Sediaan Tegakan Sengon HASIL DAN PEMBAHASAN

dari segi jumlah batang, artinya struktur tegakan sengon yang ada di Desa Cikalong, Desa Tonjong sari dan Desa Singkir adalah sama.

5.3 Sediaan Tegakan Sengon

Sediaan tegakan sengon dari ketiga desa cukup bervariasi. Berdasarkan hasil perhitungan pendugaan potensi Tabel 16, dengan menggunakan selang duga pada tingkat kepercayaan 95 diperoleh nilai dugaan volume per hektar yaitu antara 18,29 - 29,90 m 3 ha di Desa Cikalong; 11,54 - 19,18 m 3 ha di Desa Tonjongsari; dan 13,90 - 25,45 m 3 ha di Desa Singkir. Dugaan total volume untuk Desa Cikalong berkisar antara 15.676,36 - 25.627,29 m 3 ; 6.357,62 - 10.596,57 m 3 di Desa Tonjongsari dan 9.472,43 - 17.343,41 m 3 di Desa singkir. Tabel 16 Rata-rata dan total sediaan tegakan sengon berdasarkan volume Nama Desa Luas Hutan Rakyat ha Rata-rata Vha m 3 ha Dugaan volume total m 3 Cikalong 857,10 24,11 20.664,68 Tonjongsari 552,48 15,36 8.486,09 Singkir 681,47 19,70 13.424,96 Sumber: Hasil pengolahan data primer 2010 Total volume dari ketiga desa menunjukkan bahwa Desa Tonjongsari memiliki jumlah volume paling kecil 8.486,09 m 3 , sedangkan di Desa Cikalong 20.664,68 m 3 dan Desa Singkir 13.424,96 m 3 . Hal tersebut dikarenakan luas dan rata-rata volume per hektar Desa Tonjongsari paling kecil. Sumarna 1961, menyatakan besarnya volume produksi tergantung dari banyaknya bibit yang ditanam dan kualitas tempat tumbuh. Pada tempat tumbuh yang berkualitas bagus di Indonesia, tanaman sengon dapat mencapai riap volume tahunan rata-rata maksimum sebesar 67 m 3 ha pada umur 6 tahun dengan total volume produksi yang dihasilkan sebesar 403 m 3 ha sampai akhir daur. Hasil penelitian Prabowo 2000 dalam Suharjito 2000, potensi tegakan hutan rakyat untuk jenis yang sama di Desa Sumberejo adalah sebesar 84,71 m 3 ha dan taksiran volume totalnya sebesar 10.602,11 m 3 . Bila dibandingkan dengan kedua hasil penelitian Sumarna dan Prabowo 2000 sebagaimana dijelaskan sebelumnya sediaan hutan rakyat sengon di ketiga desa contoh pada penelitian ini relatif rendah sehingga perlu ditingkatkan dengan memanfaatkan lahan yang ada secara optimal melalui penyesuaian jarak tanam yang lebih seragam dan sesuai kapasitas luas lahan. Perbandingan produksi yang dicapai terhadap luas lahan menunjukkan kondisi masyarakat tani Desa Sumber Rejo lebih optimal dalam memanfaatkan luas lahannya. Berdasarkan pendugaan jumlah batang per hektar diketahui bahwa sediaan tegakan jumlah batang per hektar berkisar antara 333 batangha – 337 batangha di Desa Cikalong; 310 batangha – 387 batangha di Desa Tonjongsari; dan 324 batangha – 362 batangha di Desa Singkir. Total sediaan jumlah batang masing- masing desa berkisar antara 285.414 batang – 323.984 batang di Desa Cikalong, 171.269 batang - 213.810 batang di Desa Tonjongsari dan 220.796 batang - 246.692 batang di Desa Singkir. Secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Rata-rata dan total sediaan tegakan sengon berdasarkan jumlah batang Nama Desa Luas Hutan Rakyat ha Rata-rata jumlah batangha Dugaan total jumlah batang Cikalong 857,10 356 304.870 Tonjongsari 552,48 349 192.594 Singkir 681,47 244 166.415 Sumber: Hasil pengolahan data primer 2010 Desa Singkir memiliki nilai dugaan jumlah batang yang paling kecil diantara Desa Cikalong dan Desa Tonjongsari. Rata-rata sedian jumlah batang per hektar di Desa Singkir 224 batangha, sedangkan di Desa Tonjongsari 349 batangha dan Desa Cikalong 3556 batangha. Total jumlah batang di Desa Singkir diduga sebesar 166.415 batang, Desa Tonjongsari 192.595 batang dan Desa Cikalong 304.871 batang. Apabila dibandingkan dengan hasil penelitian Suharjito 2000, jumlah batang per hektar dari hasil penelitian sangat jauh terhadap jumlah batang per hektar di Wonosobo 600 – 800 batangha, sedangkan dibandingkan dengan potensi jumlah batang di Banjarnegara antara 20 – 80 batangha bahkan lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa variasi jumlah batang per ha ditentukan oleh jarak tanam, serta kombinasi antara proporsi jenis tanaman pertanian dan jenis tanaman kayu, lama waktu pengalaman mengelola hutan rakyat, serta pangsa pasar. Petani hutan rakyat di Wonosobo lebih lama berpengalaman dalam mengelola usaha kayu rakyat dan penyebarannya secara total luasan lebih besar dibandingkan dengan di Kecamatan Cikalong, serta ditunjang dengan pesatnya pengembangan industri perkayuan dari skala kecil sampai skala cukup besar didaerahnya. Lain halnya dengan di Banjarnegara, petani hutan rakyat lebih mementingkan proporsi lebih besar untuk jenis tanaman penghasil buah salak pondoh dimana salak sudah sejak lama merupakan sumber pendapatan utamanya dibandingkan dari kayu rakyat. Pengelolaan hutan rakyat di Kecamatan Cikalong dirasa belum berkembang secara optimal. Hal ini dibuktikan dari kondisi proporsi antara pohon-pohon yang berdiameter kecil lebih banyak dibandingkan pohon-pohon yang siap tebang. Walaupun demikian dengan berjalannya waktu, masyarakat mulai merasakan manfaat menanam jenis kayu dalam hal penghasilan tambahan sebagai bentuk tabungan yang dapat diperoleh dan digunakan untuk menutupi kebutuhan insidentil keluarga, seperti biaya anak masuk sekolah dan sebagainya. Oleh karena belum adanya sistem kelembagaan dan kebijakan yang secara serius dalam menunjang usaha hutan rakyat, baik dalam aspek produksi, pengolahan maupun pemasaran, masyarakat tani hutan rakyat di Kecamatan Cikalong masih lemah dalam hal posisi tawar sehingga perlu penyempurnaan sistem kelembagaan yang lebih profesional melalui seperangkat kebijakan yang tepat guna dan mampu mendukung terciptanya iklim usaha yang lebih kondusif dengan harapan petani hutan rakyat selaku produsen mampu bernegosiasi dalam menentukan posisi tawar yang lebih baik dari saat ini.

5.4 Pengaturan Hasil