kecerdasan karena tinjauannya dititik beratkan pada segi mental, yakni dilihat pada sikap dan tingkah laku seseorang. Bagi yang mengatakan cukup umur dan bermimpi,
yang berarti fokus tinjauanya pada fisik lahiriyah dan sekaligus telah mukallaf. Jadi, dalam hukum Islam saat paling tepat untuk menikah tidak dilihat dari
segi umur, karena kebutuhan seseorang untuk menikah adalah berbeda-beda. Aisyah r.a. dalam sebuah riwayat, ketika menikah dengan Rasulullah SAW masih berumur 9
tahun. Tetapi kedewasaan dan kesiapannya untuk menikah telah matang, mungkin sama dengan mahasiswa fakultas Syari’ah dan Hukum seperti saat sekarang ini.
Hal diatas merupakan konsekuensi bahwa soal usia perkawinan menurut hukum Islam jika di simplikasikan dengan syarat dan dasar perkawinan, maka
mencapai usi baligh harus meliputi kemampuan fisik dan mental. Demikian pula, asumsi yang dibangun ialah bahwa usia balig harus mengacu pada dimensi yang
komplementer, baik yang bersifat sosial maupun yang bersifat ekonomi. Bahkan aspek-aspek ini seharusnya dimiliki oleh calon suami istri sebagai konsekuensi ”sense
of responsibility ” baik terhadap pribadi masing-masing maupun bagi keturunan dan
lingkungannya.
3. Usia Perkawinan Dalam Hukum Positif
Dalam pasal 1 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, perkawinan ialah, ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir
adalah hubungan formal yang dapat dilihat karena dibentuk menurut undang-undang, hubungan mana mengikat kedua pihak dan pihak lain dalam masyarakat. Ikatan batin
adalah hubungan yang tidak formal yang dibentuk dengan kemauan bersama yang sungguh-sungguh, yang mengikat kedua pihak saja. Karena itu salah satu prinsip dan
syarat perkawinan sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 6 Ayat 1 UU Perkawinan, dinyatakan bahwa Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua
calon mempelai artinya, kedua mempelai sepakat untuk melangsungkan perkawinan tanpa ada paksaan dari pihak manapun juga. Hal ini sesuai dengan hak asasi manusia
atas perkawinan, dan sesuai juga dengan tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Ayat 2 Untuk melangsungkan perkawinan
seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun, harus mendapat ijin kedua orang tua. Batas usia yang diizinkan dalam suatu perkawinan menurut UU No.1 Tahun
1974 ini diatur dalam Pasal 7 ayat 1 yaitu, jika pihak pria sudah mencapai umur 19 sembilan belas tahun, dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 enam belas
tahun. Jika ada penyimpangan terhadap Pasal 7 ayat 1 ini, dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria
maupun pihak wanita Pasal 7 ayat 2.
53
KUHPerdata dalam pasal 29 menentukan, Setiap laki-laki yang belum berusia 18 tahun penuh dan wanita yang belum berusia
15 tahun penuh, tidak diperbolehkan mengadakan perkawinan namun bila ada alasan- alasan penting Presiden dapat menghapuskan larangan itu dengan memberikan
dispensasi.
54
53
R. Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta:Pradnya Paramita, 2006, Cet. Ke- 37. h. 540.
54
Ibid., h. 8.
Sementara di dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Pasal 15 ayat 1, untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan
calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974, yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri
sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.
55
Sedangkan dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai instrumen HAM juga tidak menyebutkan secara
eksplisit tentang usia minimum menikah selain menegaskan bahwa anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan
seorang ibu.
56
E. Perkawinan di Bawah Umur Menurut Hukum Islam dan UU Perkawinan No.