B. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua
kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara perkawinan umpamanya rukun dan
syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.
40
Sebagai suatu perbuatan hukum, perkawinan dalam Islam memiliki lima rukun yang harus dipenuhi secara kumulatif. Pemenuhan lima rukun
ini dimaksudkan agar perkawinan yang merupakan perbuatan hukum dapat berakibat hukum, yakni timbulnya hak dan kewajiban. Lebih lanjut penulis akan menjelaskan
mengenai rukun dan syarat perkawinan, diantaranya sebagai berikut:
1. Rukun Perkawinan nikah
Menurut jumhur ulama rukun nikah itu ada empat, yaitu:
41
a. Sighah ijab dan qabul;
b. Calon suami dan calon istri;
c. Wali
40
Syarufuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara fiqih munakahat dan Undang- Undang Perkawinan
, h. 59.
41
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga, Jakarta: Elsas, 2008, h. 13-14.
Sedangkan menurut pendapat Sidi Nazar Bakry rukun perkawinan itu adalah:
42
a. Calon pengantin laki-laki dan perempuan;
b. Wali dari pihak calon perempuan;
c. Dua orang saksi yang adil laki-laki;
d. Ijab dari wali calon pengantin perempuan atau wakilnya;
e. Kabul dari pihak calon pengantin kali-laki;
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat lima rukun yang termuat dalam pasal 14 yang meliputi:
a. Calon Suami;
b. Calon istri;
c. Wali nikah;
d. Dua orang saksi;
e. Ijab dan qabul;
2. Syarat-Syarat Perkawinan
Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Kholil Rahman sebagaimana yang di kutip oleh Ahmad Rofiq dalam bukunya Hukum Islam di Indonesia menentukan
bahwa syarat-syarat perkawinan mengikuti rukun-rukunnya, diantaranya, yaitu:
43
42
Sidi Nazar Bakry, Kunci Keutuhan Rumah Tangga, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993, h. 29.
43
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, h. 71.
1. Calon mempelai pria, syarat-syaratnya:
a. Beragama Islam;
b. Laki-laki;
c. Jelas orangnya;
d. Dapat memberikan persetujuan;
e. Tidak terdapat halangan perkawinan.
2. Calon mempelai wanita, syarat-syaratnya:
a. Beragama Islam;
b. Perempuan;
c. Dapat dimintai persetujuanya;
d. Tidak terdapat halangan perkawinan.
3. Wali nikah, syarat-syaratnya:
a. Laki-laki;
b. Dewasa;
c. Mempunyai hak perwalian;
d. Tidak terdapat halangan perwalian.
4. Saksi nikah, syarat-syaratnya:
a. Minimal dua orang saksi laki-laki;
b. Hadir dalam ijab qabul;
c. Dapat mengerti maksud akad;
d. Beragama Islam;
e. Dewasa.
5. Ijab Qabul, syarat-syaratnya:
a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali;
b. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai laki-laki;
c. Memakai kata-kata nikah, tazwij;
d. Antara ijab dan qabul bersamaan bersambungan
e. Orang
yang berkait dengan ijab qabul tidak sedang dalam ihram hajiumrah;
f. Majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang, yaitu: calon
mempelai pria, wali dari mempelai wanita, dan dua orang saksi. Dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 7 dimana ada syarat
penambahan untuk kedua mempelai, dimana ada pembatasan usia jika akan melangsungkan suatu pernikahan dengan rumusan pasal 7 ayat 1 dan 2 sebagai
berikut: 1
Perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 sembilan belas tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 enam belas tahun.
2 Dalam
hal penyimpangan terhadap ayat 1 Pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua
pihak pria maupun wanita. KHI dalam Pasal 15 mempertegas persyaratan yang terdapat dalam UU
Perkawinan dengan rumusan sebagai berikut: 1
Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam
Pasal 7 Undang-Undang No.1 Tahun 1974, yakni calon suami sekurang- kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16
tahun. Hal-hal yang disebutkan diatas memberi isyarat bahwa perkawinan itu harus
dilakukan oleh pasangan yang sudah dewasa, calon suami istri harus telah masak jiwa dan raganya agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir
pada pintu perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri maupun salah satu diantara
keduanya yang masih dibawah umur anak-anak. Masalah penentuan umur dalam UU Perkawinan maupun dalam Kompilasi Hukum Islam, memang bersifat
ijtihadiyah , sebagai usaha pembaharuan pemikiran fiqih yang lalu. Namun demikian,
apabila kita lacak referensi syar’inya mempunyai landasan kuat. Misalnya isyarat Allah dalam surat an-Nisaa 04: 9.
gr stu 23
4 -M
O4M D
E?: HY QvwNxCo
nH, Fy
O4MY26 -U?: T
] O4M
wd Y Y 3
4 O4M M
QL-M2 4zmN m
A
Artinya: ”Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap kesejahteraan mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
Perkataan yang benar”.
Ayat tersebut bersifat umum, tidak secara langsung menunjukan bahwa perkawinan yang dilakukan oleh pasangan usia muda maupun tua-muda dibawah
ketentuan yang diatur UU No.1 Tahun 1974 akan menghasilkan keturunan yang dikhawatirkan kesejahteraan maupun perkembangan fisik dan psikisnya tidak baik.
Akan tetapi berdasarkan pada pengamatan berbagai pihak rendahnya usia perkawinan, lebih banyak menimbulkan hal-hal yang tidak sejalan dengan misi dan
tujuan dari perkawinan, yaitu terwujudnya ketentraman dalam rumah tangga berdasarkan kasih dan sayang.
C. Tujuan Dan Hikmah Perkawinan