Macam - Macam Iddah dan Hikmahnya
hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya
Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. “ Ath –Thalaq [65]
:4. Bila perempuan yang hamil itu adalah kematian suami, menjadi
perbincangan di kalangan ulama, baik ditinggal mati oleh suaminya atau ditalak sedang hamil, kemudian suaminya meninggal, karena di satu sisi dia
adalah sedang hamil dan karena itu dia mengikuti petunjuk ayat 4 surat at- Thalaq.
25
Terkait dengan Pasal 135 ayat 2 KHI yang meneyebutkan bahwa Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat 1 dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. Jika kondisi hamil seperti yang dimaksud dalam pasal ini dikait-kaitkan dengan masalah
iddah bagi wanita hamil yang disebutkan dalam surah Ath-Thalaq 65 ayat 4 yang sudah dijelaskan di atas, bahwa wanita-wanita hamil masa iddah mereka
hingga mereka melahirkan, maka sama sekali tidak tepat. Sebab kewajiban iddah itu sebagai sebuah kenikmatan agama yang hikmahnya, antara lain
untuk menjaga kemurnian nasab. Karena tujuan iddah jelas seperti ini, maka dalam kasus hamil di luar nikah, sama sekali tidak tepat jika tetap
menggunakan ayat ini sebagai dalil dalam melarang wanita hamil akibat zina untuk menikah dalam kondisi hamil. Dengan kata lain, wanita hamil yang
25
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2009, h. 310.
dilarang menikah hingga melahirkan anaknya sebagimana pesan ayat di atas adalah jika hamilnya akibat pernikahan yang sah. Akan tetapi jika hamil
bukan karena menikah, melainkan karena berzina, tetap menggunakan ayat ini sebagai dalil hukum, maka sama saja yang bersangkutan tidak menghormati
Al- Qur’an. Sebab Al-Qur’an tidak pernah merestui seorang wanita untuk
hamil sebelum ia menikah. Tidak ada satu ayat pun yang membolehkan hamil dulu sebelum nikah.
Status anak menurut Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Bahwa dalam hukum Islam, nasab menjadi sebuah masalah
yang sangat penting dan dikaji dalam kaitannya terhadap masalah pernikahan, kewajiban memberi nafkah, kewarisan, perwalian hubungan ke-mahram-an,
dan lain-lain. Nasab atau hubungan kekerabatan antara seorang anak dan ayah hanya dapat terbentuk melalui tiga cara, yaitu melalui pernikahan yang sah,
pernikahan yang fasid, dan melalui hubungan badan secara syubhat. Nasab anak kepada ayah kandungnya, pada umunya terbentuk melalui pernikahan
yang sah. Sedangkan pernikahan fasid adalah pernikahan yang dilangsungkan
dalam keadaan kekurangan syarat. Walaupun status nikah fasid jelas tidak sama dengan nikah yang dilaksanakan secara sah, namun dalam hal nasab
para ulama fiqih sepakat bahwa penetapan nasab anak yang lahir dalam pernikahan fasid sama dengan penetapan nasab anak dalam pernikahan yang
sah. Tetapi dalam hal anak yang lahir setelah pasangan suami istri melakukan
hubungan badan, dan bercerai, baik melalui hakim maupun tidak, dan anak itu lahir sebelum masa masa maksimal kehamilan, maka anak itu dinasabkan
kepada suami wanita tersebut. Akan tetapi apabila kelahiran anak itu melebihi masa maksimal kehamilan, maka anak itu tidak bisa dinasabkan kepada suami
wanita itu. Hubungan badan secara syubhat adalah persetubuhan antara seorang
laki-laki dengan seorang perempuan di luar akad nikah, baik nikah secara sah maupun nikah fasid, tetapi tidak bisa disebut sebagai zina yang dilarang
syariat dan hukumnya tidak terang dan tidak jelas apakah haram mutlak ataukah halal mutlak. Syubhat yang berkaitan dengan perbuatan adalah
syubhat bagi orang yang tidak mengetahui kehalalan atau keharaman suatu perbuatan. Seperti halnya dalam kasus hubungan badan dengan mantan
istrinya ternyata ia sedang menjalani iddah dari talak tiga. Dalam hal ini, kehalalan hubungan badan diantara mereka sebenarnya sudah tidak ada lagi,
karena telah batal disebabkan talak. Akan tetapi, adanya kewajiban suami memberi nafkah dan keharaman mantan istri melakukan perkawinan dengan
orang lain masih tetap ada, apalagi suami masih memungkinkan tinggal bersama satu rumah dengan wanita tersebut. Hal inilah yang menimbulkan
syubhat pada perbuatan itu. Di satu sisi tidak halal melakukan kontak seksual,
di sisi lain masih ada kewajiban yang dipikul oleh mantan suami berupa kewajiban memberikan nafkah iddah.
26
Keempat: perempuan yang telah bergaul dengan suaminya dan menjalani masa haid. Iddahnya adalah tiga kali quru’, adapun dasar hukumnya
adalah firman Allah dalam surat al- Baqarah 2 ayat 228:
“ Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri menunggu
tiga kali quru’”. Kelima: perempuan yang sudah digauli suaminya, tidak dalam
keadaan hamil dan sudah behenti masa haidnya. Iddahnya adalah tiga bulan. Dasar perhitungannnya tiga bulan itu adalah firman Allah dalam surat at-
Thalaq 65 ayat 1
ن ع ن طفءاس ا م طا ا
“ Bila kamu menthalaqseorang isteri, thalaqlah dia di waktu iddahnya”.
27
Hikmah Iddah:
Adapun hikmah yang dapat diambil dari ketentuan iddah itu adalah agar suami yang telah menceraikan isterinya itu berpikir kembali dan
menyadari tindakan itu tidak baik dan menyesal atas tindakannya itu. Dengan
26
M. Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, Jakarta: Amzah, 2013, Ed. Ke-2, h. 67-129.
27
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2009, h. 310-317
adanya iddah dia dapat menjalin kembali hidup perkawinan tanpa harus mengadakan akad baru.
Hikmah disyariatkannya „iddah juga diantaranya
1. Untuk mengetahui secara pasti kondisi rahim perempuan, sehingga
tidak terjadi percampuran nasab janin yang ada dalam rahimnya. 2.
Menjunjung tinggi nilai pernikahan. Hal itu tidak mungkin terjadi kecuali dengan melibatkan banyak orang dan tidak akan hancur
kecuali dengan menunggu pada masa yang cukup lama. Jika tidak diatur demikian, tentunya sebuah pernikahan tidak ubahnya dengan
permainan anak-anak. Di mana, mereka menyusun sebuah permainan, lantas merusaknya.
3. Kemaslahatan yang didapat dari pernikahan tidak akan terwujud
sebelum pasangan suami isteri menjalani hidup berumah tangga dalam masa yang lama. Jika terjadi sesuatu yang mengharuskan untuk
bercerai, tetap hadits harus ada upaya untuk tetap menjaga ikatan pernikahan yang mulia ini dan mesti diberi waktu untuk berfikir
kembali dan mempetimbangkan kerugian yang akan dialaminya jika terjadi perceraian.
28
28
Sayyid Syabiq, Fikih Sunnah, Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009 , Cet. Ke-1, h. 119.