Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan

BAB III PERKAWINAN DIBAWAH UMUR MENURUT HUKUM ISLAM DAN

HUKUM POSITIF

A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan

Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. 32 Perkawinan disebut juga dengan “pernikahan” berasal dari kata “nikah” yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukan, dan digunakan untuk arti bersetubuh wathi. Kata “nikah” sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan coitus, juga untuk arti akad nikah. 33 Arti nikah menurut Paunoh Daly ialah bergabung dan berkumpul; dipergunakan juga dengan arti wata’ atau akad nikah. 34 Secara terminologis kitab- kitab fiqih banyak diartikan dengan akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafad nakaha atau zawaja. 35 Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dalam Pasal I ayat 1 memberikan suatu definisi tentang perkawinan nikah dengan merumuskan “perkawinan ialah ikatan 32 Dep Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994 Cet. Ke-3, edisi ke-2, h. 456. 33 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, Bogor: Prenada Media, 2003, h. 7. 34 Paunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlus Sunnah dan Negara-Negara Islam , Jakarta: Bulan Bintang, 1988, h. 104. 35 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, Bogor: Prenada Media, 2003, h. 74. lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 2 menyebutkan bahwa perkawinan yaitu akad yang sangat kuat mitsaqon gholidhon untuk menaati perintah Allah dan menjalankanya merupakan suatu ibadah. Menurut pendapat Abu Yahya Zakariya Al-Anshary yang dikutip oleh Abd. Rahman Ghazaly dalam bukunya Fiqih Munakahat mendefinisikan nikah menurut istilah syara ialah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafad nikah atau dengan kata-kata yang semakna denganya. 36 Dari pendapat yang disampaikan diatas maupun yang termaktub dalam undang-undang No. 1 Tahun 1974 serta dalam Kompilasi Hukum Islam, maka dapat saya ambil benang merah bahwa perkawinan nikah adalah akad yang sangat kuat mitsaqon gholidhon atau perjanjian lahir batin yang mengandung maksud kebolehan mengadakan hubungan keluarga suami-istri antara pria dan wanita serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing pihak dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan adalah suatu perbuatan yang disuruh oleh Allah dan juga disuruh oleh Nabi, banyak suruhan-suruhan Allah dalam al-Qur’an untuk melaksanakan perkawinan. Diantaranya dapat kita lihat dalam firman Allah SWT dalam surat An- Nuur 24: ayat 32. 36 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, Bogor: Prenada Media, 2003, h. 8. O4MF I J PC =,N96 4 E Q F? ,RS 4 D - T .  -U .W3 ? P ? O4MIM N 34 Y U?: N 3 4 Z J?4D[Y 3 4 \\F08 [ET? ] L L Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang- orang yang layak untuk kawin dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha mengetahui”. Selain itu terdapat ayat lain dalam surat An-Nisaa 04: ayat 3. ?  _ HF `L J O4M aFG  b? PC c,d 4 O4MF I Y  U f 3 gG f 4 P hi j, E \, kC O ?lY E9 HF `L J O4M m n m 8 MY  J D -U  , =N J P 8o 4b pT J `L J O4M M A Artinya: “ Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yang yatim bilamana kamu mengawininya, Maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. Begitu banyak pula suruhan Nabi kepada umatnya untuk melakukan perkawinan. Di antaranya dinyatakan dalam hadits riwayat dari Abdullah bin Mas’ud ra, Rasulullah SAW’ bersabda: ,-ﺱ 0- 1 ﺱ 1 2 5- 7896 :ﻥ= 3:?0-= A ,B C D?ﺱ E :+ + 0-= FD? , 34- 56 GA H :ﻥ= I :5 K J 37 Artinya: Diriwayatkan dari Abdullah ibn Mas’ud ra, bahwa Rasulullah bersabda: ”Wahai golongan pemuda Barangsiapa di antara kalian yaang telah mampu lahir dan batin untuk kawin, maka hendaklah Ia kawin. Sesungguhnya perkawinan itu dapat menjaga pandangan mata dan menjaga kehormatan. Barangsiapa yang belum mampu hendaklah berpuasa, karena puasa itu sebagai penawar hawa nafsu”. HR. Bukhari. Hadist Nabi dari Anas Bin Malik menurut riwayat Ahmad dan disahkan oleh Ibnu Hibban bahwasanya Nabi SAW’ memerintahkan nikah dan melarang keras membujang seraya beliau bersabda: Artinya: ”Nikahlah kamu dengan perempuan-perempuan penyayang dan banyak anak, karena sesungguhnya aku akan berbangga-banga dengan banyaknya kamu terhadap umat lain di hari kiamat”. 38 Dari begitu banyaknya suruhan Allah dan Nabi untuk melaksanakn perkawinan itu maka perkawinan itu adalah perbuatan yang lebih disenangi Allah dan Nabi untuk dilaksanakan. Atas dasar ini hukum perkawinan itu menurut asalnya adalah sunnah menurut pandangan jumhur ulama. Hal ini berlaku secara umum. Namun karena ada tujuan mulia yang hendak dicapai dari perkawinan itu dan yang melakukan perkawinan itu berbeda pula kondisinya serta situsi yang melingkupi 37 Imam Bhukhari, Sahih Bukhar, juz 7 Beirut Libanon: Daar al-Fikr. T.tp h. 3 38 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia antara fiqih munakahat dan Undang-Undang Perkawinan , Jakarta: Kencana, 2006, h. 44. suasana perkawinan itu berbeda pula, maka secara rinci jumhur ulama menyatakan hukum perkawinan itu dengan melihat keadaan orang-orang tertentu, maka dapat dihukumi sebagai berikut: 39 a. Sunnah, bagi orang-orang yang telah berkeinginan untuk kawin, telah pantas untuk kawin dan ia telah mempunyai perlengkapan untuk melangsungkaan perkawinan. b. Makruh, bagi orang-orang yang belum pantas untuk kawin, belum berkeinginan untuk kawin, sedangkan perbekalan untuk perkawinan juga belum ada, sehingga takut akan menimbulkan berbagai kemusykilan bagi istri dan anaknya, seperti tidak memperhatikan hak istri dan anaknya dengan sewajarnya karena ia masih mementingkan dirinya saja. c. Wajib, bagi orang-orang yang telah pantas untuk kawin, berkeinginan untuk kawin dan memiliki perlengkapan untuk kawin, dan ia khawatir akan terjerumus ke tempat maksiat kalau ia tidak kawin. d. Haram, bagi orang-orang yang tidak mampu membiayai nafkah rumah tangganya, tidak ada sumber penghasilan untuk membiayai dirinya dan keluarganya atau berat dugaan bahwa ia akan berbuat zalim terhadap istrinya. e. Mubah, bagi orang-orang yang pada dasarnya belum ada dorongan untuk kawin dan perkawinan itu tidak akan mendatangkan kemudaratan apa-apa kepada siapa pun. 39 Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, Bogor: Prenada Media, 2003, h. 79.

B. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan