrasah masih tetap mempertahankan suasana keagamaannya, walaupun suasana
keagamaan ini berbeda antara satu MA dengan MA lainnya. Untuk MA yang boarding school suasana keagamaan nampak lebih lekat dan nampak, seperti senyum
sapa dan salam yang dilakukan para siswa dan siswi MAN Insan Cendekia. Suasana ini tidak begitu lekat dan nampak pada MAN reguler –tidak boarding school. Tetapi
suasana keagamaan yang lain masih kelihatan seperti tadarus, praktek khitabah dengan dua bahasa Inggris dan Arab, shalat dluha, shalat dhuhur dan ‘asar
berjama’ah, dan lain-lain.
144
Secara politis terjadinya pergeseran kurikulum madrasah muncul hal-hal yang merupakan problem madrasah dintaranya, pertama, dengan inovasi pergeseran
struktur kurikulum yang diajarkan, madrasah seolah telah kehilangan akar sejarahnya, artinya keberadaan madrasah bukan merupakan kelanjutan dari pesantren, meskipun
diakui bahwa pesantren merupakan bentuk lembaga pendidikan Islam yang pertama di Indonesia, kedua, terdapat dualisme pemaknaan terhadap madrasah. Di satu sisi,
madrasah diidentikan dengan sekolah umum karena memiliki muatan kurikulum yang relatif sama dengan sekolah umum. Di sisi lain, madrasah dianggap pesantren
dengan sistem pendidikan klasikal yang kemudian dikenal dengan Madrasah Diniyah. Ketiga, muatan kurikulum yang relatif sama dengan muatan kurikulum di sekolah,
menjadikan madrasah kurang memiliki jati diri sebagai lembaga yang mencetak ahli- ahli agama. Keempat, dengan penegerian beberapa madrasah yang ada,
mengakibatkan berkurangnya peran serta masyarakat terhadap madrasah. Ada suatu anggapan bahwa setelah dinegerikan, maka semua tanggung jawab berada di tangan
pemerintah, sehingga masyarakat lepas sama sekali. Kelima, kendatipun status madrasah sama dengan sekolah umum, namun dalam realitasnya keberadaan
madrasah tetap dianggap pendidikan kelas dua, baik dari segi kualitas akademik,
144
Observasi di MAN Insan Cendekia, 20 Pebruari 2010, sebagai bahan perbandingan penulis juga mengadakan observasi di MAN 1 dan 2 Serang, 25 November 2010.
maupun sarana dan prasarana.
145
Di sini menjadi sebuah keprihatinan, bagaimana madrasah dapat bangkit dan diakui kualitasnya oleh masyarakat sebagai lembaga
pendidikan Islam yang unggul juga dalam mata pelajaran umum sehingga minimal
pengakuan masyarakat sejajar dengan sekolah.
Pada mulanya banyak masyarakat yang tidak setuju, masuknya pelajaran umum ke madrasah. Menurut analisa Steenbrink, penolakan mereka
146
dalam rangka mempertahankan sifat tradisional agama di bidang pendidikan. Pada masyarakat
pedesaan yang terisolir, rencana pendidikan dari Departemen Agama merupakan suatu bentuk peralihan dari pendidikan agama tradisional kepada bentuk madrasah
dengan cap agama yang masih kuat, lebih mudah diterima daripada sekolah umum yang kurang bersifat agama.
147
Menurut Husni Rahim, hal demikian terjadi karena merupakan warisan sejarah Islam di Indonesia, bahwa Islam yang masuk dan
berkembang di Indonesia adalah Islam yang bercorak mistik dan sufistik yang lebih mementingkan agama dari pada dunia.
148
Madrasah yang merupakan kepanjangan tangan dari pesantren, dimana pengaruh mistik dan sufistik cukup besar di pesantren
145
Fatah Syukur, “Madrasah dan Pemberdayaan”, dalam Citra Edukasi Blog spot.com, 2008. 08032010.
146
Penolakan mereka tidak hanya dalam mata pelajaran umum, tetapi juga karena sekolah Gubernemen memakai meja, kursi, papan tulis, penghapus dan lain-lain, ini semua juga ditolak, hal
yang sama berlaku di bidang pakaian: celana, sepatu, dasi dianggap sebagai simbol dunia modern dan profan. Di pesantren Mustafawiyah, Purba Baru, Tapanuli Selatan para santri harus memakai sepatu
dan celana untuk masuk pelajaran madrasah, yang dididik dalam pelajaran pesantren. Tetapi untuk shalat dan untuk pelajaran tambahan dari kitab kuning yang diberikan dalam masjid, wajib dipakai
sarung dan sepatu harus dilepas, --hal yang sama terjadi dengan bahasa daerah dan bahasa Indonesia, dalam madrasah dipakai bahasa Indonesia, tetapi dalam masjid dan pengajian tambahan di dalamnya
selalu dipakai bahasa daerah. Lihat, Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, 233.
147
Lihat Boland, The Struggle, 123, dimana seorang responden mengatakan: “Orang desa masih kirim anaknya ke pesantren. Pimpinan pesantren mengirim anaknya ke madrasah. Para guru
madrasah kirim anak-anak mereka ke SMP dan SMA, supaya mereka nanti bisa belajar ke IAIN. Tetapi para dosen IAIN mencari kemungkinan untuk mengirim anak-anak mereka ke universitas
negeri untuk belajar di sana. Memang gambaran ini berlebih-lebihan tetapi ada unsur benarnya juga di dalamnya.
148
Husni Rahim, “Visi Madrasah”, http:www.blogger.comfeeds35417963postsdefaul, 2008. 27022010.
khususnya pesantren tradisional salafiyah. Mempengaruhi pula budaya dan tradisi serta pola pikir masyarakat Islam.
Dengan demikian di Madrasah Aliyah, lanjut Husni, diadakan program Mafikibb Matematika, Fisika, Kimia, Biologi dan Bahasa Inggris dengan nuansa
Islam dimaksudkan menjembatani kekurang akraban dan kekurang tertarikan madrasah di Indonesia dengan bidang studi Matematika, Fisika, Kimia, Biologi dan
Bahasa Inggris. Padahal di masa kejayaan Islam ilmu tersebut diperkenalkan dan dikembangkan oleh ilmuwan Islam, seperti Jabir ibn Hayyan, oleh orang Barat
dikenal dengan geber adalah ahli kimia yang diakui dunia Barat. Demikian pula Musa al-Khawarizmi seorang ahli matematika yang memperkenalkan al-gebra atau
al-jabar dan memperkenalkan angka Arab; Ibn Sina seorang ahli ket}abiban kedokteran yang banyak menulis buku kedokteran, dan masih banyak lagi tokoh
ilmuwan Islam yang muncul di masa kejayaan Islam. Bidang studi Mafikibb berdasarkan kurikulum 1994 dirasakan sukar bagi kebanyakan guru madrasah dan
pondok pesantren untuk mengajarkannya dan juga dirasakan sulit oleh para siswa. Padahal bidang studi Mafikibb merupakan aspek pendidikan yang sangat dominan
dalam meningkatkan kemampuan nalar dan analisis siswa dalam mempelajari dan mengembangkan iptek.
149
Melihat realitas yang demikian rupanya kejayaan Islam sangat pelan bangkitnya kembali.
Salah satu sebab lagi, mengapa sejumlah pesantren dan madrasah tidak dapat mengembangkan pendidikan umum adalah karena kenyataan bahwa pendidikan
umum jauh lebih mahal daripada pendidikan agama. Para guru pendidikan umum kebanyakan minta gaji yang lebih tinggi dan mereka juga segan datang ke pesantren
yang terletak di pelosok. Hal ini terutama berlaku bagi guru di tingkat sekolah menengah.
150
Para guru yang demikian, sebenarnya karena mentalitas keagamaan
149
Husni Rahim, “Visi Madrasah”, http:www.blogger.comfeeds35417963postsdefaul, 2008. 2702 2010.
150
Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, hlm. 234.
mereka rendah, dikarenakan terjadinya dikotomi ilmu. Para intelektual Muslim, seperti Ibnu Sina, al-Khwarizmi, al-Biruni dan lain-lain, mereka ahli dalam
pengetahuan umum, karena dasar agamanya kuat maka mentalitas untuk pengabdiannya juga besar.
Dengan masuknya Mafikibb ke dalam kurikulum madrasah, dan madrasah dapat mengintegrasikan kurikulumnya –ilmu umum dan agama– pertumbuhan dan
perkembangan madrasah di Indonesia akan dapat diperhitungkan. Tetapi dengan catatan, bahwa integrasi tersebut, jangan hanya menjumlahkan mata pelajaran --
agama dan umum– seperti kurikulum madrasah tahun 1994.
151
Integrasi yang dimaksud adalah integrasi secara sistem dan metode, bukan hanya content.
Setelah permasalahan madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam selesai secara sistem, masih ada persoalan dengan madrasah sebagai sekolah
agama yang memberikan porsi utama pengajaran agama ditambah pengajaran umum sebagai ciri ke-Indonesiaan dan ke-modernan belum mendapat tempat dalam sistem
pendidikan nasional versi UU No. 2 Tahun 1989. Hal ini tampak dari data siswa yang ikut ebtan 19941995 ternyata murid terbanyak berada di jurusan umum –
52,11-- yang mencakup IPS, IPA, dan Budaya. Sedangkan jurusan Ilmu Agama hanya 47,89.
Hal ini masih mengundang perasaan yang ”kurang puas” di kalangan umat, karena masih ada perasaan pemerintah memojokkan madrasah yang mengfokuskan
pada pengajaran agama dan dengan tambahan pelajaran umum. Juga masih terdengar pendapat yang menyatakan bahwa madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas
Islam itu sebagai upaya ”mendangkalkan agama” bagi umat Islam Indonesia. Tentu prasangka ini tidak beralasan, karena memang peminat untuk memasukkan anak ke
madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam jauh lebih besar dibanding dengan yang ingin memasukkan anaknya ke sekolah agama yang pengetahuan
151
Menurut Mastuhu, dengan kurikulum madrasah tahun 1994, masih terasa sekali dikotomi ilmu –agama dan umum– lihat Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam,
Jakarta: Logos, 1999, 58.
agamanya lebih besar dari pengetahuan umum seperti ditunjukkan oleh data bahwa anak-anak yang memilih program pilihan agama jauh lebih kecil 48 dari yang
memilih pilihan IPS atau matematika 52 . yang telah disahkan Presiden pada tanggal 8 Juli 2003 setelah melalui perdebatan panjang di masyarakat dan Dewan
Perwakilan Rakyat.
152
Melalui Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 tahun 1989, yaitu diakuinya madrasah sebagai suatu Sistem Pendidikan Nasional, sehingga
terbuka juga peluang lulusan madrasah dapat melanjutkan studi ke perguruan tinggi umum. Menurut Danim, terbukanya peluang untuk melanjutkan ke perguruan tinggi
umum harus dimanfaatkan oleh madrasah sebaik mungkin dan harus meningkatkan kualitas
153
pelajaran umum eksakta seperti Matematika, Fisika dan Biologi. Pernyataan Danim, dipertegas Akhwan, madrasah harus mendorong peserta didiknya
untuk mau bekerja di bidang ekonomi, teknik, dan ilmu eksakta murni agar bidang tersebut tidak hanya dikuasai oleh lulusan non madrasah yang belum tentu memiliki
mental keagamaan yang kuat.
154
Pernyataan Akhwan ini memperkuat temuan bahwa walaupun kurikulum MA telah sama dengan SMA, namun MA tetap
mempertahankan ciri khas ke-Islamanya. Masuknya pelajaran umum ke dalam kurikulum madrasah ternyata
ditanggapi beragam oleh para tokoh Muslim dan lembaga pendidikan Islam. Di awal-
152
Husni Rahim, “Pengakuan Kembali Madrasah sebagai Sekolah Agama Berwawasan Umum”, dalam http:www.blogger.comfeeds35417963postsdefaul, 2008. 27022010.
153
Kualitas pendidikan menurut Danim, tidak semata-mata diukur dari mutu keluaran pendidikan secara utuh education outcomes akan tetapi dikaitkan dengan konteks dimana mutu itu
ditempelkan dan berapa besar persyaratan tambahan yang diperlukan untuk itu. Misalnya, seorang lulusan Madrasah Aliyah untuk menduduki dunia kerja tidak perlu mendapatkan pelatihan tambahan
sebelum memberikan layanan di tempat kerjanya, berarti ia adalah lulusan yang lebih bermutu daripada yang masih harus menempuh pelatihan pra penempatan dengan spesifikasi yang sama
Kualitas pendidikan juga bisa diukur dari besarnya kapasitas layanan pendidikan dalam memenuhi customers needs dikaitkan dengan besarnya pengorbanan yang diperlukan untuk itu, seperti biaya yang
dikeluarkan oleh masyarakat atau pemerintah, lama belajar, dan biaya-biaya tidak langsung. Lihat, Sudarwan Danim, Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, 80.
154
Akhwan, “Pengembangan Madrasah sebagai Pendidikan untuk Semua”, dalam El- Tarbawi Jurnal Pendidikan, No. 1 Vol. 1 2008, 45.
awal masuknya pelajaran umum ke dalam kurikulum madrasah, banyak tokoh Muslim yang tidak setuju, karena lulusan madrasah akan mandul. Dari sisi ilmu
agama mereka tidak matang, dan ilmu umumnya pun masih kalah sama lulusan SMA. Sehingga ada madrasah yang tetap mempertahankan 100 pelajaran agama, seperti
KMI Kulliyatul Mu‘allimi n al-Isla
miyah Pondok Pesantren Modern Gontor. Ada juga yang mengikuti kebijakan pemerintah, dengan memasukan pelajaran umum
secara dominan. Yang jelas ketika, hal ini ditanggapi secara sinis, adalah politis, tetapi jika ditanggapi secara lapang dada ini adalah peluang bagi madrasah untuk
bangkit. 5. Madrasah Masuk Sistem Pendidikan Nasional: Leburnya Sistem Ganda
Munculnya Undang-Undang Pendidikan No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, madrasah harus berbenah diri, karena dalam pasal 11 ayat 6:
”Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus
tentang ajaran agama yang bersangkutan”. Pendidikan keagamaan yang dimaksud di sini tentunya madrasah. Secara spesifik dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah No.
29 tahun 1990, pasal 3 ayat 3: “Pendidikan menengah keagamaan mengutamakan penyiapan siswa dalam penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama yang
bersangkutan”. Pendidikan menengah keagamaan yang dimaksud di sini tentunya Madrasah Aliyah. Cuma yang dimaksud Madrasah Aliyah di sini, Madrasah Aliyah
umum atau Madrasah Aliyah Keagamaan MAK, karena dalam Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990, pasal 4 ayat 1 disebutkan: “Bentuk satuan
pendidikan menengah terdiri atas, Sekolah Menengah Umum SMU, Sekolah Menengah Kejuruan SMK, Sekolah Menengah Keagamaan,
155
--dimungkinkan
155
Dalam PP No. 29 Tahun 1990 disebutkan bahwa penamaan masing-masing bentuk sekolah menengah sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 angka 3 ditetapkan oleh Menteri Agama
setelah mendengar pertimbangan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
MA– Sekolah Menengah Kedinasan dan Sekolah Menengah Luar Biasa”.
156
Jika Madrasah Aliyah termasuk sekolah keagamaan, maka menurut penulis yang tepat
adalah Madrasah Aliyah Keagamaan, bukan Madrasah Aliyah umum yang mempunyai jurusan ilmu-ilmu Fisika, ilmu Biologi, ilmu-ilmu Sosial dan
Pengetahuan Budaya. Sebenarnya dilihat dari kebijakan-kebijakan tersebut di atas jelas bahwa ruang lingkup pembelajaran yang ada di madrasah dibatasi pada
pengetahuan agama saja. Hal ini sangat politis, seolah-olah madrasah yang dalam bahasa Indonesianya sekolah tidak boleh berkembang layaknya sekolah-sekolah
umum yang lain. Kemudian Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990, pasal 11 ayat 1 dan
2 menyebutkan: “Pengelolaan pendidikan menengah sebagai bagian dari sistem pendidikan adalah tanggung jawab menteri”.
157
Menteri yang mempunyai kewenangan dalam bidang pendidikan tentunya Mendikbud. Dengan demikian
Keputusan Menteri Agama KMA, pada dasarnya menjabarkan keputusan Mendikbud. Di sini sebenarnya kelihatan unsur politisnya, nampaknya Menag hanya
merujuk kepada Mendikbud, ketika ada Peraturan Pemerintah yang terkait dengan pendidikan, seperti sekolah kedinasan yang lain. Melihat hal ini sebenarnya posisi
madrasah tidak mungkin sekuat sekolah, karena eksistensi madrasah layaknya sekolah kedinasan yang lain. Posisi politis yang demikian akan berimplikasi di segala
hal terkait dengan perkembangan madrasah.
158
Padahal jika melihat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 tentang pendidikan Agama
dan pendidikan Keagamaan Bab I pasal 11 disebutkan, “Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan”. Berarti otoritas
pendidikannya sebenarnya penuh, tetapi realitasnya tidak, karena dari sisi anggaran
156
Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, hlm. 114. Lihat juga, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah, Bab 1 Pasal 1,
1.
157
Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, 114.
158
PP No. 29 Tahun 1990, masih dalam suasana Orde Baru, PP ini di tandatangani oleh Presiden Soeharto.
pendidikan, kucuran dana di madrasah adalah nomor dua setelah sekolah baik secara urutan maupun secara kuantitas. Dalam pasal 12 PP yang sama disebutkan, “Menteri
Agama adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama”. Dengan demikian Menteri Agama sebenarnya punya otoritas pendidikan dan
agama, seperti ketika Departemen Pendidikan dan Kebudayaan masih menjadi satu. Tetapi realitasnya madrasah di bawah Departemen Agama marjinal dengan suatu
alasan dana yang tidak sama dengan sekolah, hal ini juga politis. Argumen ini diperkuat bunyi ayat 2 PP yang sama: “Tanggung jawab
sekolah menengah keagamaan dilimpahkan oleh Menteri kepada Menteri Agama”. Bunyi ayat 2 ini bila disandingkan dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan No. 0489U1992 pasal 1 butir 6: “Madrasah Aliyah adalah SMU yang berciri khas agama Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama”. Ini jelas
bahwa secara hirarkis, nampaknya interpretasi kebijakan pendidikan sampai tahap realisasi adalah sebagai berikut: Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan baru Keputusan Menteri Agama sebagai tindak lanjut dari Keputusan Mendikbud. Dalam bahasa politis kebijakan Menteri Agama
tentang madrasah tetap menduduki posisi nomor dua setelah sekolah. Merujuk Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990, pasal 4 ayat 1, pasal
11 ayat 1 dan 2 dan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0489U1992 pasal 1 butir 6, secara politis membingungkan Madrasah Aliyah dan
nasib yang kurang baik bagi MAK. Maksudnya kesulitan dalam menata. Husni Rahim memberikan beberapa alternatif, pertama, Madrasah Aliyah dijadikan dua
satuan pendidikan, 1 Satuan pendidikan menengah umum yang berciri khas agama Islam yang legalitasnya didasarkan pada pelimpahan wewenang dan tanggung jawab
penyelenggaraan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan SK Mendikbud No. 0489U1992 pasal 1 butir 6, 2 Satuan Pendidikan Menengah Keagamaan yang
legalitasnya didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1990 pasal 11 ayat 2. Alternatif ini didasarkan pada Keputusan-keputusan Menteri Agama, Nomor 370
Tahun 1993 tentang Madrasah Aliyah, Nomor 371 Tahun 1993 tentang Madrasah Aliyah Keagamaan, Nomor 373 tahun 1993 tentang kurikulum Madrasah Aliyah, dan
Nomor 374 Tahun 374 tentang Kurikulum Madrasah Aliyah Keagamaan.
159
Logikanya, dengan ditetapkannya Madrasah Aliyah menjadi 2 satuan pendidikan, pada Madrasah Aliyah Negeri terdapat dua jenis lembaga yaitu Madrasah
Aliyah Negeri MAN Umum dan Madrasah Aliyah Keagamaan Negeri MAKN. Keberadaan MAN Umum tidak menjadi persoalan, karena dasarnya sudah
ada, yaitu keputusan-keputusan Menteri Agama yang berisi penetapan keberadaan Madrasah Aliyah Negeri.
160
Tetapi secara yuridis masalah bagi MAKN, karena dalam prakteknya, menurut laporan Husni Rahim, 16 MAN yang sebelumnya
menyelenggarakan MAPK, mulai tahun pelajaran 19941995 telah melaksanakan kurikulum MAK.
161
Menurut penulis, walaupun Madrasah Aliyah Negeri MAN Umum dijadikan menjadi dua satuan pendidikan, MAN Umum dan MAK, kalau
anggaran dana dari pemerintah juga kecil dan tidak mencukupi, maka nasib peningkatan kualitas output MAN Umum dan MAK juga tidak jauh berbeda dengan
sebelumnya. Dalam rangka peningkatan mutu MAN Umum dan MAK, lebih baiknya dijadikan dua satuan pendidikan, tetapi dana MAN Umum ditingkatkan dan dana
MAK seperti pada masa MAPK. Kedua, alternatif kedua, seperti alternatif pertama, tetapi Madrasah Aliyah,
disamping dibuka program-program seperti SMU, juga dibuka program Ilmu-ilmu Agama, yang dilaksanakan di kelas III, dengan demikian programnya menjadi
159
Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, 115. Kurikulum Madrasah Aliyah Keagamaan MAK, diberlakukan mulai tahun Pelajaran 19941995, lihat, Keputusan Menteri Agama
KMA No. 374 Tahun 1993, 2. Yang menandatangani Keputusan Menteri Agama KMA, adalah Menteri Agama, ketika KMA ini ditandatangani, Menteri Agamanya adalah Tarmizi Taher, apabila
diamati, situasi politiknya adalah masih dibawah otoritas rezim orde Baru.
160
KMA Nomor 17 Tahun 1987 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Madrasah Aliyah Negeri; KMA Nomor 137 tahun 1991 tentang Pembukaan dan Penegerian Madrasah; KMA
Nomor 42 tahun 1992 tentang pengalihan Pendidikan Guru Agama Negeri PGAN menjadi Madrasah Aliyah Negeri MAN; KMA Nomor 244 Tahun 1993 tentang Pembukaan dan Penegerian Madrasah.
Lihat, Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, 115.
161
Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, 115.
Bahasa, IPA, IPS dan Ilmu-ilmu Agama. Menurut Husni Rahim jika alternatif ini dipilih, selain penetapan kelembagaan MAKN, juga perlu dilakukan penyempurnaan
SK Menteri Agama Nomor 373, tahun 1993 tentang kurikulum Madrasah Aliyah.
162
Menurut penulis, supaya lulusan Madrasah Aliyah umum berkualitas tetap saja membuka jurusan-jurusan umum tidak perlu membuka jurusan ilmu-ilmu agama,
karena ketika dibuka jurusan ini dan dimulai kelas tiga, secara kualitas hasilnya di bawah lulusan MAKN, toh ciri khas keagamaannya sudah include dalam mata
pelajaran PAI. Dengan catatan PAI di Madrasah Aliyah umum alokasi waktunya di tambah dalam rangka memenuhi target ciri khas ke-Islaman, dan alokasi waktu untuk
pelajaran umum tetap sama dengan SMU. Sehingga ketika kualitasnya sama-sama baik antara Madrasah Aliyah Umum dan MAKN, maka secara market, juga dapat
bersaing. Ketiga, Madrasah Aliyah menjadi satuan pendidikan sekolah menengah
umum berciri khas agama Islam, seperti dimaksud dalam SK Mendikbud Nomor 0489U1992, tetapi disamping menyelenggarakan program-program seperti di SMU
di lingkungan Depdikbud pada Madrasah Aliyah dilaksanakan Madrasa Aliyah dibuka program Madrasah Aliyah Keagamaan yang dimulai kelas satu, sebagai
bagian ciri khas agama Islam. Menurut Husni Rahim, jika alternatif ini dipilih langkah yang harus segera diambil adalah penyempurnaan keputusan-keputusan
Menteri Agama Nomor 370, 371, 373 dan 374 tahun 1993 untuk disesuaikan dengan alternatif tersebut.
163
Secara kelembagaan cukup simpel dan lebih efesien, hanya saja ketika MAKN jadi istilah tersendiri, maka MAKN manajemennya numpang di MAN
Umum. Kalau demikian realitasnya, maka lulusan MAKN juga tidak berkualitas,
162
Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, 116.
163
Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, 116.
akibatnya MAKN semakin tidak diminati masyarakat, lama kelamaan bisa gulung tikar. Dengan demikian keberadaan MAKN
164
secara politis jadi sangat dilematis. Nampak jelas, bahwa jalan pikiran pemerintah, akan menjadikan sistem
ganda, yang secara historis merupakan tuntutan tokoh nasionalis sekuler dan tokoh nasionalis Muslim, akan dijadikan satu sistem yaitu Sistem Pendidikan Nasional
SPN. Sehingga, digunakan berbagai cara, bagaimana kurikulum madrasah sekaligus legalitas madrasah disamakan kedudukannya dengan sistem persekolahan. Secara
politis insan madrasah dirugikan, tetapi jika disadari juga mendapat keuntungan dan peluang yang cukup besar bagi lulusan madrasah. Tinggal bagaimana, insan
madrasah dapat tetap mempertahankan ciri khas ke-Islamannya, karena hal ini yang membedakan secara substansial antara sistem madrasah dengan sistem persekolahan.
6. Madrasah adalah Sekolah Umum Berciri Khas Islam: Sebuah Realitas Yang Harus Diterima
Lahirnya PP Nomor 29 Tahun 1990 tentang pendidikan menengah menjadi dasar bahwa Madrasah Aliyah adalah SMUsekolah umum berciri khas Islam. Dalam
PP Nomor 29 tersebut ditegaskan bahwa pada jenjang pendidikan menengah, terdapat bentuk-bentuk satuan pendidikan, yaitu sekolah keagamaan, sekolah menengah
kedinasan dan sekolah menengah luar biasa.
165
Sekolah menengah keagamaan di sini berarti Madrasah Aliyah.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0489U1992 Tahun 1992 tentang sekolah menengah umum, ditetapkan bahwa
Madrasah Aliyah adalah Sekolah Umum yang berciri khas agama Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama. Dalam SK Mendikbud tersebut juga
164
Padahal dalam Keputusan Menteri Agama KMA, dalam Bab 1 Ketentuan Umum, pasal 2 disebutkan, “Sekolah Menengah Keagamaan adalah bentuk satuan pendidikan yang
menyelenggarakan pendidikan pada jenjang pendidikan menengah yang mengutamakan penyiapan siswa dalam penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama”. Kemudian dalam Bab 2, pasal 1,
“Menyiapkan siswa dalam penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama Islam”. Lihat, Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia KMA No. 371 Tahun 1993 Tentang Madrasah Aliyah
Keagamaan, 2.
165
Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, 106.
ditegaskan bahwa Madrasah Aliyah wajib memberikan bahan kajian sekurang- kurangnya sama dengan Sekolah Menengah Umum SMU. Dalam mata pelajaran
umum, tetapi dalam mata pelajaran agama, madrasah tetap mendapat porsi lebih. Husni Rahim melaporkan, jika di SMU, alokasi waktu pelajaran agama perminggu
hanya 2 jam, tetapi pada Madrasah Aliyah, 9 jam pelajaran
166
--kurikulum 1994–. Dalam kurikulum 2004 dan 2006, alokasi waktu mata pelajaran agama pada
Madrasah Aliyah program studi Ilmu Alam, Ilmu Sosial, dan Bahasa
167
sama persis dengan SMU.
Secara umum, diakuinya madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, tersurat dalam Undang-Undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, UU ini mengakui madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Juga berdasarkan PP. No. 28 dan 29 tahun 1989 ditetapkan,
bahwa madrasah adalah sekolah umum yang berciri khas Islam. Kurikulum madrasah adalah sama dengan kurikulum sekolah, plus ciri khasnya.
168
Menurut Husni Rahim, bahwa dalam memberikan ciri khas Islam pada madrasah, perlu dilakukan upaya
memberikan “nuansa Islam” pada bidang studi umum Mafikibb,
169
Matematika, Fisika, Kimia, Biologi dan Bahasa Inggris. Dengan kata lain mata pelajaran PAI
berintegrasi dengan mata-mata pelajaran Mafikibb.
166
Jumlah yang demikian itu, masih dirasakan “kurang” sehingga masih ada suara, kurikulum 1994 sebagai kurikulum yang “mendangkalkan agama”. Pertanyaan sekarang, apakah ciri
khas agama pada madrasah hanya menjadi tanggungjawab guru bidang studi agama, sehingga bila jam belajar bidang studi agama berkurang berarti terjadi pendangkalan agama? Ciri khas Islam pada
madrasah menjadi tanggung jawab semua orang yang berkait dengan madrasah. Mulai dari kepala madrasah pimpinan, guru baik bidang studi agama maupun bidang studi umum, tenaga
kependidikan lainnya, BP3 dan para murid sendiri. Lihat, Husni Rahim, Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia Jakarta: Logos, 2005, 47. Bandingkan dengan hasil observasi penulis
terhadap MAN Insan Cendekia, tanggal 20 Pebruari 2010, observasi MAN 1 dan 2 Serang, tanggal 25 November 2010.
167
E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik, dan Implementasi Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003, 81-85.
168
Husni, Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia, 46.
169
Mafikibb, adalah Matematika, Fisika, kimia, Biologi, dan Bahasa Inggris, merupakan aspek pendidikan yang sangat dominan dalam meningkatkan kemampuan nalar dan analisa siswa.
Lihat, Husni, Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia, 47.
Dalam rangka menindak lanjuti Keputusan Mendikbud di atas, telah dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Agama KMA nomor 370 tahun 1993 tentang
Madrasah Aliyah. Selain
MA sebagai
SMU berciri
khas Agama
Islam yang
penyelenggaraannya didasarkan pada SK Mendikbud Nomor 0489U1992, Departemen Agama juga berkewajiban menyelenggarakan sekolah menengah
keagamaan berdasarkan PP nomor 29 tahun 1990 pasal 11 ayat 2 yang menegaskan, “tanggung jawab pengelolaan sekolah menengah keagamaan dilimpahkan oleh
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kepada Menteri Agama”. Sekolah keagamaan ini, berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 371 tahun 1993, dinamakan
Madrasah Aliyah Keagamaan MAK.
170
Intinya, walaupun kurikulum madrasah sudah didominasi oleh mata pelajaran umum secara kuantitas, tetapi PAI, harus tetap menjadi ruh dalam mata-
mata pelajaran umum tersebut. Kemudian madrasah jangan hanya sebagai tempat menggali ilmu saja, tetapi juga sebagai tempat mengamalkan ilmu. Hal ini menjadi
tanggungjawab seluruh personil madrasah, dari Kepala Madrasah sampai Office Boy OB.
Penguatan pengakuan eksistensi madrasah dalam sistem pendidikan nasional UU No. 20 tahun 2003, hendaknya menjadikan kesempatan emas bagi
insan madrasah untuk meningkatkan kualitas madrasah
171
dari semua aspek, utamanya adalah aspek kurikulum. Karena sentral utamanya, politisasi sistem
persekolahan terhadap madrasah adalah kurikulumnya. Dalam trend sekarang, alumni madrasah tidak hanya terampil berdo’a, tetapi
mereka sudah visioner, sehingga membentuk alumni yang berwawasan luas. Seperti dikatakan Hefner, bahwa sejak tahun 1990, ia menulis beberapa sekolah Islam
madrasah baru yang sebagian madrasah tersebut mendekati teori pergerakan sosial
170
Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, 107.
171
Afrianto Daud, “Madrasah dan Tantangan Dunia Global”, dalam Singgalang, 17 September 2004.
seperti mereka mencapai transformasi politik dan sosial dan lebih jauh lagi adalah “Islam tetapi merupakan kelompok nasionalis yang pluralis”. Dan ini adalah benar,
bukan kenyataan yang ditolak minoritas, bukan berpusat pada negara, tetapi tujuannya adalah merubah warga negara dan masyarakat.
172
Alumni madrasah telah terbukti dapat diterima di semua kalangan, bisa bekerja di banyak bidang
pemerintahan, seperti Departemen Keuangan, Pendidikan, Hukum, Transmigrasi dan lain-lain.
Pergeseran kurikulum madrasah
173
sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang bersifat politis. Kebijakan tersebut membawa madrasah ke arah satu
sistem pendidikan nasional, yang secara historis pada dasarnya, sistem pendidikan di Indonesia adalah sistem ganda. Bila ditinjau dari integrasi Ilmu, pergeseran
kurikulum madrasah adalah ke arah mewujudkan integrasi ilmu, walaupun, banyak juga komentar miring, bahwa madrasah sudah tidak dapat mencetak ulama yang ahli
agama. Tetapi sebenarnya masih ada MAK, yang secara content, muatan ilmu agamanya lebih dominan dibanding ilmu umumnya. Dari MAK ini, dapat mencetak
ulama yang ahli agama.
E. Tafsir Pergeseran