Pengertian Usaha Kecil dan Menengah

39 adalah modal kerja maksimal Rp. 150.000.000,- memiliki tenaga kerja maksimal 300 orang dan nilai penjualan maksimal Rp. 600.000.000,- 39 Departemen Keuangan RI memberikan kriteria tentang batasan usaha kecil. Usaha kecil menurut kriteria Departemen Keuangan adalah perusahaan yang memiliki aset maksimal Rp. 600.000.000,- atau omset maksimal Rp. 600.000.000,- per tahun. 40 Sedangkan menurut Bank Indonesia, yang dimaksud dengan usaha kecil adalah perusahaan yang mempunyai aset maksimal Rp. 600.000.000,- 41 Menurut Undang-Undang Perbankan No. 9 Tahun 19995 tentang usaha kecil, bahwa yang dimaksud dengan usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan yang memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan perusahaan. Kekayaan perusahaan maksimal Rp. 200.000.000,- tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. 42 Departemen Keuangan menambahkan bahwa yang dimaksud dengan usaha kecil adalah usaha dengan aset dan omset kurang dari Rp. 300.000.000,- 43 Di tengah keragaman definisi tentang usaha kecil, menarik untuk dicatat suatu fenomena yang tidak dapat dipisahkan begitu saja dari perjalanan 39 Muhammad Ja’far Hafsah, Kemitraan Usaha Kecil; Konsepsi dan Strategi, h. 10 40 Lihat Keputusan Menteri Keuangan RI No. 3161994 tanggal 27 Juni 1994 tentang Pedoman Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi melalui dana dari bagian laba BUMN dan SKB Direktorat Jenderal Pembinaan BUMN, Departemen Keuangan dan Direktorat Jenderal PPK, Departemen Koperasi dan PPK tanggal 14 Oktober 1994 tentang Pedoman Pelaksanaan Usaha Kecil dan Koperasi melalui dana dari bagian laba BUMN. 41 Pengertian usaha kecil dalam paket Januari 1990 yang mewajibkan perbankan mengalokasikan 20 dari fortopolio kreditnya kepada usaha kecil. Lihat www.bi.com 42 Muhammad Ja’far Hafsah, Kemitraan Usaha Kecil; Konsepsi dan Strategi, h. 11 43 www.bi.com , diakses pada tanggal 25 Juli 2001 40 pengembangan usaha kecil, yaitu suatu pengertian yang disusun oleh Biro Pusat Statistik yang menyatakan bahwa usaha kecil difokuskan pada penggunaan kriteria serapan tenaga kerja. Berdasarkan kriteria tersebut, industri skala kecil dicatat sebagai perusahaan manufaktur yang mempekerjakan tenaga kerja antara 5 – 19 orang. Biro ini juga mengelompokkan jenis usaha ke dalam dua kelompok yaitu usaha besar dan usaha sedang serta usaha kecil dan usaha rumah tangga yang tidak berbadan hukum. Berkaitan dengan itu, maka Departemen Perindustrian dan Perdagangan mengklasifikasikan usaha kecil ke dalam dua kelompok yaitu industri kecil dan perdagangan kecil. Industri kecil adalah usaha industri yang memiliki investasi peralatan di bawah Rp. 700.000.000,- investasi per tenaga kerja maksimal Rp. 625.000,- jumlah pekerja di bawah 20 orang serta memiliki aset tidak lebih dari Rp. 100.000.000,- Sedangkan perdagangan kecil merupakan perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan atau jasa komersial yang memiliki modal kurang dari Rp. 80.000.000,- dan perusahaan yang bergerak di bidang produksi atau industri yang memiliki modal maksimal Rp. 200.000.000,- 44 Dari uraian-uraian tentang definisi usaha kecil seperti diutarakan di atas, dapat dipahami bahwa usaha kecil memiliki peran yang sangat strategis dalam upaya mengembangkan dan menumbuhkan industri kecil dan 44 Keputusan Menteri Keuangan RI No. 3161994 tanggal 27 Juni 1994 tentang Pedoman Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi melalui dana dari BUMN. 41 menengah di Indonesia. Dengan demikian, usaha kecil merupakan bagian integral dari usaha nasional yang mempunyai kedudukan dan peranan yang strategis dalam mewujudkan pembangunan nasional. 45 Oleh sebab itu, pembangunan nasional tidak hanya diwujudkan dalam bentuk usaha kecil, tetapi dapat pula diwujudkan dalam bentuk usaha menengah. Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 9 Tahun 1995 tentang usaha menengah, bahwa pengertian usaha menengah dapat digolongkan ke dalam dua bagian yaitu sektor industri dan sektor non industri. Usaha menengah dalam sektor industri memiliki total aset maksimal Rp. 5.000.000.000,- Sedangkan untuk sektor non industri, di samping memiliki kekayaan bersih maksimal Rp. 600.000.000,- tidak termasuk tanah dan bangunan, juga memiliki hasil penjualan maksimal Rp. 3.000.000.000,- per tahun. 46 Dalam Instruksi Presiden No. 10 Tahun 1999, bahwa yang dimaksud dengan usaha menengah adalah unit kegiatan yang memiliki kekayaan lebih besar dari Rp. 200.000.000,- sampai dengan maksimal Rp. 10.000.000.000,- tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. 47 Bila dilihat dari ciri-ciri umum tentang kriteria usaha kecil dan menengah pada dasarnya dapat dikatakan sama yaitu struktur organisasi yang sederhana, tanpa staf 45 Noer Soetrisno, Peranan Perbankan Sebagai Sumber Pembiayaan Usaha Golongan Lemah dan dan Koperasi, Jakarta: Badan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1998, h. 4 46 Direktorat Jenderal Fasilitas Pembiayaan dan Simpan Pinjam, Himpunan Ketentuan Skim Kredit Program Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah, Jakarta: Tpn, 1999, h. 49 47 Direktorat Jenderal Fasilitas Pembiayaan dan Simpan Pinjam, Himpunan Ketentuan Skim Kredit Program Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah, h. 50 42 berlebihan, pembagian kerja yang kurang disiplin, memiliki hirarki manajerial yang pendek, aktivitas sedikit formal dan sedikit yang menggunakan proses perencanaan serta kurang membedakan aset pribadi dari perusahaan. 48

2. Manajemen Usaha Kecil dan Menengah

Bagi seorang wirausahawan, fungsi manajemen yang terpenting adalah untuk mengambil keputusan mengenai apa yang hendak dihasilkan. 49 Dalam mengambil keputusan, diperlukan suatu seni dan ilmu pertimbangan yang banyak ditentukan oleh pengalaman dalam hal pengambilan keputusan. Untuk itu, diperlukan manajer yang mampu memadukan keterampilan teknis dengan kemampuan manajerialnya dalam mengambil keputusan perusahaan secara tepat. Masalah manajemen yang dihadapi para pengusaha kecil dan menengah adalah tentang bagaimana mereka mampu menyikapi kondisi lingkungan yang berubah secara cepat. Meskipun demikian, sikap positif pengusaha kecil dan menengah yang diikuti dengan tindakan-tindakan nyata secara tepat guna, sering kali tidak mampu mengatasi permasalahannya. Hal ini disebabkan faktor eksternal ternyata lebih besar pengaruhnya dari pada faktor kemampuan manajemen pengusaha kecil dan menengah itu sendiri. Di sinilah perlunya mempelajari masalah perusahaan ditinjau dari aspek ekologis, yaitu cara melihat sosok perusahaan sebagai bagian dari ekosistem. 48 Titik Sartiko Partomo, et.al., Ekonomi Skala Kecil, Menengah dan Koperasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002, Cet. ke-1, h. 15 49 Murti Sumarni, Marketing Perbankan, Yogyakarta: Liberty, 1997, h. 55 43 Seorang pengusaha merupakan bagian dari lingkungan sosial tertentu dengan sistem nilai yang tidak hanya mempengaruhi sistem tersebut, tetapi juga dapat membentuk sikap dan tingkah laku sebagai pengusaha. Bahkan dilihat dari aspek legal, sistem dan struktur perusahaan-perusahaan atau industri merupakan bagian dari sistem hukum dan sistem politik yang berlaku. Oleh sebab itu, masalah manajemen perusahaan tidak dapat dilepaskan atau diceraikan dengan lingkungannya begitu saja. 50 Seorang pengusaha juga dituntut untuk memiliki wawasan yang luas dan peka terhadap ekologi dunia usaha. Untuk itu, para pengusaha harus dapat menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan mereka dapat bersentuhan langsung dengan informasi perubahan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa persoalan manajemen pada dasarnya tidak hanya terbatas pada lingkungan, tetapi para pengusaha juga dapat memecahkan persoalan ini secara lebih efektif di luar perusahaan, terutama dalam hal manajemen perusahaan. Masalah manajemen usaha kecil dan menengah senantiasa berhubungan dengan lingkungan yang kesemuanya itu nantinya dapat membentuk suatu ekosistem. Ada beberapa hal yang mempengaruhi masalah ini salah satu di antaranya adalah faktor lingkungan seperti permasalahan psikologis dan tenaga kerja. Hal yang kedua adalah kemampuan teknis pengelolaan usaha. Faktor-faktor tersebut terdiri atas kemampuan mengatur 50 M. Dawam Rahardjo, Pembangunan Ekonomi Nasional; Suatu Pendekatan Pemerataan, Keadilan dan Ekonomi Kerakyatan, Jakarta: PT. Internusa, 1997, Cet. ke-1, h. 151