Jenis - Jenis Hukuman Dalam Hukum Positif

unsur dari delik yang didakwakan. Jika ternyata sudah cocok maka dapat di tentukan bahwa perbuatan itu merupakan suatu tindak pidana yang telah terjadi yang dapat di pertanggungjawabkan kepada pelakunya, namun jika unsur-unsur tersebut tidak memenuhi ketentuan yang telah di cantumkan dalam bunyi pasal yang disangkakan maka kepada pelakunya tidak dapat dimintai pertanggungjawabkan.

3. Jenis - Jenis Hukuman Dalam Hukum Positif

KUHP sebagai induk atau sumber utama hukum pidana telah merinci jenis- jenis pidana, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 10 KUHP. Menurut stelsel dalam KUHP, pidana dibedakan menjadi dua kelompok yaitu antara pidana pokok dengan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari: 1. Pidana Mati Berdasarkan pada hak yang tertinggi bagi manusia, pidana mati adalah suatu hukuman yang terberat, yang pelaksanaanya berupa penyerangan terhadap hak hidup bagi manusia, yang sesungguhnya hak ini hanya berada di tangan Tuhan, maka tidak heran sejak dulu sampai sekarang menimbulkan pendapat pro dan kontra, bergantung dari kepentingan dan cara memandang pidana mati itu sendiri. Selain itu kelemahan dan keberatan pidana mati ini ialah apabila telah dijalankan, maka tidak dapat memberi harapan lagi untuk perbaikan, baik revisi atas pidananya maupun perbaikan atas diri terpidananya apabila dikemudian hari ternyata penjatuhan pidana terdapat kekeliruan, baik kekeliruan terhadap orang atau pembuatnya atau petindaknya, maupun kekeliruan atas tindak pidana yang mengakibatkan pidana mati itu dijatuhkan dan dijalankan atau juga kekeliruan atas kesalahan terpidana. 2. Pidana penjara Pidana penjara adalah suatu sifat dari menghilangkan dan atau membatasi kemerdekan bergerak seseorang, dalam arti menempatkan terpidana dalam suatu tempat Lembaga Pemasyarakatan dimana terpidana tidak bebas untuk keluar masuk dan didalamya wajib untuk tunduk, mentaati dan menjalankan semua peraturan tata tertib yang berlaku dalam Lembaga Pemasyarakatan. 3. Pidana kurungan Sama halnya dengan pidana penjara, pidana kurungan juga merupakan suatu sifat dari menghilangkan dan atau membatasi kemerdekan bergerak seseorang, namun dalam hal pidana kurungan masa lamanya seseorang dalam menjalani pidananya relatif lebih singkat dari pada pidana penjara. 4. Pidana denda Pidana denda diancamkan pada banyak jenis pelanggaran, baik sebagai alternatif dari pidana kurungan maupun berdiri sendiri. Begitu juga terhadap jenis kejahatan-kejahatan ringan maupun kejahatan culpa. Dimana uang denda yang dibayar terpidana menjadi milik negara, oleh karena itu, kejaksaan setelah menerima dari terpidana, uang itu harus disetor ke kas negara. 5. Pidana tutupan Pidana tutupan ini ditambahkan dalam pasal 10 KUHP melalui UU No. 20 Tahun 1946, yang maksudnya sebagaimana yang tertuang dalam pasal 2 ayat 1 yang menyatakan bahwa dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan pidana penjara karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan. Tempat dan menjalani pidana tutupan, serta segala sesuatu yang perlu untuk melaksanakan UU No. 20 Tahun 1946 diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1948, yang dikenal dengan Peraturan Pemerintah tentang Rumah Tutupan. Namun dalam praktik hukum selama ini pidana tutupan ini sangat jarang diterapkan oleh hakim dalam putusan hukumnya. Pidana tambahan terdiri dari: 1. Pidana pencabutan hak-hak tertentu; Menurut hukum, pencabutan seluruh hak yang dimiliki seseorang yang dapat mengakibatkan kematian perdata burgerlijke daad tidak diperkenankan. UU hanya memberikan kepada negara melalui alat atau lembaganya yang berwenang melakukan pencabutan hak tertentu saja, menurut pasal 35 ayaat 1 KUHP, hak-hak yang dapat dicabut tersebut adalah: a. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu; b. Hak menjalankan jabatan dalam Angkatan BersenjataTNI; c. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum; d. Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampuh, atau pengampuh pengawas atas anak yang bukan anak sendiri; e. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri; f. Hak menjalankan mata pencaharian; 2. Pidana perampasan barang-barang tertentu; Perampasan barang sebagai suatu pidana hanya diperkenankan atas barang- barang tertentu saja, tidak diperkenankan untuk semua barang. UU tidak mengenal perampasan untuk semua kekayaan. Ada dua jenis barang yang dapat dirampas melalui keputusan hakim pidana, yaitu: a. Barang-barang yang berasal atau diperoleh dari suatu kejahatan bukan dar i pelanggaran yang disebut dengan corpora delictie, misalnya uang palsu dari kejahatan pemalsuan uang, narkoba dari kejahataan narkoba atau psikotropika; dan b. Barang-barang yang digunakan dalam melakukan kejahatan, yang disebut dengan instrumenta delictie, misalnya pisau yang digunakan dalam kejahatan pembunuhan atau penganiayaan, anak kunci palsu yang digunakan dalam tindak kejahatan pencurian. 3. Pidana pengumuman keputusan hakim; Setiap putusan hakim memang harus diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum pasal 195 KUHAP bila tidak, putusan itu batal demi hukum. Tetapi pengumuman putusan hakim sebagai suatu pidana bukanlah seperti yang disebutkan di atas. Pidana pengumuman putusan hakim ini merupakan suatu publikasi ekstra dari suatu putusan pemidanaan seseorang dari pengadilan. Dalam pidana pengumuman putusan hakim ini, hakim bebas menentukan perihal cara melaksanakan pengumuman itu. Hal tersebut dapat dilakukan melalui surat kabar, melalui media radio maupun televisi yang beban pembiayaannya dibebankan kepada terpidana. Maksud dari pengumuman putusan hakim yang demikian ini, adalah sebagai usaha preventif, mencegah bagi orang-orang tertentu agar tidak melakukan tindak pidana yang sering dilakukan orang. Maksud yang lain adalah memberitahukan kepada masyarakat umum agar berhati-hati dalam bergaul dan berhubungan dengan orang-orang yang dapat disangka tidak jujur sehingga tidak menjadi korban dari kejahatan tindak pidana. Dari uraian diatas terdapat suatu perbedaan antara hukuman pokok dengan hukuman tambahan, adalah hukuman pokok terlepas dari hukuman yang lain imperatif, berarti dapat dijatuhkan kepada terhukum secara mandiri. Adapun hukuman tambahan hanya merupakan tambahan pada hukuman pokok fakultatif, sehingga tidak dapat dijatuhkan suatu hukuman tanpa ada hukuman pokok terlebih dahulu tidak mandiri.

BAB III PERKAWINAN DIBAWAH UMUR MENURUT HUKUM ISLAM DAN

HUKUM POSITIF

A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan

Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. 32 Perkawinan disebut juga dengan “pernikahan” berasal dari kata “nikah” yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukan, dan digunakan untuk arti bersetubuh wathi. Kata “nikah” sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan coitus, juga untuk arti akad nikah. 33 Arti nikah menurut Paunoh Daly ialah bergabung dan berkumpul; dipergunakan juga dengan arti wata’ atau akad nikah. 34 Secara terminologis kitab- kitab fiqih banyak diartikan dengan akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafad nakaha atau zawaja. 35 Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dalam Pasal I ayat 1 memberikan suatu definisi tentang perkawinan nikah dengan merumuskan “perkawinan ialah ikatan 32 Dep Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994 Cet. Ke-3, edisi ke-2, h. 456. 33 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, Bogor: Prenada Media, 2003, h. 7. 34 Paunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlus Sunnah dan Negara-Negara Islam , Jakarta: Bulan Bintang, 1988, h. 104. 35 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, Bogor: Prenada Media, 2003, h. 74.