BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Iklim Investasi Berdasarkan Persepsi Pelaku Usaha Kabupaten dan
Kota Provinsi Jawa Barat Tahun 2007 Investasi di Provinsi Jawa Barat masih sangat dipengaruhi oleh iklim
investasi yang kondusif di seluruh kabupaten dan kotanya. Menurut KPPOD 2008, peringkat kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat meningkat cukup
signifikan karena adanya perbaikan iklim investasi yang lebih kondusif dengan adanya penciptaan badan pelayanan izin usaha terpadu yang dapat mereduksi
biaya dan waktu pengurusan izin usaha yang terdapat hampir di seluruh kabupaten dan kota Provinsi Jawa Barat. Dalam pemeringkatan tersebut, KPPOD
menetapkan sembilan indikator yang mempengaruhi iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha di 25 kabupaten dan kota Provinsi Jawa Barat, yaitu Akses
Terhadap Lahan Usaha dan Kepastian Berusaha ALUKU, Perizinan Usaha PU, Interaksi Antara Pemda dan Pelaku Usaha IPPU, Program Pengembangan
Usaha Swasta PPUS, Kapasitas dan Integritas Kepala Daerah KIPD, Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Biaya Transaksi Lain BT, Kebijakan Infrastruktur
Daerah KID, Keamanan dan Penyelesaian Konflik KPS, dan Kualitas Peraturan Daerah KPD.
Berdasarkan laporan tersebut, pemerintah daerah kabupaten dan kota yang memiliki pelayanan akses lahan usaha dan kepastian berusaha yang terbaik adalah
Kabupaten Ciamis dengan nilai 82,80 persen, lalu pada peringkat kedua dan ketiga ditempati Kabupaten Majalengka 78,30 persen dan Kabupaten Kuningan
78,10 persen. Sedangkan yang terburuk ditempati Kota Depok dengan nilai
52,40 persen Tabel 5.1. Buruknya indikator akses lahan usaha dan kepastian berusaha di Kota Depok disebabkan oleh sebanyak 45,45 persen persepsi pelaku
usaha menilai penggusuran lahan usaha yang berada di pinggir jalan raya karena alasan pelebaran jalan untuk mengurangi kemacetan kota adalah hal yang pasti
terjadi. Persepsi masalah penggusuran ini merupakan masalah utama yang ditakutkan pelaku usaha dalam menjalankan usahanya jika dibandingkan dengan
kemudahan mendapatkan sertifikasi lahan dan variabel penilaian lainnya. Selain itu, masalah akses lahan ini lebih sering terjadi pada daerah perkotaan daripada
daerah kabupaten. Hal tersebut karena terbatasnya ketersediaan lahan untuk usaha dan banyaknya jumlah permintaan sertifikasi tanah sehingga pengurusan setifikasi
izin lahan usaha membutuhkan waktu yang lebih lama. Untuk indikator pelayanan terbaik perizinan usaha peringkat satu, dua dan
tiga ditempati oleh Kabupaten Kuningan 62,10 persen, Kabupaten Purwakarta 61,20 persen, dan Kabupaten Karawang 61,10 persen. Sedangkan peringkat
terburuk ditempati oleh Kabupaten Sukabumi dengan nilai 42,3 persen Tabel 5.1. Tiga kabupaten terbaik tersebut telah menjalankan sistem pelayanan
perizinan usaha yang sudah cukup baik bagi pelaku usaha. Hal ini dapat dilihat pada banyaknya pelaku usaha yang telah memiliki Tanda Daftar Perusahaan
TDP lebih dari 50 persen dari total keseluruhan pelaku usaha lokal daerah tersebut, selain itu pengurusan TDP baik dari segi waktu dan biaya tersebut nilai
aktualnya tidak jauh berbeda dengan peraturan resmi yang telah ditetapkan Pemda sehingga pelayanan perizinan usaha tersebut lebih efisien dan tidak menghambat
usaha pelaku usaha daerah tersebut.
Tiga besar kabupaten dan kota terbaik dalam indikator interaksi Pemda dan pelaku usaha, yaitu Kota Banjar 60,40 persen, Kabupaten Kuningan 55,60
persen dan Kabupaten Indramayu 53,90 persen. Sedangkan yang terburuk dalam indikator ini adalah Kabupaten Sukabumi dengan nilai 30,5 persen Tabel
5.1. Lebih dari 50 persen pelaku usaha lokal di Kota Banjar menyatakan bahwa interaksi antara mereka dan Pemda memberikan dampak yang positif terhadap
usaha mereka. Kota Banjar telah memiliki forum komunikasi antara Pemda dan pelaku usaha walaupun masih belum sempurna, namun sudah cukup memberikan
solusi kepada pelaku usaha dalam menghadapi permasalahan dunia usaha. Selain itu, Pemda juga mempromosikan hasil produk mereka dalam pameran-pameran
yang diikuti Pemda pada acara-acara tertentu. Pemerintah daerah yang memiliki program pengembangan usaha swasta
terbaik adalah Kota Banjar 69,70 persen, Kabupaten Ciamis 65,10 persen, Kota Tasikmalaya 55,90 persen. Untuk Indikator program pengembangan usaha
swasta, Kabupaten Bogor menempati peringkat terakhir dengan nilai 17,6 persen Tabel 5.1. Kabupaten Bogor juga merupakan kabupaten terburuk kedua se-
Indonesia setelah Kabupaten Kediri di Jawa Timur yang hanya memperoleh nilai 15,04 persen untuk indikator ini. Hal tersebut diduga karena sangat kurangnya
informasi mengenai program pengembangan swasta yang sampai kepada pelaku usaha lokal daerah Kabupaten Bogor, kalaupun ada hanya bersifat formalitas saja
tanpa ada manfaat yang nyata bagi pelaku usaha tersebut. Selain itu jika dilihat dari rasio program pengembangan usaha terhadap APBD, Kabupaten Bogor tidak
termasuk dalam sepuluh besar terbaik nasional atau dengan kata lain dana alokasi
APBD untuk program pengembangan usaha swasta sangat kecil sekali. Karenanya, menjadi hal yang wajar apabila kurangnya perhatian Pemda terhadap
pelaku usaha menimbulkan hambatan yang cukup besar bagi pengembangan pelaku usaha lokal tersebut.
Untuk indikator kapasitas dan integritas Kepala Daerah peringkat tiga terbaik ditempati oleh Kabupaten Indramayu 68,50 persen, Kabupaten
Karawang 61,90 persen, Kota Banjar 56,30 persen. Sedangkan untuk peringkat terburuk ditempati oleh Kabupaten Garut dengan nilai 32,2 persen Tabel 5.1.
Rendahnya nilai di Kabupaten Garut tersebut dikarenakan Kepala Daerah Bupati tidak memahami masalah dunia usaha yang sedang dihadapi oleh pelaku usaha
lokal di daerah tersebut. Selain itu, tingkat profesionalisme birokratnya sangat buruk sekali. Hal ini terbukti dengan dijebloskan Bupati Garut oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi KPK ke dalam penjara karena ketahuan melakukan tindakan Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme KKN saat menjalankan roda
pemerintahannya. Karenanya, banyak pengusaha lokal Garut sudah tidak percaya lagi akan ketegasan dan kewibawaan Pemda Kabupaten Garut dalam menciptakan
iklim investasi yang kondusif di daerahnya. Hal tersebut sungguh sangat menghambat sekali dalam mengembangkan usaha bagi pelaku usaha lokal, karena
mau kepada siapa lagi mereka harus meminta pertolongan dalam memecahkan permasalahan-permasalahan dunia usaha mereka.
Kabupaten dan kota yang memiliki biaya transaksi termurah dan tidak membebankan pelaku usaha adalah Kabupaten Karawang 71,20 persen,
Kabupaten Bogor 69,30 persen, Kabupaten Depok 69,0 persen, dan Kabupaten
Garut 69,0 persen. Sedangkan Kabupaten Bandung merupakan kabupaten dengan biaya transaksi termahal di Jawa Barat dengan hanya memiliki nilai
sebesar 42,2 persen Tabel 5.1. Perbedaan biaya dan waktu antara Kabupaten Karawang dan Kabupaten Bandung hanya terletak pada implementasi kebijakan
di lapangan oleh dinas-dinas pajak dan retribusi yang terkait karena penetapan pajak dan retribusi daerah sama-sama merujuk pada UU No. 342000.
Implementasi kebijakan di Kabupaten Karawang dinilai oleh pelaku usaha masih dalam batas kewajaran, walaupun ada beberapa penetapan pajak yang terlalu jauh
dari peraturan resmi yang telah ditetapkan oleh Bupati Karawang. Misalnya saja pada masalah waktu yang dibutuhkan untuk mengurus Tanda Daftar Perusahaan
TDP yang menurut peraturan resmi bisa di dapatkan dalam waktu 7 hari kerja. Namun, pada kenyataanya pengusaha bisa mendapatkan TDP tersebut lebih dari 7
hari kerja. Menurut laporan TKED, banyak pengusaha yang terpaksa memberikan
“uang suap” kepada petugas terkait agar proses mendapatkan perizinan TDP lebih dipercepat. Namun pemberian “uang suap” tersebut masih jauh lebih murah
daripada apa yang terjadi di Kabupaten Bandung. Selain itu, pembayaran biaya informal oleh pelaku usaha kepada kepolisian di Kabupaten Karawang jauh lebih
tinggi daripada yang dibayarkan kepada Ormas dan preman untuk mendapat jaminan perlindungan usaha. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi di
Kabupaten Bandung, pelaku usaha lebih banyak menyerahkan uang keamanan kepada Ormas dan preman daripada kepada kepolisian. Maka dari hal tersebut di
atas menjadi sangat wajar jika Kabupaten Karawang memiliki biaya transaksi termurah dan tidak membebankan pelaku usaha daripada Kabupaten Bandung.
Untuk kabupaten dan kota yang telah memiliki indikator kebijakan infrastruktur daerah dengan kualitas terbaik adalah Kabupaten Karawang 75,60
persen, Kabupaten Purwakarta 75,40 persen, dan Kota Bandung 75,0 persen. Sedangkan Kabupaten Bekasi merupakan kabupaten terburuk di Jawa Barat dalam
indikator ini dengan nilai 61,6 persen Tabel 5.1. Penempatan Kabupaten Bekasi sebagai yang terburuk di Jawa Barat sangat anomali sekali dengan kenyataan yang
ada. Kita ketahui bersama, Kabupaten Bekasi terkenal memiliki Kawasan Industri JABABEKA di Cikarang serta Kawasan Industri lainnya yang terbentang dari
daerah Tambun sampai Cibitung atau dengan kata lain Kabupaten Bekasi masih jauh lebih baik infrastruktur industrinya daripada infrastruktur industri yang ada di
tiga kabupaten terbaik yang disebut di atas. Namun penilaian pada survei TKED ini bukan berasal dari jumlah dan
luasnya kawasan industri yang ada di kabupaten dan kota tersebut, melainkan penilaian survei ini adalah yang menyangkut masalah fasilitas infrastruktur seperti
kualitas jalan kabupaten dan kota, lampu penerangan jalan, air PDAM, kualitas listrik, dan telepon. Rendahnya penilaian terhadap Kabupaten Bekasi tersebut
diduga karena masih kurang berkualitasnya fasilitas infrastruktur tersebut menurut penilaian pelaku usaha lokal di daerah Kabupaten Bekasi. Hal lain yang mungkin
menjadi masalah adalah lamanya waktu perbaikan fasilitas infrastruktur tersebut ketika mengalami kerusakan. Misalnya, dalam perbaikan kerusakan listrik di
Kabupaten Purwakarta hanya membutuhkan waktu rata-rata 10 hari, sedangkan
Kabupaten Bekasi lama perbaikan masalah listrik tersebut bisa mencapai waktu lebih dari 10 hari. Karenanya, menjadi hal yang sangat wajar apabila kepemilikan
genset oleh pelaku usaha di Kabupaten Bekasi cukup tinggi. Padahal dalam survei TKED ini menyiratkan bahwa semakin banyak pelaku usaha lokal di daerah yang
memiliki genset berarti nilai kualitas infrastruktur di daerah tersebut akan semakin buruk.
Untuk indikator jaminan keamanan dan penyelesaian sengketa terbaik adalah Kabupaten Bogor 69,10 persen, peringkat kedua Kota Bogor 64,10
persen, dan peringkat ketiga Kabupaten Kuningan 63,50 persen. Kabupaten yang terburuk dalam indikator ini adalah Kabupaten Indramayu dengan nilai 32,6
persen Tabel 5.1. Perbedaan antara kabupaten yang terbaik dan terburuk dapat disebabkan oleh banyaknya kasus pencurian yang terjadi, masalah seberapa sering
terjadinya demonstrasi buruh, dan kepuasan pelaku usaha terhadap kinerja kepolisian dalam penanganan dua kasus tersebut. Kurang dari 10 persen pelaku
usaha di Kabupaten Bogor yang melaporkan adanya kasus pencurian terjadi di tempat usahanya. Setelah pelaporan tersebut, pihak kepolisian mengambil
tindakan cepat dalam penanganan kasus tersebut. Lebih 70 persen pelaku usaha tersebut menilai polisi telah mengambil tindakan tepat dan menguntungkan pelaku
usaha dalam meminimalkan kerugian pelaku usaha tersebut. Selain itu menurut hasil survei TKED ini, masalah demonstrasi yang terjadi di Kabupaten Bogor
masih jauh lebih rendah jika di bandingkan dengan daerah lainnya. Sehingga pelaku usaha lokal Kabupaten Bogor merasa aman dan nyaman berusaha karena
kualitas jaminan keamanan usaha yang sangat baik.
Indikator kualitas peraturan daerah yang terbaik ditempati oleh kabupaten Purwakarta 97,70 persen, kabupaten Karawang 94,90 persen, dan kabupaten
Kuningan 93,60 persen. Kabupaten Sukabumi merupakan kabupaten terburuk dalam indikator ini dengan nilai 61,1 persen Tabel 5.1. Secara keseluruhan
kualitas peraturan daerah di Jawa Barat dinilai oleh KPPOD sudah sangat baik. Perbedaan antara kabupaten yang terbaik dan terburuk adalah permasalahan
implementasi kebijakan di lapangan yang dilakukan oleh oknum dari dinas yang terkait sehingga banyak menimbulkan pungli yang memberatkan pelaku usaha.
Kasus yang banyak terjadi adalah masalah retribusi dan pajak pada jenis usaha jasa dan perdagangan yang terkadang hanya dijadikan Pemda untuk meningkatkan
Pendapatan Asli Daerahnya PAD tanpa memberikan perlindungan dan pelayanan terhadap pelaku usaha.
Masalah yang sering terkena dampak dari retribusi liar adalah masalah lalu lintas hasil produksi pelaku usaha, contohnya yang terjadi pada usaha
perdagangan hasil olahan ternak. Setiap ingin menjual produknya ke kabupaten atau kota lainnya perusahaan dikenakan biaya pemeriksaan dan retribusi di daerah
asal. Setelah mendapatkan izin tersebutproduk pelaku usaha yang masuk ke kabupaten lain harus diperiksa lagi dan bahkan dikenakan tarif retribusi yang jauh
lebih mahal daripada tarif retribusi daerah asal. Hal ini sangat memberatkan pelaku usaha karena harus mengeluarkan biaya tambahan untuk masalah ini. Hal
tersebut telah melanggar kategori kesatuan wilayah ekonomi nasional. Bagi kabupaten dan kota yang melakukan hal tersebut, maka menjadi hal yang wajar
jika peringkat kualitas peraturan daerahnya rendah jika dibandingkan dengan Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Karawang.
Setelah mendapatkan nilai-nilai dari sembilan indikator tersebut, tahap selanjutnya adalah mendapatkan nilai Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah
TKED secara keseluruhan untuk menilai kabupaten dan kota yang memiliki iklim investasi terbaik di Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan Tabel 5.1. peringkat
lima kabupaten dan kota terbaik di Jawa Barat pada tahun 2007 ditempati oleh Kabupaten Ciamis dengan nilai indeks TKED sebesar 67,9 persen, Kota Banjar
67,1 persen, Kabupaten Kuningan 66,0 persen, Kabupaten Karawang 64,1 persen, dan Kabupaten Sumedang 63,6 persen. Sedangkan lima peringkat
terbawah ditempati oleh Kabupaten Sukabumi dengan nilai indeks TKED 57,1 persen, Kota Cimahi 57,0 persen, Kota Bekasi 57,0 persen, Kota Depok 54,9
persen, dan yang terburuk iklim investasinya di Jawa Barat pada tahun 2007 adalah Kabupaten Bekasi yang hanya mendapat nilai TKED sebesar 54,8 persen.
Tabel 5.1. Iklim Investasi Berdasarkan Persepsi Pelaku Usaha di Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat Tahun 2007
N O
NAMA KOTAKABUP
ATEN AL
UK U
PU IPP
U PPU
S KIP
D BT
KID KPS
KP D
Indeks TKED
1 Kabupaten
Ciamis 82.8
56.2 49.3
65.1 42.4
64.4 73.8
60.7 87.2
67.9 2
Kota Banjar 61.9
59.7 60.4
69.7 56.3
67.8 72.2
60.7 88.2
67.1 3
Kabupaten Kuningan
77.3 62.1
55.6 43.5
52.1 67.6
74.7 63.5
93.6 66.0
4 Kabupaten
Karawang 69.5
61.2 52.0
36.1 61.9
71.2 75.6
57.8 94.9
64.1 5
Kabupaten Sumedang
78.1 56.8
50.6 48.1
54.7 60.9
72.4 44.9
86.2 63.6
6 Kabupaten
Purwakarta 76.1
61.3 43.6
39.3 38.7
61.4 75.4
60.8 97.7
63.3 7
Kota Cirebon 65.5
55.7 48.7
55.6 45.7
65.2 72.6
47.6 89.9
63.1 8
Kabupaten Garut
76.1 51.7
42.7 47.5
32.2 69.0
71.2 51.0
89.5 62.2
9 Kota Bandung
56.0 60.2
48.8 42.3
56.0 60.2
75.0 45.7
83.5 60.7
10 Kota
Tasikmalaya 63.2
49.6 49.0
55.9 49.1
67.5 66.0
58.6 74.0
60.6 11
Kabupaten Majalengka
78.3 59.0
41.5 29.4
43.5 63.6
72.4 53.4
67.7 60.4
12 Kota Bogor
61.0 54.8
52.5 30.1
53.9 67.5
72.7 64.1
80.1 60.0
13 Kabupaten
Cianjur 73.9
56.4 44.0
45.8 45.0
67.6 64.0
54.7 91.3
59.9 14
Kabupaten Bandung
64.2 50.2
52.9 42.7
56.2 42.2
72.3 54.9
67.7 58.9
15 Kabupaten
Subang 72.9
54.1 44.1
43.9 55.5
57.4 65.5
43.1 92.0
58.6 16
Kota Sukabumi 57.2
59.0 48.4
34.5 50.5
61.7 71.7
47.4 80.0
58.4 17
Kabupaten Indramayu
60.6 53.3
53.9 52.3
68.5 45.7
67.4 32.6
79.9 58.2
18 Kabupaten
Cirebon 67.8
46.8 39.0
46.6 50.7
63.5 66.6
47.6 89.3
58.2 19
Kabupaten Bogor
76.0 47.7
49.6 17.6
50.7 69.3
66.5 69.1
88.9 57.5
20 Kabupaten
Tasikmalaya 69.6
54.9 49.8
36.7 47.8
61.2 62.9
55.4 92.3
57.5 21
Kabupaten Sukabumi
72.8 42.3
30.5 49.5
48.6 54.9
65.9 59.2
61.1 57.1
22 Kota Cimahi
47.5 59.8
52.8 43.8
55.4 48.1
69.3 50.1
83.8 57.0
23 Kota Bekasi
63.6 51.4
46.7 38.5
38.7 51.8
68.1 53.7
93.5 57.0
24 Kota Depok
52.4 47.4
44.9 32.6
47.7 69.0
64.7 61.9
88.2 54.9
25 Kabupaten
Bekasi 64.8
59.0 43.7
32.9 51.6
57.7 61.6
44.8 89.4
54.8
Sumber: KPPOD 2008
5.2. Realisasi Investasi Kabupaten dan Kota Di Provinsi Jawa Barat