Konsep Pengaturan Hasil Hutan

2.3 Konsep Pengaturan Hasil Hutan

Pengaturan hasil dimaksudkan dengan tujuan mencapai kelestarian hasil yang diperoleh dari hasil hutan secara berkelanjutan dengan jumlah yang relatif sama atau lebih besar setiap tahunnya. Menurut Osmaston 1968, pengaturan hasil bertujuan untuk memperoleh hasil akhir yang berazaskan kelestarian. Beberapa alasan penebangan dan pengaturan hasil dalam hubungannya dengan jumlah, mutu, tempat, dan waktu. Pengaturan hasil diterapkan karena berbagai alasan antara lain: a penyediaan bagi konsumen dimana penebangan harus dilaksanakan agar tersedia jenis, ukuran, mutu, dan jumlah kayu sesuai permintaan pasar; b pemeliharaan growing stock untuk mempertahankan dan mengembangkan produksi dalam bentuk serta kualitas yang baik secepat mungkin; c penyesuaian jumlah dan bentuk tegakan persediaan agar lebih sesuai dengan tujuan pengelolaan; d penebangan, perlindungan terutama dipergunakan dalam sistem silvikultur untuk melindungi tegakan dari angin, kebakaran hutan dan sebagainya. Klasifikasi metode pengaturan hasil menurut Osmaston 1968 didasarkan pada: 1. Metode berdasarkan luas 2. Metode berdasarkan volume dan riap 3. Metode berdasarkan jumlah pohon Menurut Suhendang 1996, pengaturan hasil secara garis besar dikelompokkan menjadi dua yaitu: 1 pengaturan hasil hutan seumur: a berdasarkan luas, b berdasarkan volume, dan c berdasarkan luas dan volume; dan 2 Pengaturan hasil tidak seumur yaitu berdasarkan jumlah pohon. Pengaturan hasil terkait dengan pengaturan tebangan tegakan hutan. Meyer et al. 1961 menyebutkan bahwa pengaturan tebangan merupakan tujuan penting manajemen hutan. Ada tiga permasalahan pengaturan tebangan yaitu penentuan jatah tebang, distribusi jatah tebang ke dalam blok dan kompartemen, serta penentuan waktu tebang pada masing-masing blok atau kompartemen. Konsep pengaturan hasil yang berlaku sampai saat ini pada kegiatan pengelolaan hutan rakyat didasarkan pada jumlah batang. Oleh karena itu, metoda yang mungkin bisa diterapkan pada pengaturan hasil hutan rakyat bisa didekati melalui Metode Brandis The Brandis Method, tanpa mengabaikan sistem pengelolaan yang sudah berjalan saat ini, dengan kata lain harus mempertimbangkan kondisi sosial budaya lokal dan kapasitas petani hutan rakyat sebagai pengelola. Pada tahun 1856 Brandis diberi tugas untuk memimpin pengelolaan hutan alam Jati di Pegu, Burma sekarang Myanmar, dengan menggunakan sistem tebang pilih pada tegakan jati yang memiliki keliling batang setinggi dada yaitu 7 feet atau setara diameter diatas limit 67,9 cm Osmaston 1968, membutuhkan informasi sebagai berikut: 1 Penentuan kelas-kelas diameter berdasarkan hasil inventarisasi. 2 Perhitungan jumlah pohon untuk tiap kelas diameter. 3 Perhitungan apa yang dinamakan jangka waktu lewat the time of passage, yaitu waktu yang diperlukan oleh sebuah pohon untuk mencapai diameter limit setelah melewati berbagai kelas diameter. 4 Penentuan apa yang dinamakan The causalty per cent utuk setiap kelas diameter, yaitu persen jumlah pohon per kelas diameter yang mati, roboh karena angin atau ditebang sebelum mencapai umur tebang. Di Myanmar, Brandis menamakan kelas diameter I adalah diameter paling besar adalah diameter diatas limit 7 kaki. Dengan demikian untuk pohon dengan diameter lebih kecil dimasukkan ke kelas II 6 – 7 kaki. Kelas III 4,5 – 6 kaki. - Kelas IV 3 – 4,5 kaki. Kelas V 1,5 – 3 kaki. Pohon-pohon yang berdiameter dibawah 1,5 kaki tidak di inventore karena tidak perlu dimasukkan di dalam perhitungan. Dari hasil inventore kemudian dapat dihitung berapa jumlah pohon untuk tiap kelas. Siklus tebang yang dipergunakan 30 tahun, rencana kegiatan akan disusun setiap 10 tahun. Dalam rencana tabangan 10 tahun pertama, separuh target tebangan akan diambil dari kelas I, dan separuh sisanya diambil dari kelas II. Akan tetapi komposisi kelas I dan kelas II yang ditebang setiap tahun dibuat sedemikian rupa sehingga pada tahun pertama penebangan hanya dilakukan terhadap pohon kelas I. Tahun ke II sepersepuluh target tebang diambil dari kelas II dan sisanya kelas I. Demikian seterusnya secara berangsur-angsur porsi kelas I menurun sampai akhirnya pada tahun ke sepuluh tinggal persen kelas I dan sisanya pohon kelas II. Rencana tebangan seperti ini pada awalnya memang konservatif karena tidak hanya menebang pohon-pohon yang terbesar saja agar diperoleh volume tebangan yang besar pula. Tetapi pada siklus tebangan berikutnya volume etat akan meningkat yang berarti ada perbaikan potensi dan kualitas tegakan.

2.4 Pengelolaan Hutan Lestari