dari 1 tahun dan hanya menanamkan investasi sebelum tahun 2007. Maka dari hal tersebut diduga keterkaitan antara iklim investasi dan realisasi di sembilan
kabupaten tersebut sangat rendah, walaupun peringkat sembilan kabupaten dan kota tersebut pada survei TKED cukup tinggi.
5.3. Hubungan Keterkaitan Iklim Investasi Berdasarkan Persepsi Pelaku
Usaha dan Realisasi Investasi Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat
Penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda yang diestimasi dengan metode OLS untuk menganalisis indikator-indikator iklim investasi
berdasarkan persepsi pelaku usaha yang signifikan dalam mempengaruhi realisasi investasi di Provinsi Jawa Barat. Ada Sembilan indikator yang dianalisis, yaitu
Akses Terhadap Lahan Usaha dan Kepastian Berusaha ALUKU, Perizinan Usaha PU, Interaksi Antara Pemda dan Pelaku Usaha IPPU, Program
Pengembangan Usaha Swasta PPUS, Kapasitas dan Integritas Kepala Daerah KIPD, Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Biaya Transaksi Lain BT,
Kebijakan Infrastruktur Daerah KID, Keamanan dan Penyelesaian Konflik KPS, dan Kualitas Peraturan Daerah KPD. Berdasarkan hasil estimasi dengan
metode OLS, maka dapat disusun persamaan regresi berganda realisasi investasi Provinsi Jawa Barat sebagai berikut:
L_INV = - 52,5 - 0,65 L_ALUKU + 2,83 L_PU - 19,3 L_IPPU - 4,67 L_PPUS + 11,4 L_KIPD - 8,38 L_BT + 10,5 L_KID + 5,83 L_KPS + 13,9 L_KPD
+ ε
5.1
Ada lima indikator iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha yang berpengaruh signifikan pada taraf nyata α 10 persen terhadap realisasi investasi
Jawa barat, yaitu indikator Interaksi Antara Pemda dan Pelaku Usaha IPPU, Program Pengembangan Usaha Swasta PPUS, Kapasitas dan Integritas Kepala
Daerah KIPD, Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Biaya Transaksi Lain BT, dan Kualitas Peraturan Daerah KPD. Hal ini ditunjukkan dengan nilai
probability kelima indikator tersebut lebih kecil dari taraf nyata
α 10 persen. Selain itu, dapat disimpulkan pula bahwa keragaman model persamaan investasi
dapat dijelaskan sebesar 64,2 persen oleh keragaman indikator-indikatornya, sedangkan sisanya sebesar 35,8 persen dijelaskan oleh indikator-indikator lain di
luar model Tabel 5.4. Tabel 5.4. Hasil Estimasi dengan Metode OLS
Dependent Variable: L_INV Variabel
Coefficient Std. Error
t-statistic Probability
VIF Constant
-52,48 47,24
-1,11 0,284
L_ALUKU -0,654
3,981 -0,16
0,872 1,3
L_PU 2,834
7,006 0,40
0,692 2,2
L_IPPU -19,306
5,521 -3,50
0,003 2,5
L_PPUS -4,674
1,813 -2,58
0,021 1,2
L_KIPD 11,400
3,996 2,58
0,012 1,8
L_BT -8,376
4,680 -1,79
0,094 1,8
L_KID 10,50
10,31 1,02
0,324 1,8
L_KPS 5,833
4,053 1,44
0,171 2,0
L_KPD 13,861
5,636 2,46
0,027 1,9
R-squared 64,2
F-statistic 2,99
Adjusted R-squared 42,8
Prob F-statistic 0,029
Durbin Watson 1,58961
Sumber: Lampiran 2
Berdasarkan model tersebut, maka perlu dilakukan pengujian terhadap permasalahan-permasalahan yang biasa dihadapi dalam menggunakan metode
OLS. Berdasarkan kriteria ekonometrika, suatu model yang baik harus terbebas
dari masalah autokorelasi, heteroskedastisitas, dan multikolinearitas. Selain itu, penelitian ini juga melakukan uji normalitas karena jumlah data yang digunakan
kurang dari 30. a.
Uji normalitas Model ini memiliki galat yang menyebar normal. Hal ini dapat dilihat dari
p-value yang lebih besar
dari taraf nyata α 10 persen dan sebaran galat mendekati garis distribusi normal Lampiran 3.
b. Uji autokorelasi
Model ini terbebas dari masalah autokorelasi. Hal ini terlihat dari hasil uji Durbin Watson sebesar 1,58961 yang berada dalam nilai uji Durbin Watson 1,54-
2,46, maka model persamaan yang digunakan tidak mengalami masalah autokorelasi Tabel 5.4.
c. Uji heteroskedastisitas
Model ini terbebas dari masalah heteroskedastisitas. Hal ini dapat terlihat dari hasil uji glejser Lampiran 4 pada setiap indikator yang memiliki nilai p-
value lebih besar dari taraf nyata
α 10 persen. d.
Uji multikolinearitas Gejala multikolinearitas dapat dilihat dengan menggunakan nilai VIF pada
Tabel 5.4. Dalam tabel tersebut terlihat bahwa tidak ada nilai VIF dari tiap indikator yang lebih besar dari lima. Hal ini berarti bahwa model penelitian ini
terbebas dari masalah multikolinearitas. Indikator interaksi Pemda dan pelaku usaha berpengaruh signifikan
terhadap realisasi investasi di Provinsi Jawa barat dengan nilai koefisien sebesar
-19,306. Hal ini berarti bahwa peningkatan interaksi Pemda dan pelaku usaha sebesar 1 persen akan menurunkan realisasi investasi Provinsi Jawa Barat pada
sebesar 19,306 persen, ceteris paribus. Hasil estimasi tersebut berbanding terbalik dengan hipotesis yang menyebutkan bahwa indikator interaksi Pemda dan pelaku
usaha berpengaruh positif terhadap realisasi investasi di Provinsi Jawa Barat. Hal ini terjadi karena banyak perusahaan di Provinsi Jawa Barat yang tidak
mengetahui adanya forum interaksi antara Pemda dan pelaku usaha sehingga Pemda tidak mampu memecahkan masalah dunia usaha yang dihadapi oleh pelaku
usaha. Forum interaksi adalah suatu mekanisme formal yang digunakan oleh Pemda untuk memastikan bahwa mereka secara teratur menjalin konsultasi
dengan sektor swasta mengenai kebijakan-kebijakan Pemda. Hanya seperempat dari total pengusaha kecil yang mengetahui keberadaan forum interaksi tersebut,
sementara hampir separuh dari seluruh perusahaan besar yang menyatakan bahwa forum interaksi tersebut ada. Selain itu, pelaku usaha merasa pesimis dengan
interaksi tersebut yang disebabkan cukup banyaknya kebijakan Pemda yang diskriminatif dan merugikan mereka KPPOD, 2008. Hal tersebut diduga sebagai
salah satu indikator yang menyebabkan menurunnya daya tarik investasi dan menurunnya nilai realisasi investasi di Provinsi Jawa Barat.
Indikator program pengembangan usaha swasta berpengaruh signifikan terhadap realisasi investasi di Provinsi Jawa Barat dengan nilai koefisien sebesar
-4,674. Hal ini berarti bahwa peningkatan program pengembangan usaha swasta sebesar 1 persen akan menurunkan realisasi investasi Provinsi Jawa Barat pada
sebesar 4,674 persen, ceteris paribus. Hasil estimasi tersebut berbanding terbalik
dengan hipotesis pada tinjauan pustaka yang menyebutkan bahwa indikator program pengembangan usaha swasta berpengaruh positif terhadap realisasi
investasi di Provinsi Jawa Barat. Hal tersebut terjadi karena hanya 14 persen pelaku usaha di Jawa Barat
yang menyadari adanya keberadaan program pengembangan usaha swasta di daerahnya. Keberadaan program tersebut lebih banyak dinikmati oleh perusahaan
besar daripada perusahaan kecil. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.5. yang menyatakan bahwa pelatihan manajemen bisnis hanya diikuti 8 persen dari
perusahaan kecil dan didominasi oleh perusahaan dengan nilai 18 persen. Dominasi perusahaan besar terus berlanjut pada program lainnya seperti pelatihan
tenaga kerja, pelatihan promosi produk lokal, menghubungkan antara UKM dan perusahaan besar, dan proses mempertemukan bisnis. Hanya pelatihan pengajuan
Kredit UKM saja yang didominasi oleh perusahaan kecil. Rendahnya pelaku usaha kecil yang berpartisipasi dalam program tersebut karena kurangnya
informasi, kualitas program yang disediakan, dan adanya syarat untuk mengikuti program tersebut.
Tabel 5.5. Tingkat Partisipasi Program Pengembangan Usaha Swasta
Sumber: KPPOD 2008
Dengan adanya ketimpangan tersebut, pelaku usaha kecil kurang mendapatkan manfaat dari adanya program pengembangan usaha swasta tersebut.
Hal tersebut diduga mengakibatkan menurunnya realisasi investasi di Jawa Barat
yang disebabkan investor mengalihkan investasinya ke daerah lain yang memberikan program pengembangan usaha swasta yang lebih baik dan
bermanfaat bagi mereka. Indikator kapasitas dan integritas Kepala Daerah berpengaruh signifikan
terhadap realisasi investasi di Provinsi Jawa Barat dengan nilai koefisien sebesar 11,4. Hal ini berarti bahwa peningkatan kapasitas dan integritas Kepala Daerah
sebesar 1 persen akan meningkatkan realisasi investasi Provinsi Jawa Barat sebesar 11,4 persen, ceteris paribus. Hal ini sesuai dengan hipotesis pada tinjauan
pustaka yang menyebutkan bahwa indikator Kapasitas dan Integritas Kepala Daerah berpengaruh positif terhadap realisasi investasi di Jawa Barat.
Sebagian besar Kepala Daerah di kabupaten dan kota Provinsi Jawa Barat sudah memiliki tingkat pemahaman permasalahan dunia usaha dan telah
menciptakan solusi yang baik dari permasalahan tersebut, kecuali untuk Kepala Daerah Kabupaten Majalengka, Kabupaten Garut, dan Kabupaten Ciamis yang
dinilai buruk oleh pelaku usaha karena telah melakukan tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme KKN dalam menjalankan roda pemerintahannya. Meningkatnya
pemahaman Kepala Daerah akan permasalahan dunia usaha tersebut didorong oleh meningkatnya profesionalisme seorang Kepala Daerah dalam menjalankan
roda pemerintahannya yang dapat diindikasikan melalui pemilihan Kepala Daerah Pilkada secara langsung oleh masyarakat dengan disertai keberimbangan
informasi dan didukung dengan adanya Komisi Pemberantasan Korupsi KPK yang membuat Kepala Daerah terpilih untuk bekerja lebih efektif dan efisien serta
berusaha untuk terbebas dari tindakan atau praktek KKN dalam pemerintahannya.
Hal ini berdampak positif terhadap meningkatnya kepercayaan para pelaku usaha terhadap kepemimpinan Kepala Daerah tersebut sehingga iklim investasi daerah
tersebut menjadi lebih kondusif dan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang mendatangkan keuntungan dalam sektor perekonomian Provinsi Jawa Barat.
Indikator pajak daerah, retribusi daerah dan biaya transaksi lain berpengaruh negatif terhadap realisasi investasi di Provinsi Jawa Barat dengan
nilai koefisien sebesar -8,376. Hal ini berarti bahwa peningkatan pajak daerah, retribusi daerah dan biaya transaksi lain sebesar 1 persen akan menurunkan
realisasi investasi Provinsi Jawa Barat sebesar 8,376 persen, ceteris paribus. Hal ini sesuai dengan hipotesis pada tinjauan pustaka yang menyebutkan bahwa
indikator pajak daerah, retribusi daerah dan biaya transaksi lain berpengaruh negatif terhadap realisasi investasi di Jawa Barat.
Hal tersebut terjadi karena masih banyaknya pajak, retribusi, dan sumbangan pihak ketiga SP3 yang dikenakan oleh Pemda di Provinsi Jawa Barat
terhadap pelaku usaha, baik yang secara resmi maupun yang tidak resmi, sehingga menjadi beban tambahan biaya bagi pelaku usaha. Sebagian besar jenis usaha
perdagangan dan jasa diwajibkan membayar pajak dan retribusi daerah yang lebih banyak jika dibandingkan dengan jenis usaha produksi. Hal ini terjadi karena
pajak dan retribusi dari kedua jenis usaha tersebut dijadikan andalan utama Pemda untuk meningkatkan Pendapatan asli Daerah PAD. Pajak yang sering diandalkan
Pemda dalam meningkatkan PAD dari jenis usaha perdagangan dan jasa adalah pajak reklame, pajak parkir, pajak hotel, dan pajak restoran.
Selain itu, masih banyaknya pungutan liar di jalan raya saat melakukan lalu lintas pendistribusian produk dari pelaku usaha kepada konsumen, baik oleh
oknum preman maupun oleh oknum dinas-dinas Pemda terkait. Bertambahnya biaya produksi karena hal-hal di atas, menyebabkan harga produk yang sampai di
tangan konsumen menjadi lebih mahal. Hal tersebut akan berdampak pada terjadinya kenaikan inflasi di daerah tersebut dan Provinsi Jawa Barat pada
umumnya, sehingga hal tersebut dapat menyebabkan meningkatnya pula harga bahan baku produksi yang selanjutnya berdampak pada penurunan jumlah
investasi yang ditanamkan di daerah tersebut dan di Provinsi Jawa Barat pada umumnya.
Indikator kualitas peraturan daerah berpengaruh signifikan terhadap realisasi investasi di Provinsi Jawa barat dengan nilai koefisien sebesar 13,861.
Hal ini berarti bahwa peningkatan kualitas peraturan daerah sebesar 1 persen akan meningkatkan realisasi investasi Provinsi Jawa Barat sebesar 13,861 persen,
ceteris paribus. Hal ini sesuai dengan hipotesis pada tinjauan pustaka yang
menyebutkan bahwa indikator kualitas peraturan daerah berpengaruh positif terhadap realisasi investasi di Jawa Barat.
Perda merupakan sebuah instrumen kebijakan daerah yang sifatnya formal, melalui Perda inilah dapat diindikasikan adanya insentif maupun
disinsentif sebuah kebijakan di daerah terhadap aktivitas perekonomian. Kebijakan Perda yang intensif bagi aktivitas perekonomian di Provinsi Jawa Barat
ditandai dengan disahkannya pembentukkan sebuah sistem pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu PTSP oleh setiap Kepala Daerah melalui penerbitan
peraturan-peraturan daerah yang merujuk pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan PTSP. Setelah tahun 2006, beberapa
kabupatenkota di Jawa Barat telah membentuk PTSP agar dapat mempercepat proses pelayanan karena adanya penyederhanaan proses pengajuan izin usaha
serta dapat mengurangi pungutan liar oleh oknum tidak bertanggung jawab yang menyebabkan biaya tinggi dalam pengurusan izin usaha tersebut, misalnya syarat-
syarat yang memiliki kesamaan antara satu izin lainnya jika diproses secara paralel maka cukup dilampirkan satu berkas untuk beberapa izin.
Selain itu, secara keseluruhan KPPOD menilai Perda yang ada di kabupaten dan kota Jawa Barat sudah sangat mendukung penciptaan iklim
investasi yang kondusif. Hal tersebut dapat dilihat dari tiga potensi permasalahan Perda, yaitu kategori prinsip, kategori substansi, dan kategori acuan yuridis yang
memiliki nilai permasalahan kurang dari 10 persen. Dengan adanya peningkatan kualitas peraturan daerah tersebut, diharapkan akan meningkatkan iklim investasi
di Provinsi Jawa Barat ke arah yang lebih kondusif sehingga mampu mendorong terjadinya peningkatan realisasi investasi dan pertumbuhan ekonomi di Provinsi
Jawa Barat.
5.4. Implementasi Kebijakan