Hasil Estimasi Parameter Model Pengeluaran Modal

Variabel lag belanja operasional signifikan secara positif yang berarti dalam penetapan anggaran tahun berikutnya berdasar pada pengeluaran tahun sebelumnya. Selain itu juga pelaksanaan otonomi telah memberikan pengaruh yang positif terhadap penentuan anggaran belanja operasional tahun berikutnya. Dummy desentralisasi tidak berpengaruh signifikan pada kinerja pengeluaran operasional. Hal ini dikondisikan pada dominasi pengeluaran operasional pada masa sebelum dan sesudah pelaksanaan desentralisasi sehingga penerapan kebijakan desentralisasi tidak disikapi pemerintah dengan meningkatkan pengeluaran operasionalnya.

5.8. Hasil Estimasi Parameter Model Pengeluaran Modal

Model dalam pengeluaran modal dalam penelitian ini meliputi pengeluaran pemerintah untuk kebutuhan pembangunan daerah dalam penyediaan sarana dan prasana kebutuhan masyarakat yang berguna bagi berlangsungan kegiatan perekonomian daerah setempat. Penyediaan sarana prasarana ini diharapkan masyarakat ikut berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan daerah dalam hal memanfaatkan fasilitas pemerintah dalam proses menuju pembangunan berkelanjutan dengan ikut serta dalam mengelola sumberdaya wilayah yang ada. Pelaksanaan desentralisasi fiskal ditandai dengan upaya daerah dalam menggali sumber fiskal yang ada didaerahnya. Daerah yang kreatif dapat meningkatkan sumber pendapatannya sendiri, dan sebaliknya daerah yang kurang kreatif akan semakin jauh tertinggal dalam pembangunan. Upaya peningkatan PAD Pendapatan Asli Daerah memiliki pengaruh positif terhadap kinerja belanja modal pemerintah dalam menyediakan pelayanan fasilitas publik . Hasil estimasi output faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran operasional dengan menggunakan pembobotan cross section weight dan white cossection covariance menunjukkan nilai R- Squared 0,95 dalam model belanja modal. Hal ini dapat diartikan bahwa variabel-variabel dalam model dapat menjelaskan varaibel independennya sebesar 95 persen dan sisanya dijelaskan variabel lainnya diluar model. Tabel 5.6. Hasil Estimasi Output Faktor-faktor Yang Berpengaruh pada Pengeluaran Modal dengan Pembobotan Crossection Weight dan White crossection Covariace. Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 11,49683 3,081442 3,730989 0,0002 BH -0,103361 0,058655 -1,762185 0,0788 DA 0,163170 0,055448 2,942778 0,0035 TAXR 0,028705 0,063510 0,451975 0,6515 Y -1,053020 0,238177 -4,421164 0,0000 POPULASI -0,060758 0,015594 -3,896360 0,0001 LBO 0,286723 0,058218 4,924964 0,0000 DODF 0,822879 0,132460 6,212282 0,0000 Cross-section fixed dummy variables Weighted Statistics R-squared 0,954220 Mean dependent var -4,053901 Adjusted R-squared 0,949254 S.D. dependent var 1,751291 S.E. of regression 0,394510 Sum squared resid 58,83120 F-statistic 192,1672 Durbin-Watson stat 2,105451 ProbF-statistic 0,000000 Keterangan : : signifikan pada taraf nyata 5 Sumber : Lampiran 13 Model pada tabel 5.6 dapat dituliskan dalam bentuk: ln BM it = 11,50 + 0,16 ln DA it – 0,06 ln Populasi it - 1,05 ln Y it + 0,29 ln BM it-1 + 0,82 Dodf + it Hasil estimasi menunjukkan 5 variabel yang menunjukkan signifikansi terhadap kinerja pengeluaran modal. Hasil estimasi model persamaan pengeluaran modal dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Dana Alokasi berpengaruh signifikan dan positif artinya setiap peningkatan 1 juta rupiah perkapita dana alokasi akan meningkatkan BM sebesar 16 ribu rupiah perkapita. 2. Populasi berpengaruh signifikan dan negatif artinya setiap peningkatan populasi sebesar 1 juta rupiah perkapita akan menurunkan BM 60 ribu rupiah perkapita . 3. Pendapatan perkapita berpengaruh signifikan dan negatif artinya setiap peningkatan pendapatan perkapita sebesar 1 juta rupiah akan menurunkan penerimaan BM 105 ribu rupiah perkapita. 4. Lag BM berpengaruh signifikan dan positif artinya nilai PAD dipengaruhi tingkat PAD tahun sebelumnya sebesar 27 ribu rupiah perkapita. 5. Desentralisasi fiskal berpengaruh positif dalam penerimaan BM sebesar 0,82. Pengeluaran modal atau pengeluaran pembangunan adalah jenis pengeluaran pemerintah yang dialokasikan untuk kepentingan masyarakatnya. Pengeluaran modal dapat meliputi pembangunan sekolah, rumah sakit ataupun subsidi silang yang diberikan pemerintah dalam upaya mengendalikan harga pada barang privat ataupun publik sehingga seluruh lapisan masyarakat dapat menjangkaunya. Bagi hasil tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap pengeluaran modal karena masih memberikan kontribusi kecil dalam alokasi dana transfer kabupatenkota Jawa Tengah. Alokasi transfer ini tidak akan memberikan pengaruh signifikan pada alokasi pengeluaran pembangunan sektor publiknya. Dana Alokasi sebagai bagian dari unconditional grant yang penggunaannya berdasar kebebasan ataupun kebutuhan daerah berpengaruh signifikan dan positif terhadap kinerja pengeluaran modal. Peningkatan Dana alokasi 1 juta rupiah perkapita akan meningkatkan pengeluaran modal sebesar 170 ribu perkapita, cateris paribus. Hal ini mengindikasikan bahwa pengalokasian transfer pemerintah pusat disikapi pemerintah daerah untuk meningkatkan pengeluaran daerahnya. Fenomena ini dikenal dengan flypaper effect Haryo, 2007. Penerimaan tarif pajak lokal tidak memberikan pengaruh signifikan pada pengeluaran modal dikarenakan masih rendahnya tingkat pendapatan perkapita secara riil dan tingginya disparitas pendapatan antar masyarakat. Hal ini dikondisikan pada pelaksanaan desentralisasi yang berakibat pada penurunan kontribusi alokasi anggaran pada pengeluaran modal sehingga tidak dapat menopang kebutuhan masyarakat. Hal ini akhirnya berdampak pada penurunan pertumbuhan perekonomian. Berdasarkan Tabel 5.6 dapat disimpulkan bahwa kenaikan populasi sebesar 1 juta rupiah perkapita akan menurunkan pengeluaran modal perkapita sebesar 105 ribu rupiah perkapita, cateris paribus. Hal ini bertolak dari hipotesis yang telah ada dan peningkatan populasi seharusnya berhubungan positif dengan tingkat pengeluaran modal. Pengaruh negatif ini dapat dikondisikan pada aspek meningkatnya permasalahan dan kebutuhan masyarakat pada aspek pelayanan pemerintah sehingga dalam alokasi anggarannya tidak dapat memenuhi segala kebutuhan dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi masyarakat. Variabel lag signifikan secara positif yang berarti dalam penetapan anggaran tahun berikutnya berdasar pada pengeluaran tahun sebelumnya. Selain itu juga pelaksanaan otonomi telah memberikan pengaruh yang positif terhadap peningkatan kinerja pengeluaran modal daerah. Pelaksanaan kebijakan desentralisasi memberikan pengaruh yang positif terhadap pengeluaran modal pada kabupatenkota di Jawa Tengah sebesar 0,82. Artinya pelaksanaan desentralisasi diikuti dengan upaya pemerintah daerah dengan peningkatan pelayanan publiknya untuk pembangunan daerahnya. 5.9. Nilai Koefisien Intersep Pengaruh Variabel Transfer dan Variabel Lainnya terhadap Kinerja Keuangan Daerah Jawa Tengah Model panel data dengan pendekatan efek tetap dapat melihat perbedaan konstanta intersep masing-masing wilayah. Konstanta intersep dalam suatu hasil regresi menggambarkan komponen peubah terikat yang tidak dapat diterangkan oleh masing-masing peubah bebas yang digunakan dalam regresi tersebut. Berdasarkan Tabel 5.7 masing-masing kabupatenkota memiliki nilai konstanta intersep yang berbeda. Nilai tersebut menunjukkan jika model dalam kinerja keuangan tidak berpengaruh nyata, maka eksponen pareto tertinggi pada model PAD adalah Kota Semarang dan terendah adalah Kota Magelang. Pada model pengeluaran operasional eksponen pareto tertinggi adalah Kota Semarang dan terendah adalah Banjar Negara, sedangkan dalam model pengeluaran modal eksponen pareto tertinggi adalah Kota Semarang dan terendah adalah Kota Salatiga. Tabel 5.7. Fixed Effect Cross Pengaruh Transfer dan Variabel lainnya dalam Model Fixed Effects Crossid Effect PAD Effect BO Effect BM Cilacap 0,515221 0,169527 0,720439 Banyumas 0,463999 0,036491 0,309340 Pubalingga -0,091072 -0,083883 0,033070 Banjar NGR -0,050919 0,343170 0,103551 Kebumen 0,115560 0,045324 0,231720 Purworejo -0,128791 0,009309 -0,247280 Wonosobo -0,180762 -0,098639 -0,009163 Magelang 0,153772 0,044128 0,042157 Boyolali 0,096636 0,006031 0,076168 Klaten 0,113677 0,171831 0,113914 Sukoharjo -0,095524 0,056988 -0,060431 Wonogiri 0,124113 0,013755 0,226763 KR.Anyar 0,001748 0,058674 -0,010840 Sragen 0,093414 -0,071291 0,090166 Grobogan 0,268132 0,189789 0,298372 Blora -0,052386 -0,057778 0,051889 Rembang -0,307955 -0,091003 -0,409804 Pati 0,319669 0,102103 0,166562 Kudus 0,119521 0,198998 -0,067335 Jepara 0,214098 -0,025163 0,267545 Demak -0,128460 0,091218 -0,342889 Semarang 0,146929 -0,038573 0,074359 Temanggung -0,198630 -0,034153 -0,068160 Kendal 0,162397 0,008073 0,388933 Batang -0,253799 -0,045351 -0,172774 Pekalongan -0,036157 0,069401 -0,130804 Pemalang 0,168219 0,026932 0,268720 Tegal 0,289153 0,132354 0,500437 Brebes 0,252466 0,135364 0,321276 Magelang -0,934240 -0,458467 -1,203840 Surakarta 0,163252 -0,054486 -0,206194 Salatiga -0,890132 -0,472929 -1,056629 Semarang 0,942471 0,281710 0,783044 Pekalongan -0,852273 -0,348794 -0,597743 Tegal -0,523349 -0,310663 -0.484538 Sumber : Lampiran 9, 10 dan 11 : Kota ; Nilai maksimum dan nilai minimum

5.10. Implikasi Kebijakan