Analisis Kemampuan Fiskal Daerah

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Analisis Kemampuan Fiskal Daerah

Kemampuan fiskal suatu daerah sebagai cerminan kemandirian dan kemampuan daerah dalam menggali potensi fiskalnya. Kinerja Fiskal suatu daerah terdiri dari pajak dan retribusi merupakan sumber potensial bagi pendapatan daerah dalam meningkatkan kemandiriannya. Kemampuan daerah dapat dilihat dari kontribusinya terhadap pengeluaran daerah share, pertumbuhan fiskal growth dan elstisitas dari potensi fiskal terhadap pertumbuhan pendapatan suatu daerah. 1. Share Kemampuan daerah dalam membiayai anggaran daerahnya dilihat dari kontribusi PAD terhadap anggaran daerahnya. Pajak dan retribusi sebagai sumber utama perolehan daerah yang berasal dari sumber potensial daerahnya memiliki peranan penting dalam perolehan PAD. Semua kabupatenkota secara rata-rata belum mampu membiayai anggaran daerah dari potensi fiskalnya. Persentase fiskal terhadap pengeluaran operasional lebih kecil dibandingkan persentase fiskal terhadap pengeluaran modal, hal ini menunjukkan bahwa anggaran dana keseluruhan masih didominasi pada belanja operasional sehingga perolehan fiskal hanya sebagian kecil dalam membiayai belanja operasional. Selain itu dari kondisi kinerja fiskal terhadap pengeluaran operasional maupun pengeluaran modal menunjukkan peningkatan dari tahun 1995 ke tahun 2006 yang berarti bahwa berlangsungnya pelaksanaan desentralisasi memberikan respon yang positif terhadap belanja modal maupun operasional Gambar 5.1. Secara umum pelaksanaan desentralisasi berakibat pada meningkatnya pengeluaran operasional sehingga share fiskal sebagai sumber utama bagi daerah sebagai alokasi anggaran belum mampu sepenuhnya membiayai belanja daerahnya. Kota Semarang pada Gambar 5.1 menunjukkan kontribusi tertinggi pertumbuhannya pada pengeluaran modal, yang dapat diartikan bahwa dengan berlangsungnya desentralisasi pemerintahan daerah kota Semarang merespon positif dengan meningkatkan pelayanan publiknya. Keterangan : 1. Cilacap 2. Banyumas 3. Purbalingga 4. Banjar Negara 5.Kebumen 6. Purworejo 7.Wonosobo 8. Magelang 9. Boyolali 10. Klaten 11.Sukoharjo 12.Wonogiri 13. KR.Anyar 14.Sragen 15.Grobogan 16.Blora 17.Rembang 18. Pati 19. Kudus 20.Jepara 21.Demak 22.Semarang 23.Temanggung 24. Kendal 25. Batang 26. Pekalongan 27. Pemalang 28. Tegal 29. Brebes 30. Magelang 31. Surakarta 32. Salatiga 33. Semarang 34. Pekalongan 35.Tegal : Kota Sumber : Lampiran 5 Gambar 5.1. Persentase Penerimaan Fiskal terhadap Pengeluaran Daerah Jawa Tengah Tahun 1995 dan 2006 0.00 50.00 100.00 150.00 200.00 250.00 300.00 350.00 400.00 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 S H A R E W ILAYAH Share BM 2006 Share BM 1995 Share BO 2006 Share BO 1995 2. Growth Pertumbuhan kinerja fiskal daerah sebagai tolak ukur kemampuan daerah dalam menggali potensi fiskal daerahnya. Peningkatan pertumbuhan kemampuan fiskal daerah menunjukkan kemampuan daerah dalam menciptakan sumber- sumber pendapatan daerah sehingga memberi peluang bagi daerah dalam mendistribusikan pendapatannya melalui pencipataan lapangan pekerjaan. Sejalan dengan perkembangan perekonomian secara umum akan meningkatkan penerimaan daerah dalam alokasi anggarannya. Pelaksanaan desentralisasi diharapkan dapat menumbuhkan sikap kemandirian daerah dengan menggali sumber potensial yang ada di daerahnya. Pada Lampiran 7 menunjukkan bahwa penerimaan fiskal daerah mengalami peningkatan dari tahun 1995 ke tahun 2006, dengan tingkat pertumbuhan tertinggi adalah Purbalingga dan pertumbuhan terendah adalah Batang. Keterangan : : Kota 1. Cilacap 2. Banyumas 3. Purbalingga 4. Banjar Negara 5.Kebumen 6. Purworejo 7.Wonosobo 8. Magelang 9. Boyolali 10. Klaten 11.Sukoharjo 12.Wonogiri 13. KR.Anyar 14.Sragen 15.Grobogan 16.Blora 17.Rembang 18. Pati 19. Kudus 20.Jepara 21.Demak 22.Semarang 23.Temanggung 24. Kendal 25. Batang 26. Pekalongan 27. Pemalang 28. Tegal 29. Brebes 30. Magelang 31. Surakarta 32. Salatiga 33. Semarang 34. Pekalongan 35.Tegal Sumber : Lampiran 7,8 Gambar 5.2. Pertumbuhan Komponen Pendapatan Fiskal Daerah Jawa Tengah Tahun 1995 dan 2006 0.00 500.00 1000.00 1500.00 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 G R W O T H W ILAYAH grow t h 3. Elastisitas Elastisitas sebagai tolak ukur kemampuan kinerja fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Pada grafik secara rata-rata menunjukkan kinerja fiskal mampu meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang lebih baik. Kinerja fiskal daerah pada daerah Propinsi menunjukkan pada elastisitas 1,31, hal ini dapat diartikan bahwa pelaksanaan kebijakan desentralisasi memberikan respon positif terhadap pertumbuhan perekonomian sebesar 1,31 persen pada setiap peningkatan fiskal sebesar 1 persen Lampiran 6. Selain itu pelaksanaan kebijakan ini juga menunjukkan perubahan kearah pertumbuhan perekonomian daerah yang lebih baik dari sebelumnya, hal ini ditunjukkan hanya ada 4 wilayah yang memiliki tingkat elastisitas lebih kecil dari satu, dimana tingkat elastisitas tertinggi adalah Purbalingga dan elastisitas terendah adalah Batang dan Pekalongan Gambar 5.3. Dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan desentralisasi dengan fiskal sebagai salah satu mediasinya mampu meningkatkan kapasitas daerah dalam menciptakan sumber-sumber pertumbuhan perekonomian. Keterangan : : Kota 1. Cilacap 2. Banyumas 3. Purbalingga 4.Banjar NGR 5.Kebumen 6. Purworejo 7.Wonosobo 8. Magelang 9. Boyolali 10. Klaten 11.Sukoharjo 12.Wonogiri 13. KR.Anyar 14.Sragen 15.Grobogan 16.Blora 17.Rembang 18. Pati 19. Kudus 20.Jepara 21.Demak 22.Semarang 23.Temanggung 24. Kendal 25. Batang 26.Pekalongan 27. Pemalang 28. Tegal 29. Brebes 30.Magelang 31. Surakarta 32. Salatiga 33. Semarang 34. Pekalongan 35.Tegal Sumber : Lampiran 6 Gambar 5.3. Perkembangan Elastisitas Pertumbuhan Fiskal terhadap Pertumbuhan Perekonomian Tahun 1995 dan 2006 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 E L A S T IS IT A S W ILAYAH ELASTISITAS 5.2. Analisis Kemandirian Fiskal Daerah Jawa Tengah Metode Kuadran 5.2.1. Analisis Kemandirian Fiskal terhadap Pengeluaran Modal Daerah Jawa Tengah Metode Kuadran Kemandirian fiskal terhadap pengeluaran modal merupakan cerminan kemampuan pendapatan fiskal dalam membiayai pengeluaran modal untuk kepentingan pemmbangunan dan peningkatan pelayanan kualitas publik. Dimana alokasi fiskal ini mampu memberikan multiplier effect terhadap perolehan fiskal daerah dengan adanya pembangunan pada fasilitas publik yang penting bagi sinergitas usaha masyarakat daerah yang bersangkutan. Pelaksanaan kebijakan desentralisasi ini diharapkan daerah dapat dengan mudah melakukan pengelolaan terhadap SDM Sumberdaya Manusia dan kekayaan alam yang ada dengan adanya akses kemudahan dari pemerintah dan peraturan yang lebih berdasar pada kepentingan setempat. Pada metode kuadran alokasi kinerja fiskal kabupatenkota Jawa Tengah terhadap pengeluaran modal pada tahun 1995 dan 2006 dapat dilihat bahwa rata- rata kondisi keuangan terdistribusi pada kuadran IV sebesar 74 persen 26 wilayah dari rata-rata pertumbuhan rasio kinerja fiskal Provinsi sebesar 678,80 persen dan kontribusi fiskal provinsi sebesar 81 persen terhadap belanja modal. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata kabupatenkota Jawa Tengah belum memiliki kemampuan fiskal yang kuat dalam melakukan pembiayaan pembangunan dan perbaikan kualitas publik. Fenomena ini ditandai pada kenyataan bahwa pelaksanaan desentralisasi berimplikasi pada tingginya tingkat ketergantungan wilayah dan masih tingginya alokasi anggaran pada pengeluaran administrasi pemerintahan masih berpihak pada dominasi kepentingan penguasa. Pada Gambar 5.4 menunjukkan bahwa hanya ada 4 wilayah yang berada pada kuadran II, hal ini menunjukkan bahwa keempat wilayah ini berada pada kondisi sedang yang memiliki pertumbuhan fiskal tinggi dan kontribusi fiskal rendah terhadap pengeluaran modalnya. Keempat wilayah ini memiliki peluang dalam meningkatkan fiskal yang bersumber pada pengeluaran modalnya. Keterangan : 1. Cilacap 2. Banyumas 3. Purbalingga 4. Banjar Negara 5.Kebumen 6. Purworejo 7.Wonosobo 8. Magelang 9. Boyolali 10. Klaten 11.Sukoharjo 12.Wonogiri 13. KR.Anyar 14.Sragen 15.Grobogan 16.Blora 17.Rembang 18. Pati 19. Kudus 20.Jepara 21.Demak 22.Semarang 23.Temanggung 24. Kendal 25. Batang 26. Pekalongan 27. Pemalang 28. Tegal 29. Brebes 30. Magelang 31. Surakarta 32. Salatiga 33. Semarang 34. Pekalongan 35.Tegal : Kota Sumber : Lampiran 7,8,9 Gambar 5.4. Pemetaan Fiskal KabupatenKota Jawa Tengah terhadap Pengeluaran Modal Tahun 1995 dan 2006 1 2 3 4 32 6 5 8 9 11 12 13 14 15 16 17 18 10 20 21 22 15 24 25 26 27 28 29 30 367 33 377 35 200 400 600 800 1000 1200 1400 5 10 15 20 25 SHARE 86 G R O W T H 678,80 SHARE 86 G R O W T H 678,80 KUADRAN II KUADRAN IV KUADRAN III KUADRAN I 5.2.2. Analisis Kemandirian Fiskal terhadap Pengeluaran Operasional Daerah Jawa Tengah Metode Kuadran Pelaksanaan desentralisasi ditandai dengan meningkatnya kebutuhan anggaran daerah dalam anggaran belanja opersionalnya karena daerah harus melakukan perubahan struktur pemerintahan secara mendasar dalam menentukan kinerja yang tepat bagi suksesnya kinerja pembangunan yang ada di daerahnya. Pengeluaran operasional adalah pengeluaran pemerintah untuk keperluan administrasi pemerintahan, seperti belanja pegawai dan lain-lainnya. Kemandirian fiskal tehadap pengeluaran operasional merupakan hal penting bagi keberlangsungan kinerja pemerintahan daerah setempat. Kontribusi fiskal terhadap pengeluaran operasional dapat memberikan multiplier effect terhadap kinerja pengeluaran operasional ditandai dengan meningkatnya penerimaan pemerintah dari fiskal untuk kepentingan pengeluaran operasional, hal ini menunjukkan dapat terjadinya peningkatan pelayanan publik dalam hal administratif. Pelaksanaan desentralisasi diharapakan daerah dapat secara mandiri dalam mencari sumber PAD Pendapatan Asli Daerah. Namun permasalahan mendasar dari pelaksanaan desentralisasi ini adalah adanya dominasi kepentingan penguasa tingginya korupsi sehingga alokasi anggaran yang seharusnya diberikan kepada publik tidak sampai ketangan masyarakat. Pada metode kuadran alokasi kinerja fiskal kabupatenkota Jawa Tengah terhadap pengeluaran operasional pada tahun 1995 dan 2006 dapat dilihat bahwa rata-rata kondisi keuangan pelaksanaan desentralisi terdistribusi pada kuadran IV sebesar 74 persen 26 wilayah dari rata-rata pertumbuhan rasio kinerja fiskal Provinsi sebesar 678,80 persen dan kontribusi fiskal provinsi sebesar 191 terhadap belanja operasional. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata kabupatenkota Jawa Tengah belum memiliki kemampuan fiskal yang kuat dalam melakukan pembiayaan administrasi pemerintahan untuk kepentingan publiknya. Fenomena ini ditandai pada kenyataan bahwa pelaksanaan desentralisasi berimplikasi pada tingginya tingkat ketergantungan wilayah dan masih tingginya alokasi anggaran pada pengeluaran administrasi pemerintahan masih berpihak pada dominasi kepentingan penguasa. Pada Gambar 5.5 menunjukkan bahwa hanya ada 8 wilayah yang berada pada kuadran II, hal ini menunjukkan bahwa keempat wilayah ini berada pada kondisi sedang yang memiliki pertumbuhan fiskal tinggi dan kontribusi fiskal rendah terhadap pengeluaran modalnya. Kedelapan wilayah ini memiliki peluang dalam meningkatkan fiskal yang bersumber pada pengeluaran operasionalnya ditandai dengan tingginya pertumbuhan fiskal terhadap pertumbuhan fiskal propinsi. Selain itu pada Gambar 5.5 juga menunjukkan bahwa kota Semarang berada pada kondisi ideal yaitu kontribusi dan pertumbuhan fiskal berada pada kondisi paling tinggi dari kontribusi dan pertumbuhan Propinsi. Hal ini menunjukkan bahwa kota Semarang memiliki kemampuan tinggi dalam melakukan pembiayaan administrasi pemerintahan dari sumber fiskal daerahnya. Selain itu Kota Semarang juga memiliki potensi yang tinggi dalam meningkatkan kapasitas fiskal daerahnya hal ini ditunjukkan dengan tingginya pertumbuhan fiskal. Kota Semarang memiliki tingkat fiskal yang tinggi terhadap pengeluaran operasionalnya, hal ini dapat dilihat bahwa Kota Semarang sebagai pusat administrasi pemerintahan Jawa Tengah sehingga memiliki tingkat kebutuhan administrasi pemerintahan Jawa Tengah sehingga memiliki tingkat kebutuhan belanja operasional yang tinggi untuk meningkatkan kapasitas pelayanan publiknya, dengan tingginya mobilitas penduduk. Keterangan : : Kota 1. Cilacap 2. Banyumas 3. Purbalingga 4. Banjar Negara 5.Kebumen 6. Purworejo 7.Wonosobo 8. Magelang 9. Boyolali 10. Klaten 11.Sukoharjo 12.Wonogiri 13. KR.Anyar 14.Sragen 15.Grobogan 16.Blora 17.Rembang 18. Pati 19. Kudus 20.Jepara 21.Demak 22.Semarang 23.Temanggung 24. Kendal 25. Batang 26. Pekalongan 27. Pemalang 28. Tegal 29. Brebes 30. Magelang 31. Surakarta 32. Salatiga 33. Semarang 34. Pekalongan 35.Tegal Sumber : Lampiran 7,8,9 Gambar 5.5. Pemetaan Fiskal KabupatenKota Jawa Tengah terhadap Pengeluaran Operasional Tahun 1995 dan 2006 2 3 21 5 6 7 8 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 25 25 226 13 28 29 30 31 32 33 34 27 200 400 600 800 1000 1200 1400 50 100 150 200 250 KUADRAN II KUADRAN I KUADRAN III KUADRAN IV SHARE 191 SHARE 191 G R O W T H 678,80 G R O W T H 678,80

5.3. Metode Indeks