Konektivitas Makrozoobentos dengan Mangrove, Lamun dan Reef

68 habitat mangrove dan lamun. Besarnya nilai indeks keseragaman ini berkaitan dengan dominansi suatu spesies dalam komunitas Ramadhan 2010. Semakin tinggi nilai indeks keseragaman maka semakin rendah nilai dominansi pada suatu komunitas makrozoobentos. Tingginya nilai indeks keseragaman pada habitat reef crest menunjukkan rendahnya jenis makrozoobentos yang mendominasi komunitas tersebut, sedangkan rendahnya nilai indeks keseragaman pada habitat mangrove dan lamun menunjukkan ada beberapa jenis makrozoobentos yang mendominasi komunitas makrozoobentos tersebut.

4.5. Konektivitas Makrozoobentos dengan Mangrove, Lamun dan Reef

Crest serta Hubungannya dengan Parameter Lingkungan Habitat mangrove, lamun dan terumbu karang saling berinteraksi dan memiliki sifat ketergantungan satu sama lain. Secara fisik habitat terumbu karang berfungsi melindungi kawasan pantai dan melindungi daratan dari hempasan gelombang serta membiarkan komunitas mangrove dan lamun untuk dapat berkembang dengan baik. Lamun menjebak sedimen dan menghambat pergerakan air, sehingga perangkap sedimen ini dapat berfungsi untuk mengurangi besarnya sedimen di dalam air. Mangrove juga berfungsi sebagai perangkap sedimen yang berasal dari daratan atau perairan, sehingga mengurangi peluang komunitas lamun dan terumbu karang untuk kekurangan oksigen dan cahaya. Sedimen yang terakumulasi pada lamun pada akhirnya membentuk substrat yang dapat diperangkap oleh mangrove. Ketiga komunitas tersebut menjebak dan menahan nutrien agar terkumpul dan tidak hilang di dalam perairan laut Amesbury Francis 1988; UNESCO 1983. Di samping itu, di lautan ketiga habitat ini mempunyai fungsi ekologis yang hampir sama, yakni sebagai daerah mencari makan feeding ground, daerah asuhan nursery ground serta daerah pemijahan spawning ground berbagai jenis biota perairan Bengen 2001; Nybakken 1988. Hal tersebut menyebabkan banyak biota perairan, khususnya makrozoobentos hidup di dalamnya. Pada Pulau Pramuka, penyebaran mangrove tidak memiliki zonasi spesies mangrove seperti pada umumnya di kawasan Teluk Jakarta karena jenis pulau yang sangat terbuka dan tidak terdapat sungai di daratan. Hal ini menyebabkan jenis mangrove yang ditemukan bersifat homogen, yaitu hanya jenis Rhizopora 69 stylosa. Homogenitas dari vegetasi mangrove yang ada dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi rendahnya jumlah spesies makrozoobentos yang mendiami habitat mangrove. Jumlah spesies yang sedikit menyebabkan rendah pula indeks keanekaragaman dan keseragaman, sehingga terjadi dominansi makrozoobentos di habitat mangrove. Rendahnya nilai indeks keanekaragaman menggambarkan kualitas lingkungan perairan pada habitat mangrove berada pada kondisi transisi dengan tekanan ekologis relatif sedang dan perairan yang subur Taurusman 2007. Meski demikian kepadatan makrozoobentos terbesar berada pada habitat mangrove akibat besarnya masukan bahan organik yang berasal dari daratan dan pembusukan daun-daun mangrove yang jatuh dibandingkan dengan habitat lainnya. Selain itu, posisi mangrove yang berada di pinggir laut berfungsi sebagai perangkap sedimen yang berasal dari daratan atau dari perairan, sehingga meningkatkan kandungan bahan organik yang terkandung di substrat dasar perairan. Onrizal et al. 2007 menyatakan bahwa kelimpahan makrozoobentos pada habitat mangrove secara signifikan dipengaruhi oleh tekstur sedimen perairan, kandungan karbon organik dan pH. Terdapat 7 jenis lamun yang ditemukan di perairan Pulau Pramuka berdasarkan penelitian sebelumnya, yaitu Cymodoceae rotundata, Cymodoceae serrulata, Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Halophila pinifolia dan Syringodium isoetifolium Dwindaru 201, Dwintasari 2010. Jumlah spesies makrozoobentos yang ditemukan pada habitat ini tertinggi dibandingkan dengan habitat lainnya. Tingginya jumlah spesies dapat disebabkan oleh tingginya pula persen penutupan lamun yang berkisar antara 25-55. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ramadhan 2010 diperoleh hubungan yang berbanding lurus antara besarnya persen penutupan lamun dengan jumlah spesies dan indeks keseragaman makrozoobentos. Fungsi ekologis lamun bagi biota sebagai pelindung dari sengatan matahari dan tempat mencari makan, membuat banyak jenis spesies makrozoobentos yang senang mendiami habitat ini Hemminga Duarte 2000. Namun demikian, menurut kiteria Kepmen LH No. 200 tahun 2004 kondisi lamun di Pulau Pramuka tergolong rusak. Rendahnya 70 kualitas habitat lamun tersebut berkorelasi dengan rendahnya nilai kepadatan dan biomassa makrozoobentos. Kondisi habitat reef crest di perairan Pulau Pramuka menurut Keputusan Dirjen PHKA Departemen Kehutanan nomor SK.05IV-KK2004 tanggal 27 Januari 2004 Departemen Kehutanan 2008 berada pada kategori rusak sampai sedang. Ditemukannya jumlah spesies yang cukup tinggi pada habitat ini dikarenakan luasnya dimensi lingkungan laut. Semakin menuju ke laut lepas karakteristik substrat dan hidrologi laut akan semakin beragam. Presentase penutupan karang hidup di kawasan TNKpS berkisar antara 4,3 - 50,7 dan dominasi tutupan unsur-unsur abiotik seperti pasir, pecahan karang, serta karang mati umumnya telah melampaui 50. Hal ini menyebabkan kepadatan makrozoobentos terendah berada pada habitat reef crest. Di samping itu, sifat dari terumbu karang yang sensitif terhadap sedimentasi Nybakken 1988 mendukung alasan terjadinya penurunan kepadatan makrozoobentos pada habitat reef crest karena bahan organik yang terkandung pada habitat tersebut juga rendah. Indeks keanekaragaman yang tinggi menggambarkan kondisi kualitas lingkungan masih baik atau normal dengan tekanan ekologis relatif kecil Taurusman 2007, sedangkan indeks keseragaman yang tinggi menunjukkan sedikitnya spesies makrozoobentos yang mendominasi perairan. Pearson Rosenberg 1978 in Taurusman 2007 menyatakan bahwa karakteristik struktural komunitas makrozoobentos adalah jumlah spesies S, kepadatan A dan biomassa B komunitas makrozoobentos. Ketersediaan makanan dan kualitas dari makanan makrozoobentos merupakan faktor penting bagi struktur komunitas yang diindikasikan dengan parameter SAB. Nilai dari SAB akan meningkat secara signifikan ketika kondisi makanan melimpah. Parameter SAB akan berubah sebagai respon dari perubahan bahan organik di sedimen. Oleh karena itu terdapat hubungan antara struktur komunitas makrozoobentos dengan dinamika kandungan bahan organik di sedimen model Pearson-Rosenberg. Pada penelitian ini, kepadatan makrozoobentos tertinggi ditemukan pada habitat mangrove seiring dengan peningkatan bahan organik yang terdapat pada substrat dasar perairan. Secara temporal, jumlah spesies, kepadatan dan biomassa makrozoobentos pada bulan September 2010 lebih tinggi 71 dibandingkan bulan Januari 2011 yang disebabkan oleh tingginya bahan organik di substrat pada bulan September 2010. Oleh karena itu beberapa bukti yang ditunjukkan dari hasil penelitian ini dapat dikatakan mendukung teori dasar dari Pearson-Rosenberg. Kondisi lingkungan perairan Pulau Pramuka memberikan dampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap struktur komunitas makrozoobentos yang tinggal di dalam habitat mangrove, lamun dan reef crest. Suhu perairan yang lebih tinggi sebesar 3 - 3,5 o C pada musim kemarau mengakibatkan meningkatnya kecepatan metabolisme tubuh, sehingga pola konsumsi oksigen oleh makrozoobentos juga akan semakin tinggi Effendi 2003. Kedalaman perairan pada habitat reef crest yang lebih tinggi dibandingkan dengan habitat lainnya, menyebabkan jumlah spesies dan biomassa makrozoobentos juga semakin tinggi. Gangguan yang dikarenakan ombak atau arus yang dapat mempengaruhi substrat dasar perairan akan berkurang, sehingga komunitas makrozoobentos cenderung lebih banyak dihuni oleh spesies ekuilibrium berukuran besar, masa hidup yang panjang dan lama bereproduksi dibanding dengan spesies oportunistik berukuran kecil, masa hidup yang pendek dan cepat bereproduksi Nybakken 1988. Di samping itu, variasi dari substrat dasar perairan pasir halus, pasir kasar dan pecahan karang meningkatkan keragaman spesies makrozoobentos. Nilai kandungan oksigen terlarut DO yang diperoleh pada penelitian ini tidak terlalu berbeda secara signifikan antar habitat. DO yang berada di atas 5 mg l -1 Effendi 2003 pada ketiga habitat tersebut mendukung kelangsungan hidup dari makrozoobentos. Gray et al. 2002 in Taurusman 2007 menyatakan bahwa konsentrasi oksigen terlarut lebih rendah dari 4 mg l -1 di perairan akan menyebabkan kematian akut bagi sebagian besar spesies makrozoobentos dan perubahan komposisi spesies di dalamnya. Nilai nutrien yang lebih tinggi pada bulan September 2010 nitrat dan orthophosphat, baik pada habitat mangrove, lamun dan reef crest, dibandingkan dengan bulan Januari 2011, menunjukkan korelasi tingginya jumlah spesies, kepadatan dan biomassa makrozoobentos. Tekstur sedimen yang lebih halus pada habitat mangrove juga mempengaruhi kepadatan makrozoobentos. Tipe sedimen yang lebih bervariasi dapat menyediakan habitat dengan keanekaragaman spesies bentik yang lebih besar 72 Kastoro 2007. Substrat dasar perairan berupa pasir halus atau pasir lumpur cenderung meningkatkan kandungan bahan organik dibandingkan dengan substrat kasar atau butiran Gray Elliott 2009. Unsworth 2008 menyatakan bahwa kondisi lingkungan perairan memberikan pengaruh yang besar secara tidak langsung terhadap hubungan antara habitat dengan biota yang ada di dalamnya. Berdasarkan hasil penelitian ini, faktor lingkungan yang berkorelasi terhadap perubahan struktur komunitas makrozoobentos antara lain DO, nutrien nitrat dan orthophosphat, dan kedalaman. Menurut Taurusman 2007, variasi dari 7 parameter lingkungan perairan, yaitu salinitas, arus, DO saturasi, fosfat, amonia, klorofil a, dan tekstur sedimen, berkorelasi kuat dengan struktur komunitas makrozoobentos di Teluk Jakarta pada musim hujan Taurusman 2007. Sementara itu, beberapa faktor yang dapat mempengaruhi distribusi dan kelimpahan Polikaeta antara lain, struktur sedimen, kandungan C-Organik, kedalaman, salinitas, dan suhu Kastoro 2007. Untuk memperoleh gambaran lebih detail terkait parameter lingkungan di perairan Pulau Pramuka antara musim kemarau dan hujan, diperlukan pula data fisika dan kimia perairan yang lebih lengkap. Dalam penelitian ini hal tersebut belum dilakukan. Berdasarkan hasil analisis korelasi Pearson pada habitat mangrove bulan September 2010 Tabel 7, diketahui bahwa hubungan antara kerapatan jenis mangrove dengan jumlah taksa spesies berkorelasi positif dan memiliki hubungan yang kuat, yaitu sebesar 0,525 namun tidak signifikan, sedangkan pada bulan Januari 2011 hanya memiliki hubungan korelasi cukup, yaitu sebesar 0,453. Selain itu pada bulan September 2010 hubungan antara kerapatan jenis mangrove dengan kepadatan makrozoobentos juga berkorelasi positif dan memiliki hubungan yang kuat sebesar 0,630. Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi kerapatan jenis mangrove maka akan semakin tinggi pula jumlah taksa spesies serta kepadatan makrozoobentos pada habitat mangrove. Onrizal et al. 2007 dalam penelitian yang dilakukan di hutan mangrove hasil rehabilitasi di Pantai Timur Sumatera Utara menyatakan bahwa kerapatan dan luas bidang dasar tegakan mangrove berkorelasi positif dan kuat terhadap kelimpahan makrozoobentos, khususnya kelas Krustasea, Polikaeta dan Oligochaeta. 73 Pada habitat lamun hubungan antara persen penutupan lamun dengan biomassa makrozoobentos pada bulan September 2010 menunjukkan korelasi positif dan memiliki hubungan yang kuat, yaitu sebesar 0,501 namun tidak signifikan. Hubungan antara persen penutupan lamun dengan indeks keseragaman makrozoobentos pada bulan September 2010 juga menunjukkan korelasi positif dan memiliki hubungan yang kuat sebesar 0,572 Tabel 7. Kedua hal tesebut menunjukkan bahwa semakin tinggi persen penutupan lamun di perairan maka semakin tinggi pula nilai biomassa dan indeks keseragaman makrozoobentos. Hal ini diperkuat oleh Ramadhan 2010 dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan di habitat lamun di Kepulauan Seribu, menyatakan bahwa persen penutupan lamun memiliki hubungan korelasi yang positif dan kuat dengan indeks keseragaman makrozoobentos. Tabel 7. Analisis korelasi Pearson antara kondisi habitat dan struktur komunitas makrozoobentos No . Parameter September 2010 Januari 2011 Nilai r Probabi litas Nilai r Probabi litas 1 Kerapatan jenis mangrove jumlah taksa spesies 0,525 0,146 0,453 0,220 2 Kerapatan jenis mangrove kepadatan makrozoobentos 0,630 0,095 0,395 0,292 3 Kerapatan jenis mangrove biomassa makrozoobentos 0,138 0,719 0,434 0,243 4 Kerapatan jenis mangrove indeks keanekaragaman makrozoobentos 0,238 0,533 0,371 0,323 5 Kerapatan jenis mangrove indeks keseragaman makrozoobentos 0,379 0,312 0,349 0,355 6 Persen penutupan lamun jumlah taksa spesies 0,422 0,257 0,373 0,322 7 Persen penutupan lamun kepadatan makrozoobentos 0,451 0,222 0,045 0,910 8 Persen penutupan lamun biomassa makrozoobentos 0,501 0,169 0,396 0,291 9 Persen penutupan lamun indeks keanekaragaman makrozoobentos 0,261 0,495 0,109 0,777 10 Persen penutupan lamun indeks keseragaman makrozoobentos 0,572 0,108 0,326 0,391 11 Persen penutupan karang jumlah taksa spesies 0,515 0,296 0,595 0,212 12 Persen penutupan karang kepadatan makrozoobentos 0,451 0,369 0,643 0,168 13 Persen penutupan karang biomassa makrozoobentos 0,430 0,394 0,151 0,773 14 Persen penutupan karang indeks keanekaragaman makrozoobentos 0,630 0,179 0,100 0,846 15 Persen penutupan karang indeks keseragaman makrozoobentos 0,389 0,445 0,648 0,164 Pada habitat reef crest hubungan antara persen penutupan karang dengan jumlah taksa spesies makrozoobentos pada bulan September 2010 maupun Januari 2011 berkorelasi positif dan memiliki hubungan yang kuat, yaitu sebesar 74 0,515 pada bulan September 2010 dan 0,595 pada bulan Januari 2011. Selain itu pada bulan September 2010 hubungan antara persen penutupan karang dengan indeks keanekaragaman makrozoobentos juga berkorelasi positif dan memiliki hubungan yang kuat sebesar 0,630. Sedangkan pada bulan Januari 2011 hubungan antara persen penutupan karang dengan kepadatan serta indeks keseragaman makrozoobentos berkorelasi positif dan memiliki hubungan yang kuat, yaitu sebesar 0,643 dan 0,648 berturut-turut Tabel 7. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi persen penutupan karang maka akan semakin tinggi pula jumlah taksa spesies, kepadatan, indeks keanekaragaman, dan indeks keseragaman makrozoobentos di perairan reef crest. Gambar 20. Diagram alir konektivitas ekologis antara habitat dengan makrozoobentos di Pulau Pramuka pada bulan September 2010 dan Januari 2011 Pada Gambar 20 menunjukkan bahwa terdapat konektivitas antara habitat dengan makrozoobentos pada bulan September 2010. Konektivitas tersebut terjadi antara kerapatan jenis mangrove dan persen penutupan karang terhadap jumlah spesies makrozoobentos secara kuat dan positif. Di samping konektivitas antar habitat dalam satu musim musim kemarau bulan Spetember 2010, konektivitas juga terjadi antar musim. Terjadi konektivitas antara kerapatan jenis mangrove 75 bulan September 2010 dan persen penutupan karang bulan Januari 2011 terhadap kepadatan makrozoobentos, serta konektivitas antara persen penutupan lamun bulan September 2010 dan persen penutupan karang bulan Januari 2011 terhadap indeks keseragaman E’ makrozoobentos. Setelah mengetahui nilai korelasi dan hubungan keeratan antara habitat dengan makrozoobentos menggunakan analisis korelasi Pearson, perlu diketahui pula hubungan pengaruh makrozoobentos antar habitat menggunakan analisis ragam. Berdasarkan analisis ragam yang dilakukan dengan ANOVA Tabel 8 dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan secara nyata pada jumlah spesies makrozoobentos antar habitat di bulan Januari 2011 p ≤ 0,05, indeks keanekaragaman makrozoobentos di bulan September 2010 p ≤ 0,05 dan indeks keseragaman makrozoobentos bulan Janua ri 2011 p ≤ 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa habitat yang berbeda memberikan pengaruh yang berbeda secara nyata pula terhadap beberapa parameter tersebut. Perbedaan yang sangat nyata ditunjukkan pada indeks keanekaragaman makrozoobentos bulan Januari 2011 p ≤ 0,01 dan indeks keseragaman makrozoobentos bulan September 2011 p ≤ 0,01. Hal ini menunjukkan bahwa habitat yang berbeda memberikan pengaruh yang sangat berbeda secara nyata pula terhadap kedua parameter tersebut. Di sisi lain, tidak ada perbedaan secara nyata pada jumlah spesies makrozoobentos bulan September 2010 p 0,05, kepadatan makrozoobentos serta biomassa makrozoobentos di bulan September 2010 dan Januari 2011 p 0,05. Ini menunjukkan bahwa perbedaan habitat tidak memberikan pengaruh yang berbeda secara nyata terhadap ketiga parameter tersebut. Habitat mangrove, lamun dan reef crest tidak terpisah secara jelas di perairan Pulau Pramuka, sehingga memungkinkan untuk tidak adanya perbedaan secara nyata terhadap struktur komunitas makrozoobentos antar habitat. Pada kedua bulan, terbukti bahwa perbedaan habitat baik mangrove, lamun dan reef crest tidak memberikan pengaruh yang berbeda secara nyata terhadap jumlah spesies, kepadatan dan biomassa makrozoobentos Tabel 8. Namun demikian, di dalam habitat itu sendiri terdapat perbedaan secara nyata dilihat dari analisis korelasi Pearson, indeks similaritas dan persen similaritas kepadatan 76 makrozoobentos. Maka dapat dikatakan bahwa terdapat konektivitas antara habitat dengan makrozoobentos di dalamnya, sehingga makrozoobentos dapat dijadikan sebagai indikator konektivitas ekologi antar habitat mangrove, lamun dan reef crest pada suatu perairan. Tabel 8. Analisis ragam parameter komunitas makrozoobentos berdasarkan pengelompokkan habitat No. Parameter F hitung F tabel P 1 Jumlah spesies bulan September 2010 3,287 3,682 0,06 2 Jumlah spesies bulan Januari 2011 7,775 3,682 0,005 3 Kepadatan makrozoobentos bulan September 2010 2,836 3,682 0,09 4 Kepadatan makrozoobentos bulan Januari 2011 0,109 3,682 0,89 5 Biomassa makrozoobentos bulan September 2010 1,132 3,682 0,35 6 Biomassa makrozoobentos bulan Januari 2011 0,460 3,682 0,64 7 Indeks Keanekaragaman spesies bulan September 2010 9,918 3,682 0,002 8 Indeks Keanekaragaman spesies bulan Januari 2011 6,846 3,682 0,007 9 Indeks Keseragaman spesies bulan September 2010 6,562 3,682 0,009 10 Indeks Keseragaman spesies bulan Januari 2011 4,249 3,682 0,03 Keterangan: = Berbeda nyata p ≤ 0,05 = Berbeda sangat nyata p ≤ 0,01

4.6. Pengelolaan Ekosistem Pesisir di Pulau Pramuka