Pengertian Iddah dan Dasar Hukumnya

maka tidak ada iddah. Kalau sesudah persetubuhan lalu suaminya meninggal dunia atau keduanya bercerai, maka si isteri wajib menjalani iddah seperti iddahnya perempuan yang disetubuhi secara syubhat. 19 Perempuan yang sudah digauli suaminya, tidak dalam keadaan hamil dansudah berhenti masa haidnya. Iddah-nya adalah tiga bulan. Dasar perhitungnnya tiga bulan itu adalah firman Allah dalam surat at –Thalaq 65 ayat 1. Adapun bentuk dan cara iddah ada tiga macam: a Iddah dengan cara menyelesaikan quru’ yaitu antara haid dan suci. b Iddah dengan kelahiran anak. c Iddah dengan perhitungan bulan. 20 Iddah telah dikenal pada masa jahiliyah. Mereka tidak menginginkan dan meninggalkan iddah, ketika Islam dating ditetapkanlah iddah karena di dalamnya mengandung kemaslahatan. Ulama telah sepakat atas kewajiban iddah berdasarkan firman Allah SWT: Q.S. Al-Baqarah [2]: 228. 21 19 Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al Husain, Kifayatul Akhyar, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1997 , Cet. Ke- 2, h. 571-573. 20 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakrta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, Cet. Ke-1, h. 309. 21 Abdul Manan dkk, Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: Kencana, 2007, h. 133                                              “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri menunggu tiga kali quru. Tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka para suami menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang maruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana ”. Para ulama mendefinisikan „iddah sebagai nama waktu untuk menanti kesucian seorang istri yang ditinggal mati atau dicerikan oleh suaminya, yang sebelum habis masa itu dilarang untuk dinikahkan. Menurut Sayuti Thalib, pengertian kata „iddah dapat dilihat dari dua sudut pandang: Pertama, dilihat dari segi kemungkinan keutuhan perkawinan yang telah ada, suami dapat rujuk kepada istrinya. Dengan demikian, kata „iddah dimaksudkan sebagai suatu istilah hukum yang mempunyai arti tenggang waktu sesudah jatuh talak, dalam waktu mana pihak suami dapat rujuk kepada istrinya. Kedua, dengan demikian dilihat dari segi istri, masa „iddah itu akan berarti sebagai suatu tenggang waktu dalam waktu mana istri belum dapat melangsungkan perkawinan dengan pihak laki-laki lain. Seorang wanita yang telah dicerai oleh suaminya, dilarang melakukan perkawinan dengan laki- laki lain selama masa yang ditentukan oleh syari’at. Masa yang ditentukan oleh syari’at ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada suami dan istri untuk berfikir, apakah perkawinan tersebut masih dapat dilanjutkan dengan cara ruju’ kembali, jika perceraian itu terjadi pada talak raj’i talak satu dan dua, atau perceraian itu lebih baik bagi keduanya. Di samping itu masa tunggu itu berguna untuk mengetahui apakah rahim si istri tersebut berisi janin atau tidak sehingga apabila wanita tersebut hamil segera diketahui nasabnya. 22 Penting di catat, masa „iddah ini hanya berlaku bagi istri yang telah di dukhul. Sedangkan bagi istri yang belum di dukhul qabla al-dukhul dan putusnya bukan karena kematian suami maka tidak berlaku baginya masa „iddah. Jadi iddah mengandung arti masa menunggu bagi wanita untuk melakukan perkawinan setelah terjadinya perceraian dengan suaminya, baik 22 Di kalangan Ulama terdapat perbedaan pendapat menyangkut „iddah wanita yang bercerai akibat pernikhan yang fasid, wat’i syubhat atau zina. Bagi golongan zahiriyah, tidak ada „iddah bagi wanita yang dicerai karena nikah fasid walaupun telah terjadi dukhul. Golongan lainnya tetap mewajibkan „iddah. Perbedaan kembali muncul bagi wanita yang dizinahi. Bagi Syafi’iyyah dan Hanafiah tidak mewajibkannya. Sedangkan Malik dan Ahmad tetap mewajibkannya. Padahal jika maksud „iddah untuk melihat kebersihan rahim, maka wanita yang dizinahi juga mesti ber’iddat. cerai hidup maupun maupun cerai mati, dengan tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnyaatauuntukberfikirbagisuami. 23 DasarHukumIddah                 “ Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri menunggu tiga kali quru. Tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim nya”. QS. Al-Baqarah [2]: 228. Diantara hadist Nabi yang menyuruh menjalani masa iddah tersebut adalah apa yang disampaikan oleh Aisyah menurut riwayat Ibnu Majjah dengan sanad yang kuat yang berbunyi: 24 ض ح ا ب ع ّ أ ب م س ع ه ا ص ّ ا م ا “ Nabi SAW. Menyuruh barairah untuk beriddah selama tiga kali haid”.

D. Macam - Macam Iddah dan Hikmahnya

Pertama: iddah perempuan yang kematian suaminya, baik telah digauli atau belum. Iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari, yang dimaksud dengan perempuan yang kematian suami di sini adalah perempuan yang suaminya meninggal dan dia masih dalam masa haid. Untuk memastikan dia 23 Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No 11974 sampai KHI, Jakarta: kencana, 2006, Cet. Ke- 3, h. 241. 24 Muhammad Amin Suma, Hukum Kelurga Islam di Dunia Islam, Jakrta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, h.304. masih dalam haid, Imam Malik mempersyaratkan untuk kesempurnaan iddah tersebut ialah perempuan itu telah berhaid selama satu kali dalam masa itu kalau dia belum haid dalam masa itu berada dalam keraguan tentang kemungkinan hamil.                            “Orang-orang yang meninggaldi antaramu dan meninggalkan istri hendak nyadia menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari. Bila telah sampai waktu yang ditentukan boleh dia berbuat terhadap dirinya dengan cara yang baik. Allah Maha Tahu terhadapapa yang merekalakukan ”. Al- Baqarah [2]: 234 Kedua: Perempuan yang belum digauli oleh suaminya, tidak ada iddah yang harus dijalaninya.                        “ Hai orang-orang yang beriman bila kamu menikahi peremupan- perempuan yang beriman kemudian kamu menceraikannya sebelum kamu menggaulinya, maka tidak ada kewajiban baginya untuk beriddah terhadapmu”.Al-Ahzab [33]: 49 Ketiga: iddah perempuan yang sedang hamil ialah sampai melahirkan anaknya.                               “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi monopause di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu tentang masa iddahnya, Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu pula perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. “ Ath –Thalaq [65] :4. Bila perempuan yang hamil itu adalah kematian suami, menjadi perbincangan di kalangan ulama, baik ditinggal mati oleh suaminya atau ditalak sedang hamil, kemudian suaminya meninggal, karena di satu sisi dia adalah sedang hamil dan karena itu dia mengikuti petunjuk ayat 4 surat at- Thalaq. 25 Terkait dengan Pasal 135 ayat 2 KHI yang meneyebutkan bahwa Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat 1 dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. Jika kondisi hamil seperti yang dimaksud dalam pasal ini dikait-kaitkan dengan masalah iddah bagi wanita hamil yang disebutkan dalam surah Ath-Thalaq 65 ayat 4 yang sudah dijelaskan di atas, bahwa wanita-wanita hamil masa iddah mereka hingga mereka melahirkan, maka sama sekali tidak tepat. Sebab kewajiban iddah itu sebagai sebuah kenikmatan agama yang hikmahnya, antara lain untuk menjaga kemurnian nasab. Karena tujuan iddah jelas seperti ini, maka dalam kasus hamil di luar nikah, sama sekali tidak tepat jika tetap menggunakan ayat ini sebagai dalil dalam melarang wanita hamil akibat zina untuk menikah dalam kondisi hamil. Dengan kata lain, wanita hamil yang 25 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2009, h. 310.