53
Perubahan air juga terlihat jelas, tidak ditemukan lagi air yang bersih nan jernih. Air telah menjadi air keruh yang berbau amis. Tumpukan enceng gondok
dipingir keramba membuat pendatang tidak nyaman. Namun ketidak nyaman pendatang sepertinya bukan masalah bagi penduduk sebab dari keramba ini
mereka menggantungkan harapan untuk hidup layak. Keadaan lingkungan yang mungkin tercemar tidak menjadi persoalan, yang penting adalah hasil panen
jutaan rupiah bagi petani ikan.
2.9.3 Profil Informan
Informan dalam penelitian ini adalah penduduk sekitar Haranggaol yang bermata pencaharian sebagai petani ikan dalam keramba jaring apung. Seluruh
petani ikan adalah informan lapangan bagi peneliti. Peneliti mendapat informasi dari para petani ikan yang berkumpul di sebuah warung kopi usai selesai dari
keramba, tidak dalam situasi yang formal sehingga membuat petani menjadi lebih nyaman dan terbuka dalam memberikan informasi. Menurut data yang diperoleh
peneliti dari Asosiasi petani keramba Haranggaol terdapat di 361kepala keluarga petani ikan. Jumlah tersebut tersebar di 4 lokasi besar yakni Desa Sigunggungan,
Tangga Batu, Haranggaol dan Purba Saribu. Jumlah petani yang paling banyak adalah di Haranggaol yakni sekitar 200 petani.
Peneliti tidak menghiraukan tempat tinggal para petani selama mereka masih tinggal di Desa Haranggaol, peneliti menganggap informasi yang diperoleh
adalah data lapangan. Meskipun demikian peneliti memfokuskan wawancara kepada beberapa petani ikan dengan kriteria:
Universitas Sumatera Utara
54
1. Lamanya menjadi petani antara empat sampai lima belas tahun.
2. Jumlah keramba yang dimiliki yakni antara 20-50 unit.
3. Anak Sopo.
4. Mantan pemilik keramba.
Orang-orang dengan kriteria ini, peneliti anggap mampu memberikan informasi yang jelas dalam proses pengelolaan keramba jaring apung yang telah dilakukan
oleh petani selama ini. Informasi tersebut kemudian penulis analisis sesuai keperluan. Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah:
1. Nama
: Janes
Sitanggang Umur
: 56
Tahun Jabatan
: Kepala Desa Haranggaol dahulu beliau juga adalah petani keramba jaring apung, hingga sewaktu
serangan virus koi herves beliau menyerah dan berhenti
Alamat :
Haranggaol
2. Nama
: Ibu
Purba Umur
: 34
Tahun Jabatan
: Pegawai Kelurahan Haranggaol Alamat
: Haranggaol
3. Nama
: Toja Saragih
Universitas Sumatera Utara
55
Umur :
36 Tahun
Alamat : Jalan Besar Haranggaol
Lama berkeramba : 4 Tahun akan tetapi beliau sudah mengelola
keramba selama 8 Tahun, beliau mengelola keramba milik ayahnya. Sampai ayahnya meninggal
dan ia mengelola keramba sendiri Jumlah keramba
: 20 unit40 lobang Jumlah anggota
: 3 orang
4. Nama
: Jan
Purba Umur
: 34
Tahun Alamat
: Jalan Siboro, Haranggaol Pekan Lama berkeramba
: 6 Tahun Jumlah keramba
: 30 unit 60 Lobang Jumlah anggota
: 2 orang
5. Nama
: Gerhad
Saragih Umur
: 56
Tahun Alamat
: Haranggaol
Lama berkeramba : 12 Tahun
Jumlah keramba : 50 unit 100 lobang
Jumlah anggota : 4 orang
6. Nama
: Pak
Rezky Saragih
Umur :
46 Tahun
Alamat :
Haranggaol Pekerjaan
: Pemilik Toko Muara Jaya. Dahulu beliau adalah petani keramba dan penjual pakan ikan. Beliau
berhenti menjadi petani setelah terjadi serangan virus koi herves. Modal yang diturunkan untuk
Universitas Sumatera Utara
56
kolam dan pakan tertimbun pada sesama petani. Hingga beliau memutuskan untuk berhenti dan
membuka usaha baru perlengkapan rumah tangga dan perlengkapan untuk kolam.
7. Nama
: Sihite
Umur :
20 Tahun
Pekerjaan : Anggota kolam
Lama berkerja : 2 Tahun
Asal :
Tarutung
8. Nama
: Bang
Saragih Umur
: 22
Tahun Pekerjaan
: Anggota Kolam Lama bekerja
: 2,5 Tahun Asal
: Tarutung
Sebenarnya, masih ada informan lain akan tetapi beberapa informan tidak ingin namanya disebutkan. Sehingga untuk menghormatinya peneliti tidak
mencantumkannya dalam daftar informan. Informan yang dicantumkan di atas merupakan informan yang selalu peneliti kunjungi secara intens selama masa
pengumpulan data.
Universitas Sumatera Utara
57
BAB III PENGELOLAAN KERAMBA JARING APUNG HARANGGAOL
3.1 Sejarah dan Perkembangan Keramba Jaring Apung di Haranggaol
Dahulu sebagian besar masyarakat Haranggaol menggantungkan hidup dari agraris pertanian dan pariwisata. Kejayaannya redup di antara tahun 1998
sampai 2002. Memang pada tahun 1998 terjadi krisis besar-besaran di Indonesia sehingga menyebabkan ketakutan bagi para wisatawan lokal terutama wisatawan
mancanegara untuk berpariwisata. Keadaan keamanan yang tidak kondusif, serta krisis moneter yang melanda seluruh aspek kehidupan menjadi faktor utama yang
menyebabkan terjadinya kemunduran ini.
Belum selesai masalah krisis moneter terjadi lagi kerusakan infrastruktur sehingga jarak yang di tempuh ke daerah Haranggaol menjadi semakin lama.
Dahulu daerah Haranggaol dijadikan tempat persinggahan para turis sebelum menyeberang ke Parapat dan Tigaras. Mereka menginap satu atau dua hari di
penginapan warga, bahkan tak jarang mereka tinggal bersama masyarakat sekitar. Namun tidak ada lagi cerita mengenai si bottar mata
22
yang berkunjung untuk menikmati keindahan alam Haranggaol. Kini semua tinggal cerita. Hal ini di
ungkapkan oleh Ibu Purba 34 tahun dalam wawancara kami di kantor kelurahan:
“Ramai-ramainya pariwisata di Harangaol ini sekitar tahun 1996 atau 1997 lah, pokoknya sebelum moneter waktu itu. Memang tujuan
orang itu ke Parapat atau Tigaras tapi mereka singgah dulu kemari
22
Si bottar mata adalah sebutan untuk turis mancanegara dari penduduk lokal.
Universitas Sumatera Utara