Keterkaitan Antara Iklim Investasi Berdasarkan Persepsi Pelaku Usaha dan Realisasi Investasi: Kasus Provinsi Jawa Barat
OLEH ARDANI JANUAR
H14051312
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
(2)
D. S. Priyarsono).
Untuk menciptakan realisasi investasi yang berkesinambungan diperlukan sebuah iklim investasi yang kondusif. Iklim investasi yang kondusif dalam perekonomian merupakan harapan bagi masyarakat, investor, pelaku usaha dan pemerintah. Penciptaan iklim investasi yang kondusif tidak hanya berdasarkan faktor ekonomi saja seperti suku bunga, inflasi, Pendapatan Domestik Bruto (PDB), upah minimum, dan nilai tukar. Namun faktor-faktor non-ekonomi lainnya juga sangat berpengaruh, seperti masalah perizinan usaha, kestabilan politik, penegakkan hukum, masalah pertanahan untuk lahan usaha, tingkat kriminalitas dalam masyarakat, demonstrasi buruh, komitmen pemerintahan, komitmen perbankan, perpajakan, dan infrastruktur.
Laporan Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) tahun 2007 yang dihasilkan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) tentang indikator-indikator iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha di kabupaten dan kota dari 15 provinsi Indonesia menyimpulkan bahwa ada sembilan indikator iklim investasi yang mempengaruhi investasi di Indonesia, yaitu akses lahan usaha dan kepastian usaha, perizinan usaha, interaksi antara pemda dan pelaku usaha, program pengembangan usaha swasta, kapasitas dan integritas Kepala Daerah, pajak daerah, retribusi daerah dan biaya transaksi lain, kebijakan infrastruktur daerah, keamanan dan penyelesaian konflik, dan kualitas peraturan daerah.
Tujuan dari penelitian ini ada tiga, yaitu untuk menganalisis:
1. Iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha di kabupaten dan kota provinsi Jawa Barat.
2. Realisasi investasi di kabupaten dan kota provinsi Jawa Barat.
3. Keterkaitan antara sembilan indikator iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha dan realisasi investasi di kabupaten dan kota provinsi Jawa Barat.
4. Strategi kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah daerah dalam membuat iklim investasi yang lebih kondusif di wilayahnya.
Pada penelitian ini, untuk menganalisis iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha dan realisasi investasi di kabupaten dan kota provinsi Jawa Barat pada tahun 2007 digunakan analisis kualitatif untuk membahasnya. Sedangkan untuk menganalisis keterkaitan antara sembilan indikator iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha dan realisasi investasi di kabupaten dan kota provinsi Jawa Barat digunakan alat analisis kuantitatif berupa analisis regresi berganda. Untuk mengestimasi koefisien-koefisien regresi berganda tersebut, penelitian ini menggunakan metode OLS (Ordinary Least Square) dengan melakukan uji statistik dan uji ekonometrika. Pengujian statistik meliputi
(3)
dari nilai indeks TKED yang berada di atas nilai 50 persen. Lima kabupaten dan kota yang memiliki iklim investasi paling kondusif di Provinsi Jawa Barat, yaitu Kabupaten Ciamis, Kota Banjar, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Karawang, dan Kabupaten Sumedang.
Namun pada kenyataannya, iklim investasi tersebut kurang mampu mendorong realisasi investasi di Provinsi Jawa Barat. Hal ini terlihat dari menurunnya jumlah investasi tahun 2007 jika dibandingkan dengan jumlah investasi tahun 2006. Jika dilihat berdasarkan distribusi penyebaran investasi di Provinsi Jawa Barat, hanya ada 16 kabupaten dan kota yang mendapatkan realisasi investasi tersebut. Ada lima kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang mendapatkan realisasi investasi terbesar, yaitu Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor, Kabupaten Cirebon, dan Kabupaten Purwakarta.
Ada lima indikator iklim investasi berdasarkan pelaku usaha dalam penelitian ini yang berpengaruh signifikan terhadap realisasi investasi di Jawa Barat. Kelima indikator tersebut adalah indikator interaksi pemda dan pelaku usaha, indikator program pengembangan usaha swasta, dan indikator pajak daerah, retribusi daerah dan biaya transaksi lain berpengaruh negatif terhadap realisasi investasi di Provinsi Jawa Barat. Sedangkan indikator kapasitas dan integritas kepala daerah dan indikator kualitas peraturan daerah berpengaruh positif terhadap realisasi investasi di Provinsi Jawa Barat.
Implementasi kebijakan yang dinilai cukup baik untuk mengatasi masalah indikator interaksi Pemda dan pelaku usaha dan program pengembangan usaha swasta yang memiliki rendahnya kesadaran akan keberadaan dua program tersebut, yaitu dengan membangun jaringan komunikasi antara Pemda dan pelaku usaha. Sedangkan untuk mengatasi permasalahan indikator pajak daerah, retribusi daerah dan biaya transaksi lain berpengaruh negatif adalah dengan mengimplementasikan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi oleh Pemda dalam menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif.
(4)
Oleh
ARDANI JANUAR H14051312
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
(5)
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
D. S. Priyarsono, Ph. D. NIP. 19610501 198601 1 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Rina Oktaviani, Ph. D. NIP. 19641023 198903 2 002
(6)
BENAR-BENAR HASIL KARYA PENULIS SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, September 2009
Ardani Januar H14051312
(7)
1987. Penulis merupakan anak ke lima dari lima bersaudara yang terlahir dari pasangan suami-isteri, yaitu alm. Bapak Marinus dan Ibu Mariam. Penulis menamatkan pendidikan sekolah dasar di SDN Cipulir 07 Pagi, Jakarta Selatan pada tahun 1999. Tahun 2002, penulis menamatkan sekolah lanjutan tingkat pertama di SLTPN 48 Jakarta. Tahun 2002, penulis masuk ke salah satu sekolah lanjutan tingkat atas unggulan di Jakarta Selatan, yaitu SMUN 47 Jakarta dan menamatkannya pada tahun 2005.
Tahun 2005, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur masuk Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Setelah setahun menjalani masa Tingkat Persiapan Bersama (TPB), penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) dengan sistem mayor-minor. Minor yang penulis ambil adalah ekonomi pertanian dari Departemen Ekonomi dan Sumber Daya Lahan (ESL), Fakultas Ekonomi dan Manajemen selama lima semester. Selama menjadi mahasiswa penulis juga aktif di beberapa organisasi, yaitu Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat FEM IPB.
(8)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Keterkaitan Antara Iklim Investasi Berdasarkan Persepsi Pelaku Usaha dan Realisasi Investasi: Kasus Provinsi Jawa Barat”. Judul ini dipilih karena Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang memiliki daya tarik iklim investasi yang cukup besar sehingga mendukung terciptanya realisasi investasi dan mendorong tingkat pertumbuhan perekonomian di Provinsi Jawa Barat. Selain hal tersebut, skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak D. S. Priyarsono, Ph. D. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, saran dan kritik kepada penulis.
2. Bapak M. Parulian Hutagaol, Ph. D. selaku dosen penguji utama dan Ibu Widyastutik, SE, M. Si. sebagai dosen penguji wakil Komisi Pendidikaan. Berkat saran dan kritik Beliau lah skripsi ini menjadi lebih sempurna. 3. Alm. Bapak Marinus dan Ibu Mariam selaku orang tua yang selalu
memberikan doa dan dorongan motivasi yang tiada hentinya.
4. Syifa Nurul Islami dan Milan Harun Arrasyid selaku istri dan anak penulis yang selalu memberikan doa dan motivasi yang tiada hentinya.
5. Keluarga besar mahasiswa Ilmu Ekonomi angkatan 42 yang selalu memberikan doa, motivasi, dan atas kebersamaannya selama ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dari skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, September 2009
Ardani Januar H14051312
(9)
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... ii
DAFTAR TABEL ... iv
DAFTAR GAMBAR ... v
DAFTAR LAMPIRAN ... vi
BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 3
1.3. Tujuan Penelitian ... 5
1.4. Manfaat Penelitian ... 6
1.5. Ruang Lingkup ... 7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teori ... 8
2.1.1. Investasi ... 8
2.1.2. Iklim Investasi ... 10
2.2. Penelitian Terdahulu ... 11
2.3. Kerangka Pemikiran ... 14
2.4. Hipotesis ... 16
BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data ... 17
3.2. Metode Analisis ... 17
3.2.1. Analisis Regresi Berganda ... 17
3.2.2. Model Analisis Regresi ... 19
3.3. Uji Statistik Model ... 21
3.3.1. Pengujian Model Dengan Menggunakan Uji F-Statistik ... 21
3.3.2. Pengujian Hipotesis Parameter Regresi ... 22
(10)
3.4. Uji Ekonometrika ... 25
3.4.1. Uji Normalitas ... 25
3.4.2. Autokorelasi ... 25
3.4.3. Heteroskedastisitas ... 27
3.4.4. Multikolinearitas ... 29
BAB IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Kondisi Geografis Provinsi Jawa Barat ... 31
4.2. Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) ... 32
4.3. Tata Kelola Ekonomi Daerah ... 33
4.3.1. Akses Lahan Usaha dan Kepastian Berusaha ... 36
4.3.2. Perizinan Usaha ... 42
4.3.3. Interaksi Pemda dan Pelaku Usaha ... 48
4.3.4. Program Pengembangan Usaha Swasta ... 49
4.3.5. Kapasitas dan Integritas Kepala Daerah ... 54
4.3.6. Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Biaya Transaksi Lain ... 58
4.3.7. Kebijakan Infrastruktur Daerah ... 60
4.3.8. Keamanan dan Penyelesaian Sengketa ... 63
4.3.9. Kualitas Peraturan Daerah ... 65
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Iklim Investasi Berdasarkan Persepsi Pelaku Usaha Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat Tahun 2007 ... 68
5.2. Realisasi Investasi Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat Tahun 2007 ... 78
5.3Hubungan Keterkaitan Iklim Investasi Berdasarkan Persepsi Pelaku Usaha dan Realisasi Investasi Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat Tahun 2007 ... 83
5.4.Implementasi Kebijakan ... 91
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 95
6.2. Saran ... 97
DAFTAR PUSTAKA ... 97
(11)
OLEH ARDANI JANUAR
H14051312
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
(12)
D. S. Priyarsono).
Untuk menciptakan realisasi investasi yang berkesinambungan diperlukan sebuah iklim investasi yang kondusif. Iklim investasi yang kondusif dalam perekonomian merupakan harapan bagi masyarakat, investor, pelaku usaha dan pemerintah. Penciptaan iklim investasi yang kondusif tidak hanya berdasarkan faktor ekonomi saja seperti suku bunga, inflasi, Pendapatan Domestik Bruto (PDB), upah minimum, dan nilai tukar. Namun faktor-faktor non-ekonomi lainnya juga sangat berpengaruh, seperti masalah perizinan usaha, kestabilan politik, penegakkan hukum, masalah pertanahan untuk lahan usaha, tingkat kriminalitas dalam masyarakat, demonstrasi buruh, komitmen pemerintahan, komitmen perbankan, perpajakan, dan infrastruktur.
Laporan Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) tahun 2007 yang dihasilkan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) tentang indikator-indikator iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha di kabupaten dan kota dari 15 provinsi Indonesia menyimpulkan bahwa ada sembilan indikator iklim investasi yang mempengaruhi investasi di Indonesia, yaitu akses lahan usaha dan kepastian usaha, perizinan usaha, interaksi antara pemda dan pelaku usaha, program pengembangan usaha swasta, kapasitas dan integritas Kepala Daerah, pajak daerah, retribusi daerah dan biaya transaksi lain, kebijakan infrastruktur daerah, keamanan dan penyelesaian konflik, dan kualitas peraturan daerah.
Tujuan dari penelitian ini ada tiga, yaitu untuk menganalisis:
1. Iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha di kabupaten dan kota provinsi Jawa Barat.
2. Realisasi investasi di kabupaten dan kota provinsi Jawa Barat.
3. Keterkaitan antara sembilan indikator iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha dan realisasi investasi di kabupaten dan kota provinsi Jawa Barat.
4. Strategi kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah daerah dalam membuat iklim investasi yang lebih kondusif di wilayahnya.
Pada penelitian ini, untuk menganalisis iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha dan realisasi investasi di kabupaten dan kota provinsi Jawa Barat pada tahun 2007 digunakan analisis kualitatif untuk membahasnya. Sedangkan untuk menganalisis keterkaitan antara sembilan indikator iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha dan realisasi investasi di kabupaten dan kota provinsi Jawa Barat digunakan alat analisis kuantitatif berupa analisis regresi berganda. Untuk mengestimasi koefisien-koefisien regresi berganda tersebut, penelitian ini menggunakan metode OLS (Ordinary Least Square) dengan melakukan uji statistik dan uji ekonometrika. Pengujian statistik meliputi
(13)
dari nilai indeks TKED yang berada di atas nilai 50 persen. Lima kabupaten dan kota yang memiliki iklim investasi paling kondusif di Provinsi Jawa Barat, yaitu Kabupaten Ciamis, Kota Banjar, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Karawang, dan Kabupaten Sumedang.
Namun pada kenyataannya, iklim investasi tersebut kurang mampu mendorong realisasi investasi di Provinsi Jawa Barat. Hal ini terlihat dari menurunnya jumlah investasi tahun 2007 jika dibandingkan dengan jumlah investasi tahun 2006. Jika dilihat berdasarkan distribusi penyebaran investasi di Provinsi Jawa Barat, hanya ada 16 kabupaten dan kota yang mendapatkan realisasi investasi tersebut. Ada lima kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang mendapatkan realisasi investasi terbesar, yaitu Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor, Kabupaten Cirebon, dan Kabupaten Purwakarta.
Ada lima indikator iklim investasi berdasarkan pelaku usaha dalam penelitian ini yang berpengaruh signifikan terhadap realisasi investasi di Jawa Barat. Kelima indikator tersebut adalah indikator interaksi pemda dan pelaku usaha, indikator program pengembangan usaha swasta, dan indikator pajak daerah, retribusi daerah dan biaya transaksi lain berpengaruh negatif terhadap realisasi investasi di Provinsi Jawa Barat. Sedangkan indikator kapasitas dan integritas kepala daerah dan indikator kualitas peraturan daerah berpengaruh positif terhadap realisasi investasi di Provinsi Jawa Barat.
Implementasi kebijakan yang dinilai cukup baik untuk mengatasi masalah indikator interaksi Pemda dan pelaku usaha dan program pengembangan usaha swasta yang memiliki rendahnya kesadaran akan keberadaan dua program tersebut, yaitu dengan membangun jaringan komunikasi antara Pemda dan pelaku usaha. Sedangkan untuk mengatasi permasalahan indikator pajak daerah, retribusi daerah dan biaya transaksi lain berpengaruh negatif adalah dengan mengimplementasikan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi oleh Pemda dalam menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif.
(14)
Oleh
ARDANI JANUAR H14051312
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
(15)
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
D. S. Priyarsono, Ph. D. NIP. 19610501 198601 1 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Rina Oktaviani, Ph. D. NIP. 19641023 198903 2 002
(16)
BENAR-BENAR HASIL KARYA PENULIS SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, September 2009
Ardani Januar H14051312
(17)
1987. Penulis merupakan anak ke lima dari lima bersaudara yang terlahir dari pasangan suami-isteri, yaitu alm. Bapak Marinus dan Ibu Mariam. Penulis menamatkan pendidikan sekolah dasar di SDN Cipulir 07 Pagi, Jakarta Selatan pada tahun 1999. Tahun 2002, penulis menamatkan sekolah lanjutan tingkat pertama di SLTPN 48 Jakarta. Tahun 2002, penulis masuk ke salah satu sekolah lanjutan tingkat atas unggulan di Jakarta Selatan, yaitu SMUN 47 Jakarta dan menamatkannya pada tahun 2005.
Tahun 2005, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur masuk Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Setelah setahun menjalani masa Tingkat Persiapan Bersama (TPB), penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) dengan sistem mayor-minor. Minor yang penulis ambil adalah ekonomi pertanian dari Departemen Ekonomi dan Sumber Daya Lahan (ESL), Fakultas Ekonomi dan Manajemen selama lima semester. Selama menjadi mahasiswa penulis juga aktif di beberapa organisasi, yaitu Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat FEM IPB.
(18)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Keterkaitan Antara Iklim Investasi Berdasarkan Persepsi Pelaku Usaha dan Realisasi Investasi: Kasus Provinsi Jawa Barat”. Judul ini dipilih karena Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang memiliki daya tarik iklim investasi yang cukup besar sehingga mendukung terciptanya realisasi investasi dan mendorong tingkat pertumbuhan perekonomian di Provinsi Jawa Barat. Selain hal tersebut, skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak D. S. Priyarsono, Ph. D. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, saran dan kritik kepada penulis.
2. Bapak M. Parulian Hutagaol, Ph. D. selaku dosen penguji utama dan Ibu Widyastutik, SE, M. Si. sebagai dosen penguji wakil Komisi Pendidikaan. Berkat saran dan kritik Beliau lah skripsi ini menjadi lebih sempurna. 3. Alm. Bapak Marinus dan Ibu Mariam selaku orang tua yang selalu
memberikan doa dan dorongan motivasi yang tiada hentinya.
4. Syifa Nurul Islami dan Milan Harun Arrasyid selaku istri dan anak penulis yang selalu memberikan doa dan motivasi yang tiada hentinya.
5. Keluarga besar mahasiswa Ilmu Ekonomi angkatan 42 yang selalu memberikan doa, motivasi, dan atas kebersamaannya selama ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dari skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, September 2009
Ardani Januar H14051312
(19)
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... ii
DAFTAR TABEL ... iv
DAFTAR GAMBAR ... v
DAFTAR LAMPIRAN ... vi
BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 3
1.3. Tujuan Penelitian ... 5
1.4. Manfaat Penelitian ... 6
1.5. Ruang Lingkup ... 7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teori ... 8
2.1.1. Investasi ... 8
2.1.2. Iklim Investasi ... 10
2.2. Penelitian Terdahulu ... 11
2.3. Kerangka Pemikiran ... 14
2.4. Hipotesis ... 16
BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data ... 17
3.2. Metode Analisis ... 17
3.2.1. Analisis Regresi Berganda ... 17
3.2.2. Model Analisis Regresi ... 19
3.3. Uji Statistik Model ... 21
3.3.1. Pengujian Model Dengan Menggunakan Uji F-Statistik ... 21
3.3.2. Pengujian Hipotesis Parameter Regresi ... 22
(20)
3.4. Uji Ekonometrika ... 25
3.4.1. Uji Normalitas ... 25
3.4.2. Autokorelasi ... 25
3.4.3. Heteroskedastisitas ... 27
3.4.4. Multikolinearitas ... 29
BAB IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Kondisi Geografis Provinsi Jawa Barat ... 31
4.2. Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) ... 32
4.3. Tata Kelola Ekonomi Daerah ... 33
4.3.1. Akses Lahan Usaha dan Kepastian Berusaha ... 36
4.3.2. Perizinan Usaha ... 42
4.3.3. Interaksi Pemda dan Pelaku Usaha ... 48
4.3.4. Program Pengembangan Usaha Swasta ... 49
4.3.5. Kapasitas dan Integritas Kepala Daerah ... 54
4.3.6. Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Biaya Transaksi Lain ... 58
4.3.7. Kebijakan Infrastruktur Daerah ... 60
4.3.8. Keamanan dan Penyelesaian Sengketa ... 63
4.3.9. Kualitas Peraturan Daerah ... 65
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Iklim Investasi Berdasarkan Persepsi Pelaku Usaha Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat Tahun 2007 ... 68
5.2. Realisasi Investasi Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat Tahun 2007 ... 78
5.3Hubungan Keterkaitan Iklim Investasi Berdasarkan Persepsi Pelaku Usaha dan Realisasi Investasi Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat Tahun 2007 ... 83
5.4.Implementasi Kebijakan ... 91
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 95
6.2. Saran ... 97
DAFTAR PUSTAKA ... 97
(21)
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1.1. Nilai PMA yang Masuk Antara Indonesia dan Thailand ... 4
4.1. Nilai PDRB Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat Tahun 2007 ... 32
5.1. Iklim Investasi Berdasarkan Persepsi Pelaku Usaha di Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat Tahun 2007 ... 77
5.2. Realisasi Total Investasi Provinsi Jawa Barat Tahun 2007 ... 79
5.3. Nilai Total Realisasi Investasi Kabupaten dan Kota Jawa Barat ... 80
5.4. Hasil Estimasi dengan Metode OLS ... 84
(22)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
(23)
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat ... 102 2. Hasil Estimasi dengan Metode OLS ... 103 3. Uji Normalitas ... 104 4. Hasil Uji Glejser ... 105
(24)
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia adalah negara berkembang yang masih membutuhkan investasi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Investasi dapat diartikan sebagai pengeluaran atau penanaman modal bagi perusahaan untuk membeli barang modal dan perlengkapan untuk menambah kemampuan produksi barang dan jasa dalam perekonomian. Pertambahan jumlah barang modal memungkinkan perekonomian tersebut menghasilkan lebih banyak barang dan jasa dimasa yang akan datang. Investasi memiliki multiplier effect yang besar terhadap terjadinya nilai tambah ekonomi berbagai sektor lainnya. Laju pertambahan investasi dan tingkat pertumbuhan produktivitas barang dan jasa yang dihasilkan akan mendorong tinggi dan luas jangkauan dampak dari multiplier effect tersebut. Menurut Sukirno (2004), Faktor-faktor utama yang menentukan tingkat investasi adalah suku bunga, prediksi keuntungan, prediksi mengenai kondisi ekonomi ke depan, kemajuan teknologi, tingkat pendapatan nasional dan keuntungan perusahaan.
Untuk menciptakan realisasi investasi yang berkesinambungan diperlukan sebuah iklim investasi yang kondusif. Menurut Stern (2002), iklim investasi adalah semua kebijakan, kelembagaan dan lingkungan, baik yang sedang berlangsung maupun yang diharapkan terjadi di masa depan yang bisa mempengaruhi tingkat pengembalian dan resiko suatu investasi. Iklim investasi yang kondusif dalam perekonomian merupakan harapan bagi masyarakat,
(25)
investor, pelaku usaha, dan pemerintah. Penciptaan iklim investasi yang kondusif tidak hanya berdasarkan faktor ekonomi saja seperti suku bunga, inflasi, Pendapatan Domestik Bruto (PDB), upah minimum, dan nilai tukar. Namun faktor-faktor non-ekonomi lainnya juga sangat berpengaruh, seperti masalah perizinan usaha, kestabilan politik, penegakkan hukum, masalah pertanahan untuk lahan usaha, tingkat kriminalitas dalam masyarakat, demonstrasi buruh, komitmen pemerintahan, komitmen perbankan, perpajakan, dan infrastruktur.
Laporan Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) tahun 2007 yang dihasilkan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) tentang indikator-indikator iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha di kabupaten dan kota dari 15 provinsi Indonesia. Menurut laporan tersebut, ada sembilan indikator iklim investasi yang mempengaruhi investasi di Indonesia, yaitu akses lahan usaha dan kepastian usaha, perizinan usaha, interaksi antara Pemda dan pelaku usaha, program pengembangan usaha swasta, kapasitas dan integritas Kepala Daerah, pajak daerah, retribusi daerah dan biaya transaksi lain, kebijakan infrastruktur daerah, keamanan dan penyelesaian konflik, dan kualitas peraturan daerah. Kesembilan indikator tersebut merupakan persepsi penilaian pelaku usaha daerah terhadap iklim investasi di daerahnya tersebut. Penilaian tersebut menggunakan 50 responden pelaku usaha baik pengusaha kecil, sedang, maupun besar di setiap kabupaten dan kota. Seluruh nilai persepsi indikator iklim investasi tersebut akan menghasilkan sebuah nilai indeks TKED yang menentukan peringkat iklim investasi kabupaten dan kota terbaik dan terburuk di dalam satu provinsi yang sama.
(26)
Melihat pentingnya penciptaan iklim investasi yang kondusif dalam mendorong realisasi investasi secara berkesinambungan, maka penelitian ini ingin membuktikan adakah keterkaitan antara persepsi iklim investasi berdasarkan laporan KPPOD tersebut terhadap realisasi investasi dengan studi kasus Provinsi Jawa Barat.
1.2. Perumusan Masalah
Indonesia terus mengalami pertumbuhan ekonomi yang lamban dan tidak berkualitas, walaupun terdapat perbaikan dalam stabilitas makroekonomi dan pertumbuhan investasi. Menurut INDEF (2006), pertumbuhan ekonomi Indonesia terutama didorong oleh konsumsi privat yang menyumbang sebesar 60-70 persen sementara kontribusi pembentukan modal tetap hanya sebesar 20 persen. Relatif kecilnya kontribusi investasi dalam pertumbuhan ekonomi mencerminkan tidak sehat dan rendahnya daya saing iklim investasi di Indonesia, yang pada gilirannya menimbulkan pertanyaan tentang kesinambungan dari pertumbuhan ekonomi juga keprihatinan tentang semakin meningkatnya tingkat pengangguran dan kemiskinan.
Buruknya iklim investasi di Indonesia juga berdampak pada investor asing yang enggan menanamkan modalnya di Indonesia sehingga menyebabkan rendahnya nilai Penanaman Modal Asing (PMA) yang masuk ke Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara lainnya, contohnya seperti Thailand (Tabel 1.1). Karenanya, reformasi iklim investasi merupakan keharusan untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
(27)
berkesinambungan dengan menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif lagi di Indonesia. Iklim investasi yang kondusif tersebut akan mendorong tumbuhnya investasi sektor swasta yang produktif dan berfungsi sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi, mengurangi tingkat kemiskinan, serta menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat. Iklim investasi yang kondusif ini akan memperluas jenis barang dan jasa yang tersedia sehingga akan mengurangi tingkat harga barang dan jasa yang kondusif bagi konsumen dalam jangka pendek, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang. Oleh karena itu, menjadi hal yang wajar apabila pemerintah daerah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat berusaha untuk menarik investor sebanyak-banyaknya agar bersedia menanamkan modalnya di wilayah yang dikelolanya.
Tabel 1.1. Perbandingan Nilai PMA yang Masuk Antara Indonesia dan Thailand
Negara 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Indonesia -241 -1866 -4550 -2977 145 -597 1022 Thailand 7315 6103 3366 3892 953 1949 1412 Keterangan : satuan dalam US$ juta
Sumber: Asian Development Bank (2005)
Berbagai strategi diterapkan pemerintah daerah kabupaten dan kota untuk menarik minat investor seperti akses penyediaan lahan, kemudahan perizinan usaha, penyediaan infrastruktur, jaminan keamanan berusaha, dan kualitas peraturan daerah. Namun dalam pelaksanaannya di lapangan masih belum memberikan pelayanan yang optimal kepada para investor sehingga masih banyak keluhan, seperti mahalnya biaya transaksi dan lambatnya waktu pemrosesan surat perizinan, tidak adanya kepastian hukum, infrastruktur yang masih kurang
(28)
mendukung, dan lain sebagainya. Selain itu, persaingan antar daerah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat semakin ketat dalam menarik minat investor sehingga pemerintah daerah kabupaten dan kota harus mengoptimalkan potensi daerahnya masing-masing, seperti sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya lainnya.
Berdasarkan keadaan tersebut, maka penulis dapat merumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha di kabupaten dan kota Provinsi Jawa Barat pada tahun 2007?
2. Bagaimana realisasi investasi kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2007?
3. Adakah keterkaitan antara iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha dan realisasi investasi kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat? 4. Strategi kebijakan apakah yang dapat diambil oleh pemerintah daerah
dalam membuat iklim investasi yang lebih kondusif di wilayahnya?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka penulis merumuskan tujuan penelitian ini adalah:
1. Menganalisis iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha di kabupaten dan kota Provinsi Jawa Barat pada tahun 2007.
2. Menganalisis realisasi investasi di kabupaten dan kota Provinsi Jawa Barat pada tahun 2007.
(29)
3. Menganalisis keterkaitan antara iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha dan realisasi investasi kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat.
4. Menganalisis strategi kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah daerah dalam membuat iklim investasi yang lebih kondusif di wilayahnya.
1.4. Manfaat Penelitan
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk berbagai pihak, yaitu:
1. Masyarakat umum, lebih mengetahui indikator-indikator iklim investasi yang secara signifikan mempengaruhi realisasi investasi di Jawa Barat dan perbandingan jumlah realisasi investasi di Jawa Barat. Selain itu masyarakat diharapkan menjadi pengawas pelaksanaan pembuatan kebijakan-kebijakan baru oleh pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk memperbaiki iklim investasi setelah membaca tulisan ini.
2. Pelaku Usaha, sebagai referensi informasi iklim investasi di Provinsi Jawa Barat untuk mengambil keputusan menanamkan investasi di Provinsi Jawa Barat atau daerah lainnya yang lebih menguntungkan.
3. Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat, sebagai alat referensi membuat kebijakan-kebijakan baru untuk perbaikan iklim investasi Provinsi Jawa Barat agar terciptanya pertumbuhan realisasi investasi yang berkesinambungan.
(30)
1.5. Ruang Lingkup
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Pendekatan analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha dan realisasi investasi di kabupaten dan kota Provinsi Jawa Barat. Sedangkan pendekatan analisis kuantitatif digunakan untuk mencari keterkaitan hubungan yang signifikan antara indikator iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha dan realiasi investasi kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat dengan menggunakan unit analisis data iklim dan realisasi investasi pada tahun 2007. Indikator iklim investasi yang dianalisis dalam penelitian ini adalah akses lahan usaha dan kepastian berusaha, perizinan usaha, interaksi Pemda dan pelaku usaha, program pengembangan usaha swasta, kapasitas dan integritas Kepala Daerah, biaya transaksi, kebijakan infrastruktur daerah, keamanan dan penyelesaian sengketa, dan kualitas peraturan daerah.
Penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda dengan metode OLS (Ordinary Least Square) serta melakukan uji statistik dan uji ekonometrika. Pengujian statistik meliputi uji F, uji t, dan uji goodness of fit Koefisien determinasi (R2) dan adjusted R2 yang digunakan untuk kriteria evaluasi model. Sedangkan uji ekonometrika meliputi uji normalitas, autokorelasi, heteroskedastisitas, dan multikolinearitas.
(31)
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teori
2.1.1. Investasi
Investasi dapat diartikan sebagai pengeluaran atau penanaman modal bagi perusahaan untuk membeli barang modal dan perlengkapan untuk menambah kemampuan produksi barang dan jasa dalam perekonomian. Pertambahan jumlah barang modal memungkinkan perekonomian tersebut menghasilkan lebih banyak barang dan jasa dimasa yang akan datang. Menurut Sukirno (2004), faktor-faktor utama yang menentukan tingkat investasi adalah suku bunga, prediksi keuntungan, prediksi mengenai kondisi ekonomi ke depan, kemajuan teknologi, tingkat pendapatan nasional dan keuntungan perusahaan.
Menurut McMeer (2003) dalam Bank Indonesia (2007), investasi dalam pengertian konsepsional merupakan hasil dari sebuah proses yang bersifat multi dimensional. Pembangunan ekonomi merupakan salah satu fungsi dari investasi dalam artian penanaman modal atau faktor ekonomi yang paling esensial dan mudah diukur secara kuantitatif. Akan tetapi pada kenyataannya, seorang investor yang akan menanamkan modalnya pada suatu bidang usaha tertentu akan selalu memperhatikan faktor-faktor keamanan lingkungan, kepastian hukum, status lahan investasi dan dukungan pemerintah (Bachri, 2004) dalam Wati (2008).
Jenis investasi ada dua, yaitu Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Menurut Panjaitan dalam Harjono (2007), Penanaman Modal Asing adalah satu kegiatan penanaman modal yang
(32)
didalamnya terdapat unsur asing (foreign element) yang ditentukan oleh adanya kewarganegaraan yang berbeda, asal modal, dan sebagainya. Dalam penanaman modal asing, modal yang ditanam merupakan modal milik asing maupun modal patungan antara modal milik asing dengan modal dalam negeri. Sedangkan pengertian penanaman modal dalam negeri (PMDN) menurut UU No.6 tahun 1968 adalah penggunaan modal dalam negeri (yang merupakan bagian dari kekayaan masyarakat Indonesia termasuk hak-haknya dan benda-benda baik yang dimiliki oleh negara maupun swasta nasional atau swasta asing yang berdomisili di Indonesia yang disisihkan atau disediakan guna menjalankan usaha) bagi usaha-usaha yang mendorong pembangunan ekonomi pada umumnya.
Terdapat beberapa faktor penentu dilakukannya investasi, yaitu investasi yang memberikan keuntungan tambahan kepada perusahaan melalui penjualan produknya di pasar domestik dan suku bunga merupakan harga atau biaya yang harus dibayar dalam meminjamkan uang untuk suatu periode tertentu dan ekspetasi keuntungan. Dengan demikian para investor melakukan investasi untuk mendapatkan keuntungan atas investasi yang dilakukan. Pertimbangan tersebut adalah sepenuhnya merupakan pertimbangan-pertimbangan investasi yang terkait secara langsung dengan faktor-faktor ekonomi. Selain pertimbangan faktor ekonomi tersebut, pelaku usaha juga mempertimbangkan masalah faktor non-ekonomi, seperti masalah jaminan keamanan, stabilitas politik, penegakkan hukum, sosial budaya, dan masalah ketenagakerjaan merupakan faktor penentu yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan investasi.
(33)
2.1.2. Iklim Investasi
Menurut Bank Dunia (2005), iklim investasi didefinisikan sebagai suatu kumpulan faktor-faktor lokasi tertentu yang membentuk kesempatan dan dorongan bagi badan usaha untuk melakukan investasi secara produktif, menciptakan pekerjaan dan perkembangan kegiatan usaha. Sedangkan menurut Stern (2002) dalam INDEF (2006), iklim investasi adalah semua kebijakan, kelembagaan dan lingkungan, baik yang sedang berlangsung maupun yang diharapkan terjadi di masa depan yang bisa mempengaruhi tingkat pengembalian dan resiko suatu investasi.
Menurut KPPOD (2008), ada sembilan indikator iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha yang mempengaruhi investasi di Indonesia, yaitu akses lahan usaha dan kepastian usaha, perizinan usaha, interaksi antara Pemda dan pelaku usaha, program pengembangan usaha swasta, kapasitas dan integritas Kepala Daerah, pajak daerah, retribusi daerah dan biaya transaksi lain, kebijakan infrastruktur daerah, keamanan dan penyelesaian konflik, dan kualitas peraturan daerah.
Iklim investasi merupakan kondisi yang bersifat multi dimensi dan menjadi pertimbangan bagi para investor dalam melakukan investasi. Dalam kaitannya tersebut peran pemerintah menjadi sangat penting dalam setiap proses penanaman modal, bahkan rekomendasi pemerintah daerah merupakan syarat mutlak dalam penilaian kegiatan investasi di daerah dinyatakan layak. Hal tersebut terkait pula dengan masalah pemanfaatan tata ruang, gangguan lingkungan dan ketertiban umum. Selain itu iklim investasi merupakan suatu
(34)
proses jangka panjang yang senantiasa berjalan searah dengan perkembangan usaha. Iklim investasi bukan hanya dipertimbangkan pada awal rencana investasi, akan tetapi merupakan variabel strategis yang akan menentukan keberhasilan investasi sepanjang perusahaan berjalan. Iklim investasi yang kondusif akan mendorong produktivitas yang lebih tinggi dengan memberikan kesempatan-kesempatan dan insentif bagi badan-badan usaha untuk berkembang, menyesuaikan diri dan menerapkan cara-cara yang lebih baik dalam menjalankan investasi.
Iklim investasi yang kondusif akan memperkuat pertumbuhan ekonomi yang mendatangkan keuntungan dalam sektor perekonomian. Pertumbuhan ekonomi merupakan satu-satunya mekanisme yang berkelanjutan untuk meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Peningkatan iklim investasi merupakan daya penggerak bagi pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Iklim investasi yang baik adalah iklim investasi yang mampu memberikan manfaat kepada masyarakat secara keseluruhan.
2.2. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu mengenai investasi suatu provinsi di Indonesia telah dilakukan oleh Kusumaningrum (2007), menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi investasi di Provinsi DKI Jakarta dan pengaruh dari faktor-faktor tersebut terhadap kegiatan investasi di Provinsi DKI Jakarta. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series (kuartalan) periode 1996:1 sampai dengan 2005:4. Data sekunder tersebut diperoleh dari Badan Penanaman
(35)
Modal dan Pendayagunaan Kekayaan Umum Daerah (BPM dan PKUD) Provinsi DKI Jakarta serta instansi lainnya yang masih terkait dengan penelitian ini. Penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda dengan metode OLS (Ordinary Least Square).
Hasil penilitian ini menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi investasi di Jakarta adalah suku bunga, inflasi, lag PDRB, dan tingkat upah secara signifikan berpengaruh nyata pada taraf nyata 1 persen, sedangkan nilai tukar secara signifikan berpengaruh nyata pada taraf nyata 5 persen. Berdasarkan hasil uji statistik terhadap model persamaan investasi di Provinsi DKI Jakarta, seluruh variabel eksogennya mempunyai tanda yang sama dengan teori. Variabel yang memiliki tanda yang sama dengan teori, yaitu:
1. Variabel suku bunga berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kegiatan investasi di Provinsi DKI Jakarta.
2. Variabel inflasi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kegiatan investasi di Provinsi DKI Jakarta.
3. Variabel PDRB periode sebelumnya berpengaruh positif dan signifikan terhadap kegiatan investasi di Provinsi DKI Jakarta.
4. Variabel upah minimum berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kegiatan investasi di Provinsi DKI Jakarta.
5. Variabel nilai tukar berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kegiatan investasi di Provinsi DKI Jakarta.
Penelitian terdahulu mengenai iklim investasi di Indonesia telah dilakukan oleh Simamora (2006), menganalisis faktor-faktor yang secara signifikan
(36)
mempengaruhi iklim investasi di Indonesia dan beberapa negara lainnya dan relevansi paket kebijakan yang disusun pemerintah dengan melihat keadaan iklim investasi di Indonesia pada masa kini. Penelitian tersebut menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Bank Dunia. Data sekunder yang digunakan, yaitu data iklim investasi yang diperoleh dari Bank Dunia terhadap 21 negara di dunia termasuk Indonesia dan data faktor-faktor iklim investasi, yaitu masalah ketidakpastian kebijakan, masalah ketidakpercayaan terhadap pengadilan mengenai hak-hak atas properti, masalah peraturan administrasi perpajakan, masalah tingkat tarif pajak, masalah penyediaan fasilitas pendanaan, masalah perizinan, dan masalah keterampilan tenaga kerja. Penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda dengan metode OLS (Ordinary Least Square).
Hasil dari penelitian tersebut menyimpulkan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap iklim investasi, yaitu masalah ketidakpastian kebijakan, masalah administrasi perpajakan dan masalah perizinan ternyata berpengaruh negatif terhadap iklim investasi secara signifikan. Dengan hasil tersebut, penulis menilai iklim investasi di Indonesia masih tergolong buruk. Untuk mengatasi keterpurukan iklim investasi di Indonesia, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 3 Tahun 2006 mengenai Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi pada tanggal 27 Februari 2006. Tindakan ini merupakan langkah awal yang baik untuk memulihkan iklim investasi di Indonesia dan bisa mengembalikan kepercayaan investor untuk berinvestasi di Indonesia.
(37)
2.3. Kerangka Pemikiran
Iklim investasi yang kondusif masih sangat dibutuhkan oleh pemerintah Indonesia untuk menarik minat investor agar menanamkan investasinya dalam jumlah besar di seluruh wilayah Indonesia. Untuk menciptakan realisasi investasi yang besar tersebut, ada sembilan indikator iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha yang mempengaruhinya, yaitu Akses Lahan Usaha dan Kepastian Usaha (ALUKU), Perizinan Usaha (PU), Interaksi Antara Pemda dan Pelaku Usaha (IPPU), Program Pengembangan Usaha Swasta (PPUS), Kapasitas Dan Integritas Kepala Daerah (KIPD), Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Biaya Transaksi Lain (BT), Kebijakan Infrastruktur Daerah (KID), Keamanan Dan Penyelesaian Konflik (KPS), dan Kualitas Peraturan Daerah (KPD) (KPPOD,2008).
Selain berpengaruh terhadap penciptaan realisasi investasi nasional, indikator iklim investasi tersebut juga berpengaruh terhadap realisasi investasi di seluruh wilayah Indonesia termasuk juga di wilayah Provinsi Jawa Barat yang menjadi studi kasus dalam penelitian ini. Menurut BKPPMD Jawa Barat (2008), nilai realisasi investasi asing dan domestik Provinsi Jawa Barat sangat tinggi, terutama nilai PMDN Jawa Barat yang menduduki peringkat pertama nasional dengan nilai Rp. 11,22 triliun atau 34,04 persen dari jumlah investasi di Indonesia. Salah satu faktor terbesar yang mendorong terjadinya realisasi investasi yang besar tersebut adalah terjadinya peningkatan iklim investasi di Jawa Barat menuju kearah yang lebih kondusif dari tahun-tahun sebelumnya. Maka dari hal tersebut, penelitian ini ingin mencari keterkaitan antara iklim investasi berdasarkan
(38)
Indikator-Indikator Iklim Investasi di Indonesia Berdasarkan Persepsi Pelaku Usaha
ALUKU PU IPPU PPUS KIPD BT KID KPS KPD
Realisasi Investasi Provinsi Jawa Barat
Indikator-Indikator Iklim Investasi yang Berpengaruh Signifikan Terhadap Realisasi Investasi Jawa Barat
Rekomendasi Implementasi Kebijakan
persepsi pelaku usaha dan realisasi investasi Provinsi Jawa Barat sehingga didapatkan indikator-indikator iklim investasi tersebut yang secara signifikan mempengaruhi realisasi investasi Provinsi Jawa Barat.
Untuk meneliti keterkaitan tersebut, penelitian ini menggunakan unit analisis data kabupaten dan kota se Jawa Barat pada tahun 2007. Data tersebut akan diuji dengan metode OLS (ordinary Least Square). Selain itu, penelitian ini juga akan memberikan rekomendasi implementasi kebijakan yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah provinsi untuk memperbaiki iklim investasi agar menjadi lebih kondusif agar dapat mendorong peningkatan realisasi investasi di Provinsi Jawa Barat pada masa yang akan datang.
(39)
2.4. Hipotesis
1. Indikator akses terhadap lahan usaha dan jaminan hak atas tanah berpengaruh positif terhadap realisasi investasi Provinsi Jawa Barat.
2. Indikator perizinan usaha berpengaruh negatif terhadap realisasi investasi Provinsi Jawa Barat.
3. Indikator interaksi antara Pemda dan pelaku usaha berpengaruh positif terhadap realisasi investasi Provinsi Jawa Barat.
4. Indikator program pengembangan usaha swasta berpengaruh positif terhadap realisasi investasi Provinsi Jawa Barat.
5. Indikator kapasitas dan integritas Kepala Daerah berpengaruh positif terhadap realisasi investasi Provinsi Jawa Barat.
6. Indikator pajak daerah, retribusi daerah dan biaya transaksi lain berpengaruh negatif terhadap realisasi investasi Provinsi Jawa Barat. 7. Indikator kebijakan infrastruktur daerah berpengaruh positif terhadap
realisasi investasi Provinsi Jawa Barat.
8. Indikator keamanan dan penyelesaian konflik berpengaruh positif terhadap realisasi investasi Provinsi Jawa Barat.
9. Indikator kualitas peraturan daerah berpengaruh positif terhadap realisasi investasi Provinsi Jawa Barat.
(40)
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder tersebut merupakan data cross section dari data sembilan indikator iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha di 25 kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2007 yang diperoleh dari KPPOD serta data realisasi investasi Provinsi Jawa Barat tahun 2007 yang diperoleh dari Badan Koordinasi Promosi dan Penanaman Modal Daerah (BKPPMD) Provinsi Jawa Barat. Data sekunder lain yang masih terkait dalam penelitian ini diperoleh dari Bank Dunia, Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat, artikel, jurnal, skripsi dan tesis dari perpustakaan IPB, internet dan lembaga lainnya.
3.2. Metode Analisis
3.2.1. Analisis Regresi Berganda
Penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda dengan tujuan untuk menganalisis keterkaitan hubungan yang signifikan antara sembilan indikator iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha dan realisasi investasi di kabupaten dan kota Provinsi Jawa Barat. Estimasi koefisien regresi berganda dilakukan melalui metode Ordinary Least Square (OLS). Metode Ordinary Least Square (OLS) merupakan salah satu metode yang sering digunakan karena kemudahannya dalam pengolahan data.
(41)
Keterangan:
n = 1, 2, 3, …, N
α0 = Intersep
αn = Koefisien kemiringan parsial
Xn = Variabel bebas
Y = Variabel tak bebas
ε = Galat
Menurut Gujarati (1993), beberapa asumsi yang menyederhanakan model ini adalah sebagai berikut:
1. Nilai rata-rata bersyarat dari unsur gangguan populasi ε (galat) tergantung pada nilai tertentu variabel bebas (X) adalah nol.
2. Tidak ada autokorelasi (korelasi berurutan) dalam gangguan ε.
3. Varians bersyarat dari ε1 adalah konstan dan homokedastisitas (penyebaran
sama).
4. Variabel yang menjelaskan (X) adalah non-stokastik/tidak acak (tetap dalam penyampelan berulang) atau jika stokastik didistribusikan secara
independen dari gangguan ε1.
5. Tidak ada multikolinearitas diantara variabel yang menjelaskan (X). Semua asumsi di atas jika terpenuhi, maka penaksir OLS dari koefisien regresi adalah penaksir tak bias linear terbaik atau Best Linear Unbiased Estimator (BLUE). Analisis OLS menunjukkan hubungan sebab akibat antara variabel X (variabel bebas) yang merupakan penyebab dan variabel Y (variabel terikat) yang merupakan akibat, dengan kata lain OLS merupakan metode yang digunakan
(42)
untuk menganalisis pengaruh variabel-veriabel bebas yang mempengaruhi variabel tak bebas.
3.2.2. Model Analisis Berganda
Model persamaan awal yang digunakan untuk menganalisis keterkaitan antara iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha dan realisasi investasi di kabupaten dan kota Provinsi Jawa Barat adalah sebagai berikut:
INV= f (ALUKU, PU, IPPU, PPUS, KIPD, BT, KID, KPS, KPD) (3.2) Keterangan:
INV : Realisasi Investasi Provinsi Jawa Barat Tahun 2007 (Rp) ALUKU : Akses Lahan Usaha dan Kepastian Berusaha (persen) PU : Perizinan Usaha (persen)
IPPU : Interaksi Pemda dan Pelaku Usaha (persen) PPUS : Program Pengembangan Usaha Swasta (persen) KIPD : Kapasitas dan Integritas Kepala Daerah (persen)
BT : Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Biaya Transaksi Lain (persen) KID : Kebijakan Infrastruktur Daerah (persen)
KPS : Keamanan dan Penyelesaian Sengketa (persen) KPD : Kualitas Peraturan Daerah (persen)
Langkah selanjutnya data realisasi investasi Jawa Barat tahun 2007 yang didapat dalam satuan rupiah harus diubah kedalam bentuk logaritma natural (L_) agar menghasilkan data investasi dalam satuan persen. Karena variabel tak bebasnya dalam bentuk logaritma natural, maka variabel bebasnya juga harus
(43)
diubah kedalam logaritma natural agar dapat dibandingkan dan konsisten sepanjang waktu serta untuk mempermudah dalam melihat respon antar variabel (variabel bebas terhadap variabel tak bebas). Setelah dicoba berbagai bentuk persamaan yang mewakili bentuk hubungan antara variabel terikat dengan variabel-variabel bebas, diperoleh persamaan yang secara statistika cukup baik sebagai berikut:
L_INV= α0 + α1L_ALUKU + α2L_PU + α3L_IPPU + α4L_PPUS + α5L_KIPD
+ α6L_BT + α7L_KID + α8L_KPS + α9L_KPD + ε (3.3)
Keterangan:
L_INV : Realisasi Investasi Provinsi Jawa Barat Tahun 2007 (persen) L_ALUKU : Akses Lahan Usaha dan Kepastian Berusaha (persen)
L_PU : Perizinan Usaha (persen)
L_IPPU : Interaksi Pemda dan Pelaku Usaha (persen) L_PPUS : Program Pengembangan Usaha Swasta (persen) L_KIPD : Kapasitas dan Integritas Kepala Daerah (persen)
L_BT : Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Biaya Transaksi Lain (persen) L_KID : Kebijakan Infrastruktur Daerah (persen)
L_KPS : Keamanan dan Penyelesaian Sengketa (persen) L_KPD : Kualitas Peraturan Daerah (persen)
ε : Galat
Setelah itu, model tersebut dianalisis menggunakan kriteria-kriteria uji statistik dan uji ekonometrika agar model tersebut memenuhi persyaratan metode
(44)
analisis OLS dan terbebas dari masalah-masalah autokorelasi, heteroskedastisitas, dan multikolinearitas.
3.3. Uji Statistik Model
3.3.1. Pengujian Model dengan Menggunakan Uji F-Statistik
Uji F-statistik ini digunakan untuk menduga persamaan secara keseluruhan. Uji F-statistik ini dapat menjelaskan kemampuan variabel bebas secara bersama dalam menjelaskan keragaman dari variabel terikat. Hipotesis yang diuji dari parameter pendugaan persamaan adalah variabel bebas tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikat, hal ini disebut sebagai hipotesis nol (H0) dengan mekanisme sebagai berikut:
H0 : α1 = α2 = … = αi = 0,
(tidak ada pengaruh nyata variabel-variabel dalam persamaan) H1 :minimal salah satu αi ≠ 0,
(paling sedikit ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikat)
Untuk i = 1, 2, 3, …, n dan α = dugaan parameter
Statistik uji yang dilakukan dalam uji-F (Gujarati, 1993):
− ℎ� � = 1− 2 �−2 1−� (3.4)
Keterangan:
R2 =Koefisien determinasi n = Banyaknya titik pengamatan k = Jumlah koefisien regresi dugaan
(45)
Dimana hasil dari F-hitung dibandingkan dengan F tabel (F-tabel = Fα(k-1, n-k))
dengan kriteria uji:
F-hitung > Fα(k-1, n-k), maka tolak H0
F-hitung ≤ Fα(k-1, n-k), maka terima H0
Langkah selanjutnya adalah melakukan pengujian dimana F-hitung dari hasil analisis dibandingkan dengan F-tabel. Jika F-hitung > F-tabel maka tolak H0,
berarti minimal ada satu parameter dugaan yang tidak nol dan berpengaruh nyata terhadap keragaman variabel terikat. Jika F-hitung ≤ F-tabel maka terima H0,
berarti secara bersama-sama variabel yang digunakan tidak bisa menjelaskan secara nyata keragaman dari variabel terikat.
3.3.2. Pengujian Hipotesis Parameter Regresi
Pengujian ini dilakukan untuk melihat apakah masing-masing variabel bebas berpengaruh pada variabel terikatnya.
Hipotesis:
H0 : α1 = α2 = … = αi = 0,
(tidak ada pengaruh nyata variabel-variabel dalam persamaan) H1 :minimal salah satu αi ≠ 0,
(paling sedikit ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikat)
Untuk i = 1, 2, 3, …, n dan α = dugaan parameter
Uji statistik yang digunakan adalah uji-t (Gujarati,1993):
(46)
Keterangan:
α : Koefisien regresi parsial sampel
β : Koefisien regresi parsial populasi Sb :Simpangan baku koefisien dugaan
Dimana hasil dari t-hitung dibandingkan dengan t-tabel (t-tabel = tα/2 (n-k)) dengan
kriteria uji:
t-hitung > tα/2 (n-k),maka tolak H0
t-hitung ≤ tα/2 (n-k),maka terima H0
Hasil yang didapatkan dari perbandingan tersebut jika t-hitung > t-tabel maka tolak H0, berarti variabel signifikan berpengaruh nyata pada taraf nyata (α).
Hasil yang didapatkan dari perbandingan tersebut jika t-hitung ≤ t-tabel maka terima H0, berarti variabel yang digunakan tidak berpengaruh nyata terhadap
variabel terikat.
3.3.3. Koefisien Determinasi (R-Squared) dan Adjusted R-Squared
Koefisien determinasi (R-Squared) dan Adjusted R-Squared digunakan untuk melihat sejauhmana variabel bebas mampu menerangkan keragaman variabel tak bebasnya dan untuk melihat seberapa kuat variabel yang dimasukkan ke dalam model dapat menerangkan model tersebut. Menurut Gujarati (1993), terdapat dua sifat R-Squared, yaitu:
(47)
2. Batasnya adalah 0 ≤ R2 ≤ 1, jika R2 bernilai 1 berarti suatu kecocokan sempurna, sedangkan jika R2 bernilai 0 berarti tidak ada hubungan antara variabel terikat dengan varibel bebas.
Nilai koefisien determinasi dapat dihitung sebagai berikut: 2 =
= 1−
= 1− �2
�2 (3.6)
Keterangan:
ESS : Jumlah kuadrat yang dijelaskan (Explained Sum Square) TSS : Jumlah kuadrat total (Total Sum Square)
Salah satu masalah jika menggunakan ukuran R-squared untuk menilai baik-buruknya suatu model adalah akan selalu mendapatkan nilai yang terus naik seiring dengan pertambahan variabel bebas ke dalam model, sehingga Adjusted R-squared bisa juga digunakan untuk melihat sejauhmana variabel bebas mampu menerangkan keragaman variabel tak bebasnya. Adjusted R-squared secara umum memberikan hukuman terhadap penambahan variabel bebas yang tidak mampu menambah daya prediksi suatu model. Nilai Adjusted R-squared tidak akan pernah melebihi nilai R-squared bahkan dapat turun jika ditambahkan variabel bebas yang tidak perlu. Bahkan untuk model yang memiliki kecocokan rendah (goodness of fit), Adjusted R-squared dapat memiliki nilai negatif. Nilai Adjusted R-squared dapat dihitung sebagai berikut:
(48)
2 = 1− � 2 ( −�)
�2
−1
(3.7)
dimana k adalah banyaknya parameter dalam model termasuk faktor intersep. Persamaan (3.7) dapat ditulis sebagai berikut:
2 = 1− �2
2 (3.8)
Keterangan:
σ2
: Varians residual Sy2 : Varians sampel dari Y
3.4. Uji Ekonometrika
3.4.1. Uji Normalitas
Uji normalitas digunakan karena jumlah data yang digunakan kurang dari 30. Uji ini digunakan untuk melihat apakah galat telah mendekati distribusi normal. Pada Software Minitab uji normalitas dilakukan dengan menggunakan Probability Plot. Jika nilai probabilitas (p-value) lebih besar dari taraf nyata yang digunakan, maka model persamaan OLS yang digunakan tidak mempunyai masalah normalitas atau galat terdistribusi secara normal.
Jika terjadi masalah ketidaknormalan dapat dilakukan dengan mentransformasikan peubah respon menjadi bentuk yang lebih normal. Secara teori, transformasi tersebut ada apabila sebaran dari variabel respon dapat diketahui. Transformasi ini berguna untuk mengatasi kemenjuluran sebaran sisaan dan ketidaklinearan fungsi regresi.
(49)
3.4.2. Autokorelasi
Didalam berbagai penelitian seringkali terdeteksi adanya hubungan serius antara gangguan estimasi satu observasi dengan gangguan estimasi observasi yang lain. Nisbah antara observasi inilah yang disebut sebagai masalah autokorelasi. Adanya autokorelasi akan menyebabkan terjadinya:
1) Dugaan parameter tak bias.
2) Nilai galat baku terautokorelasi, sehingga ramalan tidak efisien. 3) Ragam ralat terbias.
4) Terjadi pendugaan kurang pada ragam galat (standard error underestimated), sehingga Sb underestimated. Oleh karena itu, t-
overestimated cenderung lebih besar dari sebenarnya.
Uji autokorelasi dapat dilakukan dengan uji Durbin Watson. Statistik Durbin Watson (DW) dapat menunjukkan ada tidaknya korelasi diri antara galat yang satu dengan galat lainnya.
= �− �−1
� (3.9)
dengan ei = jumlah persamaan kuadrat unsur sisa (galat)
Kriteria uji yang digunakan untuk melihat adanya autokorelasi adalah sebagai berikut:
1) Apabila nilai uji Durbin Watson 0-1,1, maka model persamaan yang digunakan mengalami masalah autokorelasi.
2) Apabila nilai uji Durbin Watson 1,1-1,54, maka model persamaan yang digunakan tidak terdeteksi masalah autokorelasi.
(50)
3) Apabila nilai uji Durbin Watson 1,54-2,46, maka model persamaan yang digunakan tidak mengalami masalah autokorelasi.
4) Apabila nilai uji Durbin Watson 2,46-2,9, maka model persamaan yang digunakan tidak terdeteksi masalah autokorelasi.
5) Apabila nilai uji Durbin Watson 2,9-4, maka model persamaan yang digunakan mengalami masalah autokorelasi.
Solusi dari masalah autokorelasi, yaitu dihilangkannya variabel yang sebenarnya berpengaruh terhadap variabel tak bebas. Jika terjadi kesalahan dalam spesifikasi model, hal ini dapat diatasi dengan mentransformasi model, misalnya dari model linear menjadi nonlinier atau sebaliknya.
3.4.3. Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas adalah suatu penyimpangan asumsi OLS dalam bentuk varians gangguan estimasi yang dihasilkan oleh estimasi OLS yang tidak bernilai konstan. Heteroskedastisitas tidak merusak sifat ketidakbiasan dan konsistensi dari penaksir OLS tetapi penaksir yang dihasilkan tidak lagi mempunyai varian minimum (efisien). Menurut Gujarati (1993), jika terjadi heteroskedastisitas maka akan berakibat sebagai berikut:
1) Estimasi dengan menggunakan OLS tidak akan memiliki varians yang minimum atau estimator tidak efisien.
2) Prediksi (nilai Y untuk X tertentu) dengan estimator dari data yang sebenarnya akan mempunyai varians yang tinggi, sehingga prediksi menjadi tidak efisien.
(51)
3) Tidak dapat diterapkannya uji nyata koefisien atau selang kepercayaan dengan menggunakan formula yang berkaitan dengan nilai varians.
Pengujian masalah heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji Glejser, yang dilakukan pertama kali pada uji ini adalah mendapatkan residual (ut)
dari regresi OLS, lalu regresikan nilai absolut dari ut (|ut|) terhadap variabel bebas
yang diperkirakan mempunyai hubungan yang erat. Uji ini menggunakan nilai probabilitas dari |ut|, jika hasil regresi siginifikan berarti terdapat masalah
heteroskedastisitas. Hipotesis :
H0 : ρ = 0
H1 : ρ ≠ 0
Kriteria uji yang digunakan untuk melihat adanya heteroskedastisitas adalah sebagai berikut:
1. Probability |ut| < α, maka tolak H0
2. Probability |ut| > α, maka terima H0
Keterangan:
|ut| : Residual (galat)
Jika H0 ditolak maka terjadi heteroskedastisitas dalam model, sebaliknya
jika H0 diterima maka tidak ada heteroskedastisitas dalam model. Solusi dari
masalah heteroskedastisitas adalah mencari transformasi model asal sehingga model yang baru akan memiliki galat dengan varians yang konstan.
(52)
3.4.4. Multikolinearitas
Multikolinearitas adalah adanya hubungan linear yang sempurna atau pasti diantara beberapa atau semua variabel yang menjelaskan dari model regresi. Tanda-tanda adanya multikolinearitas adalah sebagai berikut:
1) Tanda tidak sesuai dengan yang diharapkan.
2) R-squared-nya tinggi tetapi uji individu tidak banyak bahkan tidak ada yang nyata.
3) Korelasi sederhana antara variabel individu tinggi (rij tinggi).
4) R2 lebih kecil dari rij2 menunjukkan adanya masalah multikolinearitas.
Konsekuensi multikolinearitas adalah estimasinya tidak dapat ditentukan dan galat baku menjadi tinggi sehingga prediksi menjadi tidak benar. Kriteria ekonometrik untuk melihat adanya multikolinearitas diantara peubah-peubah penjelas dalam satu persamaan dapat dilihat dari R-squared dan kuadrat korelasi sederhana peubah-peubah penjelas (rij2) yang dirumuskan sebagai berikut:
� 1 2 =
1 2 − 1 2 12− 1 2 22− 2 2
(3.10)
2
, 1,…, � =
1 1+ 1 2+⋯+ � �
2 (3.11)
Keterangan:
rX1X2 :Koefisien korelasi X1 dan X2 X1X2 :Peubah-peubah penjelas
Y : Peubah tak bebas
(53)
Ada beberapa cara untuk mengetahui multikolinearitas dalam model, salah satunya adalah uji Manquardt, yaitu dengan melihat nilai Variance Inflation Factor (VIF) pada masing-masing variabel bebas. Jika nilai VIF kurang dari lima, maka dapat disimpulkan bahwa dalam persamaan tidak terdapat multikolinearitas. Sebaliknya, jika nilai VIF lebih besar dari lima maka terdapat multikolinearitas dalam persamaan tersebut.
Salah satu cara yang dilakukan untuk mengatasi masalah multikolinearitas adalah dengan regresi analisis komponen utama (principal componet analysis). Pendugaan dengan regresi komponen utama akan menghasilkan nilai dugaan yang memiliki tingkat ketelitian yang lebih tinggi, dengan jumlah kuadrat sisaan yang lebih kecil dibandingkan dengan pendugaan metode kuadrat terkecil. Analisis komponen utama pada dasarnya mentransformasi peubah-peubah bebas yang berkorelasi menjadi peubah-peubah baru yang orthogonal dan tidak berkorelasi. Analisis ini bertujuan untuk menyederhanakan peubah-peubah yang diamati dengan cara mereduksi dimensinya. Hal ini dilakukan dengan menghilangkan korelasi di antara peubah melalui transformasi peubah asal ke peubah baru (komponen utama) yang tidak berkorelasi.
(54)
BAB IV. GAMBARAN UMUM
4.1. Kondisi Geografis Provinsi Jawa Barat
Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5°50'-7°50' LS dan 104°48'-104°48 BT dengan luas wilayah sebesar 35.746,26 km2 yang terdiri dari 17 kabupaten dan 9 kota (Lampiran 1). Provinsi Jawa Barat berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Jawa Tengah di timur, Samudra Hindia di selatan, serta Banten dan DKI Jakarta di barat. Kondisi Geografis Jawa Barat sangat strategis dan menguntungkan dari segi komunikasi dan perhubungan karena kontur topografi daratan yang dapat dibedakan atas wilayah pegunungan curam di selatan dengan ketinggian lebih dari 1.500 meter di atas permukaan laut (mdpl), wilayah lereng bukit yang landai di tengah dengan ketinggian 100-1.500 mdpl yang membujur dari barat hingga timur, wilayah dataran rendah yang luas di utara ketinggian 0-10 mdpl (kawasan pantai utara). Titik tertinggi rangkaian pegunungan tersebut adalah Gunung Ciremay yang berada di sebelah barat daya Kota Cirebon. Sungai-sungai yang cukup penting adalah sungai Citarum dan sungai Cimanuk, yang bermuara di Laut Jawa. Selain itu, perbedaan kontur topografi daratan tersebut juga menyebabkan perbedaan iklim antara daerah pantai dan daerah pegunungan walaupun Jawa Barat sendiri sebenarnya beriklim tropis, contohnya seperti suhu terendah sebesar 9,0°C yang berada di Puncak Gunung Pangrango dan 34,0°C di Pantai Utara. Sedangkan untuk curah hujan rata-rata di Provinsi Jawa Barat sebesar 2.000 mm per tahun, namun di beberapa daerah
(55)
pegunungan curah hujan rata-rata bisa mencapai kisaran angka 3.000 mm sampai 5.000 mm per tahun.
4.2. Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB)
PDRB merupakan salah satu indikator perekonomian suatu wilayah, jumlah PDRB yang tinggi menggambarkan perekonomian suatu wilayah yang tinggi. Hal tersebut mendorong kepercayaan dan merangsang investor untuk melakukan kegiatan investasi. Oleh karena itu, setiap kabupaten dan kota di Jawa Barat berusaha untuk meningkatkan nilai PDRB agar dapat meningkatkan tingkat investasi di daerahnya.
Tabel 4.1. Nilai PDRB Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat Tahun 2007 No Nama Kabupaten dan Kota Nilai PDRB (Rp. miliar)
1 Kabupaten Ciamis 12.545,00
2 Kota Banjar 1.290,03
3 Kabupaten Kuningan 6.023,54
4 Kabupaten Karawang 0,59
5 Kabupaten Sumedang 9.034,57
6 Kabupaten Purwakarta 11.271,57
7 Kota Cirebon 9.102,82
8 Kabupaten Garut 17.715,22
9 Kota Bandung 50.522,18
10 Kota Tasikmalaya 6.353,91
11 Kabupaten Majalengka 7.250,60
12 Kota Bogor 8.558,04
13 Kabupaten Cianjur 13.548,21
14 Kabupaten Bandung 33.319,63
15 Kabupaten Subang 12.121,31
16 Kota Sukabumi 3.172,97
17 Kabupaten Indramayu 34.541,95
18 Kabupaten Cirebon 12.930,23
19 Kabupaten Bogor 30.700,21
20 Kabupaten Tasikmalaya 9.261,88
21 Kabupaten Sukabumi 14.502,89
22 Kota Cimahi 9.223,56
23 Kota Bekasi 25.419,18
24 Kota Depok 10.426,08
25 Kabupaten Bekasi 73.867,76
(56)
Berdasarkan tabel tersebut, daerah yang memiliki nilai PDRB tertinggi pada tahun 2007 adalah Kabupaten Bekasi dengan nilai PDRB sebesar Rp. 73.867,76 miliar, lalu diikuti oleh Kota Bandung pada peringkat kedua dengan nilai PDRB sebesar Rp. 50.522,18 miliar. Peringkat selanjutnya ditempati oleh Kabupaten Indramayu (Rp. 34.541,95 miliar), Kabupaten Bandung (Rp. 33.319,63 miliar) dan Kabupaten Bogor (Rp. 30.700,21 miliar) pada peringkat ketiga, keempat, dan kelima. Sedangkan pemerintah daerah di Provinsi Jawa Barat yang memiliki nilai PDRB terkecil adalah Kabupaten Karawang dengan nilai PDRB sebesar Rp. 0,59 miliar.
4.3. Tata Kelola Ekonomi Daerah
Survei Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) tahun 2007 ini menyajikan suatu gambaran yang sangat menarik mengenai dinamika pemerintahan daerah dan pengembangan iklim investasi di Indonesia setelah pelaksanaan otonomi daerah yang telah berlangsung sejak tahun 2001. Survei yang dilaksanakan keenam kalinya ini merupakan suatu program yang dilakukan KPPOD sejak tahun 2001 dengan dukungan The Asia Foundation. Cakupan wilayah survei bertambah dari tahun ke tahun, diawali dengan 90 kabupaten dan kota di tahun 2001, kemudian 134 kabupaten dan kota tahun 2002, dilanjutkan tahun 2003 meliputi 200 kabupaten dan kota, disusul 214 kabupaten dan kota di tahun 2004 dan 228 kabupaten dan kota tahun 2005, sebelum akhirnya survei dilakukan di 243 kabupaten dan kota dengan jumlah responden sekitar 50 pelaku usaha tiap daerah dari 15 provinsi pada tahun 2007. Survei ini merupakan survei terbesar untuk
(57)
survei sejenis di Indonesia, dan salah satu dari survei tata kelola ekonomi terbesar di dunia. Tujuan dari survei ini adalah untuk mendorong kompetisi antar daerah dan untuk menekankan pentingnya iklim investasi daerah di era desentralisasi.
Survei ini lebih memfokuskan pada tata kelola ekonomi daerah yang menitikberatkan indikator penelitian yang bersifat kebijakan dan implementasinya, berbeda dengan survei tahun-tahun sebelumnya yang menggabungkan faktor anugerah dengan faktor kebijakan. Survei ini juga fokus pada aspek-aspek tata kelola ekonomi yang merupakan kewenangan pemerintah daerah kabupaten dan kota. Survei ini menggunakan sembilan indikator iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha, yaitu: akses lahan usaha dan kepastian usaha, perizinan usaha, interaksi antara Pemda dan pelaku usaha, program pengembangan usaha swasta, kapasitas dan integritas Kepala Daerah, pajak daerah, retribusi daerah dan biaya transaksi lain, kebijakan infrastruktur daerah, keamanan dan penyelesaian konflik, dan kualitas peraturan daerah.
Survei ini menggunakan dua jenis instrumen penelitian, yaitu kuesioner terhadap pelaku usaha dan asosiasi usaha daerah serta lembar penilaian melalui analisa kualitatif terhadap peraturan daerah. Dalam kuesioner, setiap indikator terdiri atas beberapa pertanyaan yang berupa variabel kuantitatif dan variabel kualitatif. Kedua jenis variabel ini tidak dapat diagregasikan secara langsung karena memiliki satuan pengukuran yang berbeda, misalnya: Rp dan persepsi (1 = sangat buruk - 4 = sangat baik). Oleh karena itu, diperlukan suatu metode untuk menggabungkan variabel-variabel tersebut dalam satu variabel baru yang mampu
(58)
menghilangkan satuan data dari masing-masing variabel. Tahap untuk membuat variabel komposit sebagai berikut:
= 100 �− �
− � (4.1)
Dimana:
t = Variabel komposit variabel penilaian indikator xi = Data ke i dari variabel penilaian indikator
xmax = Data tertinggi dari variabel penilaian indikator
xmin = Data terendah dari variabel penilaian indikator
Tahapan pembobotan dari setiap variabel ke subindikator menggunakan rata-rata nilai variabel-variabel penyusunnya. Sedangkan tahap pembobotan selanjutnya dari sub-indikator ke indikator menggunakan bobot berdasarkan penilaian hambatan utama bagi aktivitas usaha. Pembobotan sub-indikator ke indikator tersebut, yaitu: kebijakan infrastruktur daerah sebesar 35,5 persen, program pengembangan usaha swasta (14,8 persen), akses lahan usaha dan kepastian usaha (14 persen) interaksi Pemda dan pelaku usaha (10 persen), pajak daerah, retribusi daerah dan biaya transaksi lain (9,9 persen), perizinan usaha (8,8 persen), keamanan dan penyelesaian konflik (4 persen), kapasitas dan integritas Kepala Daerah (2 persen), dan kualitas peraturan daerah (1 persen). Penjelasan lebih lanjut mengenai sembilan indikator tersebut akan dijelaskan dalam sub-bab di bawah ini.
(59)
4.3.1. Akses Lahan Usaha dan Kepastian Berusaha
Lahan merupakan tempat yang digunakan untuk memulai aktivitas usaha yang dibutuhkan setiap jenis kegiatan usaha. Walaupun perkembangan teknologi dan jenis usaha tertentu (misalnya jasa dokter) tidak membutuhkan kehadiran lahan, namun sebagian besar aktivitas ekonomi di Indonesia masih sangat bergantung pada lahan. Tingkat permintaan terhadap lahan semakin tinggi, sedangkan ketersediaan lahan yang terbatas telah menjadi permasalahan tersendiri. Permasalahan lahan tersebut bisa dikatakan sebagai masalah alami akses lahan. Sedangkan masalah administrasi pertanahan yang sering muncul seperti sengketa lahan karena adanya kepemilikan sertifikat ganda ataupun perubahan tanah ulayat. Prinsip-prinsip dasar yang dikembangkan pada indikator akses lahan dan kepastian usaha adalah tingkat kepastian hukum terhadap kepemilikan lahan, tingkat resiko penggusuran, lama pengurusan surat kepemilikan tanah, dan tingkat kemudahan perolehan lahan serta frekuensi terjadinya konflik mengenai kepemilikan atau perjanjian kerjasama penggunaan lahan.
Konstitusi Indonesia pada Pasal 33 ayat (3) menyebutkan bahwa bumi, air, dan ruang angkasa dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Ketentuan ini kemudian dijadikan dasar penyusunan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Ketentuan Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Pasal 2 UUPA ayat (2) dijabarkan mengenai hak negara yang merupakan penjabaran dari pasal 33 ayat (3) UUD, yaitu:
(60)
a) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
b) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa.
c) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan antara orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
Atas dasar tersebut, negara memiliki hak atas permukaan bumi (tanah) yang diantaranya adalah:
1. Hak milik adalah hak turun-temurun, kuat, dan penuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, tetapi tidak berarti bahwa hak milik tersebut merupakan hak yang mutlak, tidak terbatas, dan tidak dapat diganggu gugat. Hak milik terjadi karena ketentuan undang-undang atau berdasarkan peraturan pemerintah. Yang dapat mempunyai hak milik adalah warga negara Indonesia (WNI), Badan hukum yang telah ditunjuk oleh pemerintah dan dipergunakan langsung dalam bidang sosial atau keagamaan.
2. HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu, misalnya digunakan untuk perusahaan pertanian atau perkebunan, perikanan dan peternakan. Yang dapat mempunyai HGU adalah WNI dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
3. HGB adalah hak untuk mendirikan bangunan di atas tanah yang bukan miliknya dengan jangka waktu tertentu. Yang dapat mempunyai HGB
(61)
adalah WNI dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
4. Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang, dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikan atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah. Yang dapat memperoleh hak pakai adalah WNI, warga negara asing, perusahan Indonesia atau perusahaan asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Dalam implementasinya, hak atas tanah dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat. Sertifikat tanah diperoleh melalui pendaftaran tanah oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pendaftaran tanah sendiri meliputi dua hal, yaitu: pendaftaran untuk tanah yang belum bersertifikat dan pendaftaran untuk pengalihan atau peningkatan hak. Pendaftaran tanah dimulai dari pengumpulan dan pengolahan data fisik, pembuktian hak dan pembukuannya, penerbitan sertifikat, penyajian data fisik dan data yuridis, dan penyimpanan daftar umum dan dokumen.
Dasar hukum atas aktivitas pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud di atas adalah Undang- Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dan Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1997 tentang
(62)
Pendaftaran Tanah. Dari sejumlah ketentuan itu, prosedur pendaftar pendaftaran tanah, tidak secara jelas mengatur mengenai batas waktu pelayanan perizinan (pendaftaran) tanahnya.
Gambaran Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Menurut Peraturan Pemerintah No 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Pusat, Pemerintahan Daerah, Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten dan Kota. Berikut adalah penjabaran detil mengenai pembagian urusan pemerintahan bidang pertanahan pemerintah kabupaten dan kota:
1. Izin Lokasi
Izin Lokasi meliputi penerimaan permohonan dan pemeriksaan kelengkapan persyaratan, kompilasi bahan koordinasi, pelaksanaan rapat koordinasi, pelaksanaan peninjauan lokasi, penerbitan surat keputusan izin lokasi. 2. Pengadaan tanah
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum seperti penetapan lokasi, pembentukan tim penilai tanah, pelaksanaan musyawarah, penetapan lokasi, pembentukan panitia pengadaan tanah, penerimaan hasil penaksiran nilai tanah dari lembaga atau tim penilai tanah.
3. Penyelesaian sengketa tanah garapan
Penyelesaian sengketa tanah garapan meliputi penerimaan dan pengkajian laporan pengaduan sengketa tanah garapan, penelitian terhadap obyek-subyek sengketa, pencegahan meluasnya dampak sengketa tanah garapan, koordinasi dengan kantor pertanahan untuk menetapkan langkah-langkah penanganannya,
(63)
fasilitasi musyawarah antar pihak yang bersengketa untuk mendapatkan kesepakatan para pihak.
4. Penyelesaian masalah ganti kerugian
Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan meliputi pembentukan tim pengawasan pengendalian, penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan.
5. Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah
Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee meliputi pembentukan panitia pertimbangan land reform dan sekretariat panitia, pelaksanaan sidang yang membahas hasil inventarisasi untuk penetapan subyek-obyek redistribusi tanah serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee, pembuatan hasil sidang dalam berita acara, penetapan tanah kelebihan maksimum, penetapan para penerima retribusi tanah kelebihan, penerbitan surat keputusan subyek dan obyek.
6. Penetapan tanah ulayat
Penetapan tanah ulayat meliputi pembentukan panitia peneliti, pelaksanaan dengar pendapat umum dalam rangka penetapan tanah ulayat, pengusulan rancangan Perda tentang penetapan tanah ulayat, pengusulan pemetaan dan pencatatan tanah ulayat dalam daftar tanah kepada kantor pertanahan kabupaten dan kota, penanganan masalah tanah ulayat melalui musyawarah dan mufakat.
(64)
7. Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong
Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong meliputi inventarisasi dan identifikasi tanah kosong untuk pemanfaatan tanaman pangan semusim, penetapan bidang tanah sebagai tanah kosong yang dapat digunakan untuk tanaman pangan semusim bersama dengan pihak lain berdasarkan perjanjian, penetapan pihak-pihak yang memerlukan tanah untuk tanaman pangan semusim dengan mengutamakan masyarakat setempat, fasilitas perjanjian kerjasama antara pemegang hak tanah dengan pihak yang akan memanfaatkan tanah dihadapan atau diketahui oleh kepala desa atau lurah dan camat setempat dengan perjanjian untuk dua kali musim tanam, penanganan masalah yang timbul dalam pemanfaatan tanah kosong jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian.
8. Izin membuka tanah
Izin membuka tanah meliputi penerimaan dan pemeriksaan permohonan, pemeriksaan lapang dengan memperhatikan kemampuan tanah, status tanah dan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RUTRW) kabupaten dan kota, penerbitan surat izin membuka tanah.
9. Perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten dan kota
Perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten dan kota meliputi pembentukan tim koordinasi tingkat kabupaten dan kota, kompilasi dan informasi seperti peta pola rencana tata ruang wilayah rencana pembangunan yang akan menggunakan tanah baik dari pihak manapun, analisa kelayakan letak lokasi sesuai dengan ketentuan dan kriteria teknis dari intansi terkait, penyiapan draft
(1)
Kusumaningrum, A. 2007. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Investasi di Provinsi DKI Jakarta [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Lampiran Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006. Paket
Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi.
http://www.ekon.go.id/v2/attach/lampiraninpresikliminvestasi.pdf, Jakarta [16 Maret 2009].
Majaningtias, S. 2007. Analisis Pertumbuhan Investasi Enam Provinsi di Pulau Jawa Periode 2001-2005 [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Mankiw, N. G. 2000. Teori Makroekonomi Edisi Keempat. Erlangga, Jakarta.
Masitoh, I. 2007. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Investasi Di Indonesia [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Mishkin, F. 2001. The Economic of Money, Banking, and Financial Markets sixth edition. Addison Wesley, USA.
Pasaribu, S. H. 2003. Modul Pelatihan [Paket C] Eviews Untuk Analisis Runtut Waktu [Time Series Analysis]. Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sekretariat Negara Republik Indonesia. 2008. Profil Daerah Jawa Barat. http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view &id=2566&Itemid=1347, Jakarta [22 Mei 2009].
Simamora, S. S. 2006. Analisis Perbandingan Iklim Investasi: Indonesia Versus Beberapa Negara Lain [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sukirno, S. 2004. Pengantar Teori Makro Ekonomi Edisi 1 Cetakan 14. Grafindo Persada, Jakarta.
Walpole, R. E. 1995. Pengantar Statistika Edisi Ketiga. Erlangga, Jakarta.
Wati, H. K. 2008. Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian: Studi Komparasi Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing di Jawa Timur [tesis]. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
(2)
(3)
Lampiran 1. Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat N
O NAMA KOTA/KABUPATEN IBU KOTA
1 Kabupaten Bandung Soreang
2 Kabupaten Bandung Barat Ngamprah
3 Kabupaten Bekasi Bekasi
4 Kabupaten Bogor Cibinong
5 Kabupaten Ciamis Ciamis
6 Kabupaten Cianjur Cianjur
7 Kabupaten Cirebon Cirebon
8 Kabupaten Garut Garut
9 Kabupaten Indramayu Indramayu
10 Kabupaten Karawang Karawang
11 Kabupaten Kuningan Kuningan
12 Kabupaten Majalengka Majalengka
13 Kabupaten Purwakarta Purwakarta
14 Kabupaten Subang Subang
15 Kabupaten Sukabumi Sukabumi
16 Kabupaten Sumedang Sumedang
17 Kabupaten Tasikmalaya Singaparna
18 Kota Bandung -
19 Kota Banjar -
20 Kota Bekasi -
21 Kota Bogor -
22 Kota Cimahi -
23 Kota Cirebon -
24 Kota Depok -
25 Kota Sukabumi -
26 Kota Tasikmalaya -
(4)
Lampiran 2. Hasil Estimasi dengan Metode OLS
Regression Analysis: L_INV versus L_ALUKU; L_PU; ... The regression equation is
L_INV = - 52,5 - 0,65 L_ALUKU + 2,83 L_PU - 19,3 L_IPPU - 4,67 L_PPUS + 11,4 L_KIPD - 8,38 L_BT + 10,5 L_KID + 5,83 L_KPS + 13,9 L_KPD
Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant -52,48 47,24 -1,11 0,284 L_ALUKU -0,654 3,981 -0,16 0,872 1,3 L_PU 2,834 7,006 0,40 0,692 2,2 L_IPPU -19,306 5,521 -3,50 0,003 2,5 L_PPUS -4,674 1,813 -2,58 0,021 1,2 L_KIPD 11,400 3,996 2,85 0,012 1,8 L_BT -8,376 4,680 -1,79 0,094 1,8 L_KID 10,50 10,31 1,02 0,324 1,8 L_KPS 5,833 4,053 1,44 0,171 2,0 L_KPD 13,861 5,636 2,46 0,027 1,9
S = 2,32315 R-Sq = 64,2% R-Sq(adj) = 42,8%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P Regression 9 145,331 16,148 2,99 0,029 Residual Error 15 80,955 5,397
Total 24 226,286
Source DF Seq SS L_ALUKU 1 0,022 L_PU 1 1,830 L_IPPU 1 25,730 L_PPUS 1 53,769 L_KIPD 1 24,144 L_BT 1 1,691 L_KID 1 1,340 L_KPS 1 4,163 L_KPD 1 32,642
(5)
(6)
Lampiran 4. Hasil Uji Glejser
Regression Analysis: |Ut| versus L_ALUKU; L_PU; ... The regression equation is
|Ut| = 3,3 + 0,79 L_ALUKU + 4,28 L_PU + 0,87 L_IPPU - 0,357 L_PPUS + 2,23 L_KIPD - 0,11 L_BT - 4,44 L_KID + 0,18 L_KPS - 3,26 L_KPD
Predictor Coef SE Coef T P Constant 3,34 22,23 0,15 0,883 L_ALUKU 0,787 1,874 0,42 0,680 L_PU 4,285 3,297 1,30 0,213 L_IPPU 0,867 2,598 0,33 0,743 L_PPUS -0,3574 0,8534 -0,42 0,681 L_KIPD 2,229 1,881 1,19 0,254 L_BT -0,109 2,202 -0,05 0,961 L_KID -4,437 4,850 -0,91 0,375 L_KPS 0,181 1,907 0,10 0,926 L_KPD -3,262 2,653 -1,23 0,238