5 Tingkat hambatan program pengembangan usaha terhadap kinerja
perusahaan.
Setelah mendapatkan nilai total dari kelima variabel tersebut, KPPOD membaginya ke dalam empat klasifikasi, yaitu:
1 Nilai angka 0-25 persen, berarti bahwa program pengembangan usaha
swasta di kabupaten dan kota tersebut tergolong sangat buruk. 2
Nilai angka 26-50 persen, berarti bahwa program pengembangan usaha swasta di kabupaten dan kota tersebut tergolong buruk.
3 Nilai angka 51-75 persen, berarti bahwa program pengembangan usaha
swasta di kabupaten dan kota tersebut tergolong baik. 4
Nilai angka 76-100 persen, berarti bahwa program pengembangan usaha swasta di kabupaten dan kota tersebut tergolong sangat baik.
4.3.5. Kapasitas dan Integritas Kepala Daerah
Kinerja suatu pemerintahan, selain karena terlembaganya suatu sistem, dipengaruhi oleh pejabat pemerintah yang menjalankannya. Dalam suatu sistem
yang sudah terlembaga dengan baik sangat mungkin memberikan batas rambu- rambu yang kuat untuk meminimalisir penyimpangan para pejabat pelaksananya.
Namun dalam suatu sistem yang lemah, peran para pejabat yang melaksanakannya bisa sangat dominan mengabaikan sistem yang ada. Beberapa
studi menunjukkan temuan tentang pentingnya peran Kepala Daerah BupatiWalikota dalam tata kelola pemerintahan. Diantaranya, Luebke 2007,
menunjukkan signifikansi peran Kepala Daerah dalam menentukan kualitas
kebijakan daerah. Demikian pula, KPPOD 2005, menunjukkan bahwa integritas Kepala Daerah cukup penting pengaruhnya terhadap daya tarik investasi daerah. `
Selain latar belakang yang disampaikan di atas, masalah korupsi Kepala Daerah penting diperhatikan mengingat posisi Indonesia yang dinilai sebagai
negara keenam terkorup diantara 158 negara yang disurvei Transparansi Internasional. Melalui sejumlah peraturan perundang-undangan, negara dan
pemerintah Indonesia menegaskan political will untuk memerangi korupsi tersebut. Telah diterbitkan UU Nomor 281999 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan UU Nomor 311999 yang diubah dengan UU Nomor 202001 mengenai Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi untuk memerangi korupsi. Kebijakan tersebut dilengkapi dengan pelembagaan KPK Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana diatur
dalam UU Nomor 302002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan dalam peraturan perundang-undangan bahwa para pejabat
pemerintahan termasuk BupatiWalikota untuk menyerahkan LHKPN Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara ke KPK setiap tahun, serta kewajiban
melaporkan gratifikasi dengan sanksi pidana apabila dilanggar, merupakan kemajuan yang berarti dalam tata kelola pemerintahan.
Meskipun belum sepenuhnya berjalan, namun kepatuhan para penyelenggara pemerintahan atas ketentuan tersebut dari tahun ke tahun semakin
membaik yang memberikan harapan positif bagi berkurangnya praktek korupsi. Namun demikian, di sisi lain publik juga mencatat banyaknya pejabat negara
maupun pemerintah yang berurusan dengan aparat penegak hukum, utamanya KPK, yang berujung pada dijebloskannya para pejabat publik ke penjara.
Bila pada masa sebelum perang terhadap korupsi dilakukan secara intensif, berbagai pelanggaran hukum tidak mendapat hukuman yang setimpal. Saat ini
secara umum diakui bahwa penegakan hukum terhadap para koruptor telah menumbuhkan rasa takut di kalangan penyelenggara pemerintahan untuk
melakukan korupsi. Itulah efek jera yang secara positif membendung upaya korupsi. Upaya pemberantasan korupsi yang dikawal dengan pengawasan
represif melalui penindakan hukum yang cukup kuat, serta didukung sejumlah upaya preventif pembenahan sistem LHKPN, gratifikasi, proses pengadaan
barang dan jasa yang ketat, kenaikan gaji, dll. Sejumlah praktek positif di pemerintahan daerah patut mendapat apresiasi,
diantaranya adalah eprocurement pengadaan barang dan jasa melalui sistem yang meminimalisir kontak langsung antara penyedia barang dan jasa dengan
pemberi pekerjaan, user’s estimate dalam pengadaan barang dan jasa yang
menekan kemungkinan mark-up, implementasi one-stop service untuk mendapatkan perizinan usaha yang diantaranya secara positif meminimalisir
peluang terjadinya korupsi. Pemilihan Kepala Daerah langsung dengan disertai keberimbangan
informasi menjadi salah satu mekanisme kontrol masyarakat untuk menilai secara langsung kinerja pemimpin tertinggi di daerahnya masing masing. Dalam hal
kapasitas Kepala Daerah juga diyakini mempengaruhi kemampuannya untuk memberikan pelayanan kepada dunia usaha. Mengenai hal ini terdapat peraturan
perundangan yang mensyaratkan pendidikan minimal SMA bagi Kepala Daerah. Demikian juga persyaratan usia Kepala Daerah yang minimal 30 tahun
memberikan estimasi tingkat kemampuan menangani urusan pemerintahan. Untuk mendapatkan nilai persentase dari indikator kapasitas dan integritas
Kepala Daerah ada enam variabel penilaian yang digunakan, yaitu: 1
Tingkat pemahaman Kepala Daerah terhadap masalah dunia usaha. 2
Tingkat profesionalisme birokrat daerah. 3
Tingkat korupsi Kepala Daerah. 4
Tingkat ketegasan Kepala Daerah terhadap korupsi birokratnya. 5
Tingkat kewibawaan Kepala Daerah. 6
Tingkat hambatan kapasitas dan integritas Kepala Daerah terhadap dunia usaha.
Setelah mendapatkan nilai total dari keenam variabel tersebut, KPPOD membaginya ke dalam empat klasifikasi, yaitu:
1 Nilai angka 0-25 persen, berarti bahwa kapasitas dan integritas Kepala
Daerah di kabupaten dan kota tersebut tergolong sangat buruk. 2
Nilai angka 26-50 persen, berarti bahwa kapasitas dan integritas Kepala Daerah di kabupaten dan kota tersebut tergolong buruk.
3 Nilai angka 51-75 persen, berarti bahwa kapasitas dan integritas Kepala
Daerah di kabupaten dan kota tersebut tergolong baik. 4
Nilai angka 76-100 persen, berarti bahwa kapasitas dan integritas Kepala Daerah di kabupaten dan kota tersebut tergolong sangat baik.
4.3.6. Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Biaya Transaksi Lain