Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Istilah dan batasan nikah muda nikah di bawah umur dalam kalangan pakar hukum Islam sebenarnya masih simpang-siur yang pada akhirnya menghasilkan pendapat yang berbeda. Maksud nikah muda menurut pendapat mayoritas ulama, yaitu, orang yang belum mencapai baligh bagi pria dan belum mencapai menstruasi haid bagi perempuan. Syariat Islam tidak membatasi usia tertentu untuk menikah. Namun, secara implisit, syariat menghendaki orang yang hendak menikah adalah benar-benar orang yang sudah siap mental, pisik dan psikis, dewasa dan paham arti sebuah pernikahan yang merupakan bagian dari ibadah, persis seperti harus pahamnya apa itu salat bagi orang yang melakukan ibadah salat, haji bagi yang berhaji. Tidak ditetapkannya usia tertentu dalam masalah usia sebenarnya memberikan kebebasan bagi umat untuk menyesuaikan masalah tersebut tergantung situasi, kepentingan, kondisi pribadi keluarga dan atau kebiasaan masyarakat setempat, yang jelas kematangan jasmani dan rohani kedua belah pihak menjadi prioritas dalam agama. Menurut negara pembatasan umur minimal untuk kawin bagi warga negara pada prinsipnya dimaksudkan agar orang yang akan menikah diharapkan sudah memiliki kematangan berpikir, kematangan jiwa dan kekuatan fisik yang memadai. Keuntungan lainnya yang diperoleh adalah kemungkinan keretakan rumah tangga yang berakhir dengan perceraian dapat dihindari, karena pasangan tersebut memiliki kesadaran dan pengertian yang lebih matang mengenai tujuan perkawinan yang menekankan pada aspek kebahagiyaan lahir dan batin. Dalam pandangan Islam pernikahan itu merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul. Sunnah Allah berarti menurut qudrat dan iradat Allah dalam penciptaan alam semesta ini, sedangkan sunnah Rasul berarti suatu tradisi yang telah di tetapkan oleh Rasul untuk dirinya sendiri dan untuk umatnya. 1 Islam menganjurkan orang untuk berkeluarga karena dari segi batin orang dapat mencapainya melalui berkeluarga, dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa hidup berpasang-pasangan, hidup berjodoh-jodoh adalah naluri makhluk Allah, termasuk manusia, 2 sebagaiman firmannya dalam QS. Adz-Dzariyaat 51 ayat 49:      Artinya: ”Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu meningatkan kebesaran Allah SWT”. 1 Amir Syarifuddin, “Garis-Garis Besar Fiqh”, Bogor: Kencana, 2003, hal. 76. 2 Abd. Rahman Ghazaly, “Fiqh Munakahat”, Bogor: Kencana, 2003, hal. 11-12. Dalam QS. Yaasiin 36 ayat 36 dinyatakan: 3 , -.0 1 23 4 5 6 78 96 4 :; = ?  AB-C96 4 D E?:FG HI J = KL M= DN Artinya: ” Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang mereka tidak ketahui”. Dalam sebuah hadist Nabi SAW, kita juga dianjurkan untuk menikah, seperti yang dinyatakan dalam salah satu sabda Nabi Muhammad SAW yang berasal dari Abdullah ibn Mas’ud, ucapan Nabi: + ,-ﺱ 0- 1 ﺱ 1 2 34- 56 5- 7896 :ﻥ= 3:?0-= A ,B C D?ﺱ E :+ 0-= FD? , GA H :ﻥ= I :5 J K 4 Artinya: Rasulullah bersabda ”Wahai golongan pemuda Barangsiapa diantara kalian yang telah mampu lahir dan batin untuk kawin, maka hendaklah ia kawin. Sesungguhnya perkawinan itu dapat menjaga pandangan mata dan menjaga kehormatan, barang siapa yaang belum mampu hendaklah berpuasa, karena puasa itu sebagai penawar hawa nafsu”. HR. Bukhari Hukum Negara yang mengatur mengenai masalah perkawinan adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di lain pihak hukum Islam yang mengatur mengenai perkawinan dari dulu hingga sekarang tidak berubah. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa perkawinan dan tujuannya 3 Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan terjemahnya, Semarang: CV. Asy-syifa, 1998 4 Imam Bhukhari, Sahih Bukhari, juz 7 Beirut Libanon: Daar al-Fikr. T.tp h. 3 adalah sebagai berikut, Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk dapat mewujudkan tujuan perkawinan, salah satu syaratnya adalah bahwa para pihak yang akan melakukan perkawinan telah masak jiwa raganya, agar terwujud tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian, oleh karena itu di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ditentukan batas umur minimal untuk melangsungkan suatu perkawinan. 5 Ketentuan mengenai batas umur minimal tersebut terdapat di dalam Pasal 7 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatakan bahwa: “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun”. Usia Perkawinan dalam Bab IV Kompilasi Hukum Islam KHI Pasal 15 menyebutkan bahwa: ”untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang UU Nomor 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun”. Dengan adanya batasan usia ini dapat ditafsirkan bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak menghendaki perkawinan di bawah umur yang telah ditentukan oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam Instrumen Hak Asasi Manusia apakah yang bersifat internasional international human rights law ataupun yang sudah 5 Ahmad Rofik, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hal . 77. diratifikasi oleh Pemerintah RI tidak menyebutkan secara eksplisit tentang batas usia perkawinan. Konvensi Hak Anak Convention on the Rights of the Child 1990 yang telah diratifikasi melalui Keppres No. 36 Tahun 1990 tidak menyebutkan usia minimal pernikahan selain menyebutkan bahwa yang disebut anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Juga setiap negara peserta konvensi diwajibkan melindungi dan menghadirkan legislasi yang ramah anak, melindungi anak dan dalam kerangka kepentingan terbaik bagi anak the best interest of the child. Konvensi tentang Kesepakatan untuk Menikah, Umur Minimum Menikah dan Pencatatan Pernikahan Convention on Consent to Marriage, Minimum Age for Marriage and Registration of Marriages 1964 menyebutkan bahwa negara peserta konvensi ini akan mengupayakan lahirnya legislasi untuk mengatur permasalahan umur minimum untuk menikah dan bahwasanya pernikahan yang dilakukan di luar umur minimum yang ditetapkan adalah tidak berkekuatan hukum, terkecuali otoritas yang berwenang menetapkan dispensasi tertentu dengan alasan yang wajar dengan mengedepankan kepentingan pasangan yang akan menikah. Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai instrumen HAM juga tidak menyebutkan secara eksplisit tentang usia minimum menikah selain menegaskan bahwa anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Disebutkan pula, penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi: a. non diskriminasi; b. kepentingan yang terbaik bagi anak; c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan d. penghargaan terhadap pendapat anak. Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Terkait pernikahan di bawah umur, pasal 26 1 huruf c UU Perlindungan Anak 2002 menyebutkan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Di lain pihak Hukum Islam, dalam hal ini Al Qur`an dan hadits tidak menyebutkan secara spesifik tentang usia minimum untuk menikah, persyaratan umum yang lazim dikenal adalah sudah baligh, berakal sehat, mampu membedakan yang baik dengan yang buruk sehingga dapat memberikan persetujuannya untuk menikah. Tidak menentukan secara spesifik batasan umur tertentu bagi orang untuk melaksanakan perkawinan, hal ini menimbulkan suatu argumentasi serta penafsiran yang berbeda tentang batasan umur untuk dapat melangsungkan pernikahan di kalangan para ulama. Bahkan ada salah satu tokoh masyarakat di wilayah Semarang Pujiono Cahyo Widianto Syekh Puji mengatakan hukum Islam membolehkan perkawinan di bawah umur sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Adanya pandangan yang berbeda terhadap batas umur untuk dapat melangsungkan suatu perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang- undang baik yang bersifat internasional international human rights law ataupun yang sudah tertuang dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, ketentuan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana khususnya dalam Pasal 288 KUHP, UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, membuat penulis merasa tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang pelaksanaan perkawinan di bawah umur dan sanksi apa yang berlaku bagi mereka yang melakukan praktek perkawinan dibawah umur menurut kajian hukum Islam dan dalam aturan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana yang telah diuraikan diatas. Hasil penelitian akan dituliskan dalam karya ilmiah berbentuk skripsi dengan judul: ”SANKSI PIDANA BAGI PRAKTEK PERKAWINAN DI BAWAH UMUR KAJIAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF”.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah