Kerangka Pemikiran Teoritis Analisis pendapatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi pengusahaan lahan sawah : studi kasus Desa Gempol Kolot, Kecamatan Banyusari, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat

17 III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

Teori yang digunakan pada penelitian ini pada dasarnya tidak terlepas dari konsep-konsep ilmu usahatani, meliputi : konsep lahan sebagai faktor produksi, konsep pendapatan usahatani, konsep pendapatan rumah tangga, serta konsep faktor-faktor yang mempengaruhi pengusahaan lahan. Teori-teori ini diharapkan dapat menguraikan nalar dalam membangun suatu kerangka pemikiran yang utuh untuk menjawab sementara permasalahan dan tujuan dari penelitian.

3.1.1. Usahatani

Usahatani atau farm merupakan bagian dari permukaan bumi dimana seorang petani, suatu keluarga tani atau badan tertentu lainnya bercocok tanam atau memelihara ternak Mosher dalam Soeharjo dan Patong, 1973. Hal ini sejalan dengan definisi usahatani merupakan organisasi dari alam, kerja, modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian Rifai dalam Hernanto, 1988. Ketatalaksanaan organisasi ini berdiri sendiri dan sengaja diusahakan oleh seorang atau sekumpulan orang, segolongan sosial, baik yang terikat genologis, politis maupun territorial sebagai pengelolanya. Berdasarkan batasan tersebut, dapat diketahui bahwa usahatani terdiri atas manusia petani bersama keluarganya, lahan bersama dengan fasilitas yang ada diatasnya seperti bangunan-bangunan dan saluran air dan tanaman maupun hewan ternak. Tujuan setiap petani dalam menjalankan usahataninya berbeda-beda. Apabila dorongannya untuk memenuhi kebutuhan keluarga baik melalui atau tanpa melalui peredaran uang disebut subsistence farm sedangkan apabila dorongannya untuk mencari keuntungan disebut comercial farm Hernanto, 1988. Soekartawi dkk 1986 mengemukakan bahwa tujuan berusahatani terbagi dua, yaitu memaksimumkan keuntungan dan meminimumkan biaya. Konsep memaksimumkan keuntungan adalah bagaimana mengalokasikan sumberdaya dengan jumlah tertentu seefisien mungkin untuk memperoleh keuntungan maksimum sedangkan konsep meminimumkan biaya berarti bagaimana menekan biaya produksi sekecil-kecilnya untuk mencapai tingkat produksi tertentu. 18 Definisi usahatani yang telah diuraikan memberikan pemahaman bahwa usahatani mempunyai unsur-unsur pokok yang saling terkait, yaitu : lahan, kerja, modal dan pengelolaan. Unsur penyusun usahatani ini harus diorganisasikan dengan baik agar kegiatan usahatani berjalan lancar. Jika salah satu unsur tidak tersedia atau tidak memberikan peranannya dengan baik maka pelaksanaan usahatani akan terganggu, akibatnya hasil yang diperoleh dari usahatani tidak seperti yang diharapkan.

3.1.2. Lahan Sebagai Faktor Produksi

Lahan pada hakekatnya adalah permukaan bumi yang merupakan bagian dari alam, sehingga lahan tidak terlepas dari pengaruh alam sekitarnya, seperti : sinar matahari, curah hujan, angin, kelembaban udara dan lain sebagainya. Fungsi lahan dalam usahatani adalah tempat menyelenggarakan kegiatan produksi pertanian usaha bercocok tanam dan pemeliharaan ternak dan tempat pemukiman keluarga tani Tjakrawiralaksana, 1985. Menurut Hernanto 1988 pada umumnya di Indonesia lahan merupakan faktor produksi yang relatif langka dibandingkan dengan faktor produksi lainnya dan distribusi penguasaannya tidak merata di masyarakat. Oleh karena itu lahan mempunyai beberapa sifat, antara lain : a bukan merupakan barang produksi; b luas relatif tetap atau dianggap tetap atau tidak dapat diperbanyak; c tidak dapat dipindah-pindahkan; d dapat dipindahtangankan dan atau diperjualbelikan; e tidak ada penyusutan tahan lama; dan f bunga atas lahan dipengaruhi oleh produktivitas lahan. Karena sifatnya yang khusus tersebut, lahan kemudian dianggap sebagai salah satu faktor produksi usahatani. Lahan merupakan jenis modal yang sangat penting yang harus dibedakan dari jenis modal lainnya sehingga faktor lahan perlu digunakan atau dimanfaatkan secara efisien. Usaha-usaha untuk meningkatkan efisiensi pengusahaan lahan antara lain pemilihan komoditas cabang usahatani dan pengaturan pola tanam. Ukuran efisiensi penggunaan lahan adalah perbandingan antara output dan input. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam usahatani berkaitan dengan lahan yang digunakan adalah permasalahan lahan usahatani di Indonesia, sumber dan status lahan, nilai lahan, fragmentasi lahan, lahan sebagai ukuran usahatani, serta perkembangan penguasaan lahan di Indonesia. 19 1 Lahan Usahatani dan Permasalahannya di Indonesia Indonesia merupakan negara agraris dikarenakan sebagian besar rakyatnya mendapat nafkah dari sumber-sumber pertanian. Masalah lahan di Indonesia boleh disebut gawat bahkan kritis, hal ini mulai dirasakan sekarang dan waktu yang akan datang. Kegawatan tersebut tidak akan terjadi apabila : a penduduknya tidak berjumlah lebih dari 155 juta jiwa; b pertambahan penduduknya tidak sebesar 2,3 persen; c bila lahan kering dan basah yang tergolong arable land di wilayah Indonesia tetap menyebar; dan d kepesatan pembangunan dapat teratasi Hasan dalam Hernanto, 1988. Lahan selalu mempunyai konotasi erat dengan pertanian dan desa. Dalam perjalanan waktu, pembangunan pertanian bersaing ketat dengan sektor-sektor lainnya, seperti : industri, prasarana umum, perumahan, perkantoran serta usaha- usaha di luar atau non pertanian. Suasana demikian tidak otomatis berarti semakin sempitnya keseluruhan lahan pertanian, tetapi yang terjadi adalah : a semakin besarnya lokasi pertanian dan usahatani yang menjauhi pemusatan penduduk dan pusat pengembangan; b semakin banyaknya lahan pertanian lepas dari petani kecil, baik ke luar usahatani maupun ke usahatani petani besar; c adanya pergeseran dari petani menjadi buruh tani dan keprofesi lain; dan d semakin sempitnya kepemilikan dan pengusahaan lahan pertanian Hernanto, 1988. Berdasarkan uraian tersebut, petani terbagi menjadi empat golongan, yakni : golongan petani luas, sedang, sempit dan tidak berlahan buruh tani. Perbedaan golongan petani berdasarkan luasnya berpengaruh terhadap sumber dan distribusi pendapatan Gambar 3. Semakin rendah golongan luasan lahan yang dikuasai, maka : a semakin banyak jumlahnya; b semakin rendah pendapatan usahatani yang berasal dari lahan dan dari luar lahan; dan c semakin tinggi pendapatan yang berasal dari luar usahatani Hernanto, 1988. Pada dasarnya pendapatan yang bersumber dari lahan, faktor produksi dominannya adalah lahan sedangkan pendapatan yang bersumber dari luar lahan dan luar usahatani masing-masing faktor produksi dominannya adalah modal dan kerja, sehingga terlihat bahwa tidak meratanya pendapatan diakibatkan oleh faktor lahan dan modal. Kondisi ini menumbuhkan persoalan bagaimana mengangkat golongan petani sempit dan tidak berlahan ke tingkat yang lebih layak. 20 Golongan luas penguasaan lahan Tingkat dan sumber pendapatan Lahan Usahatani diluar lahan Luar usahatani Petani luas 2 hektar Petani sedang 0,5-2 hektar Petani sempit 0,5 hektar Buruh tani tidak berlahan Gambar 3. Pengaruh Luas dan Distribusi Penguasaan Lahan terhadap Sumber dan Distribusi Pendapatan Sumber : Hernanto 1988 Perbedaan golongan petani berdasarkan luas juga berpengaruh terhadap pendapatan dan biaya hidup Gambar 4 yang dapat menjadi ukuran kesejahteraan dan investasi. Untuk golongan petani luas dan petani sedang, sumber pendapatan dari usahatani dengan lahan sudah mencukupi biaya hidup pendapatan surplus, namun golongan petani sempit dan petani tanpa lahan, seluruh pendapatan dari berbagai sumber tidak dapat mencukupi biaya hidup pendapatan defisit. Dengan demikian, untuk mengangkat harkat dan martabat petani lahan sempit dan tak berlahan diperlukan land reform dan capital reform. Hal ini agar distribusi pendapatan dapat diperbaiki dan memperkecil jurang antara kaya dan miskin. Golongan luas penguasaan lahan Tingkat dan sumber pendapatan Lahan Usahatani diluar lahan Luar usahatani Petani luas 2 hektar Petani sedang 0,5-2 hektar Petani sempit 0,5 hektar Buruh tani tidak berlahan Gambar 4. Pengaruh Luas dan Distribusi Penguasaan Lahan terhadap Pendapatan dan Biaya Hidup Keterangan : a = garis pendapatan; c = garis kecukupan Sumber : Hernanto 1988 a c 21 Pemecahan persoalan tidak meratanya distribusi pendapatan Gambar 5 dengan menentukan garis pendapatan yang diperlukan, kemudian membentuk garis pendapatan harapan. Gambar 5 menunjukkan bahwa dengan garis pendapatan harapan, keseluruhan golongan petani telah mencukupi kebutuhan hidupnya pendapatan surplus. Golongan luas penguasaan lahan Tingkat dan sumber pendapatan Lahan Usahatani diluar lahan Luar usahatani Petani luas 2 hektar Petani sedang 0,5-2 hektar Petani sempit 0,5 hektar Buruh tani tidak berlahan Gambar 5. Pengaruh Luas dan Distribusi Penguasaan Lahan terhadap Pendapatan dan Pemecahannya Keterangan : a = garis pendapatan sekarang; b = garis pendapatan yang diperlukan; c = garis kecukupan; d = garis pendapatan harapan Sumber : Hernanto 1988 2 Sumber Pengusahaan Lahan Hernanto 1988 mengutarakan bahwa lahan yang diusahakan petani diperoleh dari berbagai sumber, yakni : a lahan milik, dibuktikan dengan surat bukti pemilikan sertifikat yang dikeluarkan oleh negara melalui Direktorat Jenderal Agraria, bukan girik atau leter C; b lahan sewa, sebaiknya bukti dibuat oleh pejabat yang berwenang agar apabila terjadi hal yang tidak diinginkan dapat diselesaikan secara hukum; c lahan sakap, telah diatur oleh undang-undang bagi hasil UUBH atau UU No. 2 tahun 1960; d lahan pemberian negara atau lahan milik negara yang diberikan kepada seseorang yang mengikuti program pemerintah dan berjasa kepada negara, dalam hal ini pemilikannya dapat melalui prosedur gratis, ganti rugi dan kredit; e lahan waris, lahan yang karena hukum tertentu agama dibagikan kepada ahli warisnya; f lahan wakaf, lahan yang diberikan atas seseorang atau badan kepada pihak lain untuk kegiatan sosial; dan g lahan yang dibuka sendiri. c a a b d 22 3 Status Pengusahaan Lahan Lahan-lahan yang diusahakan oleh para petani biasanya mempunyai status, yang menunjukkan hubungan hukum antara petani dengan lahan yang diusahakannya. Dengan demikian status lahan tersebut akan memberikan kontribusi bagi penggarapnya. Tjakrawiralaksana 1985 membagi status-status hukum lahan menjadi status hak milik, status hak sewa, status hak bagi hasil sakap, status hak gadai dan status hak pakai atau hak guna usaha HGU. Status lahan merupakan faktor penting dalam usaha pengembangan usahatani, karena faktor ini dapat mempengaruhi kesediaan para petani melakukan investasi pada lahan atau menggunakan teknologi baru yang menguntungkan. Dalam hubungannya dengan pengelolaan usahatani dikaitkan dengan lahan sebagai faktor produksi, status lahan mempunyai keunggulan-keunggulan maupun kelemahan-kelemahan. Keunggulan lahan dengan hak milik petani, diantaranya adalah : a petani bebas mengusahkan lahannya; b petani bebas merencanakan seseuatu kepada lahannya baik jangka pendek maupun jangka panjang; c petani bebas menentukan cabang usaha untuk lahan sesuai dengan faktor-faktor fisik dan faktor ekonomi yang dimiliki; d petani bebas menggunakan teknologi dan cara budidaya tanpa campur tangan orang lain; dan e petani bebas memperjualbelikan, menyewakan dan menggadaikan lahannya. Lahan dengan hak sewa mempunyai kewenangan seperti lahan dengan hak milik di luar batas jangka waktu sewa yang disepakati. Penyewa tidak mempunyai kewenangan untuk menjual dan menjaminkan lahan sebagai anggunan. Dalam hal perencanaan usaha, penyewa harus mempertimbangkan jangka waktu sewa. Lahan dengan hak sakap tidak mempunyai kewenangan untuk menjual lahan. Dalam setiap kegiatan pengusahaan usahatani, seperti penentuan cabang usaha dan pilihan teknologi harus dikonsultasikan dengan pemilknya. Status lahan yang terdapat di pedesaan Pulau Jawa menimbulkan semacam tangga pertanian agricultural lader, yaitu status pemilikan lahan secara bertahap yang menunjukkan tingkatan atau status sosial di dalam masyarakat dari petani pemilik ke buruh tani, misalnya : petani dengan hak milik terhadap lahan pada tangga pertanian memiliki posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani dengan hak sakap terhadap lahan Tjakrawiralaksana, 1985. 23 4 Nilai Lahan Dengan semakin terbatasnya lahan yang tersedia dan semakin terjaminnya kepastian akan pemilikan lahan, maka akan selalu terjadi jual beli lahan. Nilai lahan sangat bervariasi dari unsur waktu dan tempat. Di daerah perkotaan, lahan usahatani mempunyai nilai yang cukup tinggi, bahkan terkadang tidak sebanding dengan nilai ekonomis dari hasil lahan tersebut. Soeharjo dan Patong 1973 mengutarakan nilai lahan tergantung kepada : a tingkat kesuburan lahan, harga lahan yang lebih subur baik fisik maupun kimiawi lebih tinggi daripada lahan yang tidak subur; b fasilitas pengairan, nilai lahan yang berpengairan baik lebih tinggi daripada lahan yang tidak berpengairan; dan c posisi lokasi, nilai lahan yang dekat dengan jalan atau sarana penghubung lebih tinggi daripada lahan yang tidak dekat dengan jalan atau sarana penghubung. 5 Fragmentasi Lahan Lahan yang diusahakan oleh para petani seringkali tidak merupakan satu kesatuan bidang, melainkan terdiri dari beberapa pecahan yang letaknya tersebar. Keadaan lahan demikian sering diberi istilah fragmentasi lahan, sedangkan bagian-bagian pecahannya disebut fragmen atau persil. Tjakrawiralaksana 1985 mengutarakan bahwa terjadinya fragmentasi pada lahan usahatani dipengaruhi oleh : kepadatan penduduk, adat pewarisan harta benda yang berlaku dalam masyarakat, faktor alam misalnya : tanah longsor serta pergeseran aliran sungai dan aktivitas manusia misalnya : pembuatan jalan, pembuatan terusan serta pembuatan saluran pengairan. Soeharjo dan Patong 1973 mengungkapkan kerugian yang ditimbulkan oleh fragmentasi lahan, diantaranya adalah : a semakin sempitnya lahan-lahan petani; b menimbulkan pemborosan waktu dan tenaga sehingga biaya produksi lebih tinggi; c menimbulkan kesulitan dalam pengawasan terutama serangan hama dan penyakit sehingga produksi tidak setinggi pencapaian yang diharapkan; d petani tidak leluasa memilih tanaman atau komoditas yang paling menguntungkan; e banyaknya lahan-lahan produktif yang hilang atau dikorbankan; f pembagian air pengairan sukar diatur; g alat-alat mekanisasi tidak dapat digunakan; dan h kemungkinan percecokan antar petani lebih tinggi karena banyaknya tetangga lahan. 24 6 Lahan Sebagai Ukuran Usahatani Lahan sebagai unsur produksi seringkali juga dipakai untuk pengukuran besaran usahatani size of business. Menurut Soeharjo dan Patong 1973 ukuran- ukuran tersebut antara lain : a luas total lahan usahatani, yakni mengukur semua lahan yang dimiliki sebagai satu kesatuan produksi; b luas tanam pertanaman, yakni mengukur luas tanaman yang diusahakan; c luas total tanaman, yakni memperhitungkan luas dari semua cabang usahatani yang diusahakan; dan d luas tanaman utama, yakni mengukur luas tanaman pokok yang diusahakan. Namun, menurut Tjakrawiralaksana 1985 ukuran tersebut bukanlah cara yang terbaik, keberatan-keberatan dalam pemakaiannya antara lain : a pengukurannya tidak menyertakan keterangan mengenai kualitas daripada lahannya; b pengukurannya tidak menggambarkan hubungan dengan pemakaian unsur-unsur produksi lainnya yang secara bersama-sama dapat mempengaruhi tingkat produksi; dan c pengukurannya tidak memperhatikan adanya perbedaan letak ekonomis daripada lahan itu sendiri. 7 Perkembangan Penguasaan Lahan di Indonesia Selama kurun waktu tiga dekade ini, perkembangan penguasaan lahan pertanian di Indonesia, termasuk didalamnya lahan sawah petani padi, terbagi dalam tiga macam perkembangan ekonomi lahan, yakni : perkembangan konversi lahan pertanian, perkembangan distribusi penguasaan lahan pertanian, serta perkembangan rumah tangga pertanian RTP dan luasan penguasaan lahan pertanian. Berdasarkan data hasil sensus pertanian pada periode 1983, periode 1993 dan periode 2003 oleh BPS dalam Lakollo dkk 2005, ketiga aspek tersebut dapat dibahas secara spesifik dengan kemungkinan mempertimbangkan keterkaitan satu aspek dengan aspek lainnya. Ketiga aspek ekonomi lahan tersebut pada dasarnya memiliki keterkaitan. Semakin besar proporsi RTP dengan status petani lahan sempit akan mendorong distribusi penguasaan lahan yang semakin pincang, dan selanjutnya eksistensi petani lahan sempit akan mendorong terjadinya alih fungsi lahan konversi lahan pertanian dan atau alih profesi ke sektor lain yang dapat memberikan pendapatan yang lebih tinggi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. 25 a Perkembangan Konversi Lahan Pertanian Selama periode 1983-2003, dalam periode sepuluh tahun pertama periode 1983-1993 konversi lahan pertanian nasional, terutama non-perkebunan besar mencapai sebesar 1,28 juta hektar. Sebagian besar konversi lahan terjadi di Pulau Jawa sekitar 79,3 persen dan dilihat dari jenis lahan sekitar 68,3 persen adalah lahan sawah Nasution, 1996. Pada dasawarsa berikutnya periode 1993-2003 besaran konversi lahan relatif tidak mengalami perubahan yang berarti, yakni sebesar 1,26 juta hektar dan sebagian besar terjadi di Pulau Sumatera sekitar 92,3 persen. Data konversi lahan pertanian di kawasan Indonesia selama periode 1983- 2003 dapat dilihat pada Tabel 2. Sejalan dengan perkembangan pembangunan nampaknya proporsi dominan konversi lahan pertanian bergeser dari Pulau Jawa ke luar Pulau Jawa, dalam hal ini Pulau Sumatera. Di Pulau Jawa sendiri menurut Nasution 2004 dalam periode 1998-2004 konversi lahan sawah mencapai sebesar 142 ribu hektar atau sekitar 23,7 ribu hektar per tahun atau sekitar 61,2 persen rataan konversi lahan periode 1993-2003 yang besarnya adalah 38,7 hektar per tahun, sehingga tampak bahwa konversi lahan pertanian produktif khususnya lahan sawah di Pulau Jawa masih tetap sangat tinggi. Tabel 2. Konversi Lahan Pertanian di Indonesia pada Tahun 1983-2003 Wilayah Total lahan pertanian Konversi Lahan SP 1983 a SP 1993 b SP 2003 c 1983-1993 1993-2003 Jawa 5.422.449 4.407.029 4.019.887 -1.015.420 -387.142 Bali dan Nusa Tenggara 1.208.164 1.060.218 1.095.551 -147.946 +35.293 Sumatera 5.668.811 5.416.601 4.249.706 -252.210 -1.166.895 Sulawesi 1.637.811 1.722.444 2.184.508 +134.693 +412.064 Kalimantan 2.222.153 2.191.596 2.096.230 -30.557 -95.357 Maluku 378.662 400.339 351.970 +21.717 -48.369 Irian Jaya 166.322 175.777 142.043 +9.455 -33.734 Indonesia 16.704.272 15.424.004 16.704.272 -1.280.268 -1.264.140 Sumber : Badan Pusat Statistika 2004 Keterangan : a Sensus Pertanian Seri J3, Tahun 1983 b Sensus Pertanian Seri J3, Tahun 1993 c Sensus Pertanian Seri A3, Tahun 2003 26 Tingginya konversi lahan pertanian, khususnya lahan sawah produktif, menambah beban pencapaian swasembada pangan beras nasional. Pada kondisi pilihan terbuka bagi investor maka konversi lahan pertanian di Pulau Jawa dengan infrastruktur fisik yang baik, sulit untuk dapat dihindari. Opsi kebijakan yang dapat dipertimbangkan adalah pengembangan komoditas bernilai ekonomi tinggi, padat teknologi dan manajemen, dengan sasaran efisiensi dan daya saing yang tinggi Kasryno, 1996. Kelangkaan lahan pertanian di Pulau Jawa, perlu dikompensasi dengan pengembangan lahan pertanian baru di luar Pulau Jawa. Pengembangan lahan pertanian ini secara ekonomis, dalam jangka pendek, perlu mempertimbangkan peningkatan kemampuan lahan pertanian yang telah ada dalam pemanfaatan sarana dan infrastruktur irigasi yang telah dibangun namun belum dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat Pasandaran, 1988. Pembahasan konversi lahan pertanian tidak bisa dilepaskan keterkaitannya dengan neraca pengusahaan lahan. Silalahi 2006 menunjukkan bahwa dari 191 juta hektar lahan yang tersedia di kawasan Indonesia, proporsi peruntukkan untuk zona konservasi adalah 35,4 persen atau 67 juta hektar dan 64,6 persen atau 123 juta hektar untuk zona kultivasi. Dalam kenyataannya sebesar 18,4 persen atau 12 juta hektar lahan di zona konservasi telah dimanfaatkan dan 57,7 persen atau 71 juta hektar lahan di zona kultivasi belum dimanfaatkan, sehingga pengembangan lahan pertanian baru di Indonesia masih terbuka luas, dengan luasan tidak kurang dari 71 juta hektar. b Perkembangan Distribusi Penguasaan Lahan Pertanian Perkembangan distribusi penguasaan lahan pertanian selama periode 1973- 2003 di Indonesia memberikan beberapa informasi Tabel 3, diantaranya adalah a gini rasio penguasaan lahan meningkat secara konsisten dari 0,5481 menjadi 0,7171; b gini rasio di Pulau Jawa secara konsisten lebih tinggi dibandingkan di luar Pulau Jawa, dimana masing-masing pada tahun 2003, yaitu 0,7227 dan 0,5816; c RTP dengan penguasaan lahan 0,10 hektar adalah sumber ketimpangan distribusi penguasaan lahan, khususnya di Pulau Jawa; d di Pulau Jawa ketimpangan tinggi penguasaan lahan terjadi sejak 1993, sedangkan di luar Pulau Jawa terjadi sejak 2003 Gini rasio 0,50, menurut Oshima, 1976. 27 Tabel 3. Gini Rasio Distribusi Penguasaan Lahan Pertanian Total Lahan Sawah dan Lahan Kering di Indonesia pada Tahun 1973-2003 Deskripsi Jawa Luar Jawa Indonesia 1. Tanpa luas lahan 0,10 hektar 1973 a 0,4371 - 0,5368 1983 b 0,4557 0,4684 0,4925 1993 c 0,2810 0,3123 0,4995 2003 d 0,3001 0,4036 0,4046 2. Total rumah tangga 1973 a 0,4479 - 0,5481 1983 b 0,4901 0,4786 0,5047 1993 c 0,5588 0,4774 0,6432 2003 d 0,7227 0,5816 0,7171 Sumber : Badan Pusat Statistika 2004 Keterangan : a Sensus Pertanian Tahun 1973 b Sensus Pertanian Tahun 1983 c Sensus Pertanian Tahun 1993 d Sensus Pertanian Tahun 2003 Data pada Tabel 4 menunjukkan selama periode 1993-2003, perkembangan distribusi penguasaan lahan pertanian di Indonesia menurut jenis lahan dan wilayahnya memberikan beberapa indikasi, diantaranya adalah : a di Pulau Jawa gini rasio distribusi penguasaan lahan sawah dengan distribusi penguasaan lahan kering relatif sama atau cenderung meningkat dan tidak ada perbaikan selama periode 1993-2003, yakni untuk total lahan dari besaran 0,5580 menjadi besaran 0,7227; b di luar Pulau Jawa gini rasio distribusi penguasaan lahan sawah mengalami penurunan secara konsisten dari besaran 0,7154 menjadi besaran 0,4784, sedangkan untuk distribusi penguasaan lahan kering relatif konstan pada tingkat besaran 0,5700; c walaupun distribusi penguasaan lahan sawah di luar Pulau Jawa mengalami perbaikan pada tahun 2003, tetapi gini rasionya mendekati garis batas threshold level besaran 0,50 Oshima, 1976; d secara umum dapat dinyatakan bahwa ketimpangan distribusi penguasaan lahan sawah dan penguasaan lahan kering baik di Pulau Jawa maupun di luar Pulau Jawa adalah relatif atau tergolong tinggi, hal ini cukup beralasan karena nilai gini rasio indeks gini lebih dari besaran 0,50 Oshima, 1976. 28 Tabel 4. Gini Rasio Distribusi Penguasaan Lahan Pertanian Menurut Jenis Lahan di Indonesia pada Tahun 1993-2003 Deskripsi Jawa Luar Jawa Indonesia 1993 a 1. Tanpa luas lahan 0,10 hektar Lahan sawah 0,2793 0,2357 0,4470 Lahan kering 0,2891 0,3318 0,5167 Total lahan 0,2809 0,3123 0,4495 2. Total rumah tangga Lahan sawah 0,5928 0,7154 0,8002 Lahan kering 0,6079 0,5791 0,7089 Total lahan 0,5580 0,4774 0,6432 2003 b 1. Tanpa luas lahan 0,10 hektar Lahan sawah 0,2225 0,3464 0,2626 Lahan kering 0,2601 0,4197 0,4278 Total lahan 0,3001 0,4036 0,4046 2. Total rumah tangga Lahan sawah 0,6323 0,4784 0,5627 Lahan kering 0,5544 0,5725 0,8462 Total lahan 0,7227 0,5816 0,7171 Sumber : Badan Pusat Statistika 2004 Keterangan : a Sensus Pertanian Tahun 1993 b Sensus Pertanian Tahun 2003 c Perkembangan RTP dan Luas Penguasaan Lahan Perkembangan RTP menurut luas penguasaan lahan selama periode 1983- 2003 Tabel 5 menunjukkan beberapa indikasi, diantaranya adalah : a secara keseluruhan, pada sepuluh tahun terakhir selama periode 1993-2003, terdapat indikasi polarisasi penguasaan lahan yang semakin serius; b fakta empirisnya adalah RTP dengan penguasaan lahan 0,50 hektar dan 2,0 hektar meningkat relatif tajam, masing-masing sekitar 31,95 persen dan 74,95 persen. c sementara itu, kategori dengan luas 0,50-0,99 hektar dan 1,00-1,99 hektar hanya meningkat sebesar 5,28 persen dan 10,48 persen; d hal yang serupa juga terjadi di luar Pulau Jawa yang diwakili oleh Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Kalimantan Selatan. 29 Tabel 5. Jumlah RTP Menurut Golongan Luas Lahan yang Dikuasai di Provinsi Jawa Barat, Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan pada Sensus Pertanian 1983, 1993 dan 2003 Propinsi Golongan luas lahan Jumlah rumah tangga 1983 1993 2003 1983-1993 1993-2003 Jabar 0,50 0,50-0,99 1,00-1,99 =2,00 1.630.281 674.801 393.820 173.595 2.305.065 544.761 242.540 90.853 2.557.823 465.297 194.910 76.317 41,39 20,90 38,41 47,66 10,97 12,83 19,64 16,00 Sumsel 0,50 0,50-0,99 1,00-1,99 =2,00 39.000 79.176 144.026 185.122 156.152 192.596 245.753 179.812 186.860 135.616 257.892 323.995 300,39 143,25 70,63 2,87 19,67 29,59 4,94 80,19 Kalsel 0,50 0,50-0,99 1,00-1,99 =2,00 85.787 67.735 72.108 53.464 143.009 92.150 69.259 35.061 180.449 98.953 87.031 77.062 66,70 36,04 3,95 34,42 26,18 7,38 25,66 119,79 Indonesia 0,50 0,50-0,99 1,00-1,99 =2,00 6.412.246 3.671.243 2.922.294 2.168.315 10.631.887 4.348.303 3.132.145 1.601.409 14.028.589 4.578.053 3.460.406 2.801.627 65,81 18,44 7,18 26,15 31,95 5,28 10,48 74,95 Sumber : Badan Pusat Statistika 2004 Perkembangan jumlah RTP, luas lahan yang dikuasai dan rataan luas penguasaan lahan di Indonesia, selama dua dasawarsa periode 1983-2003, memberikan sejumlah informasi Tabel 6, diantaranya adalah : a jumlah RTP petani gurem meningkat secara konsisten, yaitu untuk RTP 0,10 hektar sebesar 9,87 persen dan RTP 0,10-0,49 hektar sebesar 2,03 persen; b jumlah RTP 2,0 hektar petani luas menurun sebesar 2,19 persen namun luasan yang dikuasai sangat besar mendekati 50,0 persen; c rataan luas lahan yang dikuasai petani gurem menurun, yaitu RTP 0,01 hektar sebesar 0,03 hektar dan RTP 0,10-0,49 hektar sebesar 0,21 hektar; d rataan luas penguasaan lahan petani luas periode 1993-2003 meningkat sebesar 0,46 hektar; dan e RTP 0,50-0,99 hektar, rataan luasan lahannya meningkat sebesar 0,34 hektar dan RTP 1,00-1,99 hektar sebesar 0,15 hektar, sehingga secara umum distribusi penguasaan lahan antar kelompok petani nampak semakin timpang. 30 Tabel 6 . Jumlah RTP Pengguna Lahan Menurut Luas Lahan yang Dikuasai di Indonesia pada Sensus Pertanian 1983, 1993 dan 2003. Lahan yang diusahakan 1983 1993 2003 1 2 3 1 2 3 1 2 3 0,10 1.245.9 60 7,30 63.72 2 0,38 0,05 1.594.3 75 7,54 82.97 9 0,49 0,05 4.269.0 44 17,17 96.25 5 0,49 0,02 0,10-0,49 6.355.0 04 37,21 1.703. 678 10,12 0,27 7.986.5 10 37,75 747.4 06 4,46 0,09 9.795.5 45 39,24 876.5 87 4,46 0,09 0,50-0,99 4.000.2 64 23,42 2.655. 352 15,77 0,66 4.373.2 03 20,67 3.906. 272 23,29 0,89 4.578.0 53 18,41 4.581. 431 23,29 1,00 1,00-1,99 3.179.2 70 18,61 4.087. 770 24,27 1,29 4.422.4 93 20,90 4.253. 652 25,36 0,96 3.460.4 06 13,91 4.988. 852 25,36 1,44 2,00 2.298.8 18 13,46 8.331. 72 49,47 3,62 2.779.3 90 13,14 7.784. 770 46,41 2,80 2.801.6 27 11,27 9.130. 287 46,41 3,26 17.079. 316 100,00 16.84 2.248 100,0 0,99 21.155. 971 100,00 16.77 4.170 100,0 0,79 24.868. 675 100,00 19.67 3.412 100,0 0,79 Sumber : Badan Pusat Statistika 2004 Keterangan: 1=Jumlah RTP; 2=luas tanah yang dikuasai; 3=rata-rata luas tanah yang kuasai Informasi tentang perkembangan RTP, RTP pengguna lahan dan RTP petani kecil selama periode 1993-2003 ditampilkan pada Tabel 7 dengan sejumlah narasi : a di Pulau Jawa proporsi RTP pengguna lahan terhadap RTP mengalami penurunan 3,29 persen; b proporsi RTP petani kecil terhadap RTP pengguna lahan meningkat 4,92 persen; c RTP petani gurem mengalami pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan RTP dan RTP pengguna lahan, yaitu 2,16 persen lawan 1,81 persen dan 1,47 persen; d di luar Pulau Jawa juga terjadi kecenderungan yang serupa, dimana proporsi petani kecil meningkat 3,11 persen dan bertumbuh dengan laju 3,05 persen; e proporsi petani kecil meningkat 3,54 persen dengan pertumbuhan 2,39 persen. 31 Tabel 7 . Proporsi dan Perkembangan RTP Pengguna Lahan dan Petani Kecil 0,50 ha terhadap Total RTP di Indonesia pada Tahun 1993-2003 Deskripsi Jawa Luar Jawa Indonesia 1. 1993 a a. Rumah tangga pertanian 11.671 9.116 20.787 b. Rumah tangga pengguna lahan 11.564 8.954 20.518 c. Rumah tangga petani kecil 8.067 2.737 10.804 d. Proporsi RTP pengguna lahan terhadap RTP 99,08 98,22 98,71 e. Proporsi petani kecil terhadap RTP pengguna lahan 69,76 30,57 52,66 2. 2003 b a. Rumah tangga pertanian 13.965 11.614 25.579 b. Rumah tangga pengguna lahan 13.377 10.979 24.355 c. Rumah tangga petani kecil 9.990 3.698 13.687 d. Proporsi RTP pengguna lahan terhadap RTP 95,79 94,53 95,22 e. Proporsi petani kecil terhadap RTP pengguna lahan 74,68 33,68 56,20 3. Petani kecil terhadap pertumbuhan thn a. Rumah tangga pertanian 1,81 2,45 2,10 b. Rumah tangga pengguna lahan 1,47 2,06 1,73 c. Rumah tangga petani kecil 2,16 3,05 2,39 Sumber : Badan Pusat Statistika 2004 Keterangan : a Sensus Pertanian Tahun 1993 b Sensus Pertanian Tahun 2003 Perkembangan jumlah RTP pengguna lahan menurut jenis kegiatan selama periode 1993-2003, menunjukkan beberapa informasi penting Tabel 8 antara lain : a secara keseluruhan, pada tahun 2003, RTP padi atau palawija merupakan RTP yang paling dominan dibandingkan dengan RTP lainnya dengan besaran 39,09 persen dari total RTP pengguna lahan dengan jumlah sebesar 46,34 juta; b pertumbuhan RTP sektor komoditi padi atau palawija selama sepuluh tahun periode 1993-2003, merupakan pertumbuhan komoditi terkecil dibandingkan dengan komoditi lainnya dengan besaran sebesar 0,32 persen; c RTP pertumbuhan komoditi padi atau palawija di Pulau Jawa dari tahun 1993-2003 hanya sebesar 0,58 persen per tahun, bahkan di luar Pulau Jawa menurun sebesar 0,05 persen per tahun. 32 Tabel 8. Perbandingan Jumlah RTP Pengguna Lahan Menurut Jenis Kegiatan antara ST93 dan ST03 di Indonesia Uraian Jawa Luar Jawa Indonesia 1. Sensus Pertanian 1993 a. Rumah tangga padi palawija b. Rumah tangga hortikultura c. Rumah tangga perkebunan d. Rumah tangga budidaya tanaman kehutanan e. Rumah tangga peternakan perunggasan f. Rumah tangga budidaya ikan di kolam air tawar g. Rumah tangga budidaya ikan di tambak air payau 10.157 2.568 2.323 808 3.073 c541 57 7.391 2.297 3.776 161 2.393 245 39 17.548 4.865 6.099 969 5.466 786 96 2. Sensus Pertanian 2003 a. Rumah tangga padi palawija b. Rumah tangga hortikultura c. Rumah tangga perkebunan d. Rumah tangga budidaya tanaman kehutanan e. Rumah tangga peternakan perunggasan f. Rumah tangga budidaya ikan di kolam air tawar g. Rumah tangga budidaya ikan di tambak air payau 10.759 5.078 2.070 2.755 3.266 574 63 7.356 4.251 5.629 978 3.241 240 82 18.115 9.329 7.699 3.733 6.507 815 145 3. Rataan pertumbuhan persen tahun a. Rumah tangga padi palawija b. Rumah tangga hortikultura c. Rumah tangga perkebunan d. Rumah tangga budidaya tanaman kehutanan e. Rumah tangga peternakan perunggasan f. Rumah tangga budidaya ikan di kolam air tawar g. Rumah tangga budidaya ikan di tambak air payau 0,58 7,06 -1,15 13,05 0,61 0,60 1,06 -0,05 6,35 4,07 19,79 3,08 -0,20 7,70 0,32 6,73 2,36 14,44 1,76 0,36 4,22 Sumber : Badan Pusat Statistika 2004

3.1.3. Pendapatan Usahatani

Pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan Soekartawi, 1986. Besarnya pendapatan yang diterima merupakan imbalan untuk jasa petani dan keluarganya serta modal yang dimilikinya. Tjakrawiralaksana 1983 menggambarkan pendapatan usahatani sebagai sisa pengurangan nilai-nilai penerimaan usahatani dengan biaya-biaya yang dikeluarkannya dan sisa pembagian yang proporsional antara unsur-unsur produksi yang telah digunakan. 33 Bentuk dan jumlah pendapatan memiliki fungsi yang sama, yaitu memenuhi keperluan sehari-hari dan memberikan kepuasan petani agar dapat melanjutkan kegiatannya. Pendapatan ini akan digunakan juga untuk mencapai keinginan-keinginan dan memenuhi kewajiban-kewajibannya. Dengan demikian, pendapatan yang diterima petani akan dialokasikan pada berbagai kebutuhan. Analisa pendapatan mempunyai kegunaan bagi petani maupun bagi pemilik faktor produksi. Soeharjo dan Patong 1973 mengutarakan tujuan utama dari analisa pendapatan, yaitu menggambarkan keadaan sekarang suatu kegiatan usahatani dan menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan. Bagi seorang petani, analisa pendapatan memberikan bantuan untuk mengukur apakah kegiatan usahanya pada saat ini berhasil atau tidak. Suatu usahatani dikatakan sukses, apabila pendapatan yang diperoleh memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a cukup untuk membayar semua pembelian sarana produksi termasuk biaya angkutan dan biaya administrasi; b cukup untuk membayar bunga modal yang ditanamkan, termasuk pembayaran sewa tanah dan pembayaran dana depresiasi modal; dan c cukup untuk membayar upah tenaga kerja yang dibayar atau bentuk-bentuk upah lainnya untuk tenaga kerja yang tidak diupah. Analisis pendapatan usahatani memerlukan informasi mengenai seluruh penerimaan dan pengeluaran selama jangka waktu yang telah ditetapkan Soeharjo dan Patong, 1973. Penerimaan merupakan total nilai produk yang dihasilkan dari perkalian antara jumlah produk yang dihasilkan dengan harga dari produk tersebut, sedangkan pengeluaran merupakan semua pengorbanan sumberdaya ekonomi yang diperlukan untuk menghasilkan suatu output dalam satu periode produksi. Penerimaan usahatani dapat berbentuk hasil penjualan tunai, produk yang dikonsumsi keluarga petani dan kenaikan hasil inventaris selisih nilai akhir tahun dengan nilai awal tahun. Sementara itu, bentuk pengeluaran dalam usahatani berupa pengeluaran tunai dan pengeluaran yang diperhitungkan. Pengeluaran tunai adalah pengeluaran yang dibayarkan menggunakan uang tunai, seperti biaya pengadaan sarana produksi usahatani dan pembayaran upah tenaga kerja luar keluarga, sedangkan pengeluaran diperhitungkan adalah pengeluaran yang digunakan untuk menghitung berapa sebenarnya pendapatan kerja petani jika bunga modal dan nilai kerja keluarga diperhitungkan. 34

3.1.4. Pendapatan Rumah Tangga

Petani dan keluarganya membutuhkan sejumlah biaya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sama halnya dengan setiap orang atau keluarga, petani pun senantiasa menginginkan suatu kehidupan yang lebih daripada yang telah dicapainya. Dalam setiap RTP pada hakekatnya terdapat dua kegiatan ekonomi, yaitu kegiatan usaha bisnis dan kegiatan rumah tangga. Kegiatan usaha bisnis merupakan kegiatan menghasilkan produk baik untuk dijual agar mendapatkan uang tunai, maupun untuk dikonsumsi keluarga atau dipergunakan untuk proses produksi selanjutnya, sedangkan kegiatan rumah tangga merupakan kegiatan yang bersifat konsumtif. Dengan demikian, RTP mencukupi kebutuhan hidupnya dari sektor usaha barang-barang hasil produksi dan uang tunai dari hasil penjualan sebagian produksi usahataninya Tjakrawiralaksana, 1983. Selain dari kegiatan usahatani, anggota RTP juga memperoleh sejumlah biaya untuk memenuhi kebutuhan hidup dari sumber usaha lain di bidang pertanian dan dari pendapatan luar usahatani Hernanto, 1988. Penghasilan dari kegiatan ini merupakan tambahan pada kegiatan usahataninya off farm income. Alokasi pendapatan tersebut digunakan untuk kegiatan produktif, kegiatan konsumtif, pemeliharaan investasi, serta investasi dan tabungan. Menurut Soeharjo dan Patong 1973 pendapatan RTP dapat didefinisikan sebagai total penerimaan dari satu RTP dikurangi total pengeluarannya, baik dari kegiatan usahatani maupun kegiatan luar usahatani dalam suatu periode tertentu. Pada umumnya penerimaan RTP di pedesaan berasal dari dua sektor, yaitu : a penerimaan dari sektor pertanian, meliputi : pendapatan dari usahatani padi sawah, usahatani tanaman semusim selain padi, usahatani pekarangan dan tanaman tahunan, usaha peternakan, usaha budidaya perikanan kolam, kegiatan berburuh tani dan jasa lahan; dan b penerimaan dari sektor non pertanian, meliputi : pendapatan dari semua kegiatan di luar pertanian, seperti : kegiatan perdagangan, usaha angkutan, industri rumah tangga dan kegiatan berburuh di luar pertanian. Untuk pengeluaran RTP di pedesaan terbagi menjadi pengeluaran untuk pangan dan pengeluaran untuk non pangan. Kondisi ini mengutarakan bahwa semakin tinggi pendapatan usahatani untuk memenuhi pengeluaran RTP, maka luasan lahan usahatani yang diusahakan semakin tepat 35

3.1.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengusahaan Lahan

Pengusahaan lahan sawah oleh petani padi dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang memiliki keterkaitan antara faktor yang satu dengan faktor yang lainnya. Barlowe 1978 dengan toeri lahannya mengutarakan faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan penggunaan atau pengusahaan lahan, diantaranya adalah perkembangan teknologi, tingkat pendidikan, proporsi pendapatan usahatani terhadap penerimaan rumah tangga, jumlah tabungan, perkembangan usia, faktor alam dan dukungan kebijakan pemerintah. Rincian faktor-faktor pengusahaan lahan yang semakin menurun lebih mendalam lagi telah dipaparkan oleh Soekartawi 1986 mengenai faktor-faktor tingginya petani kecil petani dengan pengusahaan lahan 0,25 hektar, baik di dunia maupun di Indonesia, diantaranya adalah : 1 Umur petani yang sudah tua 2 Pendidikan petani yang sangat rendah 3 Pengalaman petani yang rendah kurang dinamik 4 Proporsi kecil antara pendapatan usahatani petani terhadap penerimaan rumah tangga 5 Jumlah ahli waris lahan tinggi sebanding dengan tekanan jumlah tanggungan keluarganya 6 Kekurangan modal kerja untuk usahatani 7 Jumlah tabungan kecil tingginya tingkat hutang akibat pengeluaran rumah tangga yang tinggi 8 Sulitnya memperoleh penggunaan lahan dari pihak lain 9 Sulitnya memperoleh pinjaman kredit modal kerja 10 Harga jual hasil panen tidak stabil 11 Jarangnya keikutsertaan petani dalam penyuluhan yang banyak memberi sumber informasi 12 Perkembangan teknologi yang buruk 13 Tidak mendukungnya kebijakan pemerintah kebijakan pemerintah berpihak pada orang yang berkuasa 14 Tidak mendukungnya faktor alam iklim yang jelek, kesuburan lahan rendah serta tingginya serangan hama dan penyakit 36

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Dokumen yang terkait

Beberapa Faktor Sosial Ekonomi Yang Mempengaruhi Intensitas Penggunaan Lahan Basah Di Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang (Studi Kasus : Desa Wonosari, Kecamatan Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang)

0 35 110

Faktor -Faktor Yang Berhubungan Dengan Risiko Kejadian ISPA Pada Balita Di Desa Koto Kaciak Kecamatan Bonjol Kabupaten Pasaman Propinsi Sumatera Barat Tahun 2000

2 43 107

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran komoditi padi serta kecenderungan konversi lahan sawah (Studi kasus di Kabupaten Karawang, Propinsi Jawa Barat)

0 8 141

Analisis pendapatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usahatani wortel di Kabupaten Tegal kasus di Desa Rembul, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah

12 62 103

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perbedaan Pendapatan dan Efisiensi Produksi pada Pengusahaan Penggilingan Padi di Kabupaten Karawang

4 78 213

Analisis pendapatan usahatani padi dan faktor-faktor yang mempengaruhi petani untuk menanam padi hibrida (Studi kasus kecamatan Cibuaya, kabupaten Karawang, Jawa Barat)

4 32 175

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya Terhadap Pendapatan Petani (Studi kasus: Desa Kondangjaya, Kecamatan Karawang Timur, Kabupaten Karawang)

2 5 256

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PROVINSI JAWA TIMUR Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketimpangan Pendapatan Di Provinsi Jawa Timur (Tahun 2011-2015).

0 2 13

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi keuntungan pengrajin kulit (Studi Kasus Kabupaten Magetan Provinsi Jawa Timur) AWAL

1 0 15

Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan Pertanian Studi Kasus : Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar IMG 20151104 0001

0 0 1