Analisis pemetaan kinerja fiskal dan pengaruh transfer terhadap kinerja keuangan kabupaten/kota Jawa Tengah

(1)

OLEH

KHURUM MAQSUROH H14104008

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(2)

Pengaruh Transfer terhadap Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota Jawa Tengah (dibimbing olehFIFI DIANA THAMRIN).

Transfer antar pemerintah adalah sebagai bentuk dari kebijakan pelaksanaan otonomi dalam mengatasi fiscal gap. Pemberian transfer dihadapkan pada suatu fenomena umum dalam menunjang keberhasilan pembangunan daerah yaitu terjadinya peningkatan pengeluaran daerah sejalan dengan meningkatnya dana transfer dari pemerintah. Tujuan utama dari pelaksanaan transfer adalah untuk menginternalisasikan eksternalitas fiskal yang muncul dalam pembangunan antar daerah.

Pemberian transfer pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kapasitas daerah dalam membiayai belanja daerah yang lebih besar dari pemberian transfer dengan peningkatan upaya pemerintah daerah dalam penggalian sumber-sumber pembiayaan daerah terutama dari fiskal daerah. Namun demikian pemberian transfer berakibat pada ketidakefektifan dalam pembiayaan pengeluaran daerah. Fenomena tersebut dikenal dengan flypaper effect yang mengandung pengertian : (1) terjadinya peningkatan pajak dan anggaran belanja pemerintah yang berlebihan, (2) elastisitas pengeluaran terhadap transfer yang lebih tinggi daripada elastisitas pengeluaran terhadap pajak daerah.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pemetaan kemampuan fiskal kabupaten/kota dengan adanya kebijakan desentralisasi dengan periode 1995 dan 2006. Selain itu juga untuk melihat respon kinerja keuangan terhadap alokasi transfer dalam kerangka pelaksanaan desentralisasi. Pemilihan lokasi dilakukan pada kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah dengan pertimbangan sebagai bagian dari Provinsi yang memiliki struktur PAD yang kuat dan untuk melihat bagaimana kebijakan pemerintah daerah dalam merespon perubahan alokasi transfer.

Pada penelitian ini menggunakan metode kuadran dan Indeks Kemampuan Fiskal (IKF) untuk melihat kinerja fiskal daerah tahun 1995 sebelum desentralisasi dan tahun 2006 pada masa pelaksanaan desentralisasi. Selain itu juga digunakan data panel yang meliputi wilayah kabupaten/kota Jawa Tengah pada tahun 1995-2006 untuk melihat respon kebijakan otonomi terhadap kinerja keuangan yang meliputi penerimaan PAD dan pengeluaran operasional (rutin) dan pengeluaran pembangunan (modal). Periode waktu yang digunakan tahun 1995-2000 pada masa sebelum pelaksanaan otonomi dan periode 2001-2006 yang menggambarkan kondisi perekonomian pada masa pelaksanaan otonomi enam tahun.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal berdampak positif terhadap kinerja fiskal ditandai dengan tingginya nilai elastisitas, hal ini ditunjukkan hanya ada 4 wilayah yang memiliki tingkat


(3)

metode Indeks Kemampuan Fiskal (IKF) menunjukkan bahwa Indeks kemampuan fiskal terhadap belanja modal menunjukkan posisi tertinggi setelah pelaksanaan desentralisasi adalah Kota Semarang dan Kudus, sedangkan posisi terendah adalah Boyolali dan Kebumen.

Model panel data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan uji Chow-test, LM–test, dan Hausman-test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model yang lebih sesuai digunakan sebagai parameter estimasi adalahFixed Effect Model. Pengalokasian transfer pada kinerja keuangan Kabupaten/Kota Jawa Tengah memberikan impuls yang tinggi pada upaya penggalian PAD. Respon ini menunjukkan bahwa pemberian transfer dapat mendorong daerah dalam menggali potensi fiskalnya. Selain itu pemberian transfer berpengaruh signifikan pada tingkat pengeluaran operasional dan modal pemerintah kabupaten/ kota Jawa Tengah yang ditunjukkan peningkatan pengeluaran pada kedua jenis pengeluaran daerah. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh yang positif terhadap pengeluaran pemerintah daerah dalam merespon alokasi transfer dari pemerintah atau disebut dengan adanya anomali pada kinerja PAD (flypaper efffec).

Faktor-faktor yang memberikan pengaruh signifikan pada penerimaan PAD adalah tarif pajak lokal, populasi, bagi hasil, dana alokasi, variabel lag dan

dummy desentraliasi fiskal. Hasil penelitian menunjukkan faktor tarif pajak lokal memberikan signifikansi yang paling tinggi menunjukkan tidak adanya flypaper effectpada kinerja tarif pajak lokal terhadap penerimaan PAD. Dapat disimpulkan bahwa penerimaan PAD responsif terhadap penerimaan dari sumber potensi internal daerah yang ditandai dengan peningkatan potensi fiskalnya. Faktor-faktor yang memberikan pengaruh signifikan pada pengeluaran operasional adalah dana alokasi, tarif pajak lokal, dan lag belanja operasional. Koefisien dana alokasi menunjukkan elastisitas paling tinggi daripada penerimaan daerah lainnya sehingga telah terjadi fenomena flypaper effect pada kinerja belanja operasionalnya yaitu terjadinya peningkatan terhadap belanja operasionalnya setiap terjadi peningkatan alokasi transfer dana alokasi. Faktor-faktor yang memberikan pengaruh signifikan pada pengeluaran modal adalah bagi hasil, dana alokasi, tarif pajak lokal, populasi, dan variabel lag, serta dummydesentralisasi. Hal ini dapat diartikan bahwa dalam pemberian transfer terbukti dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik ditandai dengan terjadinyaflypaper effect

pada kinerja pengeluaran modal dengan pemberian dana alokasi.

Jawa Tengah sebagai daerah yang memiliki struktur PAD yang kuat memiliki potensi besar dalam pencapain pertumbuhan daerahnya. Pengalokasian transfer seharusnya dapat dijadikan bagian pendukung bagi keberlangsungan kinerja keuangan yang adil dan transparan. Hal ini mengisyaratkan perlunya pemerintah daerah dalam menetapkan standar pelayanan minimum sebagai pedoman dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan.


(4)

Oleh

KHURUM MAQSUROH H14104008

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(5)

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Khurum Maqsuroh

Nomor Registrasi Pokok : H14104008 Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul Skripsi :Analisis Pemetaan Kinerja Fiskal dan Pengaruh Transfer terhadap Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota Jawa Tengah

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Fifi Diana Thamrin, SP, MSi NIP. 132 321 453

Mengetahui

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,

Rina Oktaviani, Ph.D NIP. 131 846 872


(6)

BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Januari 2009

Khurum Maqsuroh H14104008


(7)

sebuah Kota Batik Pekalongan, Jawa Tengah. Penulis anak ke enam dari 7 bersaudara. Pada tahun 1989 ayah penulis Penulis telah berpulang keRahmatullah

sehingga penulis hanya dibesarkan oleh seorang ibu Nurhani. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Muhammadiyah Pekajangan III tahun 1998, kemudian melanjutkan pendidikan ke SLTP Muhammadiyah Pekajangan dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi di SMU Muhammadiyah Pekajangan I di Pekalongan dan lulus pada tahun 2004.

Pada tahun 2004 penulis diterima melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima pada jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Manajeman. Alasan penulis melanjutkan studi di IPB adalah mengikuti jejak dari kakak-kakak penulis. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif pada organisasi rokhis FORMASI pada periode 2006/2007 pada staf departemen Syar’i dan periode 2007/2008 sebagai Bendahara FORMASI.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian... 8

1.4. Manfaat Penelitian ... 9

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 11

2.1. Tinjauan Teori ... 11

2.1.1. Desentralisasi Fiskal ... 11

2.1.2. Pendapatan Asli Daerah (PAD) ... 13

2.1.3. Transfer Keuangan ... 16

2.1.3.1. Transfer Pajak Kabupaten. ... 19

2.1.3.2. Alokasi Transfer terhadap Kesejahteraan Publik dengan Kurva Anggaran ... 20

2.1.4. Teori Pengeluaran Pemerintah. ... 26

2.1.5. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). ... 29

2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 31

2.2.1. Kajian Transfer Daerah ... 31

2.2.2. Analisa Peta Kemampuan Keuangan Daerah ... 33

2.3. Kerangka Pemikiran ... 35

2.4. Hipotesis Penelitian ... 35

III. METODOLOGI PENELITIAN... 37


(9)

3.2. Metode Analisis ... 37

3.2.1. Metode Kuadran ... 37

3.2.2. Metode Indeks Kemampuan Fiskal (IKF)... 39

3.2.3. Pool Least Square ... 40

3.2.4. Pengujian Model ... 42

3.2.5. Uji Hipotesis ... 45

3.2.6. Evaluasi Model ... 46

IV. GAMBARAN UMUM KINERJA KEUANGAN JAWA TENGAH .. 50

4.1. Gambaran Administratif Jawa Tengah ... 50

4.2. Kemampuan Keuangan Provinsi Jawa Tengah ... 50

4.3. Kinerja PAD Daerah di Jawa Tengah ... 51

4.4. Kinerja Transfer Daerah di Jawa Tengah ... 52

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 54

5.1. Analisis Kemampuan Fiskal Daerah ... 54

5.2. Analisis Kemandirian Fiskal Daerah Jawa Tengah Metode Kuadran ... 54

5.2.1. Analisis Kemandirian Fiskal terhadap Pengeluaran Modal Daerah Jawa Tengah Metode Kuadran . ... 58

5.2.2. Analisis Kemandirian Fiskal terhadap Pengeluaran Operasional Daerah Jawa Tengah Metode Kuadran . ... 60

5.3. Metode Indeks ... 63

5.4. Analisis Panel Data ... 64

5.5. Hasil Uji Statistik ... 66

5.6. Hasil Estimasi Parameter Model PAD ... 68

5.7. Hasil Estimasi Parameter Model Pengeluaran Operasional ... 71

5.8. Hasil Estimasi Parameter Model Pengeluaran Modal ... 76

5.9. Nilai Koefisien Intersep Pengaruh Variabel Transfer dan lainnya terhadap terhadap Kinerja Keuangan Daerah Jawa Tengah ... 80


(10)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN... 85

6.1. Kesimpulan ... 85

6.2. Saran ... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 88


(11)

OLEH

KHURUM MAQSUROH H14104008

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(12)

Pengaruh Transfer terhadap Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota Jawa Tengah (dibimbing olehFIFI DIANA THAMRIN).

Transfer antar pemerintah adalah sebagai bentuk dari kebijakan pelaksanaan otonomi dalam mengatasi fiscal gap. Pemberian transfer dihadapkan pada suatu fenomena umum dalam menunjang keberhasilan pembangunan daerah yaitu terjadinya peningkatan pengeluaran daerah sejalan dengan meningkatnya dana transfer dari pemerintah. Tujuan utama dari pelaksanaan transfer adalah untuk menginternalisasikan eksternalitas fiskal yang muncul dalam pembangunan antar daerah.

Pemberian transfer pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kapasitas daerah dalam membiayai belanja daerah yang lebih besar dari pemberian transfer dengan peningkatan upaya pemerintah daerah dalam penggalian sumber-sumber pembiayaan daerah terutama dari fiskal daerah. Namun demikian pemberian transfer berakibat pada ketidakefektifan dalam pembiayaan pengeluaran daerah. Fenomena tersebut dikenal dengan flypaper effect yang mengandung pengertian : (1) terjadinya peningkatan pajak dan anggaran belanja pemerintah yang berlebihan, (2) elastisitas pengeluaran terhadap transfer yang lebih tinggi daripada elastisitas pengeluaran terhadap pajak daerah.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pemetaan kemampuan fiskal kabupaten/kota dengan adanya kebijakan desentralisasi dengan periode 1995 dan 2006. Selain itu juga untuk melihat respon kinerja keuangan terhadap alokasi transfer dalam kerangka pelaksanaan desentralisasi. Pemilihan lokasi dilakukan pada kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah dengan pertimbangan sebagai bagian dari Provinsi yang memiliki struktur PAD yang kuat dan untuk melihat bagaimana kebijakan pemerintah daerah dalam merespon perubahan alokasi transfer.

Pada penelitian ini menggunakan metode kuadran dan Indeks Kemampuan Fiskal (IKF) untuk melihat kinerja fiskal daerah tahun 1995 sebelum desentralisasi dan tahun 2006 pada masa pelaksanaan desentralisasi. Selain itu juga digunakan data panel yang meliputi wilayah kabupaten/kota Jawa Tengah pada tahun 1995-2006 untuk melihat respon kebijakan otonomi terhadap kinerja keuangan yang meliputi penerimaan PAD dan pengeluaran operasional (rutin) dan pengeluaran pembangunan (modal). Periode waktu yang digunakan tahun 1995-2000 pada masa sebelum pelaksanaan otonomi dan periode 2001-2006 yang menggambarkan kondisi perekonomian pada masa pelaksanaan otonomi enam tahun.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal berdampak positif terhadap kinerja fiskal ditandai dengan tingginya nilai elastisitas, hal ini ditunjukkan hanya ada 4 wilayah yang memiliki tingkat


(13)

metode Indeks Kemampuan Fiskal (IKF) menunjukkan bahwa Indeks kemampuan fiskal terhadap belanja modal menunjukkan posisi tertinggi setelah pelaksanaan desentralisasi adalah Kota Semarang dan Kudus, sedangkan posisi terendah adalah Boyolali dan Kebumen.

Model panel data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan uji Chow-test, LM–test, dan Hausman-test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model yang lebih sesuai digunakan sebagai parameter estimasi adalahFixed Effect Model. Pengalokasian transfer pada kinerja keuangan Kabupaten/Kota Jawa Tengah memberikan impuls yang tinggi pada upaya penggalian PAD. Respon ini menunjukkan bahwa pemberian transfer dapat mendorong daerah dalam menggali potensi fiskalnya. Selain itu pemberian transfer berpengaruh signifikan pada tingkat pengeluaran operasional dan modal pemerintah kabupaten/ kota Jawa Tengah yang ditunjukkan peningkatan pengeluaran pada kedua jenis pengeluaran daerah. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh yang positif terhadap pengeluaran pemerintah daerah dalam merespon alokasi transfer dari pemerintah atau disebut dengan adanya anomali pada kinerja PAD (flypaper efffec).

Faktor-faktor yang memberikan pengaruh signifikan pada penerimaan PAD adalah tarif pajak lokal, populasi, bagi hasil, dana alokasi, variabel lag dan

dummy desentraliasi fiskal. Hasil penelitian menunjukkan faktor tarif pajak lokal memberikan signifikansi yang paling tinggi menunjukkan tidak adanya flypaper effectpada kinerja tarif pajak lokal terhadap penerimaan PAD. Dapat disimpulkan bahwa penerimaan PAD responsif terhadap penerimaan dari sumber potensi internal daerah yang ditandai dengan peningkatan potensi fiskalnya. Faktor-faktor yang memberikan pengaruh signifikan pada pengeluaran operasional adalah dana alokasi, tarif pajak lokal, dan lag belanja operasional. Koefisien dana alokasi menunjukkan elastisitas paling tinggi daripada penerimaan daerah lainnya sehingga telah terjadi fenomena flypaper effect pada kinerja belanja operasionalnya yaitu terjadinya peningkatan terhadap belanja operasionalnya setiap terjadi peningkatan alokasi transfer dana alokasi. Faktor-faktor yang memberikan pengaruh signifikan pada pengeluaran modal adalah bagi hasil, dana alokasi, tarif pajak lokal, populasi, dan variabel lag, serta dummydesentralisasi. Hal ini dapat diartikan bahwa dalam pemberian transfer terbukti dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik ditandai dengan terjadinyaflypaper effect

pada kinerja pengeluaran modal dengan pemberian dana alokasi.

Jawa Tengah sebagai daerah yang memiliki struktur PAD yang kuat memiliki potensi besar dalam pencapain pertumbuhan daerahnya. Pengalokasian transfer seharusnya dapat dijadikan bagian pendukung bagi keberlangsungan kinerja keuangan yang adil dan transparan. Hal ini mengisyaratkan perlunya pemerintah daerah dalam menetapkan standar pelayanan minimum sebagai pedoman dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan.


(14)

Oleh

KHURUM MAQSUROH H14104008

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(15)

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Khurum Maqsuroh

Nomor Registrasi Pokok : H14104008 Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul Skripsi :Analisis Pemetaan Kinerja Fiskal dan Pengaruh Transfer terhadap Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota Jawa Tengah

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Fifi Diana Thamrin, SP, MSi NIP. 132 321 453

Mengetahui

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,

Rina Oktaviani, Ph.D NIP. 131 846 872


(16)

BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Januari 2009

Khurum Maqsuroh H14104008


(17)

sebuah Kota Batik Pekalongan, Jawa Tengah. Penulis anak ke enam dari 7 bersaudara. Pada tahun 1989 ayah penulis Penulis telah berpulang keRahmatullah

sehingga penulis hanya dibesarkan oleh seorang ibu Nurhani. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Muhammadiyah Pekajangan III tahun 1998, kemudian melanjutkan pendidikan ke SLTP Muhammadiyah Pekajangan dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi di SMU Muhammadiyah Pekajangan I di Pekalongan dan lulus pada tahun 2004.

Pada tahun 2004 penulis diterima melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima pada jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Manajeman. Alasan penulis melanjutkan studi di IPB adalah mengikuti jejak dari kakak-kakak penulis. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif pada organisasi rokhis FORMASI pada periode 2006/2007 pada staf departemen Syar’i dan periode 2007/2008 sebagai Bendahara FORMASI.


(18)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian... 8

1.4. Manfaat Penelitian ... 9

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 11

2.1. Tinjauan Teori ... 11

2.1.1. Desentralisasi Fiskal ... 11

2.1.2. Pendapatan Asli Daerah (PAD) ... 13

2.1.3. Transfer Keuangan ... 16

2.1.3.1. Transfer Pajak Kabupaten. ... 19

2.1.3.2. Alokasi Transfer terhadap Kesejahteraan Publik dengan Kurva Anggaran ... 20

2.1.4. Teori Pengeluaran Pemerintah. ... 26

2.1.5. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). ... 29

2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 31

2.2.1. Kajian Transfer Daerah ... 31

2.2.2. Analisa Peta Kemampuan Keuangan Daerah ... 33

2.3. Kerangka Pemikiran ... 35

2.4. Hipotesis Penelitian ... 35

III. METODOLOGI PENELITIAN... 37


(19)

3.2. Metode Analisis ... 37

3.2.1. Metode Kuadran ... 37

3.2.2. Metode Indeks Kemampuan Fiskal (IKF)... 39

3.2.3. Pool Least Square ... 40

3.2.4. Pengujian Model ... 42

3.2.5. Uji Hipotesis ... 45

3.2.6. Evaluasi Model ... 46

IV. GAMBARAN UMUM KINERJA KEUANGAN JAWA TENGAH .. 50

4.1. Gambaran Administratif Jawa Tengah ... 50

4.2. Kemampuan Keuangan Provinsi Jawa Tengah ... 50

4.3. Kinerja PAD Daerah di Jawa Tengah ... 51

4.4. Kinerja Transfer Daerah di Jawa Tengah ... 52

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 54

5.1. Analisis Kemampuan Fiskal Daerah ... 54

5.2. Analisis Kemandirian Fiskal Daerah Jawa Tengah Metode Kuadran ... 54

5.2.1. Analisis Kemandirian Fiskal terhadap Pengeluaran Modal Daerah Jawa Tengah Metode Kuadran . ... 58

5.2.2. Analisis Kemandirian Fiskal terhadap Pengeluaran Operasional Daerah Jawa Tengah Metode Kuadran . ... 60

5.3. Metode Indeks ... 63

5.4. Analisis Panel Data ... 64

5.5. Hasil Uji Statistik ... 66

5.6. Hasil Estimasi Parameter Model PAD ... 68

5.7. Hasil Estimasi Parameter Model Pengeluaran Operasional ... 71

5.8. Hasil Estimasi Parameter Model Pengeluaran Modal ... 76

5.9. Nilai Koefisien Intersep Pengaruh Variabel Transfer dan lainnya terhadap terhadap Kinerja Keuangan Daerah Jawa Tengah ... 80


(20)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN... 85

6.1. Kesimpulan ... 85

6.2. Saran ... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 88


(21)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1.1. Kontribusi dan Pertumbuhan Komponen Penerimaan Provinsi

Jawa Tengah Tahun 1995-2006 ... 4

2.2. Alokasi Dana Perimbangan Sebelum dan Sesudah Desentralisasi 20 3.1. Status Kemampuan Keuangan berdasarkan Metode Kuadran ... 39

5.1. Hasil Uji Chow-Test ... 65

5.2. Hasil Uji LM-Test ... 65

5.3. Hasil Uji Hausman-Test ... 66

5.4. Hasil Estimasi Output Faktor-faktor yang Berpengaruh pada PAD ... 68

5.5. Hasil Estimasi Output Faktor-faktor yang Berpengaruh pada Pengeluaran Operasional ... 72

5.6. Hasil Estimasi Output Faktor-faktor yang Berpengaruh pada Pengeluaran Modal ... 77

5.7 Fixed Effect Cross Pengaruh Transfer dan Variabel Lainnya dalam Model ... 81


(22)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 2.1. Tarif Pajak Daerah (Kurva Laffer) ... 15 2.2. Transfer Tidak Bersyarat pada Perilaku Konsumen ... 23 2.3. Asimetri Informasi pada Keuangan Publik ... 24 2.4. Transfer Bersyarat pada Perilaku Konsumen ... 26 2.5. Pengeluaran Pemerintah padaKeynesian Cross ... 27 2.6. Perkembangan Pengeluaran Pemerintah ... 29 2.7. Diagram Kerangka Pemikiran Operasional ... 32 4.1. Perkembangan PAD Provinsi Jawa Tengah ... 51 4.2. Perkembangan Kontribusi PAD terhadap Pengeluaran Total Daerah Jawa Tengah Tahun 1995 dan 2006 ... 52 4.3. Perkembangan Kontribusi Transfer terhadap Pengeluaran Total Jawa Tengah Tahun 1995 dan 2006 ... 53 5.1. Persentase Penerimaan Fiskal terhadap Pengeluaran Daerah Jawa Tengah Tahun 1995 dan 2006 ... 55 5.2. Pertumbuhan Komponen Pendapatan Fiskal Daerah Jawa Tengah Tengah Tahun 1995 dan 2006 ... 56 5.3. Perkembangan Elastisitas Fiskal terhadap Pertumbuhan

Perekonomian Tahun 1995 dan 2006 ... 57 5.4. Pemetaan Fiskal Kabupaten/Kota Jawa Tengah Tahun 1995 dan 2006 terhadap Pengeluaran Modal ... 59 5.5. Pemetaan Fiskal Kabupaten/Kota Jawa Tengah Tahun 1995 dan 2006 terhadap Pengeluaran Operasional ... 62 5.6. Indeks Kemampuan Fiskal Daerah Jawa Tengah Tahun 1995 ... dan 2006... 64


(23)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 91 2. Perkembangan Kinerja PAD Tahun 1995 dan 2006 ... 92 3. Perkembangan Kinerja Transfer terhadap pengeluaran daerah

Tahun 1995 dan 2006 ... 93 4. Realisasi Fiskal dan Pendapatan Kabupaten/Kota Jawa Tengah

Tahun 1995 dan 2006 ... 94 5. Kontribusi Fiskal terhadap Pengeluaran Kabupaten/Kota Jawa Tengah Tahun 1995 dan 2006 ... 95 6. Elastisitas Fiskal Kabupaten/Kota Jawa Tengah Tahun 1995 dan 2006 ... 96 7. Penentuan Lokasi Kuadran Kabupaten/Kota Jawa Tengah ... 97 8. Hasil Perhitungan Indeks X IKF (Indeks Kapasitas Fiskal)

Kabupaten/Kota Jawa Tengah Tahun 1995 dan 2006 ... 98 9. Hasil Perhitungan IKF (Indeks Kapasitas Fiskal) Kabupaten/Kota Jawa Tengah Tahun 1995 dan 2006 ... 99 10. Hasil Peringkat IKF (Indeks Kapasitas Fiskal) Kabupaten/Kota

Jawa Tengah Tahun 1995 dan 2006 ... 100 11. Parameter Estimasi Pendapatan Asli Daerah (PAD)... 101 12. Parameter Estimasi Pengeluaran Operasional (BO)... 103 13. Parameter Estimasi Peengeluaran Modal (BM) ... 105


(24)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia ditandai dengan mulai berlakunya UU No. 22 tahun 1999 yang kemudian diperbaharui menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini berakibat pada perubahan yang mendasar mengenai pengaturan hubungan antara pusat dan daerah, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.

Pelaksanaan otonomi daerah yang telah berjalan selama delapan tahun dihadapkan pada fenomena semakin timpangnya tingkat pembangunan di wilayah Indonesia. Daerah yang tertinggal akan semakin tertinggal dalam pembangunan karena ketidakmampuannya dalam menghadapi tantangan globalisasi. Selain itu, juga disebabkan ketidakmampuan daerah dalam menggali potensi fiskal dari pajak dan retribusi daerah yang potensial sebagai sumber PAD, sehingga berakibat pada perbedaan dalam penerimaan maupun pengeluaran antar daerah.

Transfer antar pemerintah sebagai bentuk dari kebijakan pelaksanaan otonomi dalam mengatasi fiscal gap merupakan salah satu sumber penerimaan penting pemerintah daerah. Pemberian transfer diharapkan dapat menunjang keberhasilan pembangunan daerah yaitu terjadinya peningkatan pengeluaran daerah sejalan dengan meningkatnya dana transfer dari pemerintah. Tujuan utama dari pelaksanaan transfer adalah untuk menginternalisasikan eksternalitas fiskal yang muncul dalam pembangunan antar daerah (Oates dalam Haryo, 2007).


(25)

Pemberian transfer pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kapasitas daerah dalam membiayai belanja daerah yang lebih besar dari pemberian transfer, yaitu dengan peningkatan upaya pemerintah daerah dalam penggalian sumber-sumber pembiayaan daerah terutama dari fiskal daerah. Namun, pemberian transfer juga mengakibatkan ketidakefektifan pembiayaan pengeluaran daerah. Fenomena tersebut dikenal denganflypaper effect yang mengandung pengertian : (1) terjadinya peningkatan pajak dan anggaran belanja pemerintah yang berlebihan, (2) elastisitas pengeluaran terhadap transfer yang lebih tinggi daripada elastisitas pengeluaran terhadap pajak daerah.

Peningkatan kapasitas fiskal daerah sebagai bentuk upaya pemerintah daerah dengan menggali sumber-sumber PAD merupakan faktor yang sangat penting dalam menunjang efektivitas transfer pemerintah pusat kepada daerah. Oleh karena itu, pemberian transfer seharusnya disikapi pemerintahan daerah dengan upaya memacu pembangunan yang berkesinambungan dalam menciptakan kemandirian daerah dengan meningkatkan kapasitas fiskal daerah.

Peningkatan kapasitas fiskal daerah perlu diikuti dengan pemberian inisiasi dari pemerintah dalam pengoptimalannya melalui kebijakan dan peraturan yang menguntungkan banyak pihak. Undang-Undang No. 25 tahun 1999 PAD mencerminkan kemampuan daerah dalam memperoleh pendapatan yang berasal dari daerah sendiri, sedangkan Dana Perimbangan merupakan transfer pemerintah pusat kepada daerah yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan daerah dalam membiayai pengeluaran daerah.


(26)

Perubahan pengaturan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pengalokasian transfer seharusnya dapat memberi impuls kepada daerah dalam meningkatkan upaya pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber keuangan yang potensial bagi keberlangsungan pembangunan daerah. Namun, setelah delapan tahun pelaksanaan otonomi menunjukkan semakin tingginya tingkat ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat, terutama pada daerah di luar Pulau Jawa.

Jawa Tengah memiliki kapasitas fiskal yang kuat (> 50 persen) dan memiliki kontribusi PAD terhadap penerimaan daerah sudah sangat baik (Tabel 1.1). Sebelum desentralisasi fiskal, PAD Jawa Tengah mengalami peningkatan sebesar 28,61 persen dengan tingkat kontribusi 30,81 persen pertahun menjadi 59,50 persen pertahun. Penerimaan PAD mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, kecuali pada tahun 1998 sebesar Rp 238.875 juta disebabkan krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997 yang berdampak pula pada tingkat penerimaan PAD. Tingginya kontribusi pertumbuhan PAD mengindikasikan tingginya kemampuan daerah untuk memperoleh pendapatan sendiri.

Pertumbuhan penerimaan merupakan hal yang sangat penting dalam pendapatan suatu daerah sehingga dapat meningkatkan pembangunan pelayanan fasilitas publik. Pertumbuhan rata-rata dari PAD pada tahun 1995-2006 di Jawa Tengah sebesar 25,60 persen, dengan tingkat pertumbuhan tertinggi pada awal pelaksanaan desentralisasi fiskal yaitu tahun 2001 sebesar 75,23 persen (Tabel 1.1). Pada Tabel 1.1 juga terlihat bahwa tingkat pertumbuhan penerimaan pada tingkat terendah tahun 1998 mengalami penurunan yang fluktuatif (-34,20 persen)


(27)

dikarenakan terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997 yang turut berdampak pada kinerja keuangan daerah. Pada tabel terlihat bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal memberikan dampak positif terhadap kinerja PAD Jawa Tengah yang ditandai dengan meningkatnya secara rata-rata kemampuan daerah dalam membiayai anggaran daerah dari sumber PAD dengan tingkat kontribusi rata-rata 59,50 persen pada masa enam tahun pelaksanaan desentralisasi fiskal. Tabel 1.1. Kontribusi dan Pertumbuhan Komponen Penerimaan Provinsi Jawa Tengah 1995-2006 Tahun TR (Juta Rupiah) PAD DAPER Realisasi PAD (Juta Rupiah) Kontribusi (%) Growth (%) Realisasi Daper (Juta Rupiah) Kontribusi (%) Growth (%)

1995 1.324.981 280.650 21,18 998.314 75,35

1996 1.500.398 328.963 21,93 17,21 1.106.995 73,78 10,89 1997 1.483.189 363.054 24,48 10,36 1.079.877 72,81 -2,45 1998 636.869 238.875 37,51 -34,20 366.261 57,51 -66,08

1999 886.311 318.567 35,94 33,36 372.926 42,08 1,82

2000 1.081.632 474.210 43.84 48,86 523.969 48.44 40,50

Rata-rata 30,81 15,12 61,66 -3,06

DESENTRALISASI

2001 1.934.153 830.974 42,96 75,23 875.304 45,26 67,05

2002 2.580.967 1.242.177 48,13 49,48 717.961 27,82 -17,98

2003 2.432.830 1.447.420 59,50 16,52 895.408 36,81 24,72

2004 2.883.600 1.865.390 64,69 28,88 789.077 27,36 -11,88

2005 3.526.840 2.490.640 70,62 33,52 807.133 22,89 2,29

2006 3.587.190 2.549.720 71,08 2,37 808.406 22,54 0,16

Rata-rata 59,50 25,60 30,45 4,46

Sumber : Departemen Keuangan, 2008 (diolah)

Keterangan :

TR = Total Penerimaan Daerah (Juta Rupiah) PAD = Pendapatan Asli Daerah (Juta Rupiah) Daper = Dana Perimbangan (Juta Rupiah)

Growth = Pertumbuhan Komponen Penerimaan(Juta Rupiah) Kontribusi = Alokasi Penerimaan terhadap Total penerimaan Daerah (Juta Rupiah)

Dana perimbangan sebagai komponen penerimaan daerah juga berperan penting dalam peningkatan PAD dan pembiayaan pembangunan daerah. Dana perimbangan Jawa Tengah memiliki kontribusi terhadap penerimaan daerah


(28)

sebesar 61,66 persen pertahun sebelum desentralisasi fiskal dan 30,45 persen pertahun pada masa enam tahun pelaksanaan desentralisasi, atau mengalami penurunan sebesar 31,21 persen. Penurunan dana perimbangan yang disertai dengan peningkatan PAD mengindikasikan adanya peningkatan kemampuan daerah dalam membiayai pembangunan daerah.

Pertumbuhan dana perimbangan Jawa Tengah mengalami penurunan yang sangat tinggi pada tahun 1998 yaitu sebesar -66,08 persen sebagai dampak dari terjadinya krisis ekonomi. Krisis ekonomi berakibat pada melemahnya kinerja keuangan sehingga terjadi penurunan dalam pengalokasian dana perimbangan yang bersumber dari penerimaan dari Bagi Hasil (Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak) dan Dana Alokasi.

Tuntutan peningkatan PAD semakin besar seiring dengan semakin banyaknya kewenangan pemerintah yang dilimpahkan kepada daerah disertai pengalihan personil, peralatan, pembiayaan, dan dokumentasi (P3D) dalam jumlah besar. Namun, hal tersebut disikapi dalam bentuk penggalian sebesar-besarnya PAD yang berupa peningkatan tarif pajak yang besar sehingga terjadi ketidakefektifan dalam pembangunan, yaitu menghambat minat investor dalam menanamkan modalnya karena tidak adanya alokasi dana yang menguntungkan. Hal tersebut juga akan berdampak pada masalah pengangguran dan kemiskinan. Penggalian PAD melalui pajak dan retribusi daerah perlu ditingkatkan dengan mencari sumber-sumber pembiayaan lainnya, sehingga tidak perlu dengan meningkatan tarifnya. Dari sektor pajak dan retribusi inilah diharapkan akan membentuk suatu struktur PAD yang kuat di masing-masing daerah. Struktur


(29)

PAD yang kuat dapat dijadikan sebagai tolak ukur utama suksesnya pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal di dalam mendukung terciptanya suatu kemandirian daerah.

1.2. Perumusan Masalah

Salah satu tujuan utama dari pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah menjadikan daerah semakin mandiri dalam pelaksanaan pembangunan pemerintah maupun pembangunan daerahnya melalui penyerahan pengelolaan wilayahnya sendiri yang ditandai dengan meningkatnya kemampuan pengelolaan sumber-sumber potensialnya. Pencapaian peningkatan pembangunan melalui kemandirian harus sesuai dengan asas money follows function, yaitu penyerahan kewenangan daerah diikuti dengan penyerahan sumber-sumber pembiayaan yang sebelumnya masih dikuasai oleh Pemerintah Pusat di era Orde Baru kepada daerah masing-masing di era desentralisasi fiskal (Waluyo, 2007).

Desentralisasi merupakan peluang bagi daerah dalam peningkatan pembangunan berdasarkan kebutuhan daerah yang ditandai dengan adanya penyerahan sumber-sumber pembiayaan. Dengan adanya desentralisasi fiskal berupa pemberian transfer yang telah berjalan delapan tahun, diharapkan daerah dapat meningkatkan potensi fiskal yang dapat mewujudkan kemandirian daerah. Permasalahan mendasar dari pemberian alokasi transfer kepada daerah adalah menjadikan daerah semakin bergantung pada penerimaan alokasi transfer dan kurang memperhatikan upaya penggalian sumber pendapatan dari pajak lokal yang sangat potensial sebagai sumber PAD.


(30)

Realisasi yang ada pada pembangunan daerah pada saat ini menunjukkan hanya beberapa daerah yang memiliki struktur PAD yang kuat (> 50 persen) yaitu hanya pada daerah yang terletak di Pulau Jawa yang secara historis memang sudah kuat sejak lama. Jawa tengah sebagai bagian dari wilayah dari Pulau Jawa dengan tingkat kepadatan penduduk cukup tinggi memiliki struktur PAD yang standar kuat dalam kontribusi penerimaan daerah. Pelaksanaan otonomi disikapi dengan peningkatan penerimaan yang cukup signifikan dan turut berpengaruh pada peningkatan pengeluaran daerah. Transfer pemerintah dalam bentuk dana perimbangan dapat dijadikan komplemen dalam upaya peningkatan pembangunan melalui peningkatan fasilitas pelayanan publik.

Pelaksanaan transfer pemerintah berdasarkan hasil studi awal World Bank-Bappenas 2000 dalam Kuncoro (2007) menunjukkan terdapat sejumlah permasalahan kebijakan pembiayaan sektor publik yang secara potensial memberikan dampak negatif dalam jangka panjang. Pertama, pemda terlalu bergantung kepada dana transfer dari pemerintah dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Kedua, peningkatan penerimaan melalui PAD yang diintensifkan dengan menambah jumlah biaya dan ragamnya, baik berupa pajak lokal, maupun potongan dan retribusi yang lebih banyak menimbulkan ketidakpuasan publik. Fenomena ini dalam pembangunan kinerja keuangan dikenal dengan Flypaper effect. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana respon dari kinerja keuangan Jawa tengah dalam menyikapi perubahan pelaksanaan transfer pemerintah.


(31)

Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi pemetaan kinerja fiskal periode 1995 dan 2006 di kabupaten/kota Jawa Tengah ?

2. Apakah ada keterkaitan langsung antara penerimaan transfer dengan upaya penggalian PAD dan pengaruhnya terhadap pengeluaran operasional dan pengeluaran modal dalam kaitannya dengan pelaksanaan desentralisasi pada kinerja keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota Jawa Tengah periode 1995-2006?

3. Apakah ada fenomena Flypaper Effect pada kinerja keuangan daerah dalam menyikapi perubahan transfer pada alokasi realisasi anggaran daerah periode 1995-2006?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa tujuan antara lain sebagai berikut: 1. Menganalisis kondisi pemetaan kinerja fiskal periode 1995 dan 2006

2. Menganalisis keterkaitan langsung antara penerimaan transfer dengan upaya pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber PAD dan respon belanja daerah dalam kerangka kebijakan desentralisasi.

3. Menganalisis fenomenaFlypaper Effect pada kinerja keuangan pemerintah kabupaten/kota Jawa Tengah.


(32)

1.4. Manfaat Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah penelitian, secara umum penelitian peranan transfer dalam pembangunan kabupaten/kota Jawa Tengah bermanfaat: 1. Bagi pemerintah, kajian pengaruh transfer terhadap kinerja keuangan daerah

pada era otonomi dapat dijadikan bahan evaluasi dalam proses pengembangan kawasan secara berkelanjutan dengan menggali sumber-sumber PAD lainnya yang potensial. Selain itu juga dapat memberikan gambaran umum pengaruh transfer dan PAD terhadap kapasitas pengeluaran Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah dalam memenuhi kepentingan pembangunan publik.

2. Bagi para pengusaha atau investor, penelitian ini dapat memberikan gambaran kuantitatif tentang peluang penanaman modal pada kabupaten/kota Jawa Tengah dengan memberikan acuan tentang kondisi keuangan daerah.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini meliputi Kabupaten dan Kota yang ada di Jawa Tengah dengan pertimbangan bahwa kawasan Jawa Tengah memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi dan memiliki posisi yang stategis, yaitu dekat dengan pusat pemerintahan negara dan terletak antara Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur. Penelitian ini menggunakan panel data (pooled data) yang meliputi 29 Kabupaten dan 6 Kota di Jawa Tengah selama periode 1995-2006 yang meliputi realisasi APBD dan PDRB.

Fokus penelitian ini adalah pada alokasi transfer dan pengaruhnya terhadap kinerja keuangan daerah dengan melihat dari sisi peningkatan


(33)

pengeluaran daerah dan upaya pemerintah daerah dalam meningkatkan kemandiriannya yang tercermin dari peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah), sehingga tercipta struktur PAD yang kuat. Batasan penelitian ini ditujukan untuk mengevaluasi dari kebijakan otonomi daerah dari sisi keefektifan transfer pemerintah dalam peningkatan kinerja keuangan daerah yang tercermin dari struktur PAD dan pengeluaran daerahnya, selain itu agar tercipta pembangunan yang lebih efisien dari kondisi sebelumnya.


(34)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Tinjauan Teori

2.1.1. Desentralisasi Fiskal

Salah satu fenomena pembangunan negara berkembang adalah pelaksanaan desentralisasi fiskal sebagai upaya memacu peningkatan kesejahteraan masyarakatnya, sehingga pemerintah daerah memiliki keleluasaan wewenang dalam mengelola pendapatan dan pengeluaran berdasar kebutuhan daerahnya. Kebijaksanaan fiskal memiliki makna adanya unsur kebijaksanaan pemerintah daerah dalam bidang pengeluaran dan pendapatan masyarakat dengan tujuan utama peningkatan kesejahteraan masyarakat (Sukirno, 1985).

Menurut UU No.22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, memilki wewenang dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Secara teoritik ada empat fungsi ekonomi yang harus diperankan pemerintah daerah dalam merespon kebijakan otonomi:

(1) Fungsi Alokasi. Melalui fungsi ini diharapkan pemda dapat merespon kegagalan pasar, terutama untuk mengantisipasi terjadinya kompetisi yang tidak sehat yang dapat mengakibatkan inefisiensi pasar.


(35)

(2) Fungsi Distributif. Fungsi ini disebut juga fungsi pemerataan. Melalui fungsi ini pemerintah daerah melalui kebijakan penerimaan dan kebijakan belanja daerah harus dapat memberikan pelayanan lebih kepada kelompok masyarakat miskin. Misalnya dengan menerapkan kebijakan penerimaan dari sektor pajak, terutama untuk kelompok masyarakat menengah keatas dalam bentuk pajak progresif dan pemungutan retribusi yang disesuaikan dengan pemakaian jasa.

(3) Fungsi Pengaturan. Fungsi ini berarti pemerintah daerah harus dapat membuat kebijakan yang menjamin semua kelompok dalam masyarakat untuk dapat memperoleh pelayanan dengan standar yang sama dan membuat perencanaan kota yang dapat memberikan keuntungan kepada kelompok masyarakat miskin, misalnya dengan membuat tempat-tempat penampungan bagi para PKL (semacam jalur hijau yang dapat digunakan PKL tanpa ancaman penertiban).

(4)Fungsi Stabilisasi. Fungsi ini dijalankan pemda untuk menghindari terjadinya benturan dengan kebijakan ekonomi daerah lain, misalnya menciptakan kondisi yang dapat merangsang pertumbuhan sektor industri kecil.

Beberapa kriteria dasar dalam menentukan jenis dan besaran sumber pendapatan (pajak dan retribusi) serta pos belanja (kegiatan-kegiatan yang didanai), yaitu: (1) menfasilitasi dan memacu pertumbuhan ekonomi; (2) meningkatkan dan menjamin pemerataan pembangunan; (3) memberdayakan masyarakat; (4) menjaga keberlangsungan pembangunan ekonomi dan pelayanan


(36)

kepada masyarakat. Hal tersebut dapat tercapai apabila terdapat upaya dari pemda dalam pengalokasian dana pada pengeluaran sektor-sektor pelayanan publik yang dapat mendukung kinerja produktivitas masyarakat.

Pada sistem pemerintahan desentralisasi peranan pemerintah daerah mulai terlihat dalam menjalankan pemerintahan dan pengelolaan anggaran daerah. Sistem desentralisasi diwujudkan dalam bentuk penyerahan kewenangan pemerintah daerah untuk melakukan pembelanjaan, pemungutan pajak (taxing power), dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari pemerintah pusat.

2.1.2. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai sumber pendapatan yang terbesar dibandingkan dengan pendapatan lainnya yang berasal dari pajak, retribusi, bagian laba perusahaan daerah dan Pendapatan Asli Daerah lainnya.

PAD terdiri dari : 1) Hasil Pajak daerah

Pajak daerah adalah pungutan dari masyarakat oleh pemerintah daerah berdasarkan undang-undang yang bersifat dapat dipaksakan dan terutang oleh yang wajib membayarnya dan hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran negara dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Marihot (2006), berdasarkan lembaga pemungutnya pajak dibedakan 2, yaitu: (1) pajak pusat adalah pajak yang ditetapkan oleh pemerintahan pusat dengan undang-undang dan hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah pusat dan pembangunan, (2) pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh


(37)

daerah kepada orang pribadi atau badan tanpa imbalan, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pengeluaran daerah.

Penentuan tarif pajak optimal akan memaksimalkan penghasilan pemerintah dapat ditunjukkan dengan kurva Leffer (Joseph dan David, 2000). Dasar konsep yang digunakan adalah ada nya keyakinan bahwa ada suatu titik yang akan memaksimalkan penghasilan pemerintah. Pada gambar 1.2 menunjukkan bahwa peningkatan tarif pajak dari 0 ke T1, maka pendapatan pajak pemerintah juga akan mengalami peningkatan. Akan tetapi jika diatas T1, maka merupakan peningkatan pajak yang kontra produktif. Efek disinsentif dari peningkatan pajak akan mengurangi pajak dasar (misal pengurangan jam-jam kerja atau terjadi pengurangan permintaan tenaga kerja), sehingga meskipun jumlah pendapatan dalam pajak mengalami peningkatan, tetapi ada sejumlah pendapatan yang menurun lebih cepat dan akan berakibat penerimaan pajak lebih sedikit. Dengan kata lain, jika tarif pajak berada diatas T1, maka hal ini akan dibiayai pemerintah dengan mengurangi pendapatan pajaknya.

Kurva GG’ menggambarkan laju pertumbuhan GDP pertahun pada tarif pajak yang berbeda-beda. Puncak kurva diasumsikan terletak pada G1. Peningkatan tarif pajak dibawah G’ diasosiasikan dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, dengan ketentuan sektor publik dibiayai dari perolehan pajak, contohnya adalah pada proyek pembangunan jalan dan pembelaan hukum. Hal ini akan mendorong terjadinya peningkatan investasi swasta karena peningkatan jaminan dalam berproduksi di suatu daerah. Akan tetapi apabila tarif pajak berada diatas G’, maka pertumbuhan pajak dan belanja publik akan rendah. Tarif pajak


(38)

yang memaksimalkan jumlah pendapatan bagi pemerintah mungkin tidak akan sama dengan yang memaksimalkan pertumbuhan ekonomi sehingga pemerintah dapat dihadapkan pada dilema antara memaksimalkan pendapatan dan memaksimalkan pertumbuhan ekonominya.

Tarif Pajak 100% T’ G’ T1 G1 G T

Pertumbuhan GDP 0 Total Penerimaan Pajak

Keterangan :

T = Tarif pajak awal G = Pertumbuhan GDP awal T’ = Tarif pajak 100% G’ = Pertumbuhan pada tarif pajak T1 = Peningkatan tarif pajak ke-1

Sumber : Joseph dan David (2000)

Gambar 2.1. Tarif Pajak Daerah (Kurva Laffer) 2) Hasil retribusi daerah.

Retribusi daerah adalah pembayaran wajib dari penduduk kepada pemerintah daerah karena adanya jasa tertentu yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada penduduk secara perseorangan atau badan dengan balas jasa diberikan secara langsung. Jasa yang diberikan pemerintah adalah usaha dan pelayanan yang dapat berupa barang, fasilitas, atau bentuk lainnya dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan usaha.

3) Hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.


(39)

LLPYS adalah sumber penerimaan daerah yang berasal dari pinjaman daerah yang digunakan untuk membiayai pengeluaran daerah. LLPYS memiliki kontribusi kecil terhadap penerimaan daerah karena tidak semua daerah melakukan pinjaman dalam anggaran daerahnya.

2.1.3. Transfer Keuangan

Transfer keuangan adalah bentuk perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dalam bentuk suatu kebijakan pemerintah untuk membantu kinerja keuangan daerah dalam mengatasi disparitas dalam pembangunan. Transfer yang diberikan kepada daerah dalam bentuk dana perimbangan yaitu melalui pemberian dana bagi hasil yang mencakup bagi hasil pajak dan bagi hasil bukan pajak, dan dana alokasi yang meliputi Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana alokasi yang diberikan kepada daerah sebelum dentralisasi dalam bentuk Instruksi Presiden (Inpres) dan Subsidi Daerah Otonom (SDO).

Dalam UU No.32/2004 berisi pengaturan tentang pelaksanaan kewenangan Pemerintah daerah, Pemerintah pusat dalam memberikan transfer Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan bagian daerah dari Dana Bagi Hasil yang terdiri dari pajak dan sumber daya alam. Kebijakan penggunaan semua dana tersebut diserahkan kepada Pemerintah daerah. Penggunaan dana transfer diharapkan digunakan secara efektif dan efisien oleh Pemerintah daerah dalam meningkatkan


(40)

pelayanannya kepada masyarakat. Kebijakan penggunaan dana transfer harus secara transparan dan akuntabel agar tepat sasaran.

Yulianti (2002), dana perimbangan sebagai bentuk penerimaan daerah dalam wilayah sendiri. Dana perimbangan sebagai pendukung pelaksanaan otonomi daerah memiliki peranan dalam : (1) memacu pembangunan daerah, (2) meningkatkan pertumbuhan antar daerah, (3) pembagian dana yang rasional dan adil kepada daerah penghasil, (4) meningkatkan pemerataan pembangunan, (5) mengurangi kesenjangan sosial antar daerah, (6) memberikan kepastian keuangan daerah yang berasal dari daerah yang bersangkutan, (7) meminimalkan tuntutan daerah, (8) meningkatkan respon pemerintah daerah kepada pemerintah pusat, (9) dan memperkuat rasa persatuan dan kesatuan bangsa.

Pengaturan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pasal 6 Undang-undang No.25 tahun 1999, dana perimbangan terdiri dari: 1. Bagian daerah dari pajak bumi dan bangunan, bea peralihan hak atas tanah dan

bangunan dan penerimaan dari sumber daya alam (transfer pajak kabupaten/kota) dalam bentuk dana bagi hasil (bagi hasil pajak dan bagi hasil bukan pajak).

2. Dana Alokasi Umum (DAU).

Pemberian DAU bertujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara pusat dan daerah dengan pengalokasian sebagian keuangan pusat kepada daerah untuk mendukung desentralisasi tetapi akan menimbulkan ketimpangan horisontal antara daerah penghasil dan non penghasil. Hal ini dikarenakan tidak semua daerah memiliki potensi pajak yang besar, seperti potensi minyak bumi.


(41)

Konsep dasar formulasi DAU sesuai yang diamanatkan dalam UU No. 25 tahun 1999 berdasarkanfiscal gap. Konsep fiscal gap merupakan selisih negatif antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal dan kebutuhan yang ditutup melalui transfer Pemerintah Pusat. Berdasarkan konsepfiscal gap dimana daerah yang memiliki kapasitas fiskal relatif lebih besar dibanding kebutuhan fiskalnya, maka DAU yang dialokasikan tidak terlalu besar. Sebaliknya daerah yang memiliki kebutuhan fiskal relatif lebih tinggi terhadap kapasitas fiskalnya, membutuhkan DAU yang relatif besar pula agar tetap dapat menyediakan pelayanan dasar yang cukup baik. Jadi kapasitas fiskal mencerminkan suatu daerah di dalam melaksanakan semua kewenangan wajibnya dalam pelaksanaan pemerintahan maupun pembangunan daerah.

Penentuan DAU didasarkan pada komponen populasi, densitas, IHK (Indeks Harga Konsumen), IHB (Indeks Harga Bangunan). DAU memiliki sifat fleksibel dalam alokasi penggunaan dan jumlahnya dapat diprediksi.

3. Dana Alokasi Khusus

Dana Alokasi khusus adalah transfer dari pemerintah pusat kepada daerah untuk membiayai proyek pembangunan yang dianggap penting oleh pemerintah pusat. Penentuan DAK tidak didasarkan suatu formula seperti dalam penentuan DAU. DAK memiliki sifat terikat yaitu penggunaannya harus berdasar ketentuan pemerintah pusat dalam proyek pembangunan. DAK memiliki peran penting bagi pemmbangunan dalam pembiayaan yang secara khusus tidak dapat dibiayai pemerintah setempat.


(42)

2.1.3.1. Transfer Pajak Kabupaten

Menurut ketentuan dalam UU No. 34 tahun 2000, minimum dari 10 persen dari hasil penerimaan pajak kabupaten/kota dialokasikan untuk kepentingan desa. Pengaturannya didasarkan pada aspek pemerataan dan potensi yang dimiliki oleh desa- desa yang bersangkutan.

Undang-undang No.25 tahun 1999 mengatur tentang pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengaloksian dana bagi hasil (Tabel 2.2). Pada tabel menunjukkan adanya perubahan alokasi dana bagi hasil sebelum dan sesudah desentralisasi, yaitu pengalokasian dana perimbangan telah mempertimbangkan daerah penghasil, seperti pos iuran hasil hutan (IHH), Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), royalti dan landrent sumber daya alam pertambangan umum, dan royalti sumber daya migas. Selain itu dalam undang-undang desentralisasi menunjukkan adanya peningkatan beberapa pos penerimaan daerah bagi daerah penghasil. Perubahan pengalokasian dana perimbangan dapat mengimpuls daerah penghasil dalam meningkatkan kinerja daerah untuk mengelola sumber daya alamnya secara optimal, sehingga daerah dapat lebih mandiri dalam mengatur sumber pendapatan daerahnya sendiri.

Penetapan peraturan perundang-undangan dalam hal pengelolaan kekayaan wilayah ini dapat memacu daerah dalam mencari sumber-sumber potensial dari kekayaan yang ada di daerahnya. Daerah yang kreatif semakin dapat bersaing dengan daerah lainnya, sebaliknya daerah yang tidak kreatif akan semakin tertinggal dalam pembangunan yang akan menyebabkan tingkat


(43)

ketergantungan yang tinggi pada pusat dengan adanya transfer pemerintah dalam bentuk DAU (Dana Alokasi Umum).

Tabel 2.2. Alokasi Dana Perimbangan Sebelum dan Sesudah Desentralisasi Fiskal

Penerimaan Daerah (%) Sebelum Desentralisasi (%) Setelah Desentralisasi (%)

Pusat Prop Kab/ Kota

Pusat Prop Semua Kab/ Kota Kab/Kota penghasil Kab/ Kota lain

I. Bagian daerah

1) Pajak bumi dan bangunan (PBB). 2) Bea perolehan atas tanah dan bangunan

(BPHTB).

3) Pajak penghasilan (PPh). 4) SDA kehutanan : • Iuran hasil hutan (IHH).

• Provisi sumber daya hutan (PSDH). 5) SDA Pertambangan umum:

• Royalti 3,3% dari 13,5% (batubara +emas) • Landrent (iuran tetap)

6)SDA migas : • Minyak bumi • Gas alam 7) Agraria

8) Royalti perikanan

• Pungutan pengusaha perikanan (PPP) dan pungutan hasil perikanan (PHP).

10 20 80 55 30 20 20 100 100 40 -16,2 16 20 30 70 16 16 -40 -64,8 64 -15 -64 64 -20 -10 20 80 20 20 20 20 85 70 100 20 16,2 16 20 16 16 16 16 3 6 -64,8 64 -80 -64 32 32 64 6 12 -32 32 -6 12

-II. DAU SDO dan Inpres 75 2,5 22,5 -

-III. DAK Dialokasikan Sesuai Kebutuhan

Sumber : Tambunan (2001)

2.1.3.2. Alokasi Transfer terhadap Kesejahteraan Publik dengan Kurva Anggaran

Oates dalam Kuncoro (2007), pemberian transfer yang lebih tinggi pada dasarnya akan menurunkan biaya rata-rata penyediaan barang/jasa publik, tetapi biaya marginalnya tidak mengalami penurunan. Penurunan biaya rata-rata tidak memiliki pengaruh pada masyarakat yang cukup signifikan karena masyarakat


(44)

tidak bisa membedakan penurunan biaya yang terjadi antara biaya rata-rata atau biaya marginalnya.

Pembangunan pemerintah tidak akan berjalan tanpa adanya interaksi dengan wilayah sekitarnya dalam penyediaan fasilitas publik. Secara umum penyediaan fasilitas pelayanan publik dapat memberikan efek eksternalitas kepada wilayah lainnya, dalam arti tidak dibatasi pelayanan publik hanya untuk golongan masyarakat tertentu, misal perguruan tinggi seluruh pihak dapat memanfaatkan. Apabila tidak ada balas jasa yang menguntungkan maka pemerintah daerah tidak berminat untuk berinvestasi. Pelaksanaan desentralisasi diharapkan pada upaya pemerintah dapat lebih optimal dalam pembangunan dalam menciptakan sumber investasi yang potensial bagi fiskal daerahnya.

Jenis-jenis Transfer Pusat

Transfer pemerintah pusat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Transfer tidak bersyarat (unconditional grant, general purpose grant, block grant).

2. Transfer dengan syarat (conditional grant, categorical grant, specific purpose grant).

1. Transfer Tidak Bersyarat (unconditional grant, general purpose grant, block grant)

Transfer tidak bersyarat dapat dijelaskan melalui pendekatan teori perilaku konsumen. Transfer ini memiliki tujuan terjadinya peningkatan pembangunan daerah yang tercermin dari meningkatnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan perkapita.


(45)

Pengaruh transfer pada kinerja fiskal pemerintah daerah dapat dijelaskan dari teori perilaku konsumen. Wilde (1968) dalam Haryo (2007) mempelopori analisis transfer ke dalam bentuk kendala anggaran dan kurva indiferensi. Analisis Wilde pada Gambar 2.2 menghubungkan pengeluaran konsumsi barang privat dan barang publik. Perilaku individu seperti masyarakat yang mempunyai preferensi seperti ditunjukkan oleh kurva indiferensi (U0, U1, U2) dengan kendala anggaran (garis Z dan Z+G (grant)). Masyarakat dianggap berperilaku rasional yang memaksimumkan utilitas dengan kendala pendapatannya.

Efek dalam bantuan tidak bersyarat (unconditional grants), transfer sebesar G memberikan kenaikan garis anggaran dari Z ke (Z+G) pada Gambar 2.2 Gorodnichenko (2001), barang publik diasumsikan sebagai barang normal. Asumsi yang digunakan adalah transfer yang bersifat umum (lump-sum) akan menggeser keseimbangan konsumen dari titik E0 ke EM. Pada posisi keseimbangan yang baru akan merubah konsumsi barang publik dan barang privat masing-masing menjadi sebesar Y1dan X1.

Transfer tidak bersyarat memiliki sifat apabila ada tekanan fiskal pada basis pajak lokal akan menurun yang kemudian menyebabkan penerimaan pajak juga mengalami penurunan yaitu sebesar TR1, selain itu pengeluaran konsumsi barang publik tetap meningkat. Hal ini berarti transfer akan mengurangi beban pajak masyarakat sehingga pemerintah daerah tidak perlu menaikkan pajak untuk membiayai penyediaan barang publik. Oleh karena itu dalam konsep ini dapat disimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah daerah dalam penyediaan barang


(46)

publik tidak akan berbeda sebagai akibat dari penurunan pajak daerah atau kenaikan transfer.

Bantuan tidak bersyarat pada Gambar 2.2 menunjukkan terjadinya anomali (Gramlich dalam Kuncoro, 2007) yaitu adanya keseimbangan masyarakat setelah menerima transfer berada pada titik EFPyang menunjukkan kenaikan penerimaan pajak daerah (TR2) dan juga kenaikan konsumsi barang publik (dari Y1menjadi Y2). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa transfer akan meningkatkan pengeluaran konsumsi barang publik, tetapi tidak menjadi substitusi bagi pajak daerah. Fenomena tersebut di dalam literatur disebut sebagaiflypaper effect.

X2

0 Y0 Y1 Y2 Z Z+ GRANT

Sumber : Alderete (2001)

Gambar 2.2. Transfer Tidak Bersyarat pada Perilaku Konsumen

Jackson (1993), Flypaper effect merupakan respon pemerintah daerah dalam meyikapi alokasi anggaran dari pemerintah pusat dengan meningkatkan tingkat pengeluaran lebih besar, ataupun pemberian impuls dengan pemotongan tingkat pajak suatu daerah. Namun apabila tingkat penerimaan lebih besar lagi

EM E0

EFP TR1

TR2 X1

X0

U1 U2 U0

Barang Privat (X)


(47)

maka akan berakibat pada tingginya ketergantungan daerah semakin besar sehinggaflypaper effect tidak lagi berlaku.

Xi

c

a

X2 e2 X3 e3 X1 e1

h

f

g1 g2 g3 b d

Sumber : Jackson (2003)

Gambar 2.3. Asimetri Informasi pada Keuangan Publik

Permasalahan dalam model flypaper Eeffect pada gambar 2.3 adalah pemberian transfer tanpa syarat akan meningkatkan anggaran menjadi af dari keseimbangan awal (ab) dan total transfer yang diterima menjadi e3h (ac). Secara teori flypaper effect memprediksikan bahwa setiap matching grant akan menstimulasi peningkatan yang sama pada pengeluaran barang publik yang digambarkan oleh slope dari transfer. Prediksi ini tidak didukung kenyataan yang terjadi, bahwa meningkatnya transfer pada kenyataannya berakibat pada peningkatan pengeluaran barang publik yang lebih besar dari slope anggaran yang ada.


(48)

2. Transfer Bersyarat

Transfer bersyarat akan mempengaruhi konsumsi masyarakat sehingga dapat dijelaskan melalui teori perilaku konsumen. Pada Gambar 2.4 menghubungkan pengeluaran konsumsi barang privat dan barang publik dengan preferensi ditunjukkan kurva indeferensi (U0, U1, U2) dengan kendala anggaran garis Z dan Z+G (Grant). Diasumsikan masyarakat berperilaku rasional yang akan memaksimumkan utilitas dengan kendala pendapatannya. Pemberian transfer bersyarat Indonesia dalam bentuk DAK (Dana Alokasi Khusus).

Transfer bersyarat (conditional grants) berpengaruh pada konsumsi barang privat melalui efek harga. Bantuan bersyarat, misalnya transfer penyeimbang tidak terbatas (open-ended matching grants), akan menurunkan harga barang publik. Hal ini dikarenakan pemerintah memberikan subsidi untuk setiap unit barang publik. Seperti ditunjukkan pada Gambar 2.4 bantuan bersyarat berasosiasi dengan pergeseran garis anggaran bergeser ke kanan sehingga garis anggaran yang baru lebih datar. Hal tersebut berakibat pada peningkatan konsumsi barang publik dari Y0menjadi sebesar Y1

Pengaruh transfer bersyarat pada konsumsi barang privat tergantung pada sensivitas silangnya. Harga barang publik yang lebih rendah akan meningkatkan konsumsi barang privat apabila pemerintah daerah telah menurunkan tarif pajak. Sebelum ada penurunan tarif pajak, konsumsi barang privat adalah sebesar X1. Setelah penurunan tarif pajak, konsumsi barang privat meningkat menjadi sebesar X2. Dengan demikian, kenaikan transfer sebagian berakibat pada kenaikan


(49)

konsumsi barang publik dan sebagian lagi pada konsumsi barang privat secara tidak langsung melalui penurunan tarif pajak.

Barang Privat (X)

X2 EFP - TR X1 EM

X0 E0 U2 U1 U0

Barang Publik (Z) 0 Y0 Y2 Y1 Z Z’ Z+Grant

Sumber : Alderete (2001)

Gambar 2.4. Transfer Bersyarat pada Perilaku Konsumen

2.1.4. Teori Pengeluaran Pemerintah

Teori pengeluaran pemerintah dapat diterangkan melalui Keynesian cross, yaitu hubungan antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi secara teori digambarkan dalam Gambar 2.5 ( Mankiw, 2003). Pada grafik dapat dilihat peningkatan pengeluaran pemerintah berdampak pada kenaikan pertumbuhan ekonomi yang diukur melalui pendapatan dan tingkat output peningkatan besar pengeluaran pemerintah daerah akan menggeser keseimbangan dari titik A ke titik B yang berarti terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi (Y).

Kebijakan pelaksanaan desentralisasi akan mengalami perubahan melalui penerimaan transfer maupun penerimaan PAD. Hal ini akan berdampak pula pada


(50)

alokasi perubahan kinerja pengeluaran daerah. Perubahan pelaksanaan pengelolaan anggaran akan mendorong perubahan pada kinerja fiskal yang akan ikut berpengaruh pada pertumbuhan perekonomian daerah.

Pengeluaran Pemerintah Actual Expenditure

Planned Expenditure 2

E2=Y2 B Planned Expenditure 1

A

E1=Y1

0 E1= Y1 E2=Y2 Income, Output, Y Sumber : Mankiw (2003)

Gambar 2.5. Pengeluaran Pemerintah padaKeynesian Cross

Teori makro mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah dikelompokkan dalam tiga golongan (Mangkusoebroto, 1993):

1. Model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah. 2. Hukum Wagner menganai perkembangan aktivitas pemerintah. 3. Teori Peacock dan Wiseman.

1. Model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah. Model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah dikembangkan Rostow dan Musgrave, pertumbuhan dimulai pada tahap-tahap pembangunan, yaitu tahap awal, tahap menengah, dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap investasi total besar, sebab pemerintah harus menyediakan prasarana (misal pendidikan, kesehatan dan prasarana transportasi). Pada tahap menengah pembangunan


(51)

ekonomi, investasi pemerintah diperlukan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, pada tahapan ini peranan investasi pemerintah semakin membesar. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut pembangunan ekonomi aktivitas pemerintah lebih ditujukan pada penyediaan sarana dan prasarana ke pengeluaran untuk aktivitas sosial seperi program kesejahteraan hari tua, progaram pelayanan kesejahteraan masyarakat dan sebagainya (Mangkoesubroto, 1993).

2. Hukum Wagner

Teori Wagner tentang perkembangan pengeluaran pemerintah disebut sebagai Wagner law of increased government activity. Teori ini berisi bahwa apabila pendapatan perkapita meningkat, secara relatif pengeluaran pemerintah juga akan meningkat.

Hukum Wagner di formulasikan sebagai berikut :

PPP = Pengeluaran Pemerintah Perkapita

PPK = Pendapatan Perkapita, yaitu GDP/ Jumlah penduduk 3. The Displacement Effect

Teori ini didasarkan pandangan bahwa pemerintah selalu akan memperbesar pengeluaran sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang akan semakin besar. Mangkoesubroto (1993), Peacock dan Wiseman mendasarkan teori displacemen effect bahwa masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, suatu tingkat

n n k k k PPK PP P PPK PP P PPK PP P ⋅〈 ⋅ 〈⋅ 〈 2 2 1 1


(52)

dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Tingkat toleransi merupakan kendala bagi pemerintah untuk menaikkan pungutan pajak. Teori Peacock dan Wiseman sebagai berikut :

” Perkembangan ekonomi menyebabkan pemungutan pajak yang semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah, dan meningkatnya penerimaan menyebabkan pengeluaran pemerintah semakin meningkat. Oleh karena itu dalam keadaan normal, menigkatnya GNP menyebabkan penerimaan pemerintah semakin besar”.

Pengeluaran Pemerintah (GDP)

Wagner,Solow dan Musgrave

Peacock dan Wiseman

0 Waktu (tahun)

Sumber: Mangkoesubroto (1995)

Gambar 2.6. Perkembangan Pengeluaran Pemerintah

2.1.5. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Kaysful (2003), Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan salah satu indikator makro ekonomi yang pada umumnya digunakan untuk mengukur kinerja ekonomi di suatu negara. Sedangkan untuk tingkat wilayah, Propinsi maupun


(53)

kabupaten/kota, digunakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB dapat menggambarkan kemampuan suatu Daerah mengelola sumber daya alam yang dimilikinya. Oleh karena itu nilai PDRB yang dihasilkan oleh masing-masing Propinsi sangat bergantung kepada potensi sumber daya alam dan faktor produksi daerah tersebut.

Perhitungan PDRB dapat diperoleh melalui 3 (tiga) pendekatan yaitu pendekatan produksi, pendekatan pendapatan dan pendekatan pengeluaran yang selanjutnya dijelaskan sebagai berikut :

1. Menurut pendekatan produksi, PDRB adalah jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dalam penyajiannya dikelompokkan menjadi 9 sektor atau lapangan usaha yaitu ; Pertanian, Pertambangan dan Penggalian, Industri Pengolahan, Listrik, Gas dan Air Bersih, Bangunan, Perdagangan, Hotel dan Restoran, Pengangkutan dan Komunikasi, Jasa Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan, Jasa-jasa. 2. Menurut pendekatan pengeluaran, PDRB adalah penjumlahan semua

komponen permintaan akhir yaitu :

•Pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari untung.

•Konsumsi pemerintah.

•Pembentukan modal tetap domestik bruto. •Perubahan stok.


(54)

3. Menurut pendekatan pendapatan, PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi dalam suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji, sewa rumah, bunga modal dan keuntungan. Semua jenis faktor produksi tersebut sebelum dipotong pajak penghasilan.

2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu 2.2.1. Kajian Transfer Daerah

Gorodnichenko (2001), dalam penelitiannya mengenai fenomena flypaper effect dalam perubahan pengalokasian transfer pemerintah pusat terhadap kinerja keuangan dan perekonomian Ukraina. Hasil penelitiannya dapat disimpulkan bahwa respon pengeluaran pemerintah terhadap Pendapatan Asli Daerah lebih elastis dibandingkan respon pengeluaran pemerintah terhadap alokasi transfer pemerintah pusat. Hasil dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi fenomenaflypaper effect pada kinerja pengeluran pemerintah daerah dalam merespon alokasi transfer.

Ronald (2005), dalam penelitiannya mengenai “Analisis Kinerja Pengeluaran Pemerintahan Jawa Tengah”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan PAD dengan pertumbuhan pengeluaran terdapat hubungan yang signifikan, yang berarti sesuai dengan hipotesa. Variabel ini memiliki pengaruh diamana setiap kenaikan 1 persen PAD hanya akan menyebabkan pengeluaran pemerintah pada masing-masing daerah bertambah sebesar 1,4 persen. Variabel


(55)

Dana Perimbangan mempunyai tanda parameter positif yang berarti sesuai dengan hipotesa. Kenaikan 1 persen dana perimbangan yang diberikan pemerintah pusat pada pemerintah daerah kota/kabupaten Jawa Tengah akan menyebabkan kenaikan pengeluaran pemerintah di masing-masing daerah sebesar 0,9 persen. Dana perimbangan secara signifikan berpengaruh terhadap variabel pengeluaran pemerintah di kota/kabupaten Jawa Tengah, sehingga dapat disimpulkan bahwa dana perimbangan mampu mempengaruhi pengeluaran pemerintah masing-masing daerah secara positif.

Hasugian (2006), hasil penelitiannya mengenai Pengaruh Otonomi terhadap Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota di Jawa Barat dengan menggunakan data panel dapat disimpulkan bahwa kondisi kinerja keuangan yang ditunjukkan dengan tingkat kemandirian lebih baik sebelum berlakunya desentralisasi fiskal. Hasil penelitian menggunakan analisis regresi dengan metode panel menunjukkan bahwa setiap peningkatan transfer akan berpengaruh negatif dalam penerimaan PAD. Demikian juga dengan pemberlakuan desentralisasi pada variabel dummy

menunjukkan nilai signifikan dan negatif terhadap penerimaan PAD yang artinya penerimaan rasio PAD lebih kecil terhadap penerimaan total lebih kecil daripada sebelum pelaksanaan desentralisasi.

Maimunah (2006), dalam penelitiannya mengenai ”Flypaper Effect pada DAU dan PAD terhadap Belanja Daerah Kabupaten/Kota di Pulau Sumatra”. Hasil penelitiannya dapat disimpulkan: Pertama, besarnya nilai DAU dan PAD mempengaruhi besarnya nilai Belanja daerah (pengaruh positif). Kedua, telah terjadi flypaper effect pada Belanja Daerah pada kabupaten/kota di Sumatera.


(56)

Ketiga, pengaruh flypaper effect dalam memprediksi Belanja Daerah periode ke depan. Keempat, tidak terdapat perbedaan terjadinya flypaper effect baik pada daerah yang PAD-nya rendah maupun daerah yang PAD-nya tinggi di kabupaten/kota pulau Sumatera. Kelima, tidak terjadiflypaper effectpada belanja daerah bidang Pendidikan, tetapi terjadiflypaper effectpada belanja daerah bidang kesehatan dan bidang Pekerjaan Umum.

Kuncoro (2007), dalam penelitiannya mengenai Fenomena Flypaper Effect pada Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota di Indonesia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pelaksanaan transfer diikuti dengan upaya daerah dalam meningkatkan penerimaan PAD yang lebih tinggi. Penggalian PAD yang didasarkan faktor inkremental seperti peningkatan tarif pajak akan berdampak negatif pada perekonomian daerah. Peningkatan alokasi transfer menunjukkan terjadinya peningkatan belanja yang lebih tinggi dari penerimaan transfer, terutama dalam belanja operasional. Respon yang berlebihan dari pemerintah daerah dalam merespon perubahan alokasi transfer ini dikenal dengan fenomena Flypaper Effect. Sikap ini dalam jangka waktu lama akan berakibat memperburuknya pembangunan daerah karena tingkat persaingan daerah semakin meningkat.

2.2.2. Analisa Peta Kemampuan Keuangan Daerah.

Dedy (2008), hasil penelitiannya mengenai peta kemampuan keuangan daerah pada periode sebelum otonomi 1999-2000 Provinsi Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Tengah menempati Kuadran III.


(57)

Hal ini mengindikasikan bahwa peta kemampuan keuangan Jawa Tengah berada pada kondisi kurang ideal dengan tingkat share PAD tinggi dan growth PAD rendah sehingga memiliki kemampuan kecil dalam mengembangkan potensi keuangannya. Selain itu dari sisi IKK (Indeks Kemampuan Keuangan) dari 27 Provinsi yang diteliti menunjukkan Jawa Tengah berada pada posisi IKK yang tinggi sehingga berpeluang dalam menciptakan sumber-sumber PAD lainnya ditandai dengan tingginya kemampuan sumberdaya yang dimiliki.


(58)

2.3. Kerangka Pemikiran

Gambar 2.7. Diagram Kerangka Pemikiran Operasional Keterangan : Alur Pemikiran =

Berhubungan =

2.4. Hipotesis Penelitian

1. Semakin tinggi Pajak Daerah (TAX), Retribusi Daerah (RET) semakin tinggi Kapasitas Fiskal Daerah (KF), PAD akan semakin meningkat.

Desentralisasi UU No. 22 tahun 1999 dan

UU No.32 tahun 2004

Perubahan Alokasi Transfer (Fiscal Gap) UU No.25 Tahun 1999 dan UU No. 33 tahun

2004

Faktor-faktor yang mampengaruhi

Pengeluaran Daerah

Flypaper Effect? Upaya Pengumpulan

PAD

Implikasi Kebijakan

IKF Kabupaten dan Kota


(59)

2. Pendapatan perkapita dan populasi berpengaruh positif terhadap PAD dan pengeluaran daerah (hukum Wagner).

3. Semakin tinggi alokasi transfer (Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi) dan PAD, maka pengeluaran daerah akan semakin tinggi.

4. Flypaper Effect terjadi apabila transfer memberi pengaruh signifikan pada Kinerja Keuangan daerah.


(60)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah panel data (pooled data) yang meliputi Kabupaten/Kota yang berada di Provinsi Jawa Tengah dengan menggunakan data sekunder, yaitu data realiasi APBD, PDRB sektor-sektor dalam perekonomian kabupaten dan kota yang berada di Provinsi Jawa Tengah atas dasar harga konstan 1993 dan 2000 dengan periode penelitian tahun 1995 sampai tahun 2006. Data diperoleh dari BPS Pusat Jakarta dan Departemen Keuangan.

3.2. Metode Analisis 3.2.1. Metode Kuadran

Metode ini digunakan untuk melihat kondisi kemampuan keuangan daerah. Hal ini dilakukan dengan melihat dari kondisi kinerja PAD melaluishare,

growth dan elastisitas. Share merupakan rasio dari PAD terhadap pengeluaran daerah. Rasio ini digunakan untuk melihat kemampuan PAD dalam membiayai anggaran rutin atau operasional dan anggaran pembangunan atau modal suatu daerah. Selain itugrowthadalah pertumbuhan PAD tahun i dari tahun i-1.

Peta kemampuan keuangan daerah dapat dilihat dari nilai share dan

growth kabupaten/kota Jawa tengah terhadap nilai share dan growth provinsi. Kondisi keuangan daerah disajikan dalam metode kuadran berdasarkan tingkat kemampuan keuangan provinsi.


(61)

1. Share

Share adalah persentase rasio antara penerimaan fiskal dengan belanja daerah. Share merupakan cerminan kemampuan fiskal dalam membiayai anggaran belanja daerah

Share BO =

t t

BO TAXRET

Share BM =

t t

BM TAXRET

Keterangan :

TAXRET = Penerimaan fiskal daerah = Pajak + Retribusi (Juta Rupiah) BO = Belanja Operasional (Juta Rupiah)

BM = Belanja Modal (Juta Rupiah) t = tahun 2006

2. Growth

Growth fiskal daerah adalah tingkat perubahan fiskal dari tahun 1995 ke tahun 2006 yang menggambarkan kondisi pertumbuhan fiskal dari pelaksanaan desentralisasi. Pertumbuhan fiskal merupakan cerminan peningkatan kapasitas potensial fiskal suatu daerah.

GrowthFiskal =

t t t

TAXRET TAXRET

TAXRET − −1

t = tahun 2006

t-1 = tahun sebelumnya (tahun 1995) 3. Elastisitas

Elastisitas adalah persentase perubahan fiskal terhadap pertumbuhan perekonomian suatu daerah. Elastisitas mencerminkan perubahan kapasitas fiskal


(62)

dari tahun dasar terhadap tahun berikutnya serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan perekonomian.

Elastisitas =

TAXRET PDRB X

∆ ∆ ∂

PDRB TAXRET

Keterangan:

TAXRET = Perubahan penerimaan pajak dan retribusi tahun 1995 dan 2006 (persen)

PDRB = Perubahan penerimaan PDRB tahun 1995 dan 2006 (persen) TAXRET = Penerimaan rata-rata fiskal daerah (tahun 1995 dan 2006) PDRB = Penerimaan rata-rata PDRB (tahun 1995 dan 2006)

Tabel 3.1. Status Kemampuan Keuangan Berdasarkan Metode Kuadran. Kuadran Kondisi

I Kondisi ideal. Nilai share dan growth tinggi. PAD memiliki peran besar dalam anggaran daerahnya sehingga daerah memiliki kemampuan mengembangkan potensi lokal.

II Kondisi belum ideal. Nilai share rendah dan growth tinggi. Daerah memiliki peluanga mengembangkan potensi lokalnya sehingga daerah berpeluang meningkatkan share PAD.

III Kodisi belum ideal. Share PAD tinggi dan growth rendah. Daerah memiliki peluang kecil dalam meningkatkan PADnya karena tingkat pertumbuhan PAD rendah.

IV Kondisi paling buruk. Sharedan growth PAD rendah. Daerah belum memiliki kemampuan mengembangkan potensi lokalnya.

Sumber : Bappenas dalam Dedy (2008)

3.2.2. Metode Indeks Kemampuan Fiskal

Indeks kemamapuan Fiskal (IKF) merupakan suaru ukuran untuk melihat peringkat secara umum pertumbuhan kemampuan fiskal suatu daerah. Indeks kemampuan fiskal adalah rata-rata penjumlahan dari indeks pertumbuhan


(63)

(growth), indeksshare dan indeks elastisitas. Nilai indeks dari ketiga komponen didapatkan dari nilai maksimum dan minimum dari masing-masing komponen.

Indeks X Growth1995-2006=

minimum) X

Nilai -maksimum X

(Nilai

minimum) X

Nilai pengukuran hasil

X Nilai

( −

Indeks X growth 1995-2006= Indeks Xshare2006= Indeks X elastisitas1995-2006 XG1995-2006 = XS1995-2006= XE1995-2006

IKF1995-2006 =

3 E G

S X X

X + +

IKF = Indeks Kapasitas Fiskal

3.2.3. Pool Least Square

Model regresi dengan data panel dapat memiliki residual dengan tiga kemungkinan yaitu residual time series, cross section maupun gabungan keduanya. Metode yang dapat digunakan untuk mengestimasi model regresi panel adalah metodeFixed Effect danRandom Effect.

1. Metode Fixed Effect

Teknik model ini adalah teknik mengestimasi data panel dengan menggunakan dummy untuk melihat perbedaan intersep. Fixed Effect didasarkan adanya perbedaan intersep antar variabel, namun intersepnya sama antar waktu. Untuk mengestimasi Fixed Effect dimana intersep berbeda antar variabel digunakan metode teknik variabel dummy untuk menjelaskan intersep. Model estimasi ini disebut dengan teknik Least Square Dummy Variabel (LSDV). Model dapat dituliskan dalam persamaan sebagai berikut :


(64)

dimana D1i = 1 untuk variabel 1 = 0 untuk variabel lainnya

D2i = 1 untuk variabel 2 = 0 untuk variabel lainnya D3i= 1 untuk variabel 3 = 0 untuk variabel lainnya 2. Model Random Effect

Model random effect memiliki ketidakpastian model dimana variabel residual yang mungkin saling berhubungan antar waktu dan antar individu.

Random effect diasumsikan setiap variabel memiliki perbedaan intersep. Model random dituliskan dalam model sebagai berikut:

ln Yit = 0 + 1 ln X1it+ 2 ln X2it + eit

Dimana 0tidak tetap tetapi bersifat random sehingga dapat dituliskan dalam persamaan sebagai berikut:

0i = 0+ t dimana: i =1,...n

0 adalah parameter yang tidak diketahui yang menunjukkan rata-rata intersep populasi dan adalah reseidual yang bersifat random yang menjelaskan adanya perbedaan perilaku variabel secara individu.

Yit = 0 + 1 ln X1it+ 2 ln X2it + vit Dimana, Vit = eit + t

Random effect residual terdiri dari dua komponen yaitu residual secara menyeluruh eit, yaitu kombinasitime series dancross section dan residual secara individu t, berbeda-beda antar individu tapi tetap antar waktu. Adanya korelasi


(65)

antara residual didalam persamaan maka metode OLS tidak bisa digunakan untuk mendapatkan estimasi yang efisien. Metode yang tepat untuk mengestimasi modelrandom effect adalahGeneralized Least Square (GLS).

3.2.4. Pengujian Model

Data panel dapat diestimasi dengan tiga teknik, yaitu model OLS (common), model Fixed Effect dan model Random Effect. Pengujian yang digunakan dalam mengestimasi model terdiri dari, pertama uji statistik F digunakan untuk memilih antara metode OLS tanpa variabel dummy atau Fixed Effect. Kedua, uji Langrange Multiplier (LM) digunakan untuk memilih antara OLS tanpa variabel dummy atau Random Effect. Terakhir, untuk memilih antara

Fixed EffectatauRandom Effectdigunakan uji yang dikemukakan oleh Hausman. 1. Uji F atau Uji Chow

Pemilihan model yang baik, dapat diketahui dengan menggunakan

restricted F-test. Persamaan yang diestimasi dengan OLS adalah persamaan

restricted sedangkan yang diestimasi dengan LSDV adalahunrestricted (Gujarati, 2003). PLS adalahrestricted model dimana menerapkan intersep yang sama untuk seluruh individu. Pada dasarnya asumsi bahwa setiap unit cross section memiliki perilaku yang sama cenderung tidak realistis karena dimungkinkan setiap unit

cross section memiliki perilaku yang berbeda. Untuk mengetahuinya dengan menggunakan restricted F-test untuk menguji hipotesis:

H0: Model PLS (Restricted)


(1)

Lampiran 11. Parameter Estimasi Pendapatan Asli Daerah Dependent Variable: LOG(PAD?)

Method: Pooled EGLS (Cross-section weights) Date: 12/27/08 Time: 10:19

Sample: 1995 2006 Included observations: 12 Cross-sections included: 35

Total pool (balanced) observations: 420

Linear estimation after one-step weighting matrix

White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 9.003827 1.637286 5.499238 0.0000

LOG(BH?) 0.057799 0.028505 2.027709 0.0433*

LOG(DA?) 0.064964 0.024160 2.688845 0.0075*

TAXR? 0.072330 0.023548 3.071666 0.0023*

LOG(Y?) -0.002865 0.008734 -0.328043 0.7431

LOG(POPULASI?) -0.796734 0.117301 -6.792242 0.0000* LOG(LPAD?) 0.508392 0.027907 18.21754 0.0000*

DODF? 0.518609 0.057272 9.055118 0.0000*

Fixed Effects (Cross)

_1—C 0.515221

_2—C 0.463999

_3—C -0.091072

_4—C -0.050919

_5—C 0.115560

_6—C -0.128791

_7—C -0.180762

_8—C 0.153772

_9—C 0.096636

_10—C 0.113677

_11—C -0.095524

_12—C 0.124113

_13—C 0.001748

_14—C 0.093414

_15—C 0.268132

_16—C -0.052386

_17—C -0.307955

_18—C 0.319669

_19—C 0.119521

_20—C 0.214098

_21—C -0.128460

_22—C 0.146929


(2)

Lampiran 11. Parameter Estimasi Pendapatan Asli Daerah

_24—C 0.162397

_25—C -0.253799

_26—C -0.036157

_27—C 0.168219

_28—C 0.289153

_29—C 0.252466

_30—C -0.934240

_31—C 0.163252

_32—C -0.890132

_33—C 0.942471

_34—C -0.852273

_35—C -0.523349

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics

R-squared 0.996687 Mean dependent var -5.190132 Adjusted R-squared 0.996328 S.D. dependent var 2.628362 S.E. of regression 0.159267 Sum squared resid 9.588366 F-statistic 2774.002 Durbin-Watson stat 2.118696 Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.971625 Mean dependent var -3.967071 Sum squared resid 9.984889 Durbin-Watson stat 2.075895


(3)

Dependent Variable: LOG(BO?)

Method: Pooled EGLS (Cross-section weights) Date: 12/27/08 Time: 10:31

Sample: 1995 2006 Included observations: 12 Cross-sections included: 35

Total pool (balanced) observations: 420

Linear estimation after one-step weighting matrix

White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 2.595810 4.050808 0.640813 0.5220

LOG(BH?) 0.050482 0.047968 1.052404 0.2933

LOG(DA?) 0.580550 0.193738 2.996570 0.0029*

TAXR? 0.189129 0.084202 2.246121 0.0253*

LOG(Y?) -0.023693 0.021385 -1.107921 0.2686

LOG(POPULASI?) -0.186255 0.325451 -0.572298 0.5675 LOG(LBO?) 0.385689 0.127539 3.024082 0.0027*

DODF? 0.062258 0.249896 0.249135 0.8034

Fixed Effects (Cross)

_1—C 0.169527

_2—C 0.036491

_3—C -0.083883

_4—C 0.343170

_5—C 0.045324

_6—C 0.009309

_7—C -0.098639

_8—C 0.044128

_9—C 0.006031

_10—C 0.171831

_11—C 0.056988

_12—C 0.013755

_13—C 0.058674

_14—C -0.071291

_15—C 0.189789

_16—C -0.057778 _17—C -0.091003

_18—C 0.102103

_19—C 0.198998

_20—C -0.025163

_21—C 0.091218

_22—C -0.038573 _23—C -0.034153


(4)

Lampiran 12. Parameter Estimasi Pengeluaran Operasional

_25—C -0.045351

_26—C 0.069401

_27—C 0.026932

_28—C 0.132354

_29—C 0.135364

_30—C -0.458467

_31—C -0.054486

_32—C -0.472929

_33—C 0.281710

_34—C -0.348794

_35—C -0.310663

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics

R-squared 0.977273 Mean dependent var -2.433569 Adjusted R-squared 0.974808 S.D. dependent var 1.557173 S.E. of regression 0.247156 Sum squared resid 23.09063 F-statistic 396.4383 Durbin-Watson stat 2.012102 Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.944099 Mean dependent var -2.139597 Sum squared resid 36.29682 Durbin-Watson stat 2.109980


(5)

Dependent Variable: LOG(BM?)

Method: Pooled EGLS (Cross-section weights) Date: 12/27/08 Time: 10:28

Sample: 1995 2006 Included observations: 12 Cross-sections included: 35

Total pool (balanced) observations: 420

Linear estimation after one-step weighting matrix

White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 11.49683 3.081442 3.730989 0.0002

LOG(BH?) -0.103361 0.058655 -1.762185 0.0788

LOG(DA?) 0.163170 0.055448 2.942778 0.0035*

TAXR? 0.028705 0.063510 0.451975 0.6515

LOG(Y?) -0.060758 0.015594 -3.896360 0.0001*

LOG(POPULASI?) -1.053020 0.238177 -4.421164 0.0000*

LOG(LBM?) 0.286723 0.058218 4.924964 0.0000*

DODF? 0.822879 0.132460 6.212282 0.0000*

Fixed Effects (Cross)

_1—C 0.720439

_2—C 0.309340

_3—C 0.033070

_4—C 0.103551

_5—C 0.231720

_6—C -0.247280

_7—C -0.009163

_8—C 0.042157

_9—C 0.076168

_10—C 0.113914

_11—C -0.060431

_12—C 0.226763

_13—C -0.010840

_14—C 0.090166

_15—C 0.298372

_16—C 0.051889

_17—C -0.409804

_18—C 0.166562

_19—C -0.067335

_20—C 0.267545

_21—C -0.342889

_22—C 0.074359

_23—C -0.068160

_24—C 0.388933


(6)

_25—C -0.172774

_26—C -0.130804

_27—C 0.268720

_28—C 0.500437

_29—C 0.321276

_30—C -1.203840

_31—C -0.206194

_32—C -1.056629

_33—C 0.783044

_34—C -0.597743

_35—C -0.484538

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics

R-squared 0.954220 Mean dependent var -4.053901 Adjusted R-squared 0.949254 S.D. dependent var 1.751291 S.E. of regression 0.394510 Sum squared resid 58.83120 F-statistic 192.1672 Durbin-Watson stat 2.105451 Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.796907 Mean dependent var -3.269854 Sum squared resid 59.55239 Durbin-Watson stat 2.182814