Rukun dan Syarat Pembiayaan Mudharabah
36
diangkat sebagai wakil, karena pada satu sisi lain posisi orang yang akan mengelola modal adalah wakil dari pemilik modal. Itulah sebabnya syarat-
syarat seorang wakil juga berlaku bagi pengelola modal dalam aqad mudharabah.
Kemudian hal lain yang terkait dengan modal disyaratkan berbentuk uang, jelas jumlahnya, tunai dan diserahkan sepenuhnya kepada pengelola
modal. Oleh karenanya, jika modal itu berbentuk barang, menurut mayoritas ulama tidak dibolehkan karena sulit untuk menentukan keuntungannya dan
cenderung menimbulkan gharar. Selanjutnya adalah yang terkait dengan keuntungan, disyaratkan
bahwa pembagian keuntungan harus jelas dan porsi masing-masing diambil dari keuntungan dagang itu seperti setengah, sepertiga atau seperempat. Jika
pembagian keuntungan tidak jelas, maka menurut ulama Hanafiyah aqad itu fasid atau rusak.
Berikutnya adalah yang terkait dengan ijab dan qabul, harus diucapkan oleh kedua belah pihak guna menunjukkan kemauan mereka untuk
menyempurnakan kontrak. Shighat harus sesuai dengan hal-hal berikut seperti secara eksplisit dan implicit menunjukkan tujuan kontrak serta shighat
dianggap tidak sah jika salah satu pihak menolak syarat-syarat yang diajukan dalam penawaran atau salah satu pihak meninggalkan tempat berlangsungnya
negosiasi tersebut sebelum kontrak disempurnakan.
34
34
Azharuddin Lathif, Fiqh Mu’amalah, h. 135 - 137
37
Syarat yang tidak kalah pentingnya dari pembiayaan mudharabah adalah adanya aktivitas usaha. Sebagai pertimbangan modal yang disediakan
oleh pemilik modal, maka pengelola harus memperhatikan hal-hal berikut seperti kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib tanpa campur tangan
pemilik modal, tetapi ia memiliki hak untuk melakukan pengawasan, pemilik modal tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa,
sehingga dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah yaitu memperoleh keuntungan dan pengelola tidak boleh menyalahi hukum syari’ah
Islam dalam tindakan yang berhubungan dengan mudharabah serta harus memenuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktivitas itu.
35
Atas dasar syarat-syarat di atas, Ulama Hanafiyah membagi aqad mudharabah ke dalam dua golongan yaitu mudharabah shohihah dan
mudharabah fasidah. Jika mudharabah yang dilakukan itu jatuh kepada fasid, menurut ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, maka pekerja itu hanya
berhak menerima upah kerja sesuai dengan standar yang berlaku di daerah itu, sementara seluruh keuntungan menjadi milik shohibul maal. Ulama Hanafiyah
menyatakan bahwa dalam mudharabah fasidah, status pekerja tetap seperti dalam mudharabah shohihah. Artinya bahwa pengelola tetap mendapatkan
bagian dari keuntungan. Namun yang terpenting dan perlu dilihat adalah
35
Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 7DSN-MUIIV2000, Jakarta: MUI, 2001, h. 44 - 46
38
proses dan faktor-faktor yang menyebabkan adanya unsur ketidakjelasan tersebut.
36