Pengertian Nafkah dan Dasar Hukumnya
kepada akad nikah atau melihat kepada kehidupan suami istri yang memerlukan nafkah itu.
Jumhur ulama termasuk ulama Syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa nafaqah itu mulai diwajibkan semenjak dimulainya kehidupan rumah tangga,
yaitu semenjak suami telah bergaul dengan istrinya, dalam arti istilah telah memberikan kemungkinan kepada suaminya untuk menggaulinya, yang dalam
fiqih disebut dengan tamkin. Dengan semata terjadinya akad nikah belum ada kewajiban membayar nafkah. Berdasarakan pendapat ini bila setelah
berlangsungnya akad nikah istri belum melakukan tamkin, karena keadaannnya ia belum berhak menerima nafaqah. al- Thusiy, V: 11
Golongan Zahiriyah berpendapat bahwa bagi mereka kewajiban nafaqah dimulai semenjak akad nikah, bukan dari tamkin, baik istri yang telah
melangsungkan akad nikah itu memberi kesempatan kepada suaminya untuk digauli atau tidak, sudah dewasa atau masih kecil. Ibnu Hazmin: 249
Dasar pemikiran golongan ini ialah ayat-ayat Al- Qur’an maupun hadis
Nabi yang mewajibkan suami membayar nafkah tidak menetapkan waktu. Dengan begitu bila seseorang telah menjadi suami, yaitu dengan
berlangsungnya akad nikah, maka ia telah wajib membayar nafaqah tanpa melihat kepada keadaan istri. Inilah tuntutan zahir dari dalil yang mewajibkan
nafaqah.
5
5
Amir Syarifudun, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan , Jakarta: Kencana,2009 , Cet.Ke-3, h. 168.
Dalam Kompilasi Hukum Islam permasalahan nafkah terjadi ketika akad selesai secara sah. Pelaksanaan pemberian nafkah kepada isteri dimulai
sejak ditetapkannya sebuah perkawinan. Setelah itu, suami berkewajiban secara penuh kepada isteri dalam hal pemberian nafkah kepada isteri secara
langsung. Dalam pasal 23 angka 1, dapat dimaknai bahwa nafkah adalah
kewajiban bagi suami. “ Setiap orang memperoleh nafkah dari hartanya
sendiri, akan tetapi nafkah isteri adalah tanggungjawab suami”. Makna lain dari pasal 115 ini adalah bahwa siapa saja boleh hidup dengan nafkahnya
sendiri selama ia memiliki harta kekayaan tersebut. Perubahan terjadi ketika seseorang menikah, sebagai suami, ia bertanggungjawab baik kepada dirinya
sendiri dan kepada ist rinya. Sebaliknya, isteri tidak perlu “ repot-repot”
mencari nafkah.
6
Dalam menjalani sebuah hubungan ada yang namanya hak dan kewajiban, begitu juga dengan perkawinan, suami isteri mempunyai hak dan
kewajiban, salah satu diantaranya ialah suami wajib memberi biaya hidup pada isterinya yang lebih dikenal dalm istilah fiqih disebut dengan nafkah.
Memberi nafkah kepada isteri hukumnya wajib. Kewajiban memberikan nafakah oleh suami kepada isterinya yang
berlaku dalam fiqih didasarkan kepada prinsip pemisahan harta antara suami
6
Dedi Supriyadi, Mustofa,Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, November 2009, h.53.
dan isteri. Prinsip ini mengikuti alur pikir bahwa suami itu adalah pencari rezeki; rezeki yang telah diperolehnya itu menjadi haknya secara penuh dan
untuk selanjutnya suami berkedudukan sebagai pemberi nafaqah. Sebaliknya istri bukan pencari rezeki dan untuk memenuhi keperluannyaia berkedudukan
sebagai penerima nafaqah.
7
Dari pengertian-pengertian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa nafkah adalah sesuatu yang diberikan suami
terhadap istri untuk mencukupi kebutuhannya yang berupa pakian, makanan, tempat tinggal dan sebagainya menurut kadar kemampuan suami setelah
adanya ikatan perkawinan yang sah. Kewajiban suami memberikan nafkah terhadap istri ini tidak
memandang status sosial suami baik dia seorang yang kaya maupun miskin, ataupun sebaliknya. Nafkah adalah persoalan yang sangat berat dan harus
ditanggung oleh laki-laki sebagai suami.
8
Dasar Hukum Nafkah: Hukum membayar nafaqah untuk isteri, baik dalam bentuk
perbelanjaan, pakaian adalah wajib. Kewajiban itu buakan disebabkan oleh karena isteri membutuhkanya bagi kehidupan rumah tangga, tetapi kewajiban
yang timbul dengan sendirinya tanpa melihat kepada keadaan isteri. Bahkan
7
Amir Syarifudun, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan , Jakarta: Kencana,2009 , Cet.Ke-3, h. 165.
8
Fuad Kauman dan Nipan, Membimbing Istri Mendampingi Suami, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1998 , h. 81.
diantara ulama Syi’ah menetapkan bahwa meskipun isteri orang kaya dan tidak memerlukan bantuan biasa dari suami, namun suami tetap wajib
membayar nafaqah. Mughniyah: 207 . Dasar kewajibannya terdapat dalam Al-
Qur’an maupun dalam hadist Nabi. Di antara ayat Al-
Qur’an yang menyatakan kewajiban perbelanjaan terdapat dalam surat Al-Baqarah 2 ayat 233:
“Kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara maruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban
demikian. apabila keduanya ingin menyapih sebelum dua tahun dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas
keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan
” .Q.S. Al-Baqarah :223
Di antara ayat yang mewajibkan perumahan adalah surat at-Thalaq 65 ayat 6:
“Tempatkanlah mereka para isteri di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan hati mereka. dan jika mereka isteri-isteri yang sudah ditalaq itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga
mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan anak-anakmu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara
kamu segala sesuatu dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan anak itu untuknya
”.
Adapun dalam bentuk sunnah terdapat dalam beberapa hadis Nabi, di antaranya hadis Nabi yang berasal dari Abu hurairah menurut riwayat
Muslim:
9
مع ا نم ف ا س م اعط مم م س ع ه ا ص ه ا س ط ام ا ا
Rasul Allah
SAW. Bersabda:
hak anak-anak
untuk mendapatkanmakanan dan pakaian, dan tidak dibebani untuk berbuat kecuali
yang mampun ia perbuat.
“ Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka laki-laki atas sebahagian yang lain wanita, dan karena mereka laki-laki telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka”. QS An-Nissa’ : 34.
9
Ahmad Ibn Hambal, Musnad Ahmad, Beirut: Muassah al-Risalah, 1421 H 2001 M, Cet. Ke-1, Juz 12, h. 324.