Kemampuan sapi perah dalam menghasilkan susu ditentukan oleh faktor genetik, lingkungan, dan pemberian pakan. Faktor lingkungan yang
mempengaruhi produksi susu antara lain umur, musim beranak, masa kering, masa kosong, besar sapi, manajemen pemeliharaan dan pakan. Suhartini 2001,
menyebutkan bahwa 30 persen kemampuan berproduksi sapi perah dipengaruhi oleh kemampuan genetiknya, sementara 70 persen lainnya dipengaruhi oleh
keadaan lingkungan, tata laksana, iklim, penyakit, dan sebagainya. Tabel 5 menunjukkan bahwa, masing-masing genetik sapi perah menghasilkan produksi
susu yang berbeda-beda.
Tabel 5. Produksi Susu Berdasarkan Jenis Sapi No
Bangsa Sapi Perah
Produksi Susu kgtahun
Persentase Lemak Susu
1 Ayshire
5000 4,0
2 Brown Swiss
5000 – 5500
4,0 3
Guernsey 4500
4,7 4
Fries Holland 5750
3,7 5
Jersey 4000
5,0 Sumber: Blakely dan Bade 1991
Susu segar mempunyai sifat fisik yang spesifik. Susu segar merupakan komoditi peternakan yang paling mudah rusak perishable dibandingkan dengan komoditi
peternakan lainnya. Selain itu, wujudnya yang berbentuk cair dan memakan banyak tempat voluminous mengakibatkan penanganan pasca panen harus
dilakukan dengan penuh kehati-hatian Departemen Pertanian dalam Karliyenna, 1990
Beberapa kualifikasi teknis yang harus dipenuhi oleh susu segar terlebih pada fungsinya sebagai input Industri Pengolahan Susu IPS, adalah:
1 Warna, bau, rasa, kekentalan: tidak ada perubahan
2 Berat Jenis BJ pada suhu 27.5
sekurang-kurangnya 1.0280 3
Kadar lemak fat 4
Kadar bahan kering tanpa lemak SNF sekurang-kurangnya 8.0 persen
5 Derajat asam: 4.5
– 7 SH
6 Uji alkohol 70 persen: negatif
7 Uji didih: negatif
8 Katalase setinggi-tingginya 3 cc
9 Titik beku -0.520
C sampai -0.560 C
10 Angka refraksi 34.0
11 Kadar protein sekurang-kurangnya 2.7 persen
12 Angka reduktase dua sampai dengan lima jam, dan
13 Jumlah kuman yang dapat dibiakkan tiap cc setinggi-tingginya tiga
Juta
Seluruh kriteria kualitas susu tersebut dirujuk berdasarkan standar SK Direktorat Jenderal Peternakan No. 17KptsDJPDeptan1983. Tidak semua
kriteria tersebut dapat diaplikasikan melalui serangkaian pengujian pada usaha peternakan. Keterbatasan pengetahuan dan fasilitas menjadi sebuah kendala dalam
mengukur kualitas. Kualitas merupakan dasar penetapan harga susu segar sebagai bahan baku industri. Berat BJ atau Total Solid TS dan kandungan lemak fat
merupakan kriteria yang digunakan oleh Industri Pengolahan Susu IPS. Kriteria penting lainnya adalah Total Plate Cone TPC. Tabel 6 berikut ini menyajikan
standarisasi bahan baku susu menurut total kandungan bakteri TPC Nurdin dalam Amalia, 2008.
Tabel 6. Standarisasi Bahan Baku Susu Menurut Tolal Kandungan Bakteri TPC pada Industri Pengolahan Susu IPS
Standar Total Kandungan Bakteri per cc
Grade I 1
– 500,000 Grade II
500,000 – 1,000,000
Grade III 1,000,000
– 3,000,000 Grade IV
3,000,000 – 5,000,000
Grade V 5,000,000
– 10,000,000 Grade VI
10,000,000 – 15,000,000
Grade VII 15,000,000
– 20,000,000 Grade VII
20,000,000 Sumber: Nurdin dalam Amalia 2008
4.3. Produksi Susu Sapi di Pulau Jawa
Berdasarkan catatan statistik Derektorat Jendral Peternakan tahun 2010, tidak semua provinsi di Indonesia memiliki sapi perah, konsentrasi terbesar dari
populasi sapi perah terdapat di Pulau Jawa. Perkembangan populasi ternak yang cukup besar tersebut didukung oleh keberadaan sarana dan prasarana yang
menunjang usaha ternak sapi perah seperti IPS, Balai Inseminasi Buatan, lingkungan geografis dan para peternak yang telah lama bergelut dengan sapi
perah. Disamping itu, faktor positif yang menunjang perkembangan populasi sapi perah di Pulau Jawa adalah karena di pulau ini merupakan sumber pasar yang
potensial untuk produksi susu dengan jumlah populasi penduduk yang lebih banyak dibandingkan dengan daerah lain Firman, 2007.
Produksi susu di Pulau Jawa memegang peranan penting dalam menentukan total produksi susu nasional. Berdasarkan data statistik peternakan
2010, menunjukkan bahwa Pulau Jawa menyumbang 99,1 persen produksi susu nasinal yaitu sebesar 919.495 ton dan sisanya 8.343 ton dari beberapa provinsi di
luar Pulau Jawa.
Sumber: Direktorat Jendral Peternakan, Statistik Peternakan 2011 Gambar 8. Produksi Susu di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan yogja
199 208
215 202
212 225
225 255
262
80 83
78 71
131 70
90 92
100 197
236 238
240 244
249 312
462 528
5 6
7 9
11 7
7 5
5 100
200 300
400 500
600
Pr o
d u
ksi S
u su
R ib
u Li
te r
Tahun
Jabar Jateng
Jatim yogja
Sumber: Direktorat Jendral Peternakan, Statistik Peternakan 2011 Gambar 9. Populasi sapi di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogja
Gambar 8 dan 9 menunjukkan bahwa Jawa Timur merupakan sentra penghasil susu terbesar di Indonesia. Sekitar 58.06 persen susu dari total produksi
susu Indonesia tahun 2010 dihasilkan oleh Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan Statistik Peternakan 2010, jumlah sapi perah di Jawa Timur mencapai 232,001
ekor yang menghasilkan 528,100 ton susu segar, dan terus meningkat dengan rata- rata pertumbuhan dari tahun 2002-2010 sebesar 14,07 persen, dengan sentra
utama di Kabupaten Malang dan Pasuruan. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu sentra peternakan sapi perah
terbesar di Indonesia setelah Jawa Timur. Berdasarkan Statistik Peternakan 2011, jumlah sapi perah di Jawa Barat mencapai 124,792 ekor yang menghasilkan
262,177 ton susu segar, dan cenderung terus meningkat dengan rata-rata pertumbuhan dari tahun 2002-2010 sebesar 3.67 persen. Sentra utama produksi
susu di Kabupaten Jawa Barat adalah Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung dengan total share dari kedua kabupaten tersebut sebesar 49.22 persen
pada tahun 2009 Ditjenak, 2010. Provinsi Jawa Tengah merupakan sentra produksi susu ketiga setelah
Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat. Berdasarkan Statistik Peternakan 2011, jumlah sapi perah di Jawa tengah mencapai 123,091 ekor yang menghasilkan
100,150 ton susu segar, dan fluktuatif dengan rata-rata pertumbuhan dari tahun
50 100
150 200
250
2002 2003
2004 2005
2006 2007
2008 2009
2010
p o
p u
lasi sap
i ri
b u
e ko
r
_JABAR _JATENG
_JATIM _YOGJA
2002-2010 sebesar 8,26 persen. Yang menjadi sentra utama produksi susu di Kabupaten Jawa Tengah adalah Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Semarang
dengan total share dari kedua kabupaten tersebut sebesar 77.16 persen pada tahun 2010.
Produksi susu di Yogyakarta merupakan produksi terendah jika dibandingkan dengan Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa tengah. Selain itu,
produksi susu di Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki trend yang cenderung menurun. Antara tahun 2002
– 2010 produksi tertinggi terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar 11.06 ton. Sedangkan pada tahun 2007 terjadi penurunan yang
sangat drastis yaitu sebesar 6.99 ton hal ini diduga akibat adanya bencana alam meletusnya Gunung Merapi dan gempa bumi. Selain itu, penurunan produksi juga
diduga akibat dari terjadinya krisis, sehingga usaha yang tidak mampu bertahan mentup usahanya.
4.4. Perkembangan Konsumsi Susu Indonesia
Peningkatan pendapatan perkapita masyarakat Indonesia dan peningkatan jumlah populasi penduduk Indonesia merupakan dua faktor utama terjadinya
evolusi pola konsumsi rumah tangga di indonesia. Pergeseran konsumsi juga terjadi di pos pengeluaran untuk bahan makanan. Rumah tangga cenderung untuk
mengalihkan sebagian alokasi pengeluaran untuk bahan makan pokok ke bahan makanan lain yang mempunyai kadar kalori dan protein yang lebih tinggi seperti
ikan, telur, daging unggas, daging sapi, dan susu Febiosa, 2005. Konsumsi susu masyarakat di Indonesia didominasi oleh produk susu
olahan dibandingkan susu segar. Penyebab kondisi tersebut adalah: pertama, kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap susu segar domestik; kedua,
jangkauan penyebaran susu segar terbatas karena sifatnya yang mudah rusak dan
terbatasnya akses terhadap cold storage; ketiga, keunggulan susu olahan yang praktis dan relatif tahan lama apabila disimpan; dan keempat, harga susu segar
yang langsung disalurkan kepada konsumen relatif lebih mahal dibandingkan dengan produk susu olahan. Faktor-faktor tersebut menyebabkan konsumsi susu
segar terbatas pada konsumen yang tinggal di daerah peternakan dan masyarakat kota yang berpendapatan tinggi Simatupang, et al., 1993.