Kesimpulan Saran Konektivitas Komunitas Makrozoobentos antara Habitat Mangrove, Lamun dan Terumbu Karang di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta.

79

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Pada penelitian yang dilakukan di Pulau Pramuka bulan September 2010, ditemukan jumlah spesies, kepadatan dan biomassa makrozoobentos lebih tinggi dibandingkan bulan Januari 2011. Hal ini dikarenakan perbedaan curah hujan yang terjadi dan ketersediaan makanan bagi makrozoobentos di perairan tersebut. Makrozoobentos yang ditemukan terdiri dari 5 filum, 7 kelas, 65 genus, dan 70 spesies. Persentase jumlah spesies terbesar adalah berasal dari kelas Polikaeta, dengan spesies yang mendominasi di habitat mangrove, lamun dan terumbu karang reef crest adalah Notomastus latericeus. Secara umum kondisi lingkungan perairan di Pulau Pramuka pada bulan September 2010 dan Januari 2011 masih mendukung kehidupan makrozoobentos. Pada penelitian ini, habitat lamun memiliki jumlah spesies makrozoobentos tertinggi. Habitat reef crest memiliki biomassa, indeks keanekaragaman dan indeks keseragaman makrozoobentos lebih tinggi dibandingkan dengan habitat lamun dan mangrove. Sementara itu, habitat mangrove memiliki kepadatan makrozoobentos lebih tinggi dibandingkan dengan habitat lainnya. Hasil pengamatan pada bulan September 2010 dan Januari 2011 menunjukkan bahwa habitat yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata secara statistik terhadap struktur komunitas makrozoobentos SAB. Namun demikian, terdapat variasi antar stasiun di dalam habitat itu sendiri dilihat dari analisis korelasi Pearson, indeks similaritas dan persen similaritas kepadatan makrozoobentos. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa terdapat konektivitas ekologis antar habitat mangrove, lamun dan terumbu karang dengan komunitas makrozoobentos di Pulau Pramuka. 80

5.2. Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan yang mengkaji asosiasi antara makrozoobentos dengan ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang mencakup lebih dari satu kali pengambilan contoh dari parameter lingkungan perairan dan makrozoobentos pada masing-masing musim yang berbeda. Hal ini dimaksudkan agar diperoleh informasi yang lebih mendetail dan akurat antara musim hujan dan kemarau terkait pengaruh parameter lingkungan terhadap makrozoobentos antar habitat. Selain itu, perlu dilakukan penelitian dengan pendekatan sejenis pada habitat yang lebih alami dimana pengaruh kegiatan manusia masih rendah terlindungi. 81 DAFTAR PUSTAKA Amesbury SS Francis JH. 1988. The role of seagrass communities in the biology of coral reef fishes: experiments with artificial seagrass beds. Sea Grant Quarterly 101: 1-6. Alcantara PH Weiss, VS. 1991. Ecological aspects of the polychaeta population associated with the red mangrove rhizophora mangle at Laguna de Terminos, Southern Part of The Gulf of Mexico. Ophelia. 5: 451-462. Aziz IA. 2010. Keterkaitan komunitas makrozoobentos dengan ekosistem lamun di kawasan rehabilitasi lamun Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 81 hlm. Barba AG, Weiss VS, Hernandez MA, Rivera VO. 2003. Distribution and diversity of the Syllidae Annelida: Polychaeta from the Mexican Gulf of mexico and Caribbean. Hydrobiologia. 4961: 337-345. Belan TA. 2003. Benthos abundance pattern and species composition in conditions of pollution in Amursky Bay The Peter The Great Bay, the Sea of Japan. Marine Pollution Bulletin. 469: 1111-1119. Bellan G. 2011. Notomastus latericeus Sars, 1851. [Terhubung berkala]. http:www.marinespecies.orgaphia.php?p=taxdetailsid=129898. [16 Oktober 2011]. Bengen DG. 2000. Teknik pengambilan contoh dan analisis data biofisik sumberdaya pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 88 hlm. Bengen DG. 2001. Ekosistem dan sumberdaya pesisir dan laut serta pengelolaan secara terpadu dan berkelanjutan. Prosiding pelatihan pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 29 hlm. Brower JE, Zar JH Von Ende CN. 1990. Field and laboratory method for general ecology 3 rd ed. Brown Publishers, Dubuque. USA. 273p. Cacabelos E, Moreira J, Lourido A, Troncoso JS. 2011. Ecological features of Terebellida fauna Annelida, Polychaeta from Ensenada de San Simon NW Spain. Animal Biodiversity and Conservation. 341: 141-150. Cappenberg HAW Panggabean MGL. 2005. Moluska di perairan terumbu gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Teluk Jakarta. Limnol. Oseanogr. 37: 69-80. 82 Clarke KR Gorley RN. 2001. Plymouth routines in multivariate ecological research PRIMER V 5.2: User manualtutorial. Primer-E Ltd. Dahuri R. 2003. Keanekaragaman hayati laut: aset pembangunan berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 412 hlm. Departemen Kehutanan. 2008. Taman Nasional Kepulauan Seribu. [terhubung berkala]. http:www.dephut.go.idfilesTN_Kep_Seribu_2008.pdf [11 Agustus 2011]. Dwindaru B. 2010. Variasi spasial ekosistem lamun dan keberhasilan transplantasi lamun di Pulau Pramuka dan Kelapa Dua, Kabupaten Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 71 hlm. Dwintasari F. 2009. Hubungan ekologis sumberdaya lamun seagrasses terhadap kelimpahan ikan di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 51 hlm. Effendi H. 2003. Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya dan lingkungan perairan. Kanisius. Yogyakarta. 258 hlm. Eleftheriou A McIntyre A. 2005. Methods for the study of marine benthos. 3 rd ed. Blackwell Science Ltd. United Kingdom. p15-23. Estradivari, Syahrir M, Susilo N, Yusri S, Timotius S. 2007. Terumbu karang Jakarta: Laporan pengamatan jangka panjang terumbu karang Kepulauan Seribu 2004-2005. Terangi [Yayasan Terumbu Karang Indonesia] The David and Lucile Packard Foundation. Jakarta. 100p. Fauchald K. 1977. The polychaete worms definitions and keys to the orders, families and genera. Natural History Museum of Los Angeles Country. USA. 198p. Fitriana YR. 2006. Keanekaragaman dan kemelimpahan makrozoobentos di hutan mangrove hasil rehabilitasi Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali. Biodiversitas. 71: 67-72. Gosner KL. 1971. Guide to identification of marine and estuarine invertebrates. Wiley-interscience, a division of Jhon Wiley Sons, Inc. New York. 555p. Gray JS Elliott M. 2009. Ecology of marine sediments from science to management 2 nd ed. Oxford University Press. New York. 215 p. 83 Groenewald CJ. 2010. Macrobenthic community structure across an inter- and subtidal gradient in a mangrove estuary [thesis]. Nelson Mandela Metropolitan University. South Africa. 107p. Hemminga MA Duarte CM. 2000. Seagrass ecology. Cambridge University Press. United Kingdom. 291p. Huda N. 2008. Strategi kebijakan pengelolaan mangrove berkelanjutan di wilayah pesisir Kabupaten Tanjung Jabung Timur Jambi [tesis]. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang. 109 hlm. Hutabarat S Evans SM. 1985. Pengantar Oseanografi. Universitas Indonesia Press. Jakarta. 159 hlm. Kannan L Thangaradjou T. 2002. Seagrasses. Biol. Edun. 64: 223 - 238. Kardian MR. 2007. Sampah di Kepulauan Seribu. [Terhubung berkala]. http:www.pulauseribu.netmodulesnewsarticle.php.htm. [17 Desember 2011]. Kastoro WW. 1992. Marine soft bottom benthic communities in coastal areas of Indonesia. Third ASEAN Science and Technology Conference Proceedings Volume 6: Marine Science: Living Coastal Resources. 21-23 September 1992 Singapore: 185-192. ASEAN-Australia Cooperative Program in Marine Science. Kastoro WW, Amiruddin, Aziz A, Aswandi I, Al Hakim I, Lala D, Setyadi G. 2007. Macrobenthic community structures of the offshore area of Mimika District, Papua. Mar. Res. Indonesia. 322: 109-121. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2001. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 04 tahun 2001, tentang kriteria baku kerusakan terumbu karang. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 tahun 2004, tentang baku mutu air laut. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 200 tahun 2004, tentang kriteria baku kerusakan dan pedoman penentuan status padang lamun. Kensley B. 1984. The role of lsopod crustaceans in the reef crest community at Carrie Bow Cay, Belize. Marine Ecology, 5 1: 29-44 Knox GA Miyabara T. 1984. Coastal zone resource development and conservation in Southeast Asia. UNESCO United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization East-West Centre. 163 p. 84 Krebs CJ. 1989. Ecological methodology. Harper and Row Publisher. New York. p 304-305. LAPI-ITB. 2001. Laporan Akhir Pengelolaan Laut Lestari: Pendataan dan pemetaan potensi sumberdaya alam Kepulauan Seribu dan Pesisir Teluk Jakarta. LAPI-ITB. 93 hlm. Matjik AA Sumertajaya. 2002. Perancangan percobaan dengan aplikasi SAS dan Minitab jilid 1 edisi 2. IPB Press. Bogor. McKenzie LJ Yoshida RL. 2009. Seagrass-Watch: Proceeding of a workshop for monitoring seagrass habitat in Indonesia. The Nature Concervacy, Coral Triangle Center, Sanur, Bali, 9 th May 2009. Seagrass-Watch HQ Cairns. 56p. Mukhtasor. 2007. Pencemaran Pesisir dan Laut. Penerbit PT Pradnya Paramita. Jakarta. 322 hlm. Mumby PJ, Edwards AJ, Arias-Gonzalez JE, Lindeman KC. 2003. Mangrove enhance the biomass of coral reef communities in the Carribean. Nature. 427: 533-536. Nontji A. 2007. Laut nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. 372 hlm. Nybakken JW. 1988. Biologi laut: suatu pendekatan ekologis. [Terjemahan dari: Marine biology: An ecologycal approach, 3 rd ed]. Eidman HM, Koesoebiono, Bengen DG, Hutomo M Sukarjo S penerjemah. PT Gramedia. Jakarta. 459 hlm. Odum EP. 1993. Dasar-dasar ekologi. [Terjemahan dari Fundamental of ecology]. Samingan T Srigandono B Penerjemah. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 546 hlm. Onrizal, Simarmata FSP, Wahyuningsih H. 2007. Kelimpahan dan keanekaragaman makrozoobenthos pada hutan mangrove hasil rehabilitasi di Pantai Timur Sumatera Utara. Makalah pada ekspose hasil-hasil penelitian “Peran penelitian dan pengembangan kehutanan dalam mendukung rehabilitasi dan konservasi kawasan hutan di Sumatera Bagian Utara”: Medan, 12 November 2007. Percy JA. 1999. Keystone Corophium: master of the mudflat. Fundy issues 13. [Terhubung berkala]. http:www.bofep.orgcorophiu.htm. [17 Oktober 2011]. Qasim SZ Wafar MVM. 1990. Marine resources in the tropics. Resources management and optimization. 71-4: 141-169. 85 Ramadhan G. 2010. Asosiasi makrozoobentos dengan ekosistem lamun di Pulau Harapan dan Pulau Kelapa Dua, Kepulauan Seribu [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 88 hlm. Sanusi HS. 2006. Kimia laut: proses kimia dan interaksinya dengan lingkungan. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 178 hlm. Smith JJ. 1991. Factors influencing the standing crop of diatom epiphytes of seagrass Halodule wrightii Aschers, in South Texas seagrass beds. Contrib. mar. Sci. 321: 27 – 40. Taqwa A. 2010. Analisis produktivitas primer fitoplankton dan struktur komunitas fauna makrobenthos berdasarkan kerapatan mangrove di kawasan konservasi mangrove dan bekantan Kota Tarakan, Kalimantan Timur [tesis]. Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro. Semarang. 109 hlm. Taurusman AA. 2007. Community structure, clearance rate, and carrying capacity of macrozoobenthos in relation to organic matter in Jakarta Bay and Lampung Bay, Indonesia [PhD Disertation]. Kiel University. Germany. 181p. Tomascik T, Mah AJ, Nontji A, Moosa MK. 1997. The ecology of the Indonesian seas. Periplus Editions HK. Singapore. Walpole RE. 1988. Pengantar statistika edisi ketiga. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 488 hlm. [UNESCO] United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization. 1983. Coral reefs, sea grass beds and mangroves: Their interaction in the Coastal Zones of The Caribbean. UNESCO reports in marine science 23. 133 p. Unsworth RKF, De Leon PS, Garrard SL, Jompa J, Smith DJ, Bell JJ. 2008. High connectivity of Indo-Pasific seagrass fish assemblages with mangrove and coral reef habitats. Mar Ecol Prog Ser. 353: 213-224. 86 LAMPIRAN 87 Lampiran 1. Posisi geografis lokasi penelitian STA- SIUN BUJUR Longitude East LINTANG Latitude South LOKASI 1a E 106°3657,0 S 05°4444,1 Pinggir Laut Mangrove 2a E 106°3656,3 S 05°4443,7 Pinggir Laut Mangrove 3a E 106°3657,3 S 05°4444,8 Pinggir Laut Mangrove 4a E 106°3658,5 S 05°4445,4 Kawasan Lamun 5a E 106°3659,5 S 05°4444,6 Kawasan Lamun 6a E 106°3701,3 S 05°4445,4 Kawasan Lamun 7a E 106°3702,8 S 05°4445,8 Kawasan Reef Crest Pecahan Terumbu karang 8a E 106°3705,1 S 05°4446,1 Kawasan Reef Crest Pecahan Terumbu karang 9b E 106°3657,4 S 05°4440,3 Pinggir Laut Mangrove 10b E 106°3657,9 S 05°4440,3 Pinggir Laut Mangrove dengan padang lamun 11b E 106°3658,7 S 05°4440,4 Pinggir Laut Mangrove dengan padang lamun 12b E 106°3700,3 S 05°4441,0 Kawasan Lamun 13b E 106°3701,4 S 05°4441,5 Kawasan Lamun 14b E 106°3702,5 S 05°4441,9 Kawasan Lamun 15b E 106°3705,6 S 05°4442,3 Kawasan Reef Crest Pecahan Terumbu karang 16b E 106°3707,6 S 05°4442,1 Kawasan Reef Crest Pecahan Terumbu karang 17c E 106°3657,7 S 05°4433,2 Pinggir Laut Mangrove dengan padang lamun 18c E 106°3657,8 S 05°4432,9 Pinggir Laut Mangrove dengan padang lamun 19c E 106°3658,6 S 05°4432,6 Pinggir Laut Mangrove dengan padang lamun 20c E 106°3659,2 S 05°4432,3 Kawasan Lamun 21c E 106°3659,7 S 05°4432,2 Kawasan Lamun 22c E 106°3700,6 S 05°4431,8 Kawasan Lamun 23c E 106°3703,8 S 05°4429,9 Kawasan Reef Crest Pecahan Terumbu karang 24c E 106°3705,0 S 05°4429,4 Kawasan Reef Crest Pecahan Terumbu karang Keterangan : a : Habitat mangrove b : Habitat lamun c : Habitat reef crest terumbu karang 88 Lampiran 2. Gambar beberapa alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian Corer DO meter GPS Saringan halus dan baki Refraktometer pH stick Botol film Roll meter Termometer Rose bengal dan pipet tetes 89 Lampiran 3. Prosedur kerja pengukuran parameter kualitas air

a. Suhu