Nafkah Iddah dalam Undang-Undang Perkawinan dan KHI

Sedangkan pendapat Hanafi, perempuan itu berhak juga menerima nafkah belanja, pakain dan tempat tinggal dengan berlandaskan pada firman Allah Swt: م ج نم م س ح نم ن س ا “ Tempatkanlah mereka di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu .” QS. At- Thalaq: 6. Ayat ini menunjukkan bahwa perempuan yang dalam masa iddah baik karena talak raj’i dan talak bain, semuanya berhak menerima fasilitas nafkah belanja, pakaian dan tempat tinggal dari mantan suaminya, tetapi menurut Syafi’i, ayat ini khusus untuk perempuan yang dalam masa iddah talak raj’i. 31 م ا ءاف عج ا ع ن ا ام ا ج ع ة أ م ن س ا اامنا ظ ف ن محأ ا ن س ا ن اف عج ا ع Dan dalam lafal lain dikatakan: “ Sesungguhnya nafkah dan tempat tinggal itu bagi perempuan yang selagi suaminya masih mempunyai hak ruju’ kepadanya tetapi apabila suaminya tidak lagi mempunyai hak ruju’ kepadanya, maka tidak ada hak nafkah dan tidak juga tempat tinggal baginya”. HR. Ahmad. 32 Adapun perempuan yang dijatuhi talak tiga, para ulama berbeda pendapat. Menurut Abu Hanifah, dia masih memiliki hak untuk mendapatkan nafkah dan tempat tinggal sebagaimana perempuan isteri yang ditalak raj ’i, karena dia wajib menghabiskan masa iddah di rumah suaminya, sehingga 31 Mohammd Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, Maret 2004, h. 273 32 Nailul Anwar, Himpunan Hadist-Hadist Hukum, 2001, Cet. Ke-3, h. 2437. seakan-akan dia di tahan agar tetap bersama suaminya. Oleh sebab itu, dia wajib memperoleh nafkah. Nafkah ini dianggap sebagai hutang dan terhitung sejak talak di jatuhkan. Kewajiban untuk memberi nafkah isteri tidak hilang hanya dengan keridhaan isterinya atau keputusan pihak pengadilan. Suami dinyatakan bebas dari hutangnya kewajiban memberi nafkah isteri jika sudah menunaikan kewajibannya atau isteri telah menyatakan bebas. 33 Kalau perceraian tersebut karena ada cacat atau karena tertipu, maka si perempuan tidak berhak mendapatkan tempat tinggal. Tapi kalau perceraian tersebut karena ada hubungan penyusuan atau mushaharah hubungan keluarga akibat perkawinan, maka si perempuan akan berhak mendapat tempat tinggal, menurut pendapat yang sahih, karena sebab yang menghalangi belum ada pada saat akad dan tidak boleh dijadikan sandaran. Sedangkan perempuan yang dili’an berhak mendapat tempat tinggal dengan pasti seperti perempuan yang ditalak tiga. Jadi menurut semua mazhab, si perempuan wajib mendapat tempat tinggal apabila terjadi pembatalan nikah fasakh baik karena murtad keluar dari Islam atau karena masuk Islam, atau karena ada hubungan penyusuan, atau karena ada cacat, dan sebagianya. 34 33 Sayyid Syabiq, Fikih Sunnah, Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009 , Cet. Ke-1, h. 136- 137. 34 Al-Imam Taqiyuddin , Kifayatul Akhyar, 1997, h.595. Sedangkan ada sebagian ulama di antaranya Imam Ahmad bahwa seorang perempuan yang dalam masa iddah mati dan dalam keadaan tidak hamil, tidak berhak menerima nafkah belanja, pakaian dan tempat tinggal, karena Allah hanya menentukan untuk yang kematian suami itu adalah bentuk harta warisan. Tetapi hak istri yang ditinggal mati oleh suaminya. Istri dalam keadaan hamil ulama sepakat mengatakan bahwa dia berhak atas nafkah dan tempat tinggal, namun bila isteri tidak dalam keadaan hamil ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama diantaranya Imam Malik, Al- Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa istri dalam iddah wafat berhak atas tempat tinggal. al-Nawawiy, al- Majmu’, 391; Ibnu Qodamah VIII, 234 . Mereka mendasarkan pendapatnya dengan umum ayat 180 surat al-Baqarah yang menyuruh istri ber-iddah di rumah suaminya, yang sejauh berkenaan dengan tempat tinggal tidak di nasakh. 35 Di antara rahmat yang diberikan oleh Islam kepada kaum perempuan untuk memelihara hak-hak mereka adalah hukum-hukum yang terdapat pada masaiddah masa menunggu ketika ia ditalak atau ditinggal mati suaminya. Pada masa iddah yang boleh dirujuk atau dalam keadaan hamil, baik dalam 35 Amir Syarifudun, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan , Jakarta: Kencana,2009 , Cet. Ke-3, h. 323. masa iddah talak raj’i atau talak bain, perempuan berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal, berdasarkan firman Allah, surah At-Thalaq Ayat 6. 36 36 Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, 2010, h. 122. 51

BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN

A. Sejarah Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan

Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk berdasarkan surat keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1963. Pada mulanya Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta hanya terdapat tiga kantor yang dinamakan Kantor Cabang, yaitu: 1. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara 2. Kantor Pengadilan Agama Jakarta Tengah 3. Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya sebagai Induk 4. Semua Pengadilan Agama tersebut di atas termasuk Wilayah Hukum Cabang Mahkamah Islam Tinggi Surakarta. Kemudian setelah berdirinya Cabang Mahkamah Islam Tinggi Bandung berdasarkan surat keputusan Menteri Agama Nomor 71 tahun 1976 tanggal 16 Desember 1976. Semua Pengadilan Agama di Propinsi Jawa Barat termasuk Pengadilan Agama yang berada di Daerah Ibu Kota Jakarta Raya berada dalam Wilayah Hukum Mahkamah Islam Tinggi Cabang Bandung. Dalam perkembangan selanjutnya istilah Mahkamah Islam Tinggi menjadi Pengadilan Tinggi Agama PTA. 52 Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 61 tahun 1985 Pengadilan Tinggi Agama Surakarta dipindah di Jakarta, akan tetapi realisasinya baru terlaksana pada tanggal 30 Oktober 1987 dan secara otomatis Wilayah Hukum Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta adalah menjadi Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Agama Jakarta. Terbentuknya kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan merupakan jawaban dari perkembangan masyarakat Jakarta, yang ketika itu pada tahun 1967 merupakan cabang dari Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya yang berkantor di jalan Otista Raya Jakarta Timur. Sebutan pada waktu itu adalah cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk sesuai dengan banyaknya jumlah penduduk dan bertambahnya pemahaman penduduk serta tuntutan masyarakat Jakarta Selatan yang di wilayahnya cukup luas. Untuk itu keadaan kantor ketika itu masih dalam keadaan darurat yaitu menempati gedung bekas Kantor Kecamatan Pasar Minggu di suatu gang kecil yang sampai saat ini dikenal dengan gang Pengadilan Agama Pasar Minggu Jakarta Selatan, pimpinan kantor dipegang oleh H. POLANA. Penanganan kasus-kasus hanya berkisar perceraian kalaupun ada tentang warisan masuk kepada Komparisi itu pun dimulai tahun 1969 kerjasama dengan Pengadilan Negeri yang ketika itu dipimpin oleh Bapak BISMAR SIREGAR, S.H. 53 Sebelum tahun 1969 pernah pula membuat fatwa waris akan tetapi hal itu ditentang oleh pihak keamanan karena bertentangan dengan kewenangannya. 1 Sejak 1 april 1937, kewenangan Pengadilan Agama di wilayah Jawa dan Madura dipersempit hanya berwenang mengadili kasus perkawinan dan perceraian, sedangkan kasus waris dan wakaf menjadi wewenang Ladraad sekarang Pengadilan Negeri. 2 Sehingga sempat beberapa orang termasuk Pak HASAN MUGHNI ditahan karena Penetapan Fatwa Waris sehingga sejak itu Fatwa Waris ditambah dengan kalimat “Jika ada harta peninggalan”. Pada tahun 1976 gedung Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan pindah ke Blok D Kebayoran Baru Jakarta Selatan dengan menempati serambi Masjid Syarief Hidayatullah dan sebutan Kantor Cabang pun dihilangkan menjadi Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan pada masa itu diangkat pula beberapa Hakim honorer yang di antaranya adalah Bapak H. ICHTIJANTO, S.A., S.H. Penunjukan tempat tersebut atas inisiatif Kepala Kandepag Jakarta Selatan yang waktu itu dijabat oleh Bapak Drs. H. MUHDI YASIN. Seiring dengan perkembangan tersebut diangkat pula 8 karyawan untuk menangani tugas –tugas kepaniteraan yaitu ILYAS HASBULLAH, HASAN JAUHARI, 1 Admin, “ Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan” dikakses pada tanggal 04 Februarai 2014, dari http:www.pa-jakartaselatan.go.id. 2 R. Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II, 1970, h. 68.