Tujuan Kondisi Umum Lokasi Penelitian

4 Berdasarkan diagram alir bagian atas perumusan masalah penelitian pada Gambar 1, dapat dilihat bahwa ada berbagai interaksi antara habitat mangrove, lamun dan terumbu karang. Interaksi tersebut antara lain adalah interaksi fisik arus, gelombang, kedalaman, kecerahan, bahan organik terlarut nutrien dan DOM, bahan organik partikel POM, migrasi fauna dewasa, juvenile, plankton, dan dampak manusia UNESCO 1983. Interaksi antara organisme dan lingkungannya saling mendukung satu sama lain membentuk suatu konektivitas dalam proses keseimbangan ekologi. Adanya interaksi berimplikasi terhadap kondisi biota dalam hal ini makrozoobentos yang terdapat di ketiga habitat tersebut. Apabila kualitas habitat tersebut menurun, maka akan dapat berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap organisme ini. Dengan melihat berbagai parameter lingkungan, substrat dasar perairan, serta kondisi atau status ketiga habitat saat itu dengan organisme yang berasosiasi, akan dapat diketahui tingkat konektivitas antara habitat dengan makrozoobentos.

1.3. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah: 1 Mengetahui struktur komunitas makrozoobentos yang berasosiasi dengan habitat mangrove, lamun, dan terumbu karang di Pulau Pramuka secara temporal; 2 Mengetahui konektivitas ekologis antara habitat mangrove, lamun dan terumbu karang dengan komunitas makrozoobentos di Pulau Pramuka.

1.4. Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah yang dapat dijadikan sebagai masukan dalam pengelolaan ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang di Pulau Pramuka terkait status makrozoobentos sebagai salah satu indikator kualitas lingkungan perairan pesisir. 5

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Pulau Pramuka merupakan salah satu pulau dari gugusan Kepulauan Seribu dan termasuk ke dalam wilayah Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu TNKpS. Wilayah Kepulauan Seribu memiliki perairan yang terlindung, aman dari badai dan gelombang laut yang tinggi karena dikelilingi oleh daratan besar Sumatera, Jawa dan Kalimantan Tomascik et al. 1997. Secara umum keadaan laut Kepulauan Seribu mempunyai kedalaman yang berbeda-beda yaitu berkisar antara 0 - 40 meter Departemen Kehutanan 2008. Musim hujan di Kepulauan Seribu biasanya terjadi antara bulan November sampai April dengan jumlah hari hujan antara 10 - 20 hari per bulan. Musim kemarau berlangsung antara bulan Mei sampai Oktober dengan jumlah hari hujan antara 4 - 10 hari per bulan. Rata-rata curah hujan bulanan selama 10 tahun terakhir 1992 - 2002 berkisar antara 43 - 510 mm, dimana curah hujan tertinggi 43 mm terjadi pada bulan Januari dan curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus 510 mm. Musim Barat dengan tiupan angin Barat Laut - Utara yang kuat dan curah hujan yang tinggi terjadi pada bulan Oktober - April, sedangkan musim Timur dengan tiupan angin Tenggara-Timur dan curah hujan rendah terjadi pada bulan Mei - September BPLHD DKI Jakarta 2002 in Departemen Kehutanan 2008. Suhu air dan salinitas laut tidak berfluktuasi secara nyata antara musim barat, musim timur maupun musim peralihan. Suhu air berkisar antara 28,5 - 30,0 o C pada musim barat November - Maret dan 28,50 - 31,0 o C pada musim timur Mei - September. Salinitas permukaan berkisar antara 30 - 34‰ pada musim barat maupun pada musim timur LAPI-ITB 2001. Pencemaran sampah yang masuk Kepulauan Seribu semakin meningkat setiap tahunnya. Sejak tahun 2002 tidak kurang dari 14.000 m 3 sampah per hari masuk ke wilayah perairan Teluk Jakarta yang mengakibatkan menurunnya produksi ikan hingga 38. Pada tahun 2007, terdapat tiga belas sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta membawa material sampah sebanyak 768 m 3 sampah per hari dari total sampah yang dihasilkan DKI Jakarta sebanyak 27.966 m 3 hari. 6 Artinya sebanyak 2,7 per hari sampah di DKI Jakarta masuk ke Teluk Jakarta hingga Kepulauan Seribu Kardian 2007. 2.2. Parameter Fisika dan Kimia Parameter fisika dan kimia merupakan faktor abiotik dalam ekologi yang keberadaannya di alam tidak dapat dikontrol. Yang termasuk kedalam parameter fisika antara lain suhu, arus, kecerahan, dan kedalaman, sedangkan yang termasuk kedalam parameter kimia adalah pH, salinitas, DO, dan nutrien. Di samping itu, dalam penelitian ini diamati habitat dari makrozoobentos itu sendiri, yaitu substrat dasar tekstur dan kandungan C-organik.

2.2.1. Suhu

Suhu merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh di laut. Suhu menjadi sangat penting bagi kehidupan organisme laut karena dapat mempengaruhi aktivitas metabolisme dan perkembangbiakkan organisme tersebut Hutabarat Evans 1985. Pada daerah tropis suhu air laut rata-rata berkisar antara 28 - 31 o C Nontji 2007. Nybakken 1988 menyatakan bahwa kisaran perubahan suhu pada zona intertidal adalah kecil dan jarang melebihi batas letal organisme. Peningkatan suhu dapat meningkatkan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air yang selanjutnya meningkatkan pula konsumsi oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 10 o C akan menyebabkan terjadi peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme sebesar 2 - 3 kali lipat Effendi 2003. Kelas Polikaeta akan melakukan adaptasi terhadap kenaikan suhu atau salinitas dengan membuat lubang dalam substrat dan membenamkan diri di bawah permukaan substrat Alcantara Weiss 1991.

2.2.2. Kedalaman

Secara umum keadaan laut Kepulauan Seribu mempunyai kedalaman yang berbeda-beda yaitu berkisar antara 0 - 40 meter Departemen Kehutanan 2008. Sebaran makrozoobentos dipengaruhi oleh kedalaman suatu perairan. Kedalaman berpengaruh terhadap pengadukan massa air dan proses sedimentasi. Kemudian proses sedimentasi akan mempengaruhi karakteristik serta kandungan bahan 7 organik pada substrat atau sedimen sebagai habitat makrozoobentos. Nybakken 1988 menyatakan bahwa seiring dengan bertambahnya kedalaman perairan, gangguan yang disebabkan oleh ombak akan berkurang sehingga komunitas yang lebih dalam cenderung dihuni oleh lebih banyak spesies ekuilibrium daripada spesies oportunistik.

2.2.3. Kecerahan

Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditentukan secara visual. Nilai kecerahan dapat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, dan padatan tersuspensi dalam perairan Effendi 2003. Penetrasi cahaya yang semakin rendah karena meningkatnya kedalaman dan kekeruhan mengakibatkan cahaya yang dibutuhkan untuk proses fotosintesis tumbuhan air menjadi berkurang. Hal itu menyebabkan penyebaran vegetasi mangrove, lamun dan terumbu karang juga akan terhambat atau tidak merata. Oleh karena itu, secara tidak langsung kecerahan akan mempengaruhi pertumbuhan makrozoobentos yang hidup didalamnya.

2.2.4. Derajat keasaman pH

Derajat keasaman menyatakan besarnya intensitas keasaman atau kebasaan dari suatu cairan yang mewakili konsentrasi ion hidrogennya. Menurut Nybakken 1988, kisaran pH optimal untuk air laut berkisar antara 7,5 - 8,5. pH bukan merupakan faktor penting bagi organisme di suatu perairan. Hal ini dikarenakan pH memiliki variasi kecil pada perairan laut. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7,0 - 8,5 Effendi 2003. Perairan dengan pH yang terlalu tinggi atau rendah akan mempengaruhi ketahanan hidup organisme yang hidup didalamnya Odum 1993.

2.2.5. Salinitas

Salinitas pada berbagai tempat di laut terbuka yang jauh dari pantai memiliki variasi yang sempit, antara 34 - 37‰ dengan rata-rata 35‰. Perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan penguapan, sehingga laut di daerah tropis memiliki salinitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah beriklim sedang atau subtropis Nybakken 1988. Salinitas permukaan air di Kepulauan Seribu 8 berkisar antara 30 - 34‰ pada musim barat maupun pada musim timur. Pada musim barat, musim timur dan musim pancaroba nilai salinitas tidak berfluktuasi secara nyata LAPI-ITB 2001. Salinitas dapat mempengaruhi penyebaran organisme makrozoobentos baik secara vertikal maupun horizontal dan secara tidak langsung mengakibatkan adanya perubahan komposisi organisme dalam suatu ekosistem. Gastropoda yang bersifat mobile mempunyai kemampuan untuk bergerak guna menghindari salinitas yang terlalu rendah, namun Bivalvia dan Polikaeta yang bersifat sessile akan mengalami kematian jika pengaruh air tawar berlangsung lama Odum 1993. Kisaran salinitas yang masih mampu mendukung kehidupan organisme perairan, khususnya makrozoobentos berkisar antara 15 - 35‰ Hutabarat Evans 1985.

2.2.6. DO Dissolved oxygen

Oksigen terlarut DO mempunyai peran yang penting sekaligus menjadi faktor pembatas bagi kehidupan biota di perairan laut Nybakken 1988. Kadar oksigen terlarut dapat dipengaruhi oleh suhu, salinitas dan turbulensi air. Kadar oksigen terlarut akan berkurang dengan semakin meningkatnya suhu, ketinggian dan berkurangnya tekanan atmosfer Jeffries Mills 1996 in Effendi 2003. Sumber DO dapat berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer dan aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton. Faktor yang mempengaruhi distribusi secara vertikal DO di laut antara lain suhu, salinitas, tekanan hidrostatik, fotosintesis dan respirasi, biodegradasi, dan transpor massa air bawah laut Sanusi 2006. Keadaan perairan dengan kadar oksigen terlarut yang sangat rendah berbahaya bagi biota didalamnya. Menurut Effendi 2003 perairan yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan sebaiknya memiliki kadar oksigen tidak kurang dari 5 mg l -1 . Kadar oksigen terlarut kurang dari 4 mg l -1 akan menimbulkan efek kurang menguntungkan bagi hampir semua biota perairan UNESCOWHOUNEP 1992 in Effendi 2003. DO yang defisit pada dasar perairan akan mengakibatkan dekomposisi yang terjadi pada daerah tersebut sehingga kemudian menjadi anaerob dan menghasilkan H 2 S. Hal ini akan mempengaruhi makrozoobentos yang hidup pada dasar perairan. 9 Konsentrasi oksigen di dasar perairan mempunyai peran yang penting terhadap perubahan struktur makrozoobentos dikarenakan pengayaan bahan organik di perairan pesisir Gray et al. 2002 in Taurusman 2007. Menurut literatur Gray et al. 2002 in Taurusman 2007, pengurangan konsentrasi oksigen terlarut di perairan memberikan efek bagi tingkah laku sekelompok fauna, jika dilihat dari tingkat sensitifitas ikan, Krustasea, Annelida Polikaeta, dan Bivalvia Tabel 1. Tabel 1. Rangkuman dari efek penurunan konsentrasi oksigen terlarut terhadap organisme laut modifikasi dari Gray et al. 2002 in Taurusman 2007. Garis mendatar dalam tabel memisahkan antara makrozoobentos dan ikan. Tipe organisme Efek Batas konsentrasi oksigen terlarut mg l -1 Ikan perenang aktif pelagis Pertumbuhan 6 Ikan perenang aktif pelagis Metabolisme 4,5 Ikan demersal Metabolisme 4 Ikan secara umum Mortalitas 2 Kepiting, udang, lobster, isopoda Krustasea Pertumbuhan 2-3,5 Isopoda yang hidup di dasar Krustasea Mortalitas 1-1,6 Moluska bivalvia Pertumbuhan 1-1,5 Annelida Pertumbuhan 1-2 Periophthalmus sp. mudskippers Mortalitas 1 Hewan yang dapat bergerak secara mobile akan melarikan diri dari daerah dimana terjadinya penurunan konsentrasi oksigen terlarut, jika tidak mereka akan mengalami kematian. Konsentrasi oksigen terlarut lebih rendah dari 4 mg l -1 di perairan akan menyebabkan kematian akut bagi sebagian besar spesies makrozoobentos. Oleh karena itu, jika DO pada dasar perairan lebih rendah dari 4 mg l -1 , maka dapat diduga bahwa komunitas makrozoobentos akan menunjukkan perubahan yang berbeda pada komposisi spesies Gray et al. 2002 in Taurusman 2007.

2.2.7. Nutrien Nitrat dan orthophosphat

Nutrien atau senyawa inorganik esensial terlarut berperan dalam fungsi metabolik biota laut, terutama untuk kehidupan dan pertumbuhan produktivitas primer Sanusi 2006. Nitrat adalah bentuk utama nitrogen di perairan dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga. Senyawa ini 10 dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Nitrat tidak bersifat toksik terhadap organisme akuatik, termasuk makrozoobentos. Kadar nitrat pada perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1 mg l -1 . Kadar nitrat lebih dari 5 mg l -1 menggambarkan terjadinya pencemaran antropogenik yang berasal dari aktivitas manusia dan hasil ekskresi hewan Effendi 2003. Orthophosphat yang merupakan produk ionisasi dari asam orthophosphat adalah bentuk fosfor yang paling sederhana di perairan. Orthophosphat dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan atau alga di perairan. Keberadaan fosfor di perairan biasanya relatif kecil, dengan kadar yang lebih sedikit daripada kadar nitrogen karena sumber fosfor lebih sedikit dibandingkan dengan sumber nitrogen di perairan Effendi 2003. Kadar fosfor dalam orthophosphat P-PO 4 jarang melebihi 0,1 mg l -1 , sedangkan kadar fosfor total pada perairan alami jarang melebihi 1 mg l -1 Boyd 1988 in Effendi 2003. Fosfor tidak bersifat toksik bagi manusia, hewan dan ikan.

2.2.8. Substrat Sedimen

Substrat dasar perairan terdiri atas partikel-partikel yang berasal dari pembongkaran batuan dan potongan-potongan kulit kerang serta sisa-sisa rangka dari organisme laut. Ukuran dari partikel tersebut ditentukan oleh sifat fisik mereka sendiri, sehingga menyebabkan tipe substrat yang terdapat di berbagai tempat dunia memiliki sifat berbeda satu sama lain Hutabarat Evans 1985. Salah satu cara mengklasifikasikan jenis substrat adalah dengan melihat secara langsung ukuran partikelnya. Berdasarkan ukuran dan besar butir, maka substrat dapat diklasifikasikan seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 2. Tabel 2. Tekstur grain size untuk sedimen menurut skala Wentworth Wentworth 1922 in Gray Elliott 2009 Deskripsi tekstur sedimen Ukuran mm Kerikil – bongkah Pebbles – boulders 4,00 Butiran Granule 4,00 Pasir sangat kasar Very coarse sand 2,00 Pasir kasar Coarse sand 1,00 Pasir sedang Medium sand 0,50 Pasir halus Fine sand 0,25 Pasir sangat halus Very fine sand 0,125 Lumpur Silt 0,0625 Lempung Clay 0,0039 11 Menurut Hutabarat Evans 1985, sedimen dasar laut dapat dibedakan menjadi tiga, antara lain: 1 Sedimen lithogenous, yaitu jenis sedimen yang berasal dari sisa pengikisan batu-batuan di darat. Hal ini dapat terjadi karena adanya suatu kondisi fisik yang ekstrem, seperti adanya perubahan proses pemanasan dan pendinginan maupun aksi kimia yang terdapat di dalam air hujan terhadap permukaan batu; 2 Sedimen biogenous, yaitu jenis sedimen yang berasal dari sisa-sisa rangka organisme hidup yang membentuk endapan partikel halus yang dinamakan ooze dan biasanya mengendap pada daerah yang terletak jauh dari pantai; 3 Sedimen hydrogenous, yaitu jenis sedimen yang berasal dari hasil reaksi kimia dari dalam air laut dengan konsentrasi lewat jenuh sehingga terjadi pengendapan di dasar laut. Kualitas sedimen menentukan keberadaan organisme bentik yang bertempat tinggal, terutama adalah senyawa kimia yang terdapat dalam sedimen yang terbentuk akibat proses oksidasi-reduksi Sanusi 2006. Maka pada lokasi tertentu terdapat pengelompokkan jenis organisme bentik yang berbeda. Nybakken 1988 menyatakan bahwa makrozoobentos tipe deposit feeders cenderung melimpah pada sedimen lumpur maupun sedimen lunak lainnya yang merupakan daerah dengan kandungan bahan organik tinggi, sedangkan untuk makrozoobentos tipe suspension feeders terdapat lebih melimpah pada substrat yang lebih berbentuk pasir dengan bahan organik yang lebih sedikit. Perairan dengan substrat pasir memberikan keuntungan bagi organisme laut, yakni sebagai penyangga yang baik terhadap perubahan suhu dan salinitas yang besar serta sebagai penghalang dari pengaruh berbahaya akibat keterbukaan langsung dari sinar matahari karena pasir berwarna kusam dan tidak tembus cahaya. Pantai pasir didominasi oleh tiga kelas makrozoobentos, yaitu Polikaeta, Bivalvia dan Krustasea. Perairan substrat pasir cenderung mempunyai lebih sedikit detritus karena detritus sering terbawa oleh gelombang laut naik turun perairan sehingga akan lebih sering melayang daripada mengendap di dasar perairan. Makrozoobentos yang dominan ditemukan adalah tipe suspension feeders. Makrozoobentos jenis karnivora hanya sedikit yang dapat ditemukan 12 pada perairan dengan substrat pasir, antara lain dari kelas Polikaeta Nephtys dan Glycera atau Gastropoda Nybakken 1988. Perairan dengan substrat lumpur cenderung memiliki ciri berukuran partikel sangat halus, rendahnya ketersediaan oksigen dalam sedimen walau hanya beberapa sentimeter di bawah permukaan, dan cenderung mengakumulasi bahan organik sehingga banyak tersedia makanan yang potensial untuk biota di perairan. Makrozoobentos yang mendominasi perairan substrat lumpur hampir sama dengan perairan substrat pasir, yaitu Polikaeta, Bivalvia dan Krustasea, hanya saja dengan genus yang berbeda. Bahan organik yang melimpah serta sangat kecilnya pengaruh gelombang menyebabkan makrozoobentos tipe deposit feeders mendominasi perairan ini, seperti Polikaeta Arenicolidae, Spionidae dan Capitellidae, Krustasea Corophium dan Bivalvia Macoma dan Scrobicularia. Makrozoobentos jenis karnivora yang sering ditemukan pada perairan berlumpur antara lain berbagai kepiting, udang, Glycera, Nephtys, Polinices, dan Busycon Nybakken 1988.

2.3. Mangrove