Pengertian Usia Perkawinan Usia Perkawinan Dalam Islam

4. Adanya pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi dan mengatur rumah tangga, sedangkan yang lain bekerja di luar, sesuai dengan batas-batas tanggung jawab antara suami istri dalam menangani tugas-tugasnya. 5. Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak akan menimbulkan sikap rajin daan sunguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang. Ia akan cekatan bekerja karena dorongan tanggung jawab dan memikul kewajibanya, sehingga ia akan banyak bekerja dan mencari penghasilan yang dapat memperbesar jumlah kekayaan dan memperbanyak produksi. 6. Dengan perkawinan, diantaranya dapat membuahkaan tali kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga, dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang oleh Islam direstui, ditopang dan ditunjang. Karena masyarakat yang saling menunjang lagi saling menyanyagi akan terbentuk masyarakat yang kuat dan bahagia.

D. Seputar Usia Perkawinan

1. Pengertian Usia Perkawinan

Usia perkawinan merupakan suatu prase kelompok kata usia dan perkawinan. Usia adalah kata lain dari lebih takzim umur, yang berarti lama waktu hidup. Atau dapat pula diartikan sebagai masa, misalnya masa hidupnya cukup lama berarti ia memiliki usia yang panjang. 48 Sedangkan kawin merupakan kata yang bermakna aktif, mendapat prefiks pe-an menjadi perkawinan adalah pernikahan yang sungguh-sungguh dilakukan sesuai dengan cita-cita hidup berumah tangga yang bahagia. Dari pengertian yang sederhana itu dapat dirumuskan bahwa, usia perkawinan adalah usia yang dianggap cocok secara fisik dan mental untuk melakukan perkawinan. Usia perkawinan dalam pengertian ini penekananya adalah pada perhitungan atas umur yang secara fisik dan mental siap membangun kehidupan rumah tangga. Dengan usia perkawinan yang cocok dan telah memiliki kematangan psikologi, diharapkan terwujud rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rohma yang didambakan dan kelak dapat mencerminkan suatu kehidupan masyarakat yang damai, sejahtera, dan dinamis.

2. Usia Perkawinan Dalam Islam

Perkawinan dalam Islam tidak ditentukan oleh batas usia harus berumur 16 tahun bagi perempuan dan berumur 20 tahun bagi laki-laki baru boleh kawin. Padahal dalam Islam tidak demikian, tetapi perkawinan dalam Islam yang esensi dan subtansial adalah akil baligh, layak kawin siap mental, tidak ditentukan oleh batas usia sepanjang sudah memenuhi persyaratan syariat Islam perkawinan sudah sah dan halalan toyyibah. Sebagaimana perkawinan Rasulullah saw untuk diteladani oleh umatnya yakni perkawinan Rasulullah dengan Siti Aisyah. Meski perkawinan 48 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia , h. 1113. Rasulullah itu sudah sah menurut syariat Islam, tetapi Rasulullah belum menggaulinya karena belum akil baligh. Rasulullah baru menggaulinya ketika Siti Aisyah sudah akil baligh dewasa. Islam secara tegas tidak menentukan batas minimal kapan seseorang boleh melangsungkan perkawinan. Sekalipun hukum Islam tidak membatasi usia menimal untuk dapat melangsungkan perkawinan, namun hukum Islam menyatakan bahwa seseorang baru dikenakan kewajiban melakukan pekerjaan atau perbuatan hukum apabila telah mukallaf, untuk itu Allah berfirman dalam QS. An-Nisaa 04: 6. O4M d- 4 Pb =,d T 4 4 € { 4o? O4M 2 fQ 4 ?lY _ G …4 -U‡j f 4 mDkC O4}MYT Y -U‡-ˆ? -U7{•8 M J O NNN A Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin, kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas pandai memelihara harta, Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya”. Ketika menafsirkan ayat ini, Hamka mengatakan bulugh al nikah itu diartikan dengan dewasa. Kedewasaan itu bukanlah bergantung kepada umur, tetapi bergantung kepada kecerdasan atau kedewasaan pikiran. Karena ada juga anak usianya belum dewasa, tetapi ia telah cerdik dan ada pula seseorang usianya telah agak lanjut, tetapi belum matang pemikiranya. 49 Dalam hukum Islam, usia dewasa dikenal dengan istilah baligh. Prinsipnya, seorang lelaki telah baligh jika sudah pernah bermimpi basah mengeluarkan sperma. Sedangkan seorang perempuan 49 Hamka, Tafsir Al Azhar, Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1983, Juz IV, h. 266. disebut baligh jika sudah pernah menstruasi. Nyatanya, sangat sulit memastikan pada usia berapa seorang lelaki bermimpi basah atau seorang perempuan mengalami menstruasi. Para Ulama mazhab sepakat bahwa haid dan hamil merupakan bukti dari ke- baligh-an dari seorang wanita. Hamil terjadi karena terjadinya pembuahan ovum oleh sperma, sedangkan haid kedudukannya sama dengan mengeluarkan sperma bagi laki- laki. Namun dalam pandangan ulama klasik terdahulu serta menurut pendapat Majlis Ulama Indonesia MUI, berdasarkan pada hasil dari ijtihadnya masing-masing, telah menetapkan dan menentukan batasan usia ideal untuk melangsungkan perkawinan diantaranya: 1. Imam Syafi’i dan Imam Hambali menyatakan bahwa usia baligh untuk anak laki-laki dan perempuan adalah 15 tahun. Dengan alasan bahwa tanda-tanda kedewasaan itu datang tidak sama untuk setiap orang, maka kedewasaan ditentukan oleh umur. Disamakan masa kedewasaan untuk pria dan wanita adalah karena kedewasaan itu ditentukan oleh akal, dengan akallah terjadi taklif , dan karena akal pulalah adanya hukum. 2. Imam Maliki menetapkannya 18 tahun sementara itu Imam Abu Hanifah menetapkan usia baligh bagi laki-laki adalah 19 tahun, sedangkan anak perempuan usia 17 tahun. Pendapat Abu Hanifah dalam hal usia baligh ini adalah batas maksimal, sedangkaan usia minimalnya adalah usia 12 tahun untuk anak laki-laki dan 9 tahun untuk anak perempuan. Sebab pada usia tersebut seorang anak laki-laki dapat mimpi mengeluarkan sperma, menghamili atau mengeluarkan mani di luar mimpi, sedangkan pada anak perempuan dapat hamil atau haid. 50 3. Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan sebagaimana yang dikutip oleh Husain Muhammad dalam bukunya Fiqih Perempuan Reflekasi Kiyai Atas Wacana Agama dan Gender menyebut kedewasaan itu pada usia 15 tahun untuk laki- laki maupun untuk perempuan. 51 4. Sedangkan Majlis Ulama Indonesia MUI hanya memberikan dua kriteria sebelum melangsungkan perkawinan sebagaimana yang dikutip dari skripsi Boy Valdi, “Dispensasi Nikah Bagi Perkawinan Di Bawah Umur Studi Analisis Putusan No. 008PDT.P2006PAJP,”, yakni spiritual daan material. Secara spiritual agar di dalamnya diperoleh ketenangan dan ketentraman lahir dan batin yang memungkinkan berkembangnya cinta dan kasih sayang. Adapun secara material merupakan kesanggupan membayar mahar dan nafaqah . 52 Dari beberapa pendapat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa adanya perbedaan pendapat tentang batas usia menimal seseorang boleh kawin itu dikarenakan adanya perbedaan sudut tinjauan. Dikatakan bulugh al nikah itu dengan 50 Hilman Ismail, Perkawinan Usia Muda dan Pengaruhnya Tergadap Tingkat Perceraian Studi Kasus Pada Masyarakat Desa Jatisari Kecamatan Cileungsi Kabupaten Bogor , Skripsi S1 Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. 51 Husain Muhammad, Fiqih Perempuan Reflekasi Kiyai Atas Wacana Agama dan Gender, Yogyakarta: LKIS, 2001, Cet. Ke-1, h. 68. 52 Boy Valdi, Dispensasi Nikah Bagi Perkawinan Di Bawah Umur Studi Analisis Putusan No. 008PDT.P2006PAJP, Skripsi S1 Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, h. 42. kecerdasan karena tinjauannya dititik beratkan pada segi mental, yakni dilihat pada sikap dan tingkah laku seseorang. Bagi yang mengatakan cukup umur dan bermimpi, yang berarti fokus tinjauanya pada fisik lahiriyah dan sekaligus telah mukallaf. Jadi, dalam hukum Islam saat paling tepat untuk menikah tidak dilihat dari segi umur, karena kebutuhan seseorang untuk menikah adalah berbeda-beda. Aisyah r.a. dalam sebuah riwayat, ketika menikah dengan Rasulullah SAW masih berumur 9 tahun. Tetapi kedewasaan dan kesiapannya untuk menikah telah matang, mungkin sama dengan mahasiswa fakultas Syari’ah dan Hukum seperti saat sekarang ini. Hal diatas merupakan konsekuensi bahwa soal usia perkawinan menurut hukum Islam jika di simplikasikan dengan syarat dan dasar perkawinan, maka mencapai usi baligh harus meliputi kemampuan fisik dan mental. Demikian pula, asumsi yang dibangun ialah bahwa usia balig harus mengacu pada dimensi yang komplementer, baik yang bersifat sosial maupun yang bersifat ekonomi. Bahkan aspek-aspek ini seharusnya dimiliki oleh calon suami istri sebagai konsekuensi ”sense of responsibility ” baik terhadap pribadi masing-masing maupun bagi keturunan dan lingkungannya.

3. Usia Perkawinan Dalam Hukum Positif