Sejarah Desa Haranggaol Bahasa

33 Dahulu Haranggaol merupakan daerah tujuan wisata yang cukup dihandalkan oleh Kabupaten Simalungun. Terdapat beberapa objek wisata di tempat ini yakni pantai Sigunggung, pantai Sigumba. Dekat dengan pantai-pantai ini terdapat fasilitas penginapan. Akan tetapi penginapan ini sepertinya mati suri saat ini, tidak ada wisatawan yang berkunjung bahkan karena tidak adanya pengunjung yang menginap menyebabkan para pengusaha hotel ini beralih mata pencaharian menjadi petani keramba Skripsi Keristina Ginting, Peralihan Mata Pencaharian Masyarakat dari sektor pariwisata ke sektor perikanan, Sosiologi USU, 2009. Kini pemandangan yang terlihat setiap hari di Haranggaol adalah lalu lalangnya mobil pengangkut ikan hasil panen dan pengangkut bibit. Pada malam hari, hasil panen akan dibawa ke kota sedangkan pagi hari mobil pickup pengangkut bibit sampai dari berbagai tempat seperti Rantau Parapat, Padang, Palembang, Jawa dan lainnya. Namun ketika ruas kanan dan kiri berpapasan pickup penganggkut ikan, maka salah satu mobil harus mengalah dan menyudutkan mobilnya hampir mendekati jurang. Hal ini terjadi karena jalan di desa ini tidak cukup untuk dilalui oleh dua mobil sekaligus.

2.2 Sejarah Desa Haranggaol

Desa Haranggaol adalah sebuah desa yang terletak di Kelurahan Haranggaol, Kecamatan Haranggaol Horisan, Kabupaten Simalungun. Dulunya Desa Haranggaol bernama Desa Tiga Linggiung yang artinya adalah pasar di pesisir pantai danau yang menjual berbagai jenis hasil pertanian dari desa sekitar Universitas Sumatera Utara 34 Danau Toba. Pada tahun 1960 nama desa ini diubah menjadi Desa Haranggaol. Jika dipisahkan dari suku katanya Harang artinya ladang sedangkan Gaol artinya pisang, maka secara harfiah Haranggaol merupakan ladang pisang. Pada tahun tersebut masyarakat Desa Linggiung yang telah diubah menjadi Desa Haranggaol mayoritasnya adalah petani pisang. Pada saat itu juga, pisang dari tempat ini terkenal di Simalungun sehingga perpindahan nama tersebut sangat tepat. Seiring pertumbuhan penduduk pada tahun 1974 Desa Haranggaol diubah menjadi Kelurahan Haranggaol. Mulanya kantor kelurahan terletak di pinggir danau, namun pada tahun 1985 kantor terhempas ombak sehingga hampir seluruh bangunan rusak parah. Kemudian kantor ini dipindah ke balai desa yang berada tidak jauh dari kantor sebelumnya. Sehingga sampai saat ini kantor kelurahan ini masih berbentuk kantor balai desa. Penduduk asli Haranggaol adalah suku Simalungun ditambah dengan pendatang seperti suku Toba, Karo dan Jawa serta Padang. Hingga saat ini Desa Haranggaol bermayoritas suku Simalungun dengan bahasa Simalungun. Masyarakat Haranggaol hidup rukun dan saling berdampingan.

2.3 Bahasa

Bahasa merupakan sarana dalam melakukan pergaulan manusia dalam komunikasinya. Itulah sebabnya bahasa merupakan satu unsur penting dalam kebudayaan. Indonesia yang memiliki keberagaman budaya dipersatukan dengan bahasa nasional yakni bahasa Indonesia. Meskipun demikian di pelosok-pelosok Universitas Sumatera Utara 35 tanah air masih banyak suku bangsa yang masih menggunakan bahasa daerahnya sebagai alat komunikasi. Begitupula yang terdapat di daerah penelitian ini, bahasa yang sering dipergunakan adalah bahasa Simalungun. Hal ini disebabkan mayoritas penduduk di desa ini adalah suku bangsa Simalungun. Memang ada suku lain seperti Batak Toba, Karo, Jawa dan Padang. Namun, mereka juga menggunakan bahasa Simalungun pada saat bertemu dengan orang Batak. Suku bangsa pendatang ini beradaptasi dengan baik sehingga terjadi akulturasi 19 . Akan tetapi para pendatang ini juga tidak menghilangkan kebudayaan aslinya. Seperti saat berkomunikasi dengan warga dari suku yang sama, mereka akan menggunakan bahasa daerah mereka. Penggunaan bahasa Simalungun juga berdasarkan konteks, misalnya saat berbicara dengan orang yang lebih tua menggunakan kata “nasiamham” dan menghindari kata “ambia” karena dianggap tidak sopan. Kata ambia digunakan untuk tutur sebaya. Penyebutan masyarakat untuk keramba jaring apung adalah kolam atau beberapa informan juga menyebutkannya dengan sebutan tambak. Sehingga ketika peneliti dalam tulisannya menyebutkan kolam berarti yang di maksud adalah keramba jaring apung. 19 Akulturasi adalah penyatuan dua kebudayaan atau lebih tanpa menghilangkan kebudayaan aslinya. Universitas Sumatera Utara 36

2.4 Pola Permukiman Penduduk dan Pemanfataan Ruang