Mekanisme pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah pada BMT al-Karim Cipulir

(1)

Oleh

ARIF SYARIFUDDIN

NIM. 203046101781

KONSENTRASI PERBANKAN SYARI

AH

PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM

FAKULTAS SYARI

AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(2)

MEKANISME PEMBIAYAAN MUDHARABAH BAGI USAHA KECIL

DAN MENENGAH PADA BMT AL-KARIM

CIPULIR

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai

Gelar Sarjana Ekonomi Islam (S.E.I)

Oleh

Arif Syarifuddin

NIM. 203046101781

Dibawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH, MH Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., MA

KONSENTRASI PERBANKAN SYARI

AH

PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(3)

(4)

i

KATA PENGANTAR

Puja dan puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas selesainya penyusunan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Muamalat Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Tema skripsi ini penulis pilih atas pertimbangan pentingnya mekanisme pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah dalam upaya meningkatkan ekonomi kerakyatan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk kemajuan dan perkembangan BMT Al-Karim dalam meningkatkan ekonomi usaha kecil dan menengah.

Penyusunan skripsi ini dapat penulis selesaikan berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu sangatlah wajar bila penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya, khususnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA, MM, Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta beserta staf yang telah memberikan tugas kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 2. Ibu Dr. Euis Amalia, M.Ag, Ketua Program Studi Muamalat Ekonomi Islam yang telah meluangkan waktunya bagi penulis, sehingga sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Dr. H. Mukri Adji, MA Dosen Pembimbing Akademik yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.


(5)

ii

meluangkan waktunya demi membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah

memberikan ilmu kepada penulis selama belajar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Bapak Pimpinan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta staf yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk memanfaatkan dan meminjam buku-buku yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini.

7. Bapak Andrie, Staf HRD dan Administrasi Pembiayaan BMT Al-Karim dan seluruh jajaran karyawan BMT Al-Karim yang telah memberikan data dan kontribusinya dalam rangka penyelesaian skripsi ini.

8. Ayah dan Ibunda serta adik dan kakakku yang senantiasa berusaha dan berdo’a serta mendidik penulis dengan penuh tanggung jawab dan selalu memberikan bantuan baik moril maupun materil. Semoga ilmu yang penulis peroleh dapat menjadi bekal untuk membalas budi dan pengorbanan yang telah mereka berikan. 9. Sanak famili dan handai taulan serta rekan-rekan mahasiswa angkatan 2003

Program Studi Mu’alamat khusus Perbankan Syari’ah A Program Non Reguler Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan semua pihak yang telah memberikan bantuan dengan sukarela dalam penyelesaian skripsi ini.


(6)

iii

10.Sahabat dekatku Vini Oktaviani yang telah memberikan saran dan dukungannya kepada penulis, sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. 11.Keluarga Besar LMC yang telah banyak memberikan dorongan dan motivasi,

sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

12.Teman sejawat dan karib kerabat serta rekan guru-guru yang telah banyak memberikan bantuan baik moril maupun materil, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

Semoga semua yang telah mereka berikan baik berupa bimbingan dan bantuan maupun pengorbanan dalam rangka penyusunan skripsi ini, mendapat imbalan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Amin ya rabbal ‘alamin.

Akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak luput dari kekurangan dan kelemahan. Oleh karenanya sumbangsih dan pemikiran, kritik dan saran yang konstruktif dari semua pihak sangat penulis harapkan untuk perbaikan pada kajian-kajian dengan tema yang sama pada masa yang akan datang.

1 Agustus 2009 M Jakarta,

10 Sya’ban 1430 H

Penulis


(7)

iv

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

D. Review Studi Terdahulu ... 11

E. Metode Penelitian ... 13

F. Sistematika Penyusunan ... 15

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBIAYAAN MUDHARABAH DAN USAHA KECIL MENENGAH A. Pembiayaan Mudharabah ... 17

1. Pengertian Pembiayaan Mudharabah ... 17

2. Landasan Hukum Pembiayaan Mudharabah ... 22

3. Jenis-Jenis Pembiayaan Mudharabah ... 26

4. Tujuan dan Fungsi Pembiayaan Mudharabah ... 29


(8)

v

B. Usaha Kecil dan Menengah ... 38

1. Pengertian Usaha Kecil dan Menengah ... 38

2. Manajemen Usaha Kecil dan Menengah ... 42

3. Jenis-Jenis Usaha Kecil dan Menengah ... 44

4. Kendala Bagi Usaha Kecil dan Menengah ... 47

5. Solusi Bagi Usaha Kecil dan Menengah ... 49

BAB III : GAMBARAN UMUM BMT Al-KARIM A. Sejarah Singkat BMT Al-Karim ... 54

B. Visi dan Misi BMT Al-Karim ... 55

C. Prinsip Operasional BMT Al-Karim ... 56

D. Produk Pembiayaan BMT Al-Karim ... 57

E. Struktur Organisasi BMT Al-Karim ... 58

BAB IV : PROSEDUR PEMBIAYAAN MUDHARABAH BAGI USAHA KECIL DAN MENENGAH PADA BMT AL-KARIM A. Praktek Pembiayaan Mudharabah Bagi Usaha Kecil dan Menengah Pada BMT Al-Karim ... 62

B. Distribusi Pembiayaan Mudharabah Bagi Usaha Kecil dan Menengah Pada BMT Al-Karim ... 66

C. Proses Pembiayaan Mudharabah Bagi Usaha Kecil dan Menengah Pada BMT Al-Karim ... 71

D. Kendala BMT Al-Karim Dalam Memberlakukan Pembiayaan Mudharabah Bagi Usaha Kecil dan Menengah ... 75


(9)

vi

B. Saran-saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 82 LAMPIRAN-LAMPIRAN ...


(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tantangan berat yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini adalah tidak hanya menanggulangi krisis ekonomi, tetapi juga mengubah paradigma ekonomi konglomerasi menjadi ekonomi kerakyatan. Ekonomi kerakyatan itu sendiri adalah sistem ekonomi yang mencakup konsep, kebijaksanaan dan strategi pengembangannya. Ekonomi rakyat merupakan pelaku ekonomi yakni rakyat itu sendiri baik dalam bentuk koperasi, usaha menengah, usaha kecil maupun usaha gurem. Perekonomian rakyat merupakan gambaran kondisi atau keadaan ekonomi rakyat.1

Dalam rangka membangun ekonomi rakyat, maka sektor yang diharapkan mampu memberikan pembiayaan adalah sektor perbankan. Namun permasalahannya sekarang ini adalah praktek pembiayaan pada perbankan belum berhasil menyentuh kebutuhan para pengusaha kecil dan menengah karena dilihat dari banyaknya persyaratan yang diajukan oleh bank untuk memperoleh pembiayaan tersebut. Kondisi ini mengakibatkan sektor usaha kecil dan menengah lemah yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi yang kuat meskipun usaha kecil dan menengah atau ekonomi rakyat memang tidak diandalkan sebagai penggerak utama

1

Baihaqi Abdul Madjid, et.al., Paradigma Baru Ekonomi Kerakyatan Sistem Syari’ah;


(11)

pertumbuhan ekonomi dan tumpuan untuk keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Tanpa disadari ekonomi rakyat dapat meningkatkan distribusi pendapatan yang lebih merata dan kemampuan daya beli masyarakat lebih meningkat.

Jika kesulitan mendapatkan permodalan untuk meningkatkan usahanya, sehingga yang terjadi adalah adanya ketidakadilan dalam pendistribusian modal. Pemberi pinjaman modal menginginkan keuntungan tanpa terlibat resiko bisnis adalah irrasional baginya. Untuk memberikan pinjaman kepada orang-orang miskin sama banyaknya dengan yang diberikan kepada orang-orang kaya dengan persyaratan yang sama. Untuk itu, praktek perbankan konvensional pada umumnya hanya memberikan pinjaman kepada individu-individu dan perusahaan-perusahaan yang memiliki jaminan kolateral dan memiliki jumlah tabungan internal yang besar, tanpa memperhatikan apakah mereka menghasilkan keuntungan di atas rata-rata investasi modal mereka.2

Bahkan Morgan Guarantee Trust Company, bank terbesar ke-6 di Amerika Serikat, mengakui bahwa sistem perbankan telah gagal membiayai perusahaan-perusahaan kecil yang sedang berkembang atau para kapitalis venture. Meskipun kebanjiran dana, sistem ini tidak berniat untuk menyalurkan dana dengan harga kompetitif, kecuali kepada perusahaan-perusahaan besar dan berkantong tebal.3 Kondisi seperti ini menggambarkan bahwa para pengusaha kecil dan menengah tidak diberi kesempatan untuk memperoleh pembiayaan guna mempertahankan usahanya.

2

Ikhwan Abidin Basri, Islam dan Tantangan Ekonomi, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h. 326

3


(12)

3

Melihat permasalahan yang terjadi, maka dirasakan perlu adanya lembaga keuangan non bank yang dapat menjangkau kebutuhan masyarakat pada skala mikro. Dalam kondisi seperti ini, suatu paradigma baru bagi pengembangan usaha kecil dan menengah sangat diperlukan. Pemberdayaan ekonomi rakyat perlu dilaksanakan lebih konsisten dan lebih berpihak pada rakyat kecil yang nota bene merupakan sumber nafkah bagi mayoritas rakyat Indonesia dapat terselamatkan dari kondisi krisis ekonomi akibat tidak diberikannya kesempatan oleh lembaga keuangan tertentu pada usaha kecil dan menengah.

Di antara lembaga alternatif pengembangan usaha kecil dan menengah adalah

Baitul Maâl Wattamwil (BMT) yang merupakan lembaga keuangan non bank dengan

prinsip-prinsip syari’ah. Cita-cita lembaga ini adalah membantu masyarakat ekonomi lemah serta pengusaha kecil dan menengah dalam memberikan modal atau pembiayaan agar usaha yang mereka tekuni dapat berkembang dan menjadi produktif tanpa membebani masyarakat yang menggunakan jasa BMT.

BMT merupakan lembaga keuangan syari’ah yang tumbuh seiring dengan perkembangan lembaga keuangan maupun non keuangan syari’ah di Indonesia. BMT didefinisikan sebagai lembaga pendukung kegiatan ekonomi masyarakat kecil dengan

berlandaskan syari’ah.4

Peran umum BMT adalah melakukan pembinaan dan pendanaan berdasarkan sistem syari’ah. Peran ini menegaskan arti penting prinsip

-prinsip syari’ah dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Sebagai lembaga keuangan syari’ah yang bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat kecil yang serba

4


(13)

cukup baik ilmu pengetahuan maupun materi, maka BMT mempunyai tugas penting dalam mengemban misi ke-Islaman dalam segala aspek kehidupan masyarakat.5

Pada dasarnya BMT adalah lembaga swadaya masyarakat. Artinya lembaga ini didirikan dan dikembangkan oleh masyarakat. Terutama pada awal berdiri, biasanya dilakukan dengan menggunakan sumber daya termasuk dana atau modal dari masyarakat setempat itu sendiri.6 Pendirian BMT memang cukup banyak yang dibantu oleh pihak luar masyarakat lokal, namun hal itu lebih bersifat bantuan teknis. Bantuan dari luar sering bersifat konsepsional atau stimulan, umumnya dari lembaga atau asosiasi yang peduli pada BMT atau masalah pemberdayaan ekonomi rakyat.7

Sejak awal berdirinya, BMT dirancang sebagai lembaga ekonomi. Dapat dikatakan bahwa BMT merupakan suatu lembaga ekonomi rakyat yang secara konsepsi dan secara nyata memang lebih fokus kepada masyarakat bawah yang miskin dan nyaris miskin. BMT berupaya membantu mengembangkan usaha mikro dan usaha kecil, terutama melalui bantuan permodalan. Untuk melancarkan usaha membantu permodalan tersebut yang dalam khazanah keuangan modern dikenal dengan istilah pembiayaan, maka BMT juga berupaya menghimpun dana, terutama yang berasal dari masyarakat lokal di sekitarnya. Dengan kata lain, BMT pada

5

Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah; Deskripsi dan Ilustrasi, (Yogyakarta: Ekonosia, 2003), Cet. ke-2, h. 96

6

M. Amin Azis, Pedoman Pendirian BMT, (Jakarta: PINBUK Press, 2006), h. 1

7

Sejauh pengetahuan penulis, Pusat Inkubasi Bisnis Kecil (PINBUK) merupakan salah satu lembaga yang paling aktif mendorong pendirian BMT. Organisasi-organisasi atau kepengurusan di tingkat kecamatan dan kabupaten dan organisasi semacam Muhammadiyah juga banyak berperan dalam pendirian BMT.


(14)

5

prinsipnya berupaya mengorganisasi usaha saling tolong menolong antar warga masyarakat suatu komunitas dalam masalah ekonomi.8

Salah satu bentuk tolong menolong antar warga masyarakat dalam masalah ekonomi adalah terwujudnya lebih dari sekitar tiga juta orang telah mendapatkan layanan dari BMT. Sebagian besar dari mereka adalah orang yang bergerak pada bidang usaha kecil, bahkan usaha mikro atau usaha sangat kecil. Cakupan bidang usaha dan profesi dari mereka yang dilayani sangat luas mulai dari pedagang sayur, penarik becak, pedagang asongan, pedagang kelontongan, penjahit rumahan, pengrajin kecil, tukang batu, petani, peternak sampai dengan kontraktor dan usaha jasa yang relatif modern.9 Semua cakupan bidang usaha dan profesi merupakan salah satu jenis layanan dari BMT.

Sesuai dengan pengertian terminologisnya, BMT melaksanakan dua jenis kegiatan yaitu Baitul Maâl dan Baitut Tamwil. Sebagai Baitul Maal, BMT menerima titipan zakat, infaq dan shadaqah serta menyalurkannya sesuai dengan peraturan dan amanahnya. Sedangkan sebagai Baitut Tamwil, kegiatan BMT mengembangkan uaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan pengusaha kecil dan sangat kecil dengan mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan ekonomi.10

8

Awalil Rizky, Fakta dan Prospek Baitul Maal Wattamwil, (Yogyakarta: UCY Press, 2007), Cet. ke-1, h. 4

9

Awalil Rizky, Fakta dan Prospek Baitul Maal Wattamwil, h. 2

10

Hartono Widodo, et.al., Panduan Praktis Operasional BMT, (Bandung: Mizan, 1999), h. 81- 82. Lihat juga Saifuddin A. Rasyid, Konsep Dasar BMT, dalam Republika Online, Edisi 14 Desember 2001, h. 7


(15)

Sebagai Baitul Maâl, beberapa kegiatan dari BMT dijalankan tanpa orientasi mencari keuntungan. BMT berfungsi sebagai pengemban amanah yang serupa dengan amil zakat yaitu menyalurkan bantuan dana secara langsung kepada pihak yang berhak dan membutuhkan. Sumber dana kebanyakan berasal dari zakat, infaq dan shadaqah serta dari bagian laba BMT yang disisihkan untuk tujuan ini. Adapun bentuk penyaluran dana atau bantuan yang diberikan beragam. Ada yang murni bersifat hibah dan ada pula yang merupakan pinjaman bergulir tanpa dibebani biaya dalam pengembaliannya. Pinjaman yang bersifat hibah sering berupa bantuan langsung untuk kebutuhan hidup yang mendesak atau darurat dan diperuntukkan bagi mereka yang memang sangat membutuhkan, di antaranya adalah bantuan untuk berobat, biaya sekolah, sumbangan bagi korban bencana, dan lain sebagainya.11

Sedangkan sebagai Baitut Tamwil, BMT terutama berfungsi sebagai suatu

lembaga keuangan syari’ah. lembaga keuangan syari’ah yang melakukan upaya penghimpunan dan penyaluran dana berdasarkan prinsip syari’ah. Prinsip syari’ah

yang paling mendasar dan yang sering digunakan adalah sistem mudharabah atau bagi hasil.12 Sistem bagi hasil menjadi karakteristik tersendiri yang memiliki keunggulan dibanding bunga. Keunggulan ini tidak hanya karena telah sesuai dengan aqidah Islam, tetapi secara ekonomi juga memiliki keunggulan. Oleh karenanya,

lembaga keuangan syari’ah semestinya tidak hanya menjadi lembaga keuangan

alternatif, melainkan menjadi suatu keharusan sebagaimana keharusan umat Islam

11

Awalil Rizky, Fakta dan Prospek Baitul Maal Wattamwil, h. 6

12


(16)

7

terhadap pilihan barang konsumsi yang harus halal, memakan makanan yang baik-baik, cara mencari rizki harus benar, dan lain-lain.13

Dalam mekanisme keuangan syari’ah, model bagi hasil ini berhubungan dengan usaha pengumpulan dana dan pembiayaan, terutama yang berkaitan dengan produk penyertaan atau kerja sama usaha. Dalam pengembangan produknya, dikenal dengan istilah shâhib al-maâl dan mudhârib. Shâhib al-maâl merupakan pemilik dana

yang mempercayakan dananya pada lembaga keuangan syari’ah seperti BMT untuk

dikelola sesuai dengan perjanjian. Sedangkan mudhârib merupakan kelompok orang atau badan yang memperoleh dana untuk dijadikan modal usaha atau investasi.14 Kerja sama seperti dalam Islam dikenal dengan istilah mudhârabah.

Pembiayaan mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh lembaga

keuangan syari’ah kepada pihak lain untuk sesuatu usaha yang produktif.15 Menurut Muhammad, pembiayaan mudharabah adalah pernjanjian antara penanam dana dengan pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.16 Dari sekian banyaknya lembaga keuangan syari’ah yang melakukan

upaya penghimpunan dan penyaluran dana berdasarkan prinsip syari’ah dengan

sistem mudharabah adalah BMT.

13

Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wattamwil, (Yogyakarta: UII Press, 2004), Cet. ke-1, h. 119

14

Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wattamwil, h. 120

15

Karnaen Perwaatmadja, et.al., Apa dan Bagaimana Bank Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Primayasa, 1992), Cet. ke-1, h. 89

16


(17)

Salah satu BMT yang menyalurkan pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah adalah BMT Al-Karim Cipulir – Kebayoran Lama – Jakarta Selatan. Sistem yang digunakan BMT Al-Karim adalah sistem mudharabah. Dengan sistem ini, para pengusaha kecil dan menengah tidak dipusingkan dengan bentuk setoran tiap bulan, sebagaimana lembaga keuangan konvensional yang besarnya sudah ditentukan berapa persen oleh lembaga keuangan yang bersangkutan. Untuk itu, kehadiran BMT Al-Karim sangat dinantikan oleh masyarakat sekitarnya.

Masyarakat Cipulir khususnya para pengusaha kecil dan menengah dalam menggunakan jasa BMT ini tidak terbebani perasaan takut ataupun cemas untuk tidak bisa mengembalikan pinjamannya, karena model yang digunakan adalah sistem mudharabah. Masyarakat Cipulir tidak merasa ngeri dengan debt collector yang biasa dipakai oleh lembaga keuangan konvensional terhadap para debitur yang tidak lancar dalam menunaikan setorannya. Hal ini tentu sangat berbeda dengan BMT Al-Karim.

Dalam perjalanannya, BMT Al-Karim ini sangat berperan dalam menumbuhkembangkan ekonomi umat, agar umat tidak terjerat oleh lembaga keuangan konvensional yang bisa menjerat debitur disebabkan usahanya macet. Kehadiran BMT Al-Karim dirasakan memberi angin segar bagi pengusaha kecil dan menengah yang ingin mengembangkan usahanya. Pembiayaan mudharabah yang diberikan BMT Al-Karim sudah barang tentu menggunakan mekanisme agar kedua belah pihak tidak merasa saling dirugikan terutama pihak BMT Al-Karim.

Keberadaan BMT Al-Karim semakin diakui oleh masyarakat pengguna jasa BMT tersebut baik yang menitipkan uangnya ataupun yang meminjam untuk modal


(18)

9

usaha. Masyarakat mengakui bahwa BMT Al-Karim di samping alasan ideologis, juga karena manfaat nyata yang telah dilakukan oleh BMT Al-Karim.

Berdasarkan ilustrasi di atas, maka penulis merasa tertarik untuk menuangkan sebuah obsesi yang terdapat dalam diri penulis yang kemudian diwujudkan dalam bentuk skripsi yang diberi judul : MEKANISME PEMBIAYAAN MUDHARABAH BAGI USAHA KECIL DAN MENENGAH PADA BMT AL-KARIM CIPULIR. Topik ini menarik untuk dikaji, karena implikasinya sangat luas sehingga dapat menjadi gambaran bagi bank konvensional untuk tidak menjerat debitur terutama pengusaha kecil dan menengah.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Beragam jenis pembiayaan yang disalurkan oleh lembaga-lembaga keuangan

syari’ah banyak menarik perhatian masyarakat, terutama para pengusaha kecil dan menengah. Hal ini disebabkan di samping model yang digunakan adalah sistem mudharabah, persyaratan untuk memperoleh jenis-jenis pembiayaan ini juga dianggap relatif mudah. Untuk itu, banyak hal yang dapat diangkat dalam persoalan

pembiayaan seperti pembiayaan musyarakah, muzara’ah, musaqah, dan lain

sebagainya.

Agar dapat memberikan fokus masalah, maka pembahasan skripsi ini dibatasi hanya pada mekanisme pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah pada BMT Al-Karim. Dalam hal ini, penulis merumuskan permasalahannya yaitu : Seberapa jauh kiprah nyata yang telah dilakukan pihak BMT Al-Karim dalam


(19)

konteks penyaluran pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah, dengan rumusan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana mekanisme pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah pada BMT Al-Karim ?

2. Bagaimana praktek pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah pada BMT Al-Karim ?

3. Kendala apa saja yang dihadapi BMT Al-Karim dalam memberikan pembiayaan mudharabah pada usaha kecil dan menengah ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sejalan dengan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, maka penelitian skripsi ini memiliki tujuan di antaranya adalah sebagai berikut : 1. Memperoleh gambaran tentang mekanisme pembiayaan mudharabah bagi usaha

kecil dan menengah pada BMT Al-Karim.

2. Memperoleh gambaran tentang strategi yang dapat dilakukan BMT Al-Karim dalam hal pemberian pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah. 3. Mengetahui solusi dari kendala yang dihadapi BMT Al-Karim dalam memberikan

pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah.

Adapun manfaat dari penelitian skripsi ini di antaranya adalah sebagai berikut :


(20)

11

1. Manfaat akademis

Penelitian skripsi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa buku bacaan perpustakaan di lingkungan Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, khususnya di Fakultas Syari’ah dan Hukum Program Studi

Perbankan Syari’ah. 2. Manfaat praktis

Penelitian skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi lembaga-lembaga non bank, khususnya BMT dan sekaligus dapat memberikan penjelasan tentang mekanisme pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah.

3. Masyarakat umum

Penelitian skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan penjelasan bagi masyarakat umum, khususnya para pengusaha kecil dan menengah untuk selalu memiliki rasa tanggung jawab dalam hal mengembalikan pembiayaan yang telah disalurkan oleh pihak BMT sesuai dengan kesepakatan bersama.

D. Review Studi Terdahulu

Secara umum, penelitian tentang pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah telah dilakukan oleh banyak peneliti sebelumnya. Adapun di antara para peneliti tersebut adalah sebagai berikut :

1. Ferliatin Julianto, 0046119571, Peran Permodalan Nasional Madani (Persero) Dalam Pembiayaan Usaha Kecil dan Menengah Melalui Lembaga Keuangan


(21)

Syari’ah, Jakarta: Program Studi Ekonomi Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006.

Skripsi ini membahas tentang beragam jenis pembiayaan bagi usaha kecil dan menengah, namun tidak membahas tentang mekanisme pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah.

2. Ria Julianti, 103046128350, Kebijakan Bank Muamalat Indonesia Dalam

Pembiayaan Kepada UKM Tahun 2003 – 2007, Jakarta: Program Studi Ekonomi

Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2008.

Skripsi ini hanya membahas tentang kebijakan Bank Muamalat Indonesia dalam pemberian pembiayaan kepada usaha kecil dan menengah, namun kajiannya tidak difokuskan pada pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah.

3. Andi Irmansyah, 203046101670, Strategi Koperasi Industri Kayu dan Meubel Jakarta Timur Dalam Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah Perspektif

Ekonomi Islam, Jakarta: Program Studi Ekonomi Islam Fakultas Syari’ah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.

Kajian skripsi ini hanya membahas tentang tata cara koperasi industri kayu dan meubel dalam rangka memberdayakan usaha kecil dan menengah menurut ekonomi Islam dan sama sekali tidak bersentuhan dengan masalah pembiayaan mudharabah.


(22)

13

Berdasarkan penelitian penulis, secara khusus sampai saat ini belum ada yang membahas tentang mekanisme pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah pada suatu lembaga keuangan seperti BMT. Atas dasar itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang mekanisme pembiayaan mudharabah bagi usaha

kecil dan menengah pada suatu lembaga keuangan mikro syari’ah seperti BMT.

E. Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yakni penelitian tentang hubungan fenomena sosial tertentu dengan menganalisa dan menginterpretasikan data yang ada.17 Metode deskriptif adalah upaya untuk mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan keadaan sesuatu, digambarkan dengan kalimat atau kata-kata yang dipisah-pisahkan menurut kategori tertentu agar memperoleh kesimpulan.18 Sedangkan jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah jenis penelitian kualitatif.19 Penelitian ini menggabungkan studi lapangan dan studi kepustakaan.

Untuk memperoleh data lapangan ini, penulis mengadakan pendekatan secara langsung dengan cara mengunjungi obyek yang diteliti seperti gambaran umum lokasi penelitian pada BMT Al-Karim Cipulir – Kebayoran Lama – Jakarta Selatan.

17

Penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu pertama untuk pengukuran yang cermat terhadap fenomena sosial tertentu dengan mengembangkan konsep dan menghimpun fakta, tetapi tidak melakukan pengujian hipotesa. Kedua untuk memprediksi fenomena sosial tertentu. Lihat Masri Singarimbun, et.al., Metodologi Penelitian Survey, (Jakarta: LP3ES, 1999), Cet. ke-1, h. 4 - 5

18

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), h. 254

19

Lexy J. Maleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998), Cet. ke-2, h. 3


(23)

Adapun instrumen yang digunakan dalam penelitian ini di antaranya adalah sebagai berikut :

1. Observasi, penulis mengadakan pengamatan langsung ke BMT Al-Karim untuk

memperoleh data yang akurat tentang gejala, peristiwa dan kondisi aktual lainnya yang terjadi pada masa kini.

2. Wawancara, penulis mengadakan tanya jawab langsung dengan Personalia BMT

Al-Karim.

3. Dokumenter, yaitu melengkapi data-data yang telah ada yang kemudian

dipublikasikan.

Sementara itu, data yang diperoleh melalui studi kepustakaan adalah berupa

informasi yang diperoleh dengan cara mempelajari, menela’ah dan mengkaji buku -buku yang erat kaitannya dengan masalah yang akan dikaji. Sedangkan teknik yang digunakan dalam pengolahan data adalah teknik context analysis, yaitu dengan cara menganalisis teori yang ada pada literatur kepustakaan terutama yang berkaitan erat dengan masalah pembiayaan mudahrabah. Data-data yang telah diperoleh kemudian disinkronkan dengan teori-teori yang berkaitan dengan pembiayaan mudharabah tersebut.

Adapun teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman

Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta Tahun 2007 Cet. ke-1, akan mewarnai seluruh bentuk penulisan skripsi ini.


(24)

15

F. Sistematika Penyusunan

Untuk memudahkan pembahasan skripsi ini secara keseluruhan, maka diperlukan suatu sistematika penyusunan. Adapun sistematika penyusunan yang dimaksud adalah seperti yang akan diuraikan di bawah ini.

Bab I menguraikan tentang pokok-pokok pikiran yang tertuang dalam pembahasan skripsi ini yang terdiri atas latar belakang masalah yang bertujuan untuk memberikan alasan yang jelas tentang pemilihan judul, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian dipergunakan dalam rangka memudahkan penulisan dan sistematika penyusunan dipergunakan untuk memberikan penjelasan secara garis besar tentang pembahasan yang akan diuraikan dalam skripsi ini.

Bab II berisikan tentang tinjauan literatur yang pembahasannya meliputi pembiayaan mudahrabah serta usaha kecil dan menengah. Ruang lingkup dari pembiayaan mudharabah terdiri atas pengertian pembiayaan mudharabah, landasan hukum pembiayaan mudharabah, jenis-jenis pembiayaan mudharabah, tujuan dan fungsi pembiayaan mudharabah dan rukun serta syarat pembiayaan mudharabah. Sedangkan ruang lingkup dari usaha kecil dan menengah terdiri atas pengertian usaha kecil dan menengah, manajemen usaha kecil dan menengah, jenis-jenis usaha kecil dan menengah, kendala bagi usaha kecil dan menengah serta solusi bagi usaha kecil dan menengah.

Bab III menguraikan tentang gambaran umum BMT Al-Karim yang pembahasannya meliputi sejarah singkat BMT Karim, visi dan misi BMT


(25)

Al-Karim, prinsip operasional BMT Al-Al-Karim, produk pembiayaan BMT Al-Karim dan struktur organisasi BMT Al-Karim.

Bab IV membahas inti persoalan yang diperbincangkan dalam skripsi ini, yaitu prosedur pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah pada BMT Al-Karim yang pembahasannya meliputi praktek pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah pada BMT Al-Karim, distribusi pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah pada BMT Al-Karim, proses pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah pada BMT Al-Karim dan kendala BMT Al-Karim dalam memberlakukan pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah.

Bab V merupakan bab penutup dari skripsi ini yang di dalamnya memuat beberapa kesimpulan dan saran-saran yang kemudian diakhiri dengan daftar kepustakaan dan lampiran-lampiran.


(26)

17

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBIAYAAN MUDHARABAH DAN

USAHA KECIL MENENGAH

A. Pembiayaan Mudharabah

1. Pengertian Pembiayaan Mudharabah

Pembiayaan mudharabah terdiri atas dua kata yaitu pembiayaan dan

mudharabah. Secara luas, pembiayaan berarti financing atau pembelanjaan,

yaitu pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan baik dilakukan sendiri maupun dijalankan oleh orang lain. Dalam arti sempit, pembiayaan dipakai untuk mendefinisikan pendanaan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan seperti bank syari’ah kepada nasabah. Dalam kondisi ini, arti pembiayaan menjadi sempit dan pasif. Tetapi bisa jadi penyempitan arti ini juga disebabkan keterbatasan pemahaman para pelaku bisnisnya.1

Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 pasal 1 ayat 12 tentang perbankan dinyatakan bahwa pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka

1

Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2002), Cet. ke-1, h. 304


(27)

waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.2 Menurut Antonio, pembiayaan adalah pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan definisit unit.3

Menurut ketentuan Bank Indonesia, pembiayaan adalah penanaman dana bank syari’ah baik dalam rupiah maupun valuta asing dalam bentuk pembiayaan, piutang, qardh, surat berharga syari’ah, penempatan, penyertaan

modal sementara, komitmen dan kontinjensi pada rekening administratif serta sertifikat wadi’ah Bank Indonesia.4

Muhammad mendefinisikan bahwa pembiayaan adalah penyediaan dana dan/atau tagihan berdasarkan aqad mudharabah dan/atau musyarakah dan/atau pembiayaan lainnya berdasarkan prinsip bagi hasil.5 Dengan demikian, pembiayaan adalah pendapatan atau memberi biaya terhadap suatu aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh orang atau perusahaan.

Dari uraian-uraian di atas, dapat dipahami bahwa pembiayaan dapat berupa uang atau tagihan yang nilainya diukur dengan uang misalnya bank membiayai pembelian rumah atau mobil. Kemudian adanya kesepakatan antara bank dengan nasabah penerima pembiayaan dengan perjanjian yang telah disepakati bersama. Dalam perjanjian pembiayaan tercakup hak dan kewajiban masing-masing pihak, termasuk jangka waktu serta perolehan

2

Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), Cet. ke-1, h. 10

3Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah

; Dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), Cet. ke-1, h. 160

4

Peraturan Bank Indonesia No. 5/7/PBI/2003, tanggal 19 Mei 2003

5


(28)

19

keuntungan yang ditetapkan bersama berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Demikian pula dengan masalah sanksi, jika debitur ingkar janji terhadap perjanjian yang telah dibuat bersama pada saat aqad kredit.

Pada dasarnya konsep kredit pada bank konvensional dan pembiayaan pada bank syari’ah tidak jauh berbeda. Namun yang menjadi perbedaan antara kredit yang diberikan oleh bank konvensional dengan pembiayaan yang diberikan oleh bank syari’ah adalah terletak pada keuntungan yang diharapkan. Bagi bank konvensional keuntungan diperoleh melalui bunga, sedangkan bagi bank syari’ah keuntungan dapat berupa imbalan atau bagi hasil6 yang dalam bahasa agama dikenal dengan istilah mudharabah.

Secara etimologis, mudharabah berasal dari kata adharbu fil ardhi, yaitu berpergian untuk urusan dagang. Istilah mudharabah juga bisa disebut dengan qiradh yang berasal dari kata al-qardhu yang berarti al-qath’u yang bermakna potongan, karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungan.7 Dalam kamus A

Modern Arabic-English Dictionary, idiom kata mudharabah adalah bisahmin

wa nasubin yang berarti to participate in share or take part in.8 Dengan

demikian, secara etimologis kata mudharabah dapat dipahami sebagai aktivitas keikutsertaan atau partisipasi dalam suatu usaha atau kegiatan bisnis.

6

Kasmir, Manajemen Perbankan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 73

7

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), Juz XII, h. 31

8

Rosi Balbaki Al-Maurid, A Modern Arabic-English Dictionary, (Mesir: Daar Al-Maliyiin, 1993), Edisi IV, h. 10


(29)

Jadi partisipasi seseorang dalam melakukan bisnis secara bersamaan dapat dikatakan mudharabah.

Sedangkan secara terminologis, mudharabah adalah salah satu jenis transaksi musyarakah di mana pihak yang bersyirkah adalah pemilik dana atau

shohibul maal dan pemilik tenaga atau mudharib.9 Para ulama mendefinisikan

mudharabah atau qiradh dengan pemilik modal yang menyertakan modalnya

kepada pengusaha untuk diinvestasikan, sedangkan keuntungan yang diperoleh menjadi milik bersama dan dibagi menurut kesepakatan bersama.10

Secara teknis, mudharabah adalah aqad kerja sama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama atau shohibul maal menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola.11 Keuntungan usaha secara

mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak,

sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kekurangan atau kelalaian si pengelola, maka ia harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.12

9

Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syari’ah, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2007), Cet. ke-3, h. 56

10

Azharuddin Lathif, Fiqh Mu’amalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), Cet. ke-1, h. 134

11

Perbedaan yang esensial dari musyarakah dan mudharabah terletak pada besarnya kontribusi atas manajemen dan keuangan atau salah satu di antara itu. Dalam mudharabah, modal hanya berasal dari satu pihak sedangkan dalam musyarakah modal berasal dari dua pihak atau lebih.

Musyarakah dan mudharabah dalam literatur fiqh berbentuk perjanjian kepercayaan yang menuntut tingkat kejujuran yang tinggi dan menjunjung keadilan. Untuk itu, masing-masing pihak harus menjaga kejujuran untuk kepentingan bersama.

12

Ahmad Al-Syarbasi, Al-Mu’jam Al-Iqtishad Al-Islam, (Beirut: Daar Al-‘Alamil Kutub,

1987) dalam Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah; Dari Teori ke Praktek, h. 95. Lihat juga Nejatullah Siddiqi, Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil Dalam Hukum Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1996), h. 15 - 18


(30)

21

Dalam literatur fiqh, istilah mudharabah digunakan oleh mazhab Hanafiyah, Hanabilah dan Zaidiyah. Sedangkan dalam mazhab Syafi’iyah dan Malikiyah, mudharabah dikenal dengan istilah qirad.13 Menurut Lathif,

mudharabah termasuk dalam kategori salah satu bentuk kerja sama dalam

perdagangan. Beliau menyebut mudharabah sebagai bentuk kerja sama antara pemilik modal dengan seseorang yang pakar dalam perdagangan.14

Bila ditinjau dari aspek hukum, maka mudharabah dapat didefinisikan sebagai suatu kontrak di mana suatu kekayaan atau persediaan tertentu ditawarkan oleh pemiliknya atau pengurusnya kepada pihak lain untuk membentuk suatu kemitraan yang di antara kedua belah pihak dalam kemitraan itu akan berbagi keuntungan dengan pihak lain yang berhak mendapatkan keuntungan karena terjadinya pengelolaan kekayaan itu. Perjanjian seperti ini disebut sebagai contract of copartner ship.15

13

M. Umar Chapra, Toward a Just Monetary System, (London: The Islamic Foundation, 1985), h. 248

14

Menurut ulama Hanabilah, mudharabah termasuk salah satu bentuk perserikatan (syirkah al-uqud) yang mereka bagi ke dalam lima bentuk yaitu (1) syirkah al-‘inan, (2) syirkah al-mufawadhah, (3) syirkah al-abdan, (4) syirkah al-wujuh dan (5) syirkah mudharabah. Hal ini disebabkan menurut mereka, mudharabah termasuk ke dalam syarat-syarat itu adalah (a) pihak-pihak yang berserikat cakap bertindak sebagai wakil; (b) modalnya berbentuk uang tunai; (c) jumlah modal jelas; (d) diserahkan langsung kepada pengelola dagang itu setelah aqad disetujui; (e) pembagian keuntungan diambil dari hasil perserikatan itu, bukan dari harta lain. Akan tetapi Jumhur Ulama seperti Malikiyah, Hanafiyah, Syafi’iyah, Zahiriyah dan Syi’ah Imamiyah, tidak memasukkan transaksi mudharabah sebagai salah satu bentuk syirkah, karena menurut mereka, mudharabah merupakan aqad tersendiri dalam bentuk kerja sama lain, dan tidak dinamakan dengan perserikatan. Dalam buku karangan Nasrun Haroen dapat dilihat tentang definisi mudharabah. Menurut hemat penulis, beliau cenderung memasukannya ke dalam bentuk syirkah walaupun ia memisahkan pembahasan mudharabah dengan pembahasan syirkah. Lihat Azharuddin Lathif, Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 135

15

Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999), h. 29


(31)

Dari beberapa definisi baik ditinjau dari aspek etimologis maupun terminologis seperti dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa mudharabah adalah kerja sama antara kedua belah pihak yang memiliki dan menyediakan modal guna membiayai suatu usaha, pihak penyedia modal disebut shohibul maal dan pihak pengelola yang usahanya dibiayai disebut sebagai mudharib. Dengan demikian, pembiayaan mudharabah adalah perjanjian antara penanam dana dan pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.

2. Landasan Hukum Pembiayaan Mudharabah

Mudharabah16 adalah aqad yang telah dikenal oleh umat muslim sejak zaman Nabi, bahkan telah dipraktekkan oleh bangsa Arab sebelum turunnya Islam. Ketika Rasulullah SAW berprofesi sebagai pedagang,17 ia melakukan aqad mudharabah dengan Khadijah. Dengan demikian ditinjau dari aspek hukum Islam, maka praktek mudharabah ini dibolehkan baik menurut Al-Qur’an, hadits maupun ijma’ ulama.18

16

Mudharabah disebut juga qiradh atau muqaradhah dan makna dari keduanya adalah sama.

Mudharabah adalah istilah yang digunakan di Irak, sedangkan istilah qiradh digunakan oleh masyarakat Hijaz. Lihat Azharuddin Lathif, Fiqh Mu’amalat, h. 134

17

Saat itu Rasulullah SAW berusia kira-kira 25 tahun, dan belum menjadi nabi. Lihat M. Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Bandung: Mizan, 1997), h. 75

18

M. Anwar Ibrahim, Konsep Profit and Loss Sharing System Menurut Empat Mazhab, makalah tidak diterbitkan, h. 1 – 2. Menurut Al-Qur’an, lihat misalnya dalam surat Al-Mujammil ayat 20. Menurut Hadits, di antaranya adalah hadits Ibnu Abbas ra bahwa Nabi mengakui syarat-syarat

mudharabah yang ditetapkan Al-‘Abbas bin Abdul Muthalib kepada mudharib. Menurut ijma’ ulama,

karena sistem ini sudah dikenal sejak zaman nabi dan zaman sesudahnya para sahabat banyak yang mempraktekkannya dan tidak ada yang mengingkarinya.


(32)

23

Adapun landasan hukum dari pembiayaan mudharabah adalah firman Allah SWT sebagai berikut :















(

ةسكبلا

:



.)

Artinya : “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia dari Tuhanmu, maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, ingatlah kepada Allah di Masy'arilharam, dan ingatlah kepada Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum

itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat” (QS. Al

-Baqarah : 198).

Dalam ayat lain yang masih berkaitan dengan landasan hukum pembiayaan mudharabah adalah firman Allah SWT sebagai berikut :



(

ةعنجا

:



.)

Artinya : “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah kepada Allah

sebanyak-banyak agar kamu beruntung” (QS. Al-Jum’ah : 10).

Ayat lainnya yang menjadi landasan hukum pembiayaan mudharabah

adalah firman Allah SWT sebagai berikut :

...











(....

لمزما

:



.)

Artinya : “… dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian


(33)

Pembiayaan mudharabah tidak hanya diabadikan dalam Al-Qur’an, tetapi juga terdapat dalam hadits Rasulullah SAW sebagai berikut :

ًَِع

ًِِبِا

ٍساَبَع

ٌَِضَز

ُها

َهِيَع

َلاَق

:

اَذِا

َعَفَد

ُلاَنِلا

ّةَبَزاَضَم

َطَسَتِشِا

ىَلَع

ِهِبِحاَص

ٌَِا

َا

َكَلِشَي

ِهِب

،اّسِحَب

َاَو

ُلِزِيَي

ِهِب

،اّيِداَو

َاَو

ىِسَتِصَي

ِهِب

ّةَبأَد

َتاَذ

ٍدِبَك

،ٍةَبِطَز

ٌِِإَف

َلَعَف

َكِلاَذ

،ًَِنُض

ُغَلَبَف

ُهُطِسَش

َلِىُسَز

ِها

ىَلَص

ُها

ِهًَِلَع

َهَلَسَو

ُهَقَدَصَف

(

هاوز

ىىارطلا

.)

19

Artinya : “Dari Ibni ‘Abbas ra. berkata : Ibnu ‘Abbas pernah menyerahkan

harta sebagai mudharabah, namun ia mesnyaratkan kepada mudharibnya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah serta tidak membeli binatang ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, maka mudharib harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan itu sampai kepada Rasulullah SAW,

beliau kemudian membenarkannya”. (HR. Thabrani).

Dalam hadits lain yang menjadi landasan hukum pembiayaan

mudharabah adalah sabda Rasulullah SAW sebagai berikut :

ًَِع

ٍبًَِهُص

ٌَِضَز

ُها

ُهِيَع

ٌََأ

ٌَِبَيلا

ىَلَص

ُها

ِهًَِلَع

َهَلَسَو

َلاَق

:

ُثَاَث

ًَِهًِِف

ُةَكَسَبِلا

:

ُعًَِبِلَا

ىَلِا

،ٍلَجَآ

،ِةَضَزاَكُنِلاَو

ُطِلُخَو

ِسُبِلا

ِسًِِعَصلاِب

ِتًَِبِلِل

َا

ِعًَِبِلِل

(

هاوز

ًبا

هجام

.)

20

Artinya : “Dari Suhaeb ra. sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda : Ada tiga hal yang mengandung berkah yaitu jual beli tidak secara tunai, mudharabah dan mencampuri gandum dengan tepung untuk

keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual” (HR. Ibnu Majah).

Kemudian hadits lain yang erat kaitannya dengan masalah pembiayaan mudharabah adalah sabda Rasulullah SAW sebagai berikut :

19

Imam Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Maktabah Al-Syiriyah, 1997), Jilid II, h. 753

20


(34)

25

ًَِع

ُسَنُع

ًُِبا

ٍفِىَع

ٌُِضَز

ُها

ُهِيَع

،َلاَق

َلاَق

ُلِىُسَز

ِها

ىَلَص

ُها

ِهًَِلَع

َهَلَسَو

:

ُحِلُصلَا

زْئِاَج

ًًََِب

ًًَِِنِلِشُنِلا

ُاِا

اّحِلُص

َوَسَح

ّاَاَح

ِوَا

َلَحَا

اّماَسَح

ٌَِىُنِلِشُنِلاَو

ىَلَع

ِهِهِطِوُسُش

َاِا

اّطِسَش

َوَسَح

ِوَا

َلَحَا

اّماَسَح

(

هاوز

ىرًمرلا

.)

21

Artinya : “Dari Amr bin Auf ra. berkata, bersabda Rasulullah SAW : Perdamaian itu dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat

kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau

menghalalkan yang haram” (HR. Turmudzi).

Beberapa ayat Al-Qur’an an hadits Rasulullah SAW yang dijadikan dalil pembiayaan mudharabah seperti yang telah dipaparkan di atas memang sangat berkaitan dengan permasalahan mudharabah. Hal ini dapat dilihat pada surah Al-Mujammil ayat 20 yang dalamnya terdapat kata

ٌىبسضي

yang dipahami sebagai usaha untuk mencari rizki. Demikian pula dalam salah hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Thabrani terdapat kata

ةبزاضم

yang diartika bahwa Rasulullah SAW pernah menyerahkan harta sebagai mudharabah. Dengan demikian, terdapat hubungan yang positif antara dalil-dalil tersebut dengan permasalahan mudharabah.

Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa landasan hukum pembiayaan mudharabah tidak hanya tertera dalam Al-Qur’an, tetapi juga terdapat dalam hadits Rasulullah SAW sebagai landasan yang kedua setelah

21

Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulug Al-Marram Min Adillatil Ahkam, (Beirut: Daar Al-Ihya, 1973), h. 175 - 176


(35)

Al-Qur’an serta ijma’ para ulama. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa landasan hukum pembiayaan mudharabah adalah Al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW serta ijma’ ulama.

3. Jenis-jenis Pembiayaan Mudharabah

Ditinjau dari aspek transaksi yang dilakukan pemilik modal dengan pengelola, para ulama fiqh mengklasifikasikan aqad mudharabah ke dalam dua jenis, yaitu mudharabah mutlaqah dan mudharabah muqayyadah.22

Mudharabah mutlaqah adalah salah satu jenis mudharabah di mana pemilik

usaha atau mudharib diberikan hak yang tidak terbatas untuk melakukan investasi oleh pemilik modal atau shohibul maal. Sedangkan mudharabah

muqayyadah merupakan salah satu jenis mudharabah di mana pemilik usaha

dibatasi haknya oleh pemilik modal yang antara lain dalam hal jenis usaha, waktu, tempat usaha, dan lain-lain.23

Penerapan mudharabah mutlaqah dapat berupa tabungan dan deposito sehingga terdapat dua jenis himpunan dana yaitu tabungan mudharabah dan deposito mudharabah. Berdasarkan prinsip ini tidak ada pembatasan bagi BMT dalam menggunakan dana yang dihimpun.24 Dengan demikian, jenis-jenis mudharabah itu terdiri atas mudharabah mutlaqah dan mudharabah

muqayyadah.

22

Azharuddin Lathif, Fiqh Mu’amalah, h. 137

23

Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syari’ah, h. 57

24

Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah; Deskripsi dan Ilustrasi, (Yogyakarta: Ekonosia, 2004), Cet. ke-2, h. 59


(36)

27

Mudharabah muqayyadah terbagi ke dalam dua bagian yaitu

mudharabah muqayyadahon balance-sheet dan mudharabah muqayyadah off

balance-sheet. Dalam mudharabah muqayyadah on balance-sheet, aliran dana

terjadi dalam satu nasabah investor ke sekelompok pelaksana usaha dalam beberapa sektor terbatas misalnya pertanian, manufaktur dan jasa. Nasabah investor lainnya mungkin mensyaratkan dananya hanya boleh dipakai untuk pembiayaan di sektor pertimbangan, property dan pertanian. Selain berdasarkan sektor, nasabah investor dapat saja mensyaratkan berdasarkan jenis aqad yang digunakan misalnya hanya boleh digunakan berdasarkan aqad penjualan cicilan, penyewaan cicilan saja atau kerja sama usaha saja. Skema ini disebut on balance-sheet karena dicatat dalam neraca bank.25

Dalam mudharabah muqayyadah off balance-sheet, aliran dana berasal dari suatu nasabah investor kepada satu nasabah pembiayaan dalam bank konvensional disebut debitur. Di sini, bank syari’ah bertindak hanya sebagai arranger. Pencatatan transaksinya di bank syari’ah dilakukan secara

off balance-sheet. Sedangkan bagi hasilnya hanya melibatkan nasabah

investor dan pelaksana usaha. Besarnya bagi hasil tergantung pada kesepakatan antara nasabah investor dan nasabah pembiayaan. Bank hanya memperoleh arranger fee. Skema ini disebut off balance-sheet karena transaksi ini tidak dicatat dalam neraca bank, tetapi hanya dicatat dalam

25

Adiwarman Azwar Karim, Bank Islam; Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: IIIT Indonesia, 2003), Cet. ke-1, 405


(37)

rekening administratif.26 Untuk lebih jelasnya tentang jenis-jenis mudharabah

ini dapat disajikan pada gambar berikut ini.

JENIS-JENIS MUDHARABAH

Dari gambaran di atas, dapat dipahami bahwa secara garis besar jenis-jenis pembiayaan mudharabah dapat diklasifikasikan ke dalam dua bentuk yakni mudharabah mutlaqah dan mudharabah muqayyadah. Mudharabah

mutlaqah bersifat mutlak di mana shohibul maal tidak menetapkan restriksi

atau syarat-syarat tertentu kepada mudharib.27 Namun demikian, jika dipandang perlu, shohibul maal boleh menetapkan batasan-batasan atau syarat-syarat tertentu guna menyelamatkan modalnya dari resiko kerugian, dan syarat-syarat atau batasan ini harus dipenuhi oleh mudharib. Jika

mudharib melanggar batasan ini, maka ia harus bertanggung jawab atas

kerugian yang timbul. Jenis mudharabah seperti ini disebut mudharabah

muqayyadah.

26

Adiwarman Azwar Karim, Bank Islam; Analisis Fiqh dan Keuangan, h. 185

27

Adiwarman Azwar Karim, Bank Islam; Analisis Fiqh dan Keuangan, h. 184 Mudharabah

Off-Balance Sheet

On-Balance Sheet

Muqayyadah

(RIA: Restricted Investment Account)

Mutlaqah

(URIA: Unrestricted Investment Account)


(38)

29

4. Tujuan dan Fungsi Pembiayaan Mudharabah

Tujuan pembiayaan mudharabah yang dilaksanakan lembaga keuangan syari’ah terkait dengan stake holder salah satunya adalah pemilik.28 Dari sumber pendapatan di atas, para pemilik mengharapkan akan memperoleh penghasilan atas dana yang ditanamkan pada bank tersebut. Tujuan pembiayaan lainnya yang terkait dengan stake holder adalah pegawai. Para pegawai mengharapkan dapat memperoleh kesejahteraan dari bank yang dikelolanya.

Tujuan pembiayaan mudharabah selanjutnya yang terkait dengan stake holder adalah masyarakat yang terdiri atas pemilik dana. Sebagaimana pemilik, mereka mengharapkan dari dana yang diinvestasikan akan diperoleh bagi hasil. Selain pemilik dana, maka hal yang berkaitan dengan ini adalah debitur yang bersangkutan. Para debitur, dengan penyediaan dana baginya, mereka terbantu guna menjalankan usahanya atau terbantu untuk pengadaan barang yang diinginkannya. Kemudian hal lain yang berkaitan dengan tujuan pembiayaan mudharabah yang masuk dalam kategori ini adalah konsumen. Konsumen ini dapat memperoleh barang-barang yang dibutuhkannya.

Tujuan pembiayaan mudharabah yang dilaksanakan perbankan syari’ah terkait dengan stake holder berikutnya adalah pemerintah. Akibat penyediaan pembiayaan mudharabah, pemerintah terbantu dalam pembiayaan pembangunan negara, di samping itu akan diperoleh pajak yang berupa pajak

28


(39)

penghasilan atas keuntungan yang diperoleh bank dan juga perusahaan-perusahaan.

Tujuan pembiayaan mudharabah yang dilaksanakan perbankan syari’ah terkait dengan stake holder yang tidak kalah pentingnya adalah lembaga bank itu sendiri. Bagi bank yang bersangkutan, hasil dari penyaluran pembiayaan mudharabah, diharapkan bank dapat meneruskan dan mengembangkan usahanya agar tetap survival dan meluas jaringan usahanya, sehingga semakin banyak masyarakat yang dapat dilayaninya. Selain memiliki tujuan pembiayaan mudharabah, bank syari’ah juga harus menentukan fungsi

pembiayaan mudharabah itu sendiri.

Menurut Sinungan, ada beberapa fungsi dari pembiayaan mudharabah

yang diberikan oleh bank syari’ah kepada masyarakat penerima yang salah satu di antara fungsi pembiayaan mudharabah adalah meningkatkan daya guna uang.29 Para penabung menyimpan uangnya di bank dalam bentuk giro, tabungan dan deposito. Uang tersebut dalam prosentase tertentu ditingkatkan kegunaannya oleh bank guna suatu usaha peningkatan produktivitas. Para pengusaha menikmati pembiayaan mudharabah dari bank untuk memperluas atau memperbesar usahanya bak untuk peningkatan produksi, perdagangan maupun untuk usaha-usaha rehabilitasi ataupun memulai usaha baru. Pada dasarnya melalui pembiayaan mudharabah terdapat suatu usaha peningkatan

29

Muchdarsyah Sinungan, Dasar-Dasar dan Teknik Manajemen Kredit, (Jakarta: Bina Aksara, 1983), Cet. ke-1, h. 75


(40)

31

produktivitas secara menyeluruh. Dengan demikian dana yang mengendap di bank tidaklah diam dan disalurkan untuk usaha-usaha yang bermanfaat baik kemanfaatan bagi pengusaha maupun kemanfaatan bagi masyarakat.

Fungsi lainnya dari pembiayaan mudharabah adalah meningkatkan daya guna barang. Produsen dengan bantuan pembiayaan mudharabah bank dapat memproduksi bahan mentah menjadi bahan jadi sehingga utility dari bahan tersebut meningkat, misalnya peningkatan utility kelapa menjadi kopra dan selanjutnya menjadi minya kelapa atau minyak goreng, peningkatan utility dari padi menjadi beras, benang menjadi tekstil, dan lain sebagainya. Selain itu, produsen dengan bantuan pembiayaan mudharabah dapat memindahkan barang dari suatu tempat yang kegunaannya kurang ke tempat yang lebih bermanfaat. Seluruh barang-barang yang dipindahkan atau dikirim dari suatu daerah ke daerah lain yang kemanfaatan barang itu lebih terasa, pada dasarnya meningkatkan utility barang itu. Pemindahan barang-barang tersebut tidaklah dapat diatasi oleh keuangan para distributor saja dan oleh karenanya mereka memerlukan bantuan permodalan dari bank yang berupa pembiayaan mudharabah.

Fungsi pembiayaan mudharabah selanjutnya adalah meningkatkan peredaran uang. Pembiayaan mudharabah yang disalurkan melalui rekening-rekening koran pengusaha menciptakan pertambahan peredaran uang giral dan sejenisnya seperti cek, bilyet giro, wesel, promes, dan lain sebagainya. Melalui pembiayaan mudharabah, peredaran uang kartal maupun giral akan


(41)

lebih berkembang oleh karena pembiayaan mudharabah menciptakan suatu kegairahan berusaha sehingga penggunaan uang akan bertambah baik kualitatif apalagi secara kuantitatif. Hal ini selaras dengan pengertian bank selaku money creator. Penciptaan uang itu selain dengan cara substitusi; penukaran uang kartal yang disimpan di giro dengan uang giral, maka ada juga exchange of claim, yaitu bank memberikan pembiayaan mudharabah

dalam bentuk uang giral. Selain itu, dapat pula dilakukan dengan cara transformasi yaitu bank membeli surat-surat berharga dan membayarnya dengan uang giral.

Fungsi pembiayaan mudharabah berikutnya adalah menimbulkan kegairahan berusaha. Setiap manusia adalah makhluk yang selalu melakukan kegiatan ekonomi yaitu berusaha untuk memenuhi kebutuhannya. Kegiatan usaha sesuai dengan dinamikanya akan selalu meningkat, akan tetapi peningkatan usaha tidaklah selalu diimbangi dengan peningkatan kemampuannya yang berhubungan dengan manusia lain yang mempunyai kemampuan. Karena itu pula, maka pengusaha akan selalu berhubungan baik untuk memperoleh bantuan permodalan guna peningkatan usahanya. Bantuan pembiayaan mudharabah yang diterima pengusaha dari bank inilah kemudian yang digunakan untuk memperbesar volume usaha dan produktivitasnya. Bila ditinjau dari hukum permintaan dan penawaran, maka terhadap segala macam dan ragamnya usaha, permintaan akan terus bertambah jika masyarakat telah memulai melakukan penawaran. Timbullah kemudian efek kumulatif oleh


(42)

33

semakin besarnya permintaan sehingga secara berantai kemudian menimbulkan kegairahan yang meluas di kalangan masyarakat untuk sedemikian rupa meningkatkan produktivitas. Secara otomatis kemudian timbul pula kesan bahwa setiap usaha untuk peningkatan produktivitas, masyarakat tidak perlu khawatir kekurangan modal oleh karena masalahnya dapat diatasi oleh bank dengan pembiayaan mudharabahnya.

Fungsi pembiayaan mudharabah berikutnya adalah adanya stabilitas ekonomi. Dalam ekonomi yang kurang sehat, langkah-langkah stabilisasi pada dasarnya diarahkan pada usaha-usaha antara lain untuk pengendalian inflansi, peningkatan ekspor, rehabilitasi prasarana dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok rakyat. Untuk menekan arus inflansi dan terlebih lagi untuk usaha pembangunan ekonomi, maka pembiayaan mudharabah memegang peranan yang sangat penting.

Selanjutnya fungsi pembiayaan mudharabah adalah sebagai jembatan untuk meningkatkan pendapatan nasional. Para usahawan yang memperoleh pembiayaan mudharabah tentu saja berusaha untuk meningkatkan usahanya. Peningkatan usaha berarti peningkatan profit. Bila keuntungan ini secara kumulatif dikembangkan lagi dalam arti kata dikembalikan lagi ke dalam struktur permodalan, maka peningkatan akan berlangsung terus menerus. Dengan pendapatan yang terus meningkat berarti pajak perusahaan pun akan terus bertambah. Pada pihak lain, pembiayaan mudharabah yang disalurkan untuk merangsang pertumbuhan kegiatan ekspor akan menghasilkan


(43)

pertambahan devisa negara. Selain itu dengan makin efektifnya kegiatan swasembada kebutuhan-kebutuhan pokok, berarti akan dihemat devisa keuangan negara dan akan dapat diarahkan pada usaha-usaha kesejahteraan ataupun ke sektor-sektor lain yang lebih berguna. Jika rata-rata pengusaha, pemilik tanah, pemilik modal dan karyawan mengalami peningkatan pendapatan, maka pendapatan negara melalui pajak akan bertambah, penghasilan devisa bertambah dan penggunaan devisa untuk urusan konsumsi berkurang, sehingga langsung atau tidak melalui pembiayaan mudharabah, pendapatan nasional akan bertambah.

Fungsi pembiayaan mudharabah yang tidak kalah pentingnya adalah sebagai alat hubungan ekonomi internasional. Bank syari’ah sebagai salah satu lembaga pembiayaan mudharabah tidak hanya bergerak di dalam negeri, tetapi juga bergerak di luar negeri. Amerika Serikat yang telah sedemikian maju organisasi dan sistem perbankannya telah melebarkan sayap perbankannya ke seluruh pelosok dunia. Demikian pula beberapa negara maju lainnya. Negara-negara kaya atau yang kuat ekonominya, demi persahabatan antar negara banyak memberikan bantuan kepada negara-negara yang sedang berkembang atau sedang membangun. Bantuan-bantuan tersebut tercermin dalam bentuk bantuan kredit dengan syarat-syarat yang ringan yaitu bunga yang relatif murah dan jangka waktu penggunaan yang panjang. Melalui bantuan kredit antar negara, maka hubungan antar negara pemberi dan


(44)

35

penerima kredit akan bertambah erat terutama yang menyangkut hubungan perekonomian dan perdagangan.

Dari beberapa tujuan dan fungsi pembiayaan mudharabah seperti yang telah dipaparkan di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tujuan pembiayaan mudharabah adalah untuk menggabungkan masing-masing potensi, yakni potensi modal yang tidak memiliki keahlian usaha dengan pemilik proyek yang tidak memiliki modal untuk sama-sama mendapatkan keuntungan.30

5. Rukun dan Syarat Pembiayaan Mudharabah

Menurut Zulkifli, rukun mudharabah terdiri atas pemilik modal, pemilik usaha, proyek, modal, ijab dan qabul serta nisbah bagi hasil.31 Sedangkan menurut Adiwarman, rukun mudharabah itu terdiri atas pelaku, objek, ijab dan qabul serta nisbah keuntungan.32 Ulama Hanafiyah mengemukakan bahwa rukun mudharabah adalah ijab dan qabul. Sedangkan menurut Jumhur rukun mudharabah itu terdiri atas shohibul maal dan

mudharib, modal dan pekerjaan serta keuntungan, ijab dan qabul.33

Adapun syarat-syarat mudharabah sesuai dengan rukun yang dikemukakan Jumhur Ulama di atas adalah hal-hal yang berkaitan dengan orang yang melakukan aqad, harus orang yang cakap hukum dan cakap

30

Warkum Sumitro, Azas-Azas Perbankan Islam dan Lembaga Terkait di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), h. 36

31

Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syari’ah, h. 57

32

Adiwarman Azwar Karim, Bank Islam; Analisis Fiqh dan Keuangan, h. 177

33


(45)

diangkat sebagai wakil, karena pada satu sisi lain posisi orang yang akan mengelola modal adalah wakil dari pemilik modal. Itulah sebabnya syarat-syarat seorang wakil juga berlaku bagi pengelola modal dalam aqad

mudharabah.

Kemudian hal lain yang terkait dengan modal disyaratkan berbentuk uang, jelas jumlahnya, tunai dan diserahkan sepenuhnya kepada pengelola modal. Oleh karenanya, jika modal itu berbentuk barang, menurut mayoritas ulama tidak dibolehkan karena sulit untuk menentukan keuntungannya dan cenderung menimbulkan gharar.

Selanjutnya adalah yang terkait dengan keuntungan, disyaratkan bahwa pembagian keuntungan harus jelas dan porsi masing-masing diambil dari keuntungan dagang itu seperti setengah, sepertiga atau seperempat. Jika pembagian keuntungan tidak jelas, maka menurut ulama Hanafiyah aqad itu

fasid atau rusak.

Berikutnya adalah yang terkait dengan ijab dan qabul, harus diucapkan oleh kedua belah pihak guna menunjukkan kemauan mereka untuk menyempurnakan kontrak. Shighat harus sesuai dengan hal-hal berikut seperti secara eksplisit dan implicit menunjukkan tujuan kontrak serta shighat dianggap tidak sah jika salah satu pihak menolak syarat-syarat yang diajukan dalam penawaran atau salah satu pihak meninggalkan tempat berlangsungnya negosiasi tersebut sebelum kontrak disempurnakan.34

34


(46)

37

Syarat yang tidak kalah pentingnya dari pembiayaan mudharabah

adalah adanya aktivitas usaha. Sebagai pertimbangan modal yang disediakan oleh pemilik modal, maka pengelola harus memperhatikan hal-hal berikut seperti kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib tanpa campur tangan pemilik modal, tetapi ia memiliki hak untuk melakukan pengawasan, pemilik modal tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa, sehingga dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah yaitu memperoleh keuntungan dan pengelola tidak boleh menyalahi hukum syari’ah Islam dalam tindakan yang berhubungan dengan mudharabah serta harus memenuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktivitas itu.35

Atas dasar syarat-syarat di atas, Ulama Hanafiyah membagi aqad

mudharabah ke dalam dua golongan yaitu mudharabah shohihah dan

mudharabah fasidah. Jika mudharabah yang dilakukan itu jatuh kepada fasid,

menurut ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, maka pekerja itu hanya berhak menerima upah kerja sesuai dengan standar yang berlaku di daerah itu, sementara seluruh keuntungan menjadi milik shohibul maal. Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa dalam mudharabah fasidah, status pekerja tetap seperti dalam mudharabah shohihah. Artinya bahwa pengelola tetap mendapatkan bagian dari keuntungan. Namun yang terpenting dan perlu dilihat adalah

35Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 7/DSN-MUI/IV/2000, (Jakarta: MUI, 2001), h. 44 - 46


(47)

proses dan faktor-faktor yang menyebabkan adanya unsur ketidakjelasan tersebut.36

B. Usaha Kecil dan Menengah

1. Pengertian Usaha Kecil dan Menengah

Menurut Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/I/UKK tanggal 29 Mei 199 perihal Kredit Usaha Kecil dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan usaha kecil adalah usaha yang memiliki total aset maksimum Rp. 600.000.000,- tidak termasuk tanah dan rumah yang ditempati.37 Muhammad Ja’far mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200.000.000,- tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000,-38

Kamar Dagang dan Industri yang selanjutnya disebut KADIN memberikan batasan tentang usaha kecil. Menurut KADIN, yang dimaksud dengan usaha kecil adalah sektor industri dengan aset maksimal Rp. 250.000.000,- memiliki tenaga kerja paling banyak 300 orang dan nilai penjualan di bawah Rp. 100.000.000,- Adapun batasan sektor perdagangan

36

Azharuddin Lathif, Fiqh Mu’amalah, h. 37

37

Indra Ismawan, Suskes di Era Ekonomi Liberal Bagi Koperasi Perusahaan Kecil Menengah, (Jakarta: Grasindo, 2001), h. 5

38Muhammad Ja’far Hafsah,

Kemitraan Usaha Kecil; Konsepsi dan Strategi, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), h. 10


(1)

(2)

HASIL WAWANCARA

TENTANG MEKANISME PEMBIAYAAN MUDHARABAH BAGI USAHA KECIL

DAN MENENGAH PADA BMT AL-KARIM

Narasumber : Andrie

Jabatan : HDR dan Administrasi Pembiayaan Hari/Tanggal : Selasa, 28 Juli 2009

Tempat : BMT Al-Karim

Cipulir Center Blok B-8 Jl. Ciledug Raya Kebayoran Lama – Jakarta Selatan 12230 Telp. (021) 7227204

Pertanyaan dan jawaban

Tanya : Mohon bapak jelaskan tentang sejarah singkat berdirinya BMT Al-Karim ?

Jawab : BMT Al-Karim berdiri pada tanggal 15 Juli 1995 di masjid raya Pondok Indah – Pondok Pinang – Kebayoran Lama – Jakarta Selatan

Tanya : Apa yang melatarbelakangi didirikannya BMT Al-Karim ?

Jawab : Berdirinya BMT Al-Karim dilatarbelakangi oleh semakin banyaknya lembaga keuangan konvensional yang menerapkan sistem bunga. Untuk mengantisipasi permasalahan itu, maka didirikanlah BMT Al-Karim. Berdirinya BMT ini berawal dari partisipasi para pendidikan dan

pelatihan zakat dan ekonomi syari’ah yang diadakan oleh Dhompet Dhu’afa Republika pada tanggal 11 Januari sampai dengan 15 Januari 1995 di Yogyakarta. Diklat ini juga dihadiri oleh beberapa peserta dari berbagai daerah. Dalam acara tersebut hadir pula wakil dari remaja masjid raya Pondok Indah. Setelah mengikuti diklat tersebut kemudian mereka sepakat untuk mendirikan BMT di masjid raya Pondok Indah yang kemudian diberi nama BMT Al-Karim.

Tanya : Apa tujuan didirikannya BMT Al-Karim ?

Jawab : Adapun tujuan dari pendirian BMT Al-Karim ini untuk membantu dan mengembangkan ekonomi masyarakat sekitar, terutama bagi masyarakat yang berekonomi lemah dengan cara memberikan pembiayaan-pembiayaan seperti mudharabah, musyarakah, muzara’ah, dan lain sebagainya.

Tanya : Apa visi dan misi dari BMT Al-Karim ?

Jawab : Sebagai lembaga keuangan yang Islami, maka BMT Al-Karim memiliki visi yaitu terwujudnya lembaga keuangan Islam yang memilii jaringan

luas, berkomitmen terhadap syari’ah serta berorientasi pada usaha

mikro dan kecil serta ditunjang oleh sumber daya insani yang profesional, cerdas, inovatif dan bertaqwa. BMT Al-Karim juga


(3)

memiliki beberapa misi dalam rangka melakukan aktivitas usahanya. Salah satu misi dari BMT Al-Karim adalah mengembangkan lembaga keuangan Islam yang kuat, terpercaya dan memiliki jaringan yang luas. Tanya : Bagaimana prinsip operasional BMT Al-Karim ?

Jawab : Sebagai lembaga non bank, BMT Al-Karim melakukan kegiatan operasionalnya secara konsisten dengan mengacu kepada

ketetapan-ketetapan syari’i sebagaimana terkandung dalam Al-Qur’an dan hadits

Rasulullah SAW secara ijma’ dan fatwa ulama. Sedangkan dalam

menjalankan aktivitas usahanya, BMT Al-Karim menerapkan

prinsip-prinsip syari’ah yang antara lain adalah mudharabah, musyarakah,

murabahah, ba’i al-istishna’ dan ijarah wa itiqna. Tanya : Produk-produk apa saja yang ada pada BMT Al-Karim ?

Jawab : BMT Al-Karim mengklasifikasikan produk-produknya ke dalam tiga golongan yaitu Baitut Tamwil, Baitul Maal dan sektor riil. Produk Baitut Tamwil yang ada pada BMT Al-Karim adalah produk simpanan. Produk ini terdiri atas simpanan mudharabah, deposito mudharabah, simpanan pendidikan Al-Karim, simpanan Idul Fitri dan simpanan qurban. Sedangan produk Baitul Maal terdiri atas beasiswa, orang tua asuh dan pengobatan gratis. Adapun produk pada sektor riil adalah banyaknya para nasabah yang melakukan beragam jenis usaha yang merupakan potensi bagi pengembangan usaha pada sektor riil.

Tanya : Bagaimana proses pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah pada BMT Al-Karim ?

Jawab : Dalam menyalurkan pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah, nasabah BMT Al-Karim mendapatkan perlakuan yang sama. Ada beberapa tahapan yang harus dilakukan nasabah mendapatkan pembiayaan mudharabah yang salah satunya adalah nasabah yang mengajukan pembiayaan mudharabah melengkapi permohonan pembiayaan yaitu berupa photo copy Kartu Tanda Penduduk, photo copy Kartu Keluarga, Surat Keterangan Domisili dan menyerahkan jaminan bagi usaha menengah. Sedangkan pertimbangan utama yang digunakan BMT Al-Karim dalam memberikan pembiayaan mudharabah salah satunya adalah pertimbangan ekonomis, yaitu dengan cara melakukan analisa kelayakan usaha dalam memberikan pembiayaan mudharabah kepada nasabah yang didasarkan pada kebutuhan modal para nasabah dalam mengembalikan atau membayar angsuran pengembalian.

Tanya : Bagaimana praktek pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah pada BMT Al-Karim ?

Jawab : Dalam prakteknya, BMT Al-Karim menerapkan jenis mudharabah mutalaqah bagi usaha kecil dan sangat kecil. Artinya para pengusaha kecil dan sangat kecil diberikan kebebasan untuk mengelola usahanya tanpa ikut campur pihak pemilik dana. Sedangkan bagi usaha


(4)

menengah, BMT Al-Karim menggunakan jenis mudharabah muqayyadah dalam memberikan pembiayaan. Sebab dalam pembiayaan jenis mudharabah muqayyadah ini, BMT Al-Karim boleh menetapkan syarat-syarat atau batasan-batasan tertentu guna menyelamatkan modalnya dari resiko kerugian. Bila nasabah tidak mampu memenuhi syarat-syarat atau batasan-batasan itu, maka ia harus bertanggung jawab atas resiko kerugian yang timbul.

Tanya : Bagaimana ketentuan umum pembiayaan mudharabah pada BMT Al-Karim ?

Jawab : Dalam pembiayaan mudharabah, BMT Al-Karim menetapkan beberapa ketentuan umum dalam pembiayaan tersebut. Salah satu ketentuan umum pembiayaan mudharabah pada BMT Al-Karim adalah hasil dari pengelolaan modal pembiayaan mudharabah dapat diperhitungkan dengan cara penghitungan dari pendapatan proyek dan penghitungan dari keuntungan proyek.

Tanya : Bagaimana sistem pendistribusian pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah pada BMT Al-Karim ?

Jawab : Penyaluran pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan sangat kecil tidak memerlukan persyaratan yang relatif rumit, karena modal yang disalurkan juga relatif kecil. Sedangkan penyaluran pembiayaan bagi usaha menengah, pihak BMT Al-Karim selalu berpedoman pada prinsip 5C yang diharapkan dapat memberikan informasi tentang niat baik dan kemampuan nasabah untuk melunasi kembali pinjamannya.

Tanya : Bagaimana sikap masyarakat sekitar BMT Al-Karim terhadap penyaluran pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah ? Jawab : Masyarakat sekitar BMT Al-Karim sudah barang tentu merasa gembira

dengan adanya penyaluran pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya nasabah yang mengajukan permohonan pembiayaan mudharabah baik usaha kecil maupun menengah kepada BMT Al-Karim.

Tanya : Metode apa yang digunakan BMT Al-Karim dalam menghadapi nasabah yang tidak menepati janji ?

Jawab : Sebagai lembaga keuangan yang berpedoman kepada syari’ah Islam, maka metode yang digunakan BMT Al-Karim apabila nasabah tidak menepati janji adalah melalui tindakan persuasive dan kebijakan keringanan yaitu dengan cara memperpanjang angsuran dan bagi hasil diperkecil dengan membuat surat penawaran baru atau aqad baru yang dibuat oleh nasabah.

Tanya : Upaya apa saja yang dapat dilakukan BMT Al-Karim untuk mengantisipasi nasabah yang tidak menepati janji ?

Jawab : Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan pihak BMT Al-Karim dalam mengantisipasi nasabah yang tidak menepati janji yang salah satu di


(5)

antaranya adalah mempertimbangkan permohonan pembiayaan mudharabah bila nasabah yang bersangkutan melakukan aqad baru. Tanya : Sejauh mana pengaruh pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan

menengah pada BMT Al-Karim ?

Jawab : Pembiayaan mudharabah yang disalurkan oleh pihak BMT Al-Karim sangat berpengaruh bagi usaha kecil dan menengah. Hal ini mengindikasikan bahwa BMT Al-Karim memegang peranan penting dalam upaya meningkatkan ekonomi masyarakat terutama bagi usaha kecil dan menengah yang benar-benar menggantungkan harapannya pada pembiayaan mudharabah yang disalurkan oleh pihak BMT Al-Karim.

Tanya : Kendala apa saja yang dihadapi pihak BMT Al-Karim dalam memberlakukan pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah ?

Jawab : Secara umum, BMT Al-Karim tidak memiliki kendala yang berarti dalam memberlakukan pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah. Namun kendala yang ditemukan BMT Al-Karim di lapangan yaitu rendahnya tingkat pendidikan dari kebanyakan nasabah usaha kecil dan sangat kecil, sehingga terasa sulit menjelaskan tentang penetapan bagi hasil, tabungan maupun jaminan. Sedangkan kendala yang dihadapi pihak BMT Al-Karim dalam memberlakukan pembiayaan mudharabah bagi usaha menengah adalah adanya nasabah yang kurang jujur dalam memberikan alasan untuk pengembalian pembiayaan mudharabah.

Tanya : Apa yang bapak harapkan dari pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah pada BMT Al-Karim ?

Jawab : Secara pribadi, saya sangat mengharapkan dari hasil pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah pada BMT Al-Karim ini adalah dapat membangun ekonomi kerakyatan yang bersifat makro, sehingga tidak ada masyarakat miskin seperti sekarang, karena kemiskinan menurut saya sangat mendekati kepada kekafiran.

Tanya : Bagaimana prospek BMT Al-Karim pada masa yang akan datang, terutama bagi usaha kecil dan menengah ?

Jawab : BMT Al-Karim memiliki prospek yang cukup cerah pada masa yang akan datang. Hal ini disebabkan banyaknya nasabah yang tidak hanya melakukan transaksi peminjaman, akan tetapi banyak juga di kalangan masyarakat yang menyimpan dananya di BMT Al-Karim. Dengan demikian, BMT Al-Karim dipercaya oleh masyarakat dan diberikan kebebasan untuk mengelola dana masyarakat. Untuk itu, BMT Al-Karim menyalurkan pembiayaan mudharabah ini bagi usaha kecil dan sangat kecil serta usaha menengah.

Tanya : Usaha apa yang dapat dilakukan BMT Al-Karim dalam menarik minat nasabah ?


(6)

Jawab : Banyak cara yang dapat dilakukan BMT Al-Karim dalam upaya menarik minat nasabah yang salah satu di antaranya adalah menyalurkan pembiayaan mudharabah. Penyaluran pembiayaan mudharabah ini cukup menarik minat nasabah, karena pihak BMT Al-Karim menyediakan dana 100% untuk dikelola tanpa harus mengembalikan modal tersebut jika terjadi kerugian yang diakibatkan bukan kelalaian dari pihak mudharib. Jika kerugian itu disebabkan oleh kelalaian pihak mudharib, maka ia harus bertanggung jawab atas kerugian yang timbul. Berdasarkan ketentuan ini, maka masyarakat banyak yang tertarik untuk menjadi nasabah BMT Al-Karim.

Tanya : Bagaimana analisa bapak tentang pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah pada BMT Al-Karim ?

Jawab : Saya memandang bahwa pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah pada BMT Al-Karim terkesan sangat mendalam terutama bagi para nasabah. Salah satu nasabah BMT Al-Karim ada yang mengatakan bahwa pembiayaan mudharabah yang disalurkan pihak BMT Al-Karim mampu mengurangi ketergantungan para nasabah terhadap pemberi kredit lain seperti bank keliling dan rentenir. Hal ini dapat dilihat dari kurangnya dan bahkan tidak adanya rentenir di pasar-pasar yang pedagangnya adalah nasabah BMT Al-Karim.

Tanya : Apa saran bapak untuk BMT Al-Karim yang menyalurkan pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah ?

Jawab : Bagi BMT Al-Karim, saya hanya menghimbau agar selalu berhati-hati dalam menyalurkan pembiayaan mudharabah, terutama bagi usaha kecil dan menengah. Dalam menyalurkan pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah ini, pihak BMT Al-Karim wajib melakukan uji kelayakan terhadap usaha calon nasabah termasuk silsilah keluarganya, agar modal yang disalurkan tidak sia-sia.

Jakarta, 3 Agustus 2009

Yang mewawancarai Yang diwawancarai

ARIF SYARIFUDDIN A N D R I E